Mengasuh Putra Pewaris Sang CEO
Bismillah
***
“Rumi, ayo kita pulang, Nak,” pinta Bu Ita sembari mengusap lembut punggung putrinya yang sejak tadi memandangi ruang bayi yang ada di rumah sakit, usai berobat.
Tak kuasa, Bu Ita pun menitikkan air mata melihat putri semata wayangnya. Dua minggu yang lalu, baru saja Rumi melahirkan seorang bayi laki-laki, tapi sayangnya bayi itu dinyatakan telah tiada dengan alasan keracunan air ketuban. Kemudian, seminggu berikutnya suaminya menyusul putra mereka, meninggal akibat kecelakaan mobil.
Pukulan berat bagi Rumi yang terbilang usianya sangat muda yaitu 21 tahun. Impian memiliki keluarga kecil nan bahagia, pupus dalam waktu yang amat singkat, dan sangat menyayat hatinya. Kehilangan dua orang yang sangat ia cintai, bukanlah persoalan ringan, karena sangat mengguncang mentalnya.
“Rumi ... ayo Nak, kata dokter kamu harus istirahat di rumah biar kamu cepat sembuh,” bujuk Bu Ita kembali.
Dengan matanya yang sembab, wanita muda itu menoleh. “Bu ... ada anakku di sana ... Bu. Dia lagi nangis, Bu.” Suara Rumi bergetar, bagaimana bisa ia menahan rasa rindu ingin mengendong anak yang dinanti. Bagaimana bisa ia menahan diri ingin sekali menyentuh buah hati yang ia kandung selama sembilan bulan dengan penuh kasih sayang. Semuanya ... telah tiada.
Bu Ita melipat bibirnya, menahan diri untuk tidak bersedih. Karena ia harus kuat untuk anaknya.
Bersamaan itu pula, di depan kamar bayi ada beberapa orang berjalan melalui Rumi. Rumi menoleh, menatap bayi tampan dalam gendongan seorang perawat, di sampingnya ada sosok wanita paruh baya dengan penampilan yang begitu anggun.
“Sus, kalau cucu saya tidak bisa minum susu formula. Berarti saya harus cari pendonor asi?” tanya wanita itu.
“Iya Bu, cucu Ibu alergi susu formula ... maka dari itu Ibu harus mencari pendonor asi,” jawabnya sembari menimang-nimang bayi itu. Sejak tadi bayi itu menangis tak berhenti-henti sejak datang ke rumah sakit.
Wanita paruh baya itu tampak gusar, bingung harus mencari ke mana. Sementara, Rumi yang tertarik dengan bayi itu mendekat.
“Sus, boleh saya gendong dan menyusuinya? Kali saja dede-nya haus?” pinta Rumi yang begitu nekat, tapi mau bagaimana lagi naluri seorang ibunya membuat menghampiri bayi yang masih terlihat merah.
Wanita paruh baya itu agak melotot melihat Rumi yang tiba-tiba mengajukan diri. Sedangkan perawat tampak mengenalinya. “Ibu Rumi, ya?” ucap perawat tersebut dengan ramahnya.
“Iya, Sus. Boleh saya gendong, kasihan dede-nya nanti tambah sakit.” Tatapan mata Rumi tampak mengiba, berharap diperbolehkan.
Lantas, perawat itu menatap nenek dari bayi yang ia gendong. “Ibu Liora, Ibu Rumi ini dua minggu yang lalu baru melahirkan, tapi bayi-nya meninggal. Mungkin ... Ibu Rumi bisa membantu dede-nya,” jelasnya.
Oma Liora menelisik penampilan Rumi yang masih terlihat muda, sederhana, tapi sangat cantik dan bersih. Sebenarnya agak ragu, tapi cucunya butuh asi.
“Baiklah.”
“Kalau begitu kita ke ruang laktasi saja, biar dede-nya lebih nyaman,” putus Perawat tersebut.
Bu Ita mencekal tangan Rumi, seakan tidak menyetujui tindakan putrinya. Namun, begitu melihat tatapan Rumi yang seakan memohon akhirnya Bu Ita melepaskannya dan mengikutinya ke ruang laktasi.
Setibanya di ruang yang di dominasi dengan nuansa bayi. Rumi duduk di salah satu sofa, kemudian bayi tampan itu diberikan dengan hati-hati dipangkuan Rumi.
Air mata Rumi jatuh kembali, tak ayal rasa rindu pada putranya seakan terobati.
“Ibu Rumi, saya bantu untuk memulai menyusuinya ya. Sekarang coba duduk dengan rileks. Saya izin buka kancing dressnya,” ujar perawat dengan lembutnya.
Rumi hanya mengangguk saja, mengikuti arahan wanita berseragam putih itu. Sementara itu Bu Ita dan Oma Liora mengamati dari tempat mereka duduk tanpa berbicara.
“Huft.” Rumi tampak terkejut saat bibir mungil itu mulai menyesap sumber asi-nya. Tangisan bayi menghilang begitu saja
“Alhamdulillah, asi-nya banyak juga Bu Rumi. Harusnya sering-sering ditampung biar badannya tidak demam,” sarannya.
“Saya tidak ada pikiran ke sana, Sus.” Rumi menjawab apa adanya. Asi yang keluar begitu saja ia biarkan, paling hanya sekedar dibersihkan dan disumpal dengan handuk kecil agar tidak merembes ke baju.
“Mohon dimaklumi, Sus. Anak saya baru kehilangan suaminya. Jadi ... wajar jika tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Ini aja saya mengantar ke rumah sakit untuk kontrol jahitan, dan badannya yang demam.” Bu Ita menjelaskan, dan Mama Liora agak terkejut.
“Saya turut berduka cita ya, Mbak. Pasti kehilangan anak ... lalu kehilangan suami ... rasanya sangat berat. Anak saya juga, istrinya masih dirawat di sini setelah melahirkan cucu saya, dia mengalami koma,” ucap Mama Liora begitu lirih.
Rumi hanya bisa mengangguk paham, senyumannya terasa hambar. Lalu, ia kembali menatap bayi yang begitu tampan. Sesekali ia mengusap pipi bayi itu yang masih sibuk menyedot susunya dengan lahap.
“Semoga menantunya cepat siuman ya, Bu,” ucap Bu Ita tulus.
“Terima kasih, Bu.”
Suasana kembali sunyi, tapi tak lama kemudian ponsel Mama Liora berdering.
“Halo, Julian ... Mama ada di ruang laktasi dekat ruang bayi. Kamu ke sini saja,” jawabnya sebelum sambungan telepon dimatikan.
Dan selang 10 menit kemudian, ruang laktasi terbuka. Mama Liora langsung berdiri menghampiri pria dewasa dengan tubuh tegap, wajah tampan. Bu Ita yang melihatnya sampai terpesona.
“Bagaimana Kenzo, Mah? Masih menangis?” tanya Julian terlihat khawatir.
Pandangan mata Mama Liora tertuju ke arah Rumi yang masih mengasihi cucunya. “Kenzo sudah menemukan ibu susu-nya,” ucap Mama Liora.
Alis mata Julian naik sebelah, wajah Rumi tak bisa ia lihat secara jelas karena sedang menunduk, bahkan kehadirannya di ruang laktasi tidak membuat wanita muda itu mengangkat wajahnya.
“Mama jangan sembarang memilih. Anakku sangat berharga. Dan, tidak bisa begitu saja anakku disusui oleh wanita yang tidak kita kenal. Semuanya harus melewati seleksi dengan ketat, Mah!” tegas Julian dengan dagunya yang terangkat, bahkan nada suaranya agak meninggi agar wanita yang ia tatap saat itu juga menatapnya. Tapi, lagi-lagi Rumi asik sendiri dengan bayi Kenzo.
Mama Liora menarik napasnya dalam. “Terserah kamu saja kalau begitu, Julian. Urus sendiri, kamu cari wanita yang bisa menenangi anakmu itu. Bahkan baby sitter yang kamu pilih saja tidak mampu mendiamkan anakmu itu. Tapi ... wanita ini, baru memangku Kenzo saja dia langsung diam, dan langsung mau menyusu darinya.” Mama Liora tampak kesal dan kembali duduk.
Selang beberapa menit kemudian, Rumi mengangkat wajahnya. Kebetulan Julian masih menatapnya. Pria itu susah payah menelan ludahnya, kemudian pura-pura memalingkan wajahnya.
“Sus, ini dede-nya kayaknya sudah kenyang nyusu-nya,” ucap Rumi begitu lembut suaranya seraya membuang mukanya ke sudut yang berbeda.
Bersambung .... ✍️
Assalammualaikum, halo Kakak semuanya ... adakah yang menunggu karya terbaru dari Mommy Ghina?? (Duh, geer kali saya 😁)
Kali ini Mommy Ghina mau test ombak, kira-kira banyak komentarnya nggak nih. Kalau sepi, terpaksa nggak lanjut nih 😁😁.
Jadi ditunggu ya, siapa yang mau kisah Rumi, Julian, dan Baby Kenzo stay di sini. Makasih banyak sebelumnya, Lope-lope sekebon jeruk 🍊🤗😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Kar Genjreng
Mommy kan ada ya baby di tukar oleh perawat atau seseorang kerja sama,,, kemungkinan baby kenzo anak Rumi,,,dan anak Juan yang meninggal,,,bisa jadi kan mommy,,,dan masa mendadak suami nya juga meninggal Duhhh ko yo pas bener to Lo geneo kui istri Juan koma,,,😚😚
2025-08-08
7
Inooy
hihihi,,MOMMY GHINA pake ngetes ombak segala..aq mah takut MOM, takut terbawa arus 🤭
aq doain MOM smoga komentar nya g sepi,,soal nya sayang klo g lanjut..secara karya2 MOMMY GHINA tuh bagus2...
ayo kaka2 reader ramein kolom komen nya, biar nih cerita lanjut teroooz!!! 💪
2025-08-08
2
partini
aku suka novel persusuan 🤭
lanjut Thor
author yg sudah malang melintang di NT ko. bisa bareng bikin novel persusuan mantaffffffff 👍👍👍👍👍👍
2025-08-08
2