NovelToon NovelToon

Mengasuh Putra Pewaris Sang CEO

Bab 1. Anakku Nangis, Bu

Bismillah

***

“Rumi, ayo kita pulang, Nak,” pinta Bu Ita sembari mengusap lembut punggung  putrinya yang sejak tadi memandangi ruang bayi yang ada di rumah sakit, usai berobat.

Tak kuasa, Bu Ita pun menitikkan air mata melihat putri semata wayangnya. Dua minggu yang lalu, baru saja Rumi melahirkan seorang bayi laki-laki, tapi sayangnya bayi itu dinyatakan telah tiada dengan alasan keracunan air ketuban. Kemudian, seminggu berikutnya suaminya menyusul putra mereka, meninggal akibat kecelakaan mobil.

Pukulan berat bagi Rumi yang terbilang usianya sangat muda yaitu 21 tahun. Impian memiliki keluarga kecil nan bahagia, pupus dalam waktu yang amat singkat, dan sangat menyayat hatinya. Kehilangan dua orang yang sangat ia cintai, bukanlah persoalan ringan, karena sangat mengguncang mentalnya.

“Rumi ... ayo Nak, kata dokter kamu harus istirahat di rumah biar kamu cepat sembuh,” bujuk Bu Ita kembali.

Dengan matanya yang sembab, wanita muda itu menoleh. “Bu ... ada anakku di sana ... Bu. Dia lagi nangis, Bu.” Suara Rumi bergetar, bagaimana bisa ia menahan rasa rindu ingin mengendong anak yang dinanti. Bagaimana bisa ia menahan diri ingin sekali menyentuh buah hati yang ia kandung selama sembilan bulan dengan penuh kasih sayang. Semuanya ... telah tiada.

Bu Ita melipat bibirnya, menahan diri untuk tidak bersedih. Karena ia harus kuat untuk anaknya.

Bersamaan itu pula, di depan kamar bayi ada beberapa orang berjalan melalui Rumi. Rumi menoleh, menatap bayi tampan dalam gendongan seorang perawat, di sampingnya ada sosok wanita paruh baya dengan penampilan yang begitu anggun.

“Sus, kalau cucu saya tidak bisa minum susu formula. Berarti saya harus cari pendonor asi?” tanya wanita itu.

“Iya Bu, cucu Ibu alergi susu formula ... maka dari itu Ibu harus mencari pendonor asi,” jawabnya sembari menimang-nimang bayi itu. Sejak tadi bayi itu menangis tak berhenti-henti sejak datang ke rumah sakit.

Wanita paruh baya itu tampak gusar, bingung harus mencari ke mana. Sementara, Rumi yang tertarik dengan bayi itu mendekat.

“Sus, boleh saya gendong dan menyusuinya? Kali saja dede-nya haus?” pinta Rumi yang begitu nekat, tapi mau bagaimana lagi naluri seorang ibunya membuat menghampiri bayi yang masih terlihat merah.

Wanita paruh baya itu agak melotot melihat Rumi yang tiba-tiba mengajukan diri. Sedangkan perawat tampak mengenalinya. “Ibu Rumi, ya?” ucap perawat tersebut dengan ramahnya.

“Iya, Sus. Boleh saya gendong, kasihan dede-nya nanti tambah sakit.” Tatapan mata Rumi tampak mengiba, berharap diperbolehkan.

Lantas, perawat itu menatap nenek dari bayi yang ia gendong. “Ibu Liora, Ibu Rumi ini dua minggu yang lalu baru melahirkan, tapi bayi-nya meninggal. Mungkin ... Ibu Rumi bisa membantu dede-nya,” jelasnya.

Oma Liora menelisik penampilan Rumi yang masih terlihat muda, sederhana, tapi sangat cantik dan bersih. Sebenarnya agak ragu, tapi cucunya butuh asi.

“Baiklah.”

“Kalau begitu kita ke ruang laktasi saja, biar dede-nya lebih nyaman,”  putus Perawat tersebut.

Bu Ita mencekal tangan Rumi, seakan tidak menyetujui tindakan putrinya. Namun, begitu melihat tatapan Rumi yang seakan memohon akhirnya Bu Ita melepaskannya dan mengikutinya ke ruang laktasi.

Setibanya di ruang yang di dominasi dengan nuansa bayi. Rumi duduk di salah satu sofa, kemudian bayi tampan itu diberikan dengan hati-hati dipangkuan Rumi.

Air mata Rumi jatuh kembali, tak ayal rasa rindu pada putranya seakan terobati.

“Ibu Rumi, saya bantu untuk memulai menyusuinya ya. Sekarang coba duduk dengan rileks. Saya izin buka kancing dressnya,” ujar perawat dengan lembutnya.

Rumi hanya mengangguk saja, mengikuti arahan wanita berseragam putih itu. Sementara itu Bu Ita dan Oma Liora mengamati dari tempat mereka duduk tanpa berbicara.

“Huft.” Rumi tampak terkejut saat bibir mungil itu mulai menyesap sumber asi-nya. Tangisan bayi menghilang begitu saja

“Alhamdulillah, asi-nya banyak juga Bu Rumi. Harusnya sering-sering ditampung biar badannya tidak demam,” sarannya.

“Saya tidak ada pikiran ke sana, Sus.” Rumi menjawab apa adanya. Asi yang keluar begitu saja ia biarkan, paling hanya sekedar dibersihkan dan disumpal dengan handuk kecil agar tidak merembes ke baju.

“Mohon dimaklumi, Sus. Anak saya baru kehilangan suaminya. Jadi ... wajar jika tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Ini aja saya mengantar ke rumah sakit untuk kontrol jahitan, dan badannya yang demam.” Bu Ita menjelaskan, dan Mama Liora agak terkejut.

“Saya turut berduka cita ya, Mbak. Pasti kehilangan anak ... lalu kehilangan suami ... rasanya sangat berat. Anak saya juga, istrinya masih dirawat di sini setelah melahirkan cucu saya, dia mengalami koma,” ucap Mama Liora begitu lirih.

Rumi hanya bisa mengangguk paham, senyumannya terasa hambar. Lalu, ia kembali menatap bayi yang begitu tampan. Sesekali ia mengusap pipi bayi itu yang masih sibuk menyedot susunya dengan lahap.

“Semoga menantunya cepat siuman ya, Bu,” ucap Bu Ita tulus.

“Terima kasih, Bu.”

Suasana kembali sunyi, tapi tak lama kemudian ponsel Mama Liora berdering.

“Halo, Julian ... Mama ada di ruang laktasi dekat ruang bayi. Kamu ke sini saja,” jawabnya sebelum sambungan telepon dimatikan.

Dan selang 10 menit kemudian, ruang laktasi terbuka. Mama Liora langsung berdiri menghampiri pria dewasa dengan tubuh tegap, wajah tampan. Bu Ita yang melihatnya sampai terpesona.

“Bagaimana Kenzo, Mah? Masih menangis?” tanya Julian terlihat khawatir.

Pandangan mata Mama Liora tertuju ke arah Rumi yang masih mengasihi cucunya. “Kenzo sudah menemukan ibu susu-nya,” ucap Mama Liora.

Alis mata Julian naik sebelah, wajah Rumi tak bisa ia lihat secara jelas karena sedang menunduk, bahkan kehadirannya di ruang laktasi tidak membuat wanita muda itu mengangkat wajahnya.

“Mama jangan sembarang memilih. Anakku sangat berharga. Dan, tidak bisa begitu saja anakku disusui oleh wanita yang tidak kita kenal. Semuanya harus melewati seleksi dengan ketat, Mah!” tegas Julian dengan dagunya yang terangkat, bahkan nada suaranya agak meninggi agar wanita yang ia tatap saat itu juga menatapnya. Tapi, lagi-lagi Rumi asik sendiri dengan bayi Kenzo.

Mama Liora menarik napasnya dalam. “Terserah kamu saja kalau begitu, Julian. Urus sendiri, kamu cari wanita yang bisa menenangi anakmu itu. Bahkan baby sitter yang kamu pilih saja tidak mampu mendiamkan anakmu itu. Tapi ... wanita ini, baru memangku Kenzo saja dia langsung diam, dan langsung mau menyusu darinya.” Mama Liora tampak kesal dan kembali duduk.

Selang beberapa menit kemudian, Rumi mengangkat wajahnya. Kebetulan Julian masih menatapnya. Pria itu susah payah menelan ludahnya, kemudian pura-pura memalingkan wajahnya.

“Sus, ini dede-nya kayaknya sudah kenyang nyusu-nya,” ucap Rumi begitu lembut suaranya seraya membuang mukanya ke sudut yang berbeda.

Bersambung .... ✍️

Assalammualaikum, halo Kakak semuanya ... adakah yang menunggu karya terbaru dari Mommy Ghina?? (Duh, geer kali saya 😁)

Kali ini Mommy Ghina mau test ombak, kira-kira banyak komentarnya nggak nih. Kalau sepi, terpaksa nggak lanjut nih 😁😁.

Jadi ditunggu ya, siapa yang mau kisah Rumi, Julian, dan Baby Kenzo stay di sini. Makasih banyak sebelumnya, Lope-lope sekebon jeruk 🍊🤗😘😘

Bab 2. Berapa Harganya?

“Siapa namamu?” Suara bariton Julian begitu dingin hingga mampu menyergap sukma wanita muda yang duduk di hadapannya.

“Rumi Nayara.” Suara wanita itu masih terdengar lembut di telinga Julian, tapi baginya seperti suara yang menusuk-nusuk. Ia amat membenci suara itu, seakan-akan sedang meniru suara istrinya yang masih terbaring koma.

“Usia?”

“21 tahun.”

Mata Julian kembali menelisik penampilan Rumi. “Berapa harga yang kamu minta untuk asi-mu itu?”

Kening Rumi mengernyit, merasa aneh dengan pertanyaan pria yang begitu garang raut wajahnya, padahal rupanya begitu tampan.

“Maksudnya?”

Pria itu berdecak kesal melihat reaksi Rumi dengan wajah polosnya. “Katakan berapa yang harus saya bayar agar kamu mau mendonorkan asi-mu untuk anak saya?”

“Oh ... maksudnya itu. Maaf kalau saya sempat tidak paham. Jika memang Bapak berkenan menerima donor asi buat anaknya, saya ikhlas. Tidak perlu membayar. Hanya saja, bukankah tadi saya dengar ... kalau Bapak ingin menyeleksi ibu yang akan mendonorkan asi untuk anaknya? Sebaiknya, Bapak melakukannya terlebih dahulu. Mungkin, nanti ada ibu yang lebih baik kondisinya untuk mendonorkan asi-nya ketimbang dengan saya,” balas Rumi, sangat lembut tapi tegas.

Lagi-lagi, pria itu berdecak dengan dagunya yang terangkat. “Bisa-bisanya dia membalikkan kata-kataku barusan.”

“Ya, memang seharusnya seperti itu ... demi menjaga kondisi kesehatan anak saya. Walau saya membutuhkannya, tapi harus lebih cermat dalam memilih. Dari pada kedepannya menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.”

“Mmm.” Rumi mengangguk paham, lalu beringsut dari duduknya. Ia tidak mau berlama-lama di ruang laktasi bersama pria tersebut, apalagi hanya berdua saja.

“Kalau begitu saya permisi,” pamit Rumi seraya melangkah.

“Pembicaraan kita belum selesai?” cegahnya dengan matanya menyipit.

Langkah Rumi tertahan. “Pikir saya sudah selesai Pak. Lagi pula saya ingin segera pulang, agar bisa cepat  beristirahat. Saya sedang tidak enak badan,“ ungkapnya jujur.

Julian berdiri sembari mengibaskan ujung jasnya. Aura sebagai bos begitu kental di hadapan Rumi, pesona dan wibawanya pun mampu meluluh lantahkan wanita mana pun. Tapi, sayangnya tidak dengan Rumi, ia terlihat biasa saja, bahkan matanya yang sendu terlihat dingin ketika beradu pandang dengan Julian.

“Saya akan membayar lima juta untuk donor asi-mu selama seminggu ini, sebelum saya menemukan ibu susu untuk anak saya. Berikan nomor ponselmu, saya akan memberikan alamat di mana kamu harus segera antarkan.” Dengan gaya bossy-nya Julian memberikan ponselnya.

Tanpa berdebat, Rumi menyimpan nomor ponselnya.

“Nanti kirimkan saja orang atau kurir untuk mengambil di rumah saya. Saya permisi, Pak—“

“Julian ... nama saya Julian.”

“Mmm.”

Tanpa senyuman, Rumi kembali berbalik badan dan keluar dari ruang laktasi.

***

Julian kembali ke ruang ICU, Mama Liora sejak tadi tampak menunggu dengan Kenzo yang tertidur di stollernya.

“Bagaimana, Julian? Kamu sudah putuskan? Dia mau jadi ibu susunya Kenzo?” cecarnya.

Pria itu menyugar rambut tebalnya dengan tarikan napasnya dalam-dalam. “Sudah aku katakan barusan Mah, aku akan menyeleksi terlebih dahulu wanita yang akan menjadi ibu susunya Kenzo. Dan, aku tidak menawarkan dia untuk jadi ibu susu Kenzo, aku hanya minta ia mendonorkan asi-nya saja,” tegasnya.

Bibir Mama Liora menipis, menahan rasa kecewa. “Keras kepala kamu, disangka mudah mencari ibu susu. Dia itu janda, dan setidaknya dia bisa sepenuhnya menjadi ibu susu Kenzo. Anakmu itu tidak bisa minum susu formula!”

Julian melengos, ia terlihat tidak ingin berdebat dengan ibunya.

“Istrimu sendiri aja tidak tahu akan siuman, sedangkan anakmu butuh ibu susu. Apa kamu mau lihat ... tubuh anakmu kekurangan gizi lalu akhirnya meninggal!”

Pria itu menatap kembali mamanya. “Jangan main-main sama nyawa anakmu, Julian. Apalagi, butuh lima tahun anakmu baru hadir.”

“Aku segera mencarinya. Mama tidak perlu khawatir ... aku sangat menyayangi anakku, dan tak mungkin aku sebagai papanya sekejam itu.”

“Terserah kamu lah, Mama angkat tangan. Sebaiknya Mama pulang saja,” balasnya sembari menatap baby sitternya Kenzo.

Julian meraup wajahnya dengan perasaan gusar. Sebelum anaknya dibawa pulang, ia menyempatkan mengecup putranya. “Doakan Mama cepat siuman ya, Kenzo. Dan, Papa akan segera cari ibu susu yang terbaik buat kamu.”

***

Waktu pun bergulir, tak terasa sudah jam 14.00 wib. Rumi baru saja bangun dari tidurnya, lalu menuju meja makan untuk menikmati makan siang yang tertunda. Namun, baru saja mau buka tudung saji, pintu rumah yang dibeli oleh almarhum suaminya ada yang mengetuk. Mau tidak mau ia harus ke depan.

“Ya, tunggu sebentar!” sahut Rumi mendengar ketukan pintunya semakin keras.

“Permisi selamat siang, benar ini dengan kediaman Pak Bisma?” tanya salah satu pria bertubuh tegap.

“Iya Pak, saya istrinya ... tapi—“

“Ya, saya tahu kalau Pak Bisma telah meninggal. Kami adalah utusan dari tempat kerjanya. Bisa kita bicara di dalam saja.” Salah satu wanita berucap dengan tenangnya.

Rumi yang tampak bingung mempersilakan ketiga orang tersebut masuk dengan perasaan was-was.

“Jadi begini Bu ... saya Lista dari pihak legal di mana Pak Bisma bekerja. Di sini ... saya ingin menyampaikannya bahwasanya semasa hidupnya Pak Bisma telah melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Beliau telah menggelapkan beberapa aset serta uang sebanyak satu milyar. Dan, kasus ini baru ketahuan beberapa hari sebelum Pak Bisma mengalami kecelakaan, dan sudah ditahap penyelidikan,” jelas Lista.

“A-Apa!” Bibir Rumi menganggap, matanya pun semakin melebar.

“Su-suami saya ... korupsi?” Rumi bertanya.

“Ya Bu. Dan ... ini bukti yang kami miliki, dan kami pun menyimpan video interogasi Pak Bisma jika Ibu ingin melihatnya.”

Tubuh Rumi yang sedang sakit semakin lemas mendengar kabar buruk tersebut.

“Lalu, Ibu dan Bapak datang ke sini, untung menagih? Atau b-bisakah saya menemui atasan suami saya?” tanyanya terbata-bata.

Pria bertubuh tegap itu menatap rekan kerjanya. “Kami datang ingin menyita asset atas nama Pak Bisma, serta barang-barang berharganya jika Ibu tidak bisa menggantikan uang perusahaan.”

Rumi menggeleng, dadanya terasa sesak. Mana ada ia menyimpan uang sebanyak satu milyar di tabungannya. Paling hanya beberapa juta saja.

“Bu ... Pak, suami saya belum ada 40 hari meninggal, dan saya juga baru kehilangan anak saya. T-tolong berikan saya waktu untuk berpikir ... tolong Bu, kasihani saya ....” Suara Rumi bergetar, menahan rasa sesak yang semakin menghimpit dadanya.

 “Ya Allah, Mas. Kenapa kamu tinggalkan aku seperti ini.”

Sementara itu, baby Kenzo yang sudah di mansion menangis kencang, asi Rumi yang sempat ia pumping di rumah sakit untuk dibawa pulang, tidak mau diminum baby Kenzo dari botol susu.

“Nyonya, bagaimana ini, Tuan muda tidak mau minum susunya? Sepertinya Tuan muda maunya minum langsung.”

 

Bersambung ... ✍️

 

 Assalammualaikum, alhamdulillah kemarin banyak yang tinggalkan komentarnya jadi tambah semangat. Bismillah ya, insyallah lanjut di sini dengan catatan seperti biasa mohon dukung karya ini dengan meninggalkan jejaknya, no skip bab, karena tetap saja penentu akhirnya adalah retensi. Jika retensi tidak lolos, ya berarti tidak bisa lanjut di sini. Maka dari itu, dukungan dari Kakak semuanya sangat diharapkan dalam setiap babnya. Dan, bukan berarti memaksakan, jika tidak suka dengan jalan ceritanya bisa ditinggalkan saja.

Serta berhati-hati ya saat mau kasih rate bintang 5 ya, sangat berpengaruh masalahnya. 🥺 Mohon jangan kasih rate 1/2/3/4 selama karya masih on going.

Terima kasih sebelumnya ya, Lope-lope sekebon jeruk.

Visual MC hanya untuk pemanis aja 🤗

Rumi Naraya, 21 tahun, janda dan mahasiswa tingkat 3.

Julian Aryasatya, 35 tahun, CEO Grup Sentosa Jaya

 

Bab 3. Jangan Egois, Julian!

“Kenzo tidak mau minum susu dari botol, maunya dari sumbernya langsung ... dan anakmu kembali rewel. Mana Ibu susu yang kamu cari? Sudah dapat? Kalau sudah ... bawa wanita itu ke mansion, sebelum anakmu jatuh sakit lagi.”

Julian menarik napasnya dalam-dalam mendengar suara mama-nya lewat sambungan telepon. Dan, ia sendiri pun baru tiba di kantor setelah beberapa jam menemani Tisya—istrinya yang masih terbaring koma karena mengalami eklampsia saat hamil.

“Mah ... aku juga sedang menunggu kabar dari rumah sakit. Tolong ... bersabar dulu. Nggak mungkin secepat kilat dapat ibu susunya. Ini juga belum ada sehari.”

Di balik telepon Mama Liora berdecak. “Nah, itu kamu tahu. Lalu, mengapa kamu menolak Rumi ... yang jelas-jelas dia menyusui anakmu. Makanya kalau ngomong itu jangan seenak udelmu aja!” sergahnya.

Rumi. Ya ... mungkin ini jalan satu-satunya Julian untuk menerima Rumi terlebih dahulu, apalagi suara tangisan Kenzo pun terdengar memekik di telinganya.

“Kalau kamu benar-benar sayang dengan anakmu. Tekan egomu, Julian. Sebelum kamu menyesalinya.”

Klik! Sambungan telepon dimatikan oleh Mama Liora.

Dilema. Inilah yang dirasakan oleh pria yang begitu perfeksionis dalam segala hal. Ingin semuanya sempurna, tak ada cacat sama sekali.

Julian beranjak dari duduknya, ia melangkah menuju jendela besar. Tatapannya begitu lelah saat memandang panorama di luar sana. Lelah menanti kekasih hati siuman dari tidurnya selama dua minggu ini.

Dengan tarikan napas panjang, nomor kontak Rumi dipencet di ponselnya. Satu kali panggilan tidak terjawab, dua kali pun sama tidak dijawab. Pria itu sudah mengeram, kalau tidak ingat ini untuk kepentingan putranya ia tidak akan mencoba menelepon wanita yang tidak ia kenal.

“Halo, Assalamualaikum,” akhirnya suara Rumi yang lembut terdengar.

“Waalaikumsalam, saya Julian. Satu jam lagi nanti akan ada sopir yang menjemput kamu. Anak saya kembali rewel, dia tidak mau minum susu dari botol. Untuk selanjutnya, kita akan bicara di mansion saya saja.”

“Eh ta-tapi, Pak—“

Belum selesai Rumi bicara panggilan telepon sudah diputus oleh Julian.

“Siapa yang menelepon, Rum?” tanya Bu Ita sembari membawa teh manis untuk putrinya.

Rumi yang terlihat lemas menoleh. “Bapak-bapak yang di rumah sakit itu, Bu. Katanya anaknya nggak mau minum susu dari botol, dan nanti ada sopir mau jemput aku,” jawabnya.

Bu Ita menghela napas. “Masalahmu yang satu saja belum beres. Ibu hanya berharap ... jangan sampai kamu kena sakit mental. Ibu tetap ingin kamu waras ... jangan bersedih seperti ini. Mungkin, dengan kamu mencari kesibukan di luar rumah bisa mengalihkan kesedihanmu. Apalagi saat ibu melihat kamu menyusui anak itu, kamu tersenyum, Rumi,” imbuhnya.

Rumi menunduk sejenak, ia membayangkan saat memangku dan mengasihi Kenzo. Entah mengapa ada rasa tenang menyelimutinya. Seakan-akan ia tidak sedang kehilangan anak dan suaminya.

Kemudian, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamarnya. Kamar yang nyaman, kamar yang memiliki kenangan indah dengan Bisma. Namun, kini, apakah bisa ia pertahankan?

“Bu ... kayaknya aku juga tidak mempertahankan rumah yang dibeli sama Mas Bisma. Mungkin rumah ini dibeli menggunakan uang yang tidak halal.” Suara Rumi bergetar.

Bu Ita mengusap lembut lengan putrinya. “Rum, masih ada rumah Ibu dan Ayah ... kamu bisa tinggal di sana kapan pun kamu mau. Yang terpenting sekarang kamu harus sehat. Sehat luar dalam ... walau Ibu tahu, ini pasti sangat berat untuk Rumi hadapi. Tapi, Rumi tidak sendiri untuk menghadapinya, kamu punya Ibu dan Ayah, tempat kamu berbagi cerita, berbagi keluh kesah. Ada harta pun tidak menjamin hidup kita bahagia.”

Mata Rumi kembali berembun, “Makasih Bu ... makasih sudah selalu menemani Rumi. Kalau nggak ada Ibu, entah bagaimana keadaan Rumi saat ini.” Rumi memeluk erat ibunya dengan isak tangisnya yang kembali terdengar.

Ingat! Menangis bukan karena cengeng, tapi salah satu cara mengeluarkan isi hati yang sudah terlalu berat untuk dihadapi. Bahkan, sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

***

Satu jam kemudian.

Apa yang diucapkan oleh Julian saat ditelepon nyata. Sore itu, mobil mewah keluaran baru terparkir di depan rumah. Bu Ita menyambut sopir yang menjemput Rumi.

“Ibu ... beneran nggak mau temeni Rumi?” Mau bagaimana pun Rumi agak ragu ke rumah orang yang tidak dikenal.

“Ibu harus bantu-bantu kamu packing barang, sembari nunggu ayahmu datang. Lagi pula kamu pergi juga untuk nolong anak kecil. Jadi ... kamu juga jangan khawatir ya.” Dari raut wajah Bu Ita pun terlihat meyakinkan mengizinkan anaknya untuk pergi, demi kesehatan mental anaknya.

“Yang terpenting kamu sudah bawa barang-barang keperluanmu dan obat yang harus kamu minum, ya,” lanjut kata Bu Ita dengan menunjukkan tas kecil yang sudah ia siapkan.

“Ya, Bu ... kalau begitu Rumi berangkat.”

“Hati-hati di jalan.”

Sekitar satu jam lebih menempuh perjalanan, mobil yang membawa Rumi masuk ke kawasan elit yang ada di Jakarta Selatan. Tak lama kemudian, masuk ke dalam gerbang yang begitu tinggi. Rumi cukup tercengang melihat bangunan mewah yang ada di hadapannya.

“Mbak Rumi ... Alhamdulillah, akhirnya kamu berkenan datang. Selamat datang di kediaman kami.” Mama Liora rupanya sudah menunggu di luar lobi bangunan mewah tiga lantai itu.

Rumi tersenyum getir, saat diperlakukan bak tamu kehormatan. “Iya, Bu.” Suara Rumi mendadak canggung.

“Ayo ... mari masuk. Kenzo sejak tadi menangis dan tidak mau minum susu sama sekali.” Wanita paruh baya itu menggiring Rumi masuk ke dalam sangat pelan-pelan, dikarenakan Rumi belum bisa jalan cepat pasca operasi cecar. Dan, suara tangisan Kenzo terdengar.

Julian ternyata sudah lebih dulu tiba, pandangan mereka sempat bertemu saat Rumi berada di ruang utama, tapi sayangnya Rumi langsung memutuskan tatapannya.

“Bu, saya izin mau cuci tangan dulu sebelum pegang dede-nya. Bisa tunjukkan kamar mandinya?”

“Oh ... bisa, kita langsung ke kamar cucu saya saja. Biar kamu juga leluasa.”

“Baik Bu.”

Dengan menggunakan lift, mereka ke lantai dua di mana kamar Kenzo berada. Julian dengan ekspresi masamnya menyusul ke lantai dua.

Dan, beberapa menit kemudian tangisan bayi itu tak terdengar lagi.

“Anak Ibu kenapa menangis, Sayang? Dede lapar ya? Lain kali nangisnya jangan kencang-kencang ya. Nanti ... anak Ibu yang ganteng ini sakit. Kasihan sama Oma dan Papa-nya nanti khawatir,” ucap Rumi begitu lembut sembari mengasihi baby Kenzo.

Jemari baby Kenzo bahkan bergerak menyentuh dada Rumi seakan tak ingin dilepaskan.

Tanpa terasa air mata jatuh di ujung mata Mama Liora. Ia lantas bergerak keluar dari kamar cucunya, dan siapa sangka ada anaknya berdiri di ambang pintu.

“Kamu sudah lihat ‘kan dengan matamu sendiri. Anakmu langsung berhenti menangis dengan wanita itu. Mama tak pernah bohong padamu.”

 Bersambung ... ✍️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!