“Kenzo tidak mau minum susu dari botol, maunya dari sumbernya langsung ... dan anakmu kembali rewel. Mana Ibu susu yang kamu cari? Sudah dapat? Kalau sudah ... bawa wanita itu ke mansion, sebelum anakmu jatuh sakit lagi.”
Julian menarik napasnya dalam-dalam mendengar suara mama-nya lewat sambungan telepon. Dan, ia sendiri pun baru tiba di kantor setelah beberapa jam menemani Tisya—istrinya yang masih terbaring koma karena mengalami eklampsia saat hamil.
“Mah ... aku juga sedang menunggu kabar dari rumah sakit. Tolong ... bersabar dulu. Nggak mungkin secepat kilat dapat ibu susunya. Ini juga belum ada sehari.”
Di balik telepon Mama Liora berdecak. “Nah, itu kamu tahu. Lalu, mengapa kamu menolak Rumi ... yang jelas-jelas dia menyusui anakmu. Makanya kalau ngomong itu jangan seenak udelmu aja!” sergahnya.
Rumi. Ya ... mungkin ini jalan satu-satunya Julian untuk menerima Rumi terlebih dahulu, apalagi suara tangisan Kenzo pun terdengar memekik di telinganya.
“Kalau kamu benar-benar sayang dengan anakmu. Tekan egomu, Julian. Sebelum kamu menyesalinya.”
Klik! Sambungan telepon dimatikan oleh Mama Liora.
Dilema. Inilah yang dirasakan oleh pria yang begitu perfeksionis dalam segala hal. Ingin semuanya sempurna, tak ada cacat sama sekali.
Julian beranjak dari duduknya, ia melangkah menuju jendela besar. Tatapannya begitu lelah saat memandang panorama di luar sana. Lelah menanti kekasih hati siuman dari tidurnya selama dua minggu ini.
Dengan tarikan napas panjang, nomor kontak Rumi dipencet di ponselnya. Satu kali panggilan tidak terjawab, dua kali pun sama tidak dijawab. Pria itu sudah mengeram, kalau tidak ingat ini untuk kepentingan putranya ia tidak akan mencoba menelepon wanita yang tidak ia kenal.
“Halo, Assalamualaikum,” akhirnya suara Rumi yang lembut terdengar.
“Waalaikumsalam, saya Julian. Satu jam lagi nanti akan ada sopir yang menjemput kamu. Anak saya kembali rewel, dia tidak mau minum susu dari botol. Untuk selanjutnya, kita akan bicara di mansion saya saja.”
“Eh ta-tapi, Pak—“
Belum selesai Rumi bicara panggilan telepon sudah diputus oleh Julian.
“Siapa yang menelepon, Rum?” tanya Bu Ita sembari membawa teh manis untuk putrinya.
Rumi yang terlihat lemas menoleh. “Bapak-bapak yang di rumah sakit itu, Bu. Katanya anaknya nggak mau minum susu dari botol, dan nanti ada sopir mau jemput aku,” jawabnya.
Bu Ita menghela napas. “Masalahmu yang satu saja belum beres. Ibu hanya berharap ... jangan sampai kamu kena sakit mental. Ibu tetap ingin kamu waras ... jangan bersedih seperti ini. Mungkin, dengan kamu mencari kesibukan di luar rumah bisa mengalihkan kesedihanmu. Apalagi saat ibu melihat kamu menyusui anak itu, kamu tersenyum, Rumi,” imbuhnya.
Rumi menunduk sejenak, ia membayangkan saat memangku dan mengasihi Kenzo. Entah mengapa ada rasa tenang menyelimutinya. Seakan-akan ia tidak sedang kehilangan anak dan suaminya.
Kemudian, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamarnya. Kamar yang nyaman, kamar yang memiliki kenangan indah dengan Bisma. Namun, kini, apakah bisa ia pertahankan?
“Bu ... kayaknya aku juga tidak mempertahankan rumah yang dibeli sama Mas Bisma. Mungkin rumah ini dibeli menggunakan uang yang tidak halal.” Suara Rumi bergetar.
Bu Ita mengusap lembut lengan putrinya. “Rum, masih ada rumah Ibu dan Ayah ... kamu bisa tinggal di sana kapan pun kamu mau. Yang terpenting sekarang kamu harus sehat. Sehat luar dalam ... walau Ibu tahu, ini pasti sangat berat untuk Rumi hadapi. Tapi, Rumi tidak sendiri untuk menghadapinya, kamu punya Ibu dan Ayah, tempat kamu berbagi cerita, berbagi keluh kesah. Ada harta pun tidak menjamin hidup kita bahagia.”
Mata Rumi kembali berembun, “Makasih Bu ... makasih sudah selalu menemani Rumi. Kalau nggak ada Ibu, entah bagaimana keadaan Rumi saat ini.” Rumi memeluk erat ibunya dengan isak tangisnya yang kembali terdengar.
Ingat! Menangis bukan karena cengeng, tapi salah satu cara mengeluarkan isi hati yang sudah terlalu berat untuk dihadapi. Bahkan, sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
***
Satu jam kemudian.
Apa yang diucapkan oleh Julian saat ditelepon nyata. Sore itu, mobil mewah keluaran baru terparkir di depan rumah. Bu Ita menyambut sopir yang menjemput Rumi.
“Ibu ... beneran nggak mau temeni Rumi?” Mau bagaimana pun Rumi agak ragu ke rumah orang yang tidak dikenal.
“Ibu harus bantu-bantu kamu packing barang, sembari nunggu ayahmu datang. Lagi pula kamu pergi juga untuk nolong anak kecil. Jadi ... kamu juga jangan khawatir ya.” Dari raut wajah Bu Ita pun terlihat meyakinkan mengizinkan anaknya untuk pergi, demi kesehatan mental anaknya.
“Yang terpenting kamu sudah bawa barang-barang keperluanmu dan obat yang harus kamu minum, ya,” lanjut kata Bu Ita dengan menunjukkan tas kecil yang sudah ia siapkan.
“Ya, Bu ... kalau begitu Rumi berangkat.”
“Hati-hati di jalan.”
Sekitar satu jam lebih menempuh perjalanan, mobil yang membawa Rumi masuk ke kawasan elit yang ada di Jakarta Selatan. Tak lama kemudian, masuk ke dalam gerbang yang begitu tinggi. Rumi cukup tercengang melihat bangunan mewah yang ada di hadapannya.
“Mbak Rumi ... Alhamdulillah, akhirnya kamu berkenan datang. Selamat datang di kediaman kami.” Mama Liora rupanya sudah menunggu di luar lobi bangunan mewah tiga lantai itu.
Rumi tersenyum getir, saat diperlakukan bak tamu kehormatan. “Iya, Bu.” Suara Rumi mendadak canggung.
“Ayo ... mari masuk. Kenzo sejak tadi menangis dan tidak mau minum susu sama sekali.” Wanita paruh baya itu menggiring Rumi masuk ke dalam sangat pelan-pelan, dikarenakan Rumi belum bisa jalan cepat pasca operasi cecar. Dan, suara tangisan Kenzo terdengar.
Julian ternyata sudah lebih dulu tiba, pandangan mereka sempat bertemu saat Rumi berada di ruang utama, tapi sayangnya Rumi langsung memutuskan tatapannya.
“Bu, saya izin mau cuci tangan dulu sebelum pegang dede-nya. Bisa tunjukkan kamar mandinya?”
“Oh ... bisa, kita langsung ke kamar cucu saya saja. Biar kamu juga leluasa.”
“Baik Bu.”
Dengan menggunakan lift, mereka ke lantai dua di mana kamar Kenzo berada. Julian dengan ekspresi masamnya menyusul ke lantai dua.
Dan, beberapa menit kemudian tangisan bayi itu tak terdengar lagi.
“Anak Ibu kenapa menangis, Sayang? Dede lapar ya? Lain kali nangisnya jangan kencang-kencang ya. Nanti ... anak Ibu yang ganteng ini sakit. Kasihan sama Oma dan Papa-nya nanti khawatir,” ucap Rumi begitu lembut sembari mengasihi baby Kenzo.
Jemari baby Kenzo bahkan bergerak menyentuh dada Rumi seakan tak ingin dilepaskan.
Tanpa terasa air mata jatuh di ujung mata Mama Liora. Ia lantas bergerak keluar dari kamar cucunya, dan siapa sangka ada anaknya berdiri di ambang pintu.
“Kamu sudah lihat ‘kan dengan matamu sendiri. Anakmu langsung berhenti menangis dengan wanita itu. Mama tak pernah bohong padamu.”
Bersambung ... ✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Kar Genjreng
seandainya itu bukan Anak Rumi. tetapi air susunya sangat memberikan kenyamanan buat sang Anak,,,mau sekeras batu ayang anak bayi itu tetap saja perlu pelukan hangat seorang ibu,,,semoga kelak begitu dewasa' bisa memberikan Ibu susu kasih sayang. semoga sebagai ayah akan merasakan hal tak terduga,,,, ternyata Wanita. yang sempat di rendahkan bisa memberikan kehidupan buat buah hati nya,,,kata kata lembut Rumi membuat Dafa Ibu mana pun akan tersentuh,,,😭😭
2025-08-09
3
Inooy
lama lama aq banting kamu Juul,,udh jelas2 tuh ibu susu ada d depan mata..kamu sok2an g mo nerima hanya karena Rumi orang miskin, iyaa???
ckckck,,hanya karena kamu horang haya kamu meremehkan dn menghina orang2 yg ada d bawah kamu Juul,,silahkan kamu tunggu tuh kabar dr rumah sakit,,,yg ada anak mu bakalan dehidrasi dn menyusul k rumah sakit!? 😬
2025-08-09
7
Inooy
alasan apalgi Jul utk menolak Rumi, jelas keliatan kan ma kamu klo Kenzo udh nyaman ma Rumi..ingat!! bukan kamu yg menentukan Rumi jd ibu susu anak mu,,tp anak mu sendiri yg memilih nya..
klo emg kamu sayang Kenzo kamu bakalan nerima Rumi jd ibu susu nya tanpa terkecuali...tp jika kamu ingin anak kamu sakit, kamu akan mencari ibu susu yg lain..pilihan ada d tangan kamu Jul!!!
2025-08-09
3