Senja mulai turun perlahan, menumpahkan warna jingga ke halaman depan rumah keluarga Hadikusuma yang megah. Sore itu, udara Jakarta terasa hangat dan tenang, namun dalam dada Olivia, badai sudah sejak tadi berkecamuk. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun satin merah marun yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Gaun itu berpotongan rendah di dada, dengan belahan tinggi di sisi paha kiri. Rambutnya dibiarkan terurai, sedikit bergelombang dan terkesan tidak terlalu rapi, sengaja. Bibirnya dilabur warna merah gelap, matanya dipertegas dengan eyeliner tajam.
“A perfect nightmare,” gumamnya pelan di depan cermin, sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar dengan langkah santai tapi mantap.
Di lantai bawah, Hadikusuma, istri, dan anak menantunya sudah berdiri menyambut tamu yang baru saja datang. Seorang lelaki dewasa tampan berperawakan tenang, mengenakan batik lengan panjang warna cokelat tanah, berdiri di samping kedua orangtuanya yang juga tampak elegan. Di antara mereka, seorang pria sepuh dengan tongkat kayu mahoni berdiri penuh wibawa—kakek Maalik.
“Selamat datang, Pak Wiranta. Terima kasih sudah berkenan hadir ke rumah kami,” ucap Hadikusuma ramah, menjabat erat tangan lelaki tua itu.
“Iya, sama-sama, Pak Hadikusuma. Sudah lama sekali kita tidak bertemu sejak di Maastricht dulu,” jawab Wiranta, suara beratnya terdengar tenang.
Maalik hanya tersenyum sopan, membungkuk sedikit sebagai salam kepada keluarga besar Hadikusuma.
“Silakan masuk, mari kita ke ruang tamu,” ujar istri Hadikusuma.
Baru saja tamu-tamu itu duduk, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar menuruni tangga marmer. Semua kepala menoleh hampir bersamaan.
Dan di sanalah Olivia muncul.
Dengan tampilan yang membuat ruang tamu seakan kehilangan oksigen sejenak. Matanya menatap malas ke arah semua orang, lalu ia berjalan masuk tanpa sedikit pun menurunkan aura angkuhnya. Gaunnya membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna. Ia tahu dirinya cantik. Tapi lebih dari itu, ia ingin tampil seperti ini karena tahu, ini akan menjadi tamparan bagi keluarga konservatif yang datang.
“Sorry, gue telat. Lagi sibuk milih lipstick warna apa yang paling mengganggu buat dipakai sore-sore kayak gini,” ucapnya dengan nada datar sambil menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menyilangkan kaki.
Tatapan dingin Hadikusuma langsung menusuk ke arahnya. Tapi Olivia tidak peduli. Bahkan matanya dengan sengaja beradu dengan tatapan itu, seakan berkata, you want a show? I’ll give you a damn good one.
Maalik menoleh pelan, wajahnya tetap tenang, bahkan tidak menunjukkan keterkejutan. Ia mengamati Olivia sejenak, sebelum akhirnya menundukkan pandangannya dengan sopan. Tapi tidak demikian dengan ibunya. Sulis, wanita berhijab yang duduk di sisi kanan Maalik, memandangi Olivia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya seperti menilai, menguliti, dan menyimpulkan sesuatu yang jelas tidak menyenangkan.
Namun Olivia hanya tersenyum miring. Semakin tajam tatapan wanita itu, semakin nyaman Olivia menyilangkan kakinya lebih tinggi.
“Jadi, yang mana nih calon suaminya?” tanya Olivia santai, nada suaranya seperti menertawakan seluruh pertemuan ini. “Yang tadi liatin gue dari bawah sampe atas? Atau yang tua pegang tongkat? Sorry, gue nggak bisa nebak.”
Terdengar suara batuk kecil dari Bayu, Papi Olivia, berusaha menahan canggung yang menggantung pekat.
Hadikusuma menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya memperkenalkan, “Olivia, ini Maalik. Dia anak dari sahabat lama Eyang. Dan yang ini, Pak Ibrahim, eyangnya Maalik.”
Olivia menatap malas dua pria yang tunjuk oleh Eyangnya “Oh. Semoga pertemuan ini bisa cepet berakhir."
Sulis akhirnya bicara, “Kami sebenarnya ingin mengenal lebih jauh sosok calon yang dipertimbangkan keluarga Hadikusuma untuk putra kami. Tapi sepertinya Olivia… sudah cukup menunjukkan siapa dirinya.”
Kalimat itu halus tapi dingin. Olivia hanya tertawa kecil, dan menjawab dengan bahasa yang jauh dari halus.
“Well, at least I’m not pretending, right? Gue emang kayak gini, Bu. Lebih baik Ibu ilfeel sekarang daripada nanti telanjur nyari cara batalin akad pas udah di depan penghulu.”
Suasana mendadak membeku. Hadikusuma bahkan tak menyembunyikan kekesalannya kali ini. Pria tua itu menatap cucunya dengan rahang mengeras.
Namun Maalik yang selama itu hanya duduk diam akhirnya bersuara.
----
Aroma segar dari shampo mahal menyeruak saat Olivia mengibaskan rambut panjangnya. Rambut cokelat bergelombang itu jatuh ke bahunya dengan anggun, membingkai leher jenjang dan kulit putihnya yang tampak sempurna. Gaun satin merah yang membungkus tubuhnya memantulkan cahaya, membentuk siluet yang hampir memaksa mata siapa pun untuk memperhatikan. Namun tidak bagi Maalik.
Laki-laki itu tetap menjaga pandangannya, menunduk atau menoleh ke arah lain setiap kali Olivia melintas dalam garis pandangnya. Ia tahu, dalam Islam, menjaga pandangan adalah bentuk awal dari menjaga hati. Ia sangat memahami hadits yang mengatakan, "Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah iblis." Dan ia tidak ingin menyentuh dosa itu, meskipun godaan di hadapannya begitu nyata.
"Pak Kepala Desa..." suara Olivia memecah suasana hangat ruang tamu. Nadanya santai, tapi sengaja ia tarik perhatian semua orang.
Semua kepala menoleh ke arahnya. Maalik pun melirik sekilas, sekadar menyahuti dengan sopan.
"Can we talk, like... just the two of us?" ucap Olivia dengan nada ringan, penuh gaya khasnya.
Maalik diam sejenak. Wajahnya tetap tenang, lalu ia mengangguk pelan. "Baik."
Tanpa meminta izin lebih lanjut, Olivia melenggang pergi. Gaun satinnya melambai di setiap langkah, menyibak betis jenjangnya. Ia tahu apa yang dilakukannya, dan ia tahu Maalik pasti tak nyaman. Justru itu yang ia harapkan. Ia ingin Maalik merasa tak cocok, ilfeel, dan menolak perjodohan ini. Tapi Maalik, dengan kepala tertunduk dan langkah hati-hati, tetap mengikuti dari belakang.
Mereka tiba di taman belakang. Di sana, angin bertiup pelan, membawa suara gemericik air dari kolam ikan tak jauh dari gazebo. Olivia berhenti tepat di depan bangunan kayu kecil itu, menyandarkan punggung ke tiang, dan menyilangkan tangan di dada—membentuk lekukan yang sengaja ia tonjolkan.
Maalik sempat tak sengaja memandang sekilas dan langsung menunduk. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengucap istighfar dalam hati. Ini ujian, pikirnya. Ujian dari seorang wanita yang mungkin kelak akan jadi pendampingnya—atau justru bukan siapa-siapa.
"Gue mau lo tolak perjodohan ini," ucap Olivia langsung, tanpa basa-basi.
Maalik mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan matanya bertemu dengan mata Olivia—mata yang bening, indah, tapi penuh api perlawanan.
"Kenapa saya harus menolak?" tanyanya lembut, tanpa mengalihkan pandangan.
Olivia memutar bola matanya dengan malas. "Lo bisa ngasih seribu alasan," gumamnya.
"Saya tidak memiliki alasan."
Desahan frustrasi terdengar dari mulut Olivia. "Lo bisa bilang lo udah punya pacar, kek... atau..."
"Saya tidak memiliki kekasih," jawab Maalik datar, tapi jujur.
Olivia kini mengalihkan pandangannya ke arah Maalik. Matanya menelusuri lelaki itu dari ujung kaki hingga kepala, terang-terangan tanpa rasa canggung. Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya penuh ejekan. "Oh, ya? Lulusan S2, katanya pintar dan berwibawa, tapi nggak punya pacar. Umur sudah dua puluh sembilan… lo normal, kan?’
Maalik kembali menarik napas pelan. Dalam hatinya ia kembali beristighfar. "Saya normal."
"Terus? Lo red flag? Patriarki? Jadi nggak ada cewek yang mau sama lo gitu?" tuduh Olivia tanpa filter.
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Maalik bertanya, tetap menjaga nada bicara yang lembut.
Olivia mengedikkan bahu, santai. "Lo udah umur segitu, dan nggak punya pasangan. Apa alasan paling logisnya?"
Maalik tak langsung menjawab. Ia malah balik bertanya, "Kamu punya kekasih?"
"Kenapa lo kepo?" balas Olivia, sinis.
"Saya hanya bertanya hal yang sama seperti yang kamu tanyakan."
Olivia makin kesal. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Pokoknya, lo harus batalin perjodohan ini!"
"Berikan saya satu alasan mengapa saya harus membatalkannya," ucap Maalik, tetap tenang.
"Gue nggak bisa masak, nggak bisa beres-beres. Jadi mending lo cari yang lain," sahut Olivia malas, berusaha menutup pembicaraan.
Maalik tersenyum tipis, suaranya turun lembut.
"Saya tidak menikah untuk mencari seorang pembantu, Olivia. Saya mencari pendamping hidup." Ia menatapnya dengan sabar. "Jadi, berikan saya alasan yang benar-benar logis."
Olivia tiba-tiba membuang napas panjang.
"Gue... udah nggak perawan."
Matanya langsung bergerak ke segala arah, asal tidak ke arah Maalik. Ia yakin, lelaki desa seperti Maalik pasti memegang teguh nilai-nilai itu. Ia yakin, kalimat itu akan cukup untuk membuat Maalik menjauh.
Namun Maalik tetap diam. Ekspresinya tidak berubah, hanya menatap Olivia dengan tenang. Matanya seakan menelusuri setiap gerak-gerik lawan bicaranya, membaca kegelisahan sekaligus menyadari ketidakjujuran yang berusaha disembunyikan.
"Terus?" tanyanya akhirnya, dengan suara yang sangat pelan tapi mengalun dalam.
Olivia melirik, bingung. "Kenapa... lo nggak kaget?"
"Saya tidak menikah dengan masa lalu seseorang, Olivia," ucap Maalik, tulus. "Saya menikah untuk masa depan. Dan saya percaya, setiap manusia punya perjalanan hidup masing-masing."
Kalimat itu membuat Olivia bungkam. Matanya seketika terasa panas, tapi ia terlalu gengsi untuk menangis di hadapan pria ini.
Namun sebelum ia bisa mengucap sepatah kata, ponselnya berbunyi. Notifikasi dari aplikasi belanja mewah menyala satu per satu. Olivia melihat dengan cepat—dan matanya membelalak. Semua pesanannya dibatalkan. Dari tas Hermes, sepatu Gucci, hingga gaun Dior yang ia incar—semua hangus. Ia mencoba refresh, dan melihat detail pembayaran. Akses kartu Papinya... ditutup.
“What the hell...” gumam Olivia pelan, penuh tekanan dan amarah yang tertahan. Jemarinya mencengkeram ponsel kuat-kuat, matanya berkilat kesal. Ia menghentakkan kakinya dengan keras, berbalik cepat, dan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Maalik tetap mengikuti dari belakang dengan tenang.Sesampainya di ruang tamu, suasana berubah seketika. Semua mata tertuju padanya. Olivia berdiri di tengah, penuh emosi yang ditahan.
"Kapan pernikahan akan dilakukan?" tanyanya, dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Gái đảm
Endingnya puas. 🎉
2025-08-18
1