“Sudah saatnya aku bicara,” ucap Hadikusuma sembari meletakkan sendok terakhirnya di sisi piring porselen. Suara logam halus menyentuh keramik meja makan menandai ketegasan—dan ketegangan—yang akan menyusul.
Bayu, Camilla, dan Ratih secara bersamaan menoleh. Mata mereka terfokus pada lelaki tua itu. Sorot matanya tidak berubah sejak subuh: tajam dan penuh keputusan.
“Aku akan mempercepat perjodohan Olivia,” lanjut Hadikusuma, datar, namun tegas. Tidak ada ruang untuk diskusi dalam nada suaranya.
Suasana ruang makan itu mendadak membeku. Bahkan dentingan sendok kecil yang tadi terdengar kini seperti tak berani muncul kembali.
“Pah?” Bayu bersuara pelan, nyaris seperti bisikan yang tertahan di tenggorokannya. “Olivia baru saja wisuda beberapa hari yang lalu. Dia pasti ingin bekerja, mencoba mandiri dan—”
“Bekerja?” Hadikusuma langsung memotong, tak membiarkan putranya menyelesaikan kalimat. Nada suaranya naik satu oktaf, penuh sorotan. “Untuk apa? Menjadi perempuan kota yang bebas keluar masuk malam seperti semalam? Tidak tahu adab? Tidak paham waktu? Atau… ingin aku biarkan dia memilih pasangan sekehendaknya lalu berakhir mempermalukan nama keluarga ini?”
Camilla menunduk, kedua tangannya gemetar di bawah meja. Ia tidak berani menyela, meski hatinya memihak anaknya. Ratih meletakkan tangan lembut di punggung Bayu, mencoba menenangkan suaminya yang tampak mulai gelisah.
Hadikusuma menghela nafas berat "Anak perempuan yang tak tahu tanggung jawab harus dibenahi. Kalau orang tuanya tak mampu membimbing, biar aku yang turun tangan. Lagipula, aku ragu Olivia benar-benar ingin bekerja. Dia sudah terlalu nyaman hidup bergelimang harta kalian. Kalian masih yakin dia akan sungguh-sungguh bekerja?"
“Pah… Olivia belum tahu apa-apa tentang perjodohan ini,” ucap Camilla lirih, nyaris seperti permohonan. “Dia pasti kaget. Apalagi… dia masih muda, belum mengerti dunia rumah tangga.”
“Dan karena itulah, dia perlu diarahkan. Kita bukan keluarga yang bisa membiarkan gadis muda hidup seolah tanpa batas,” jawab Hadikusuma, tatapannya menusuk ke Camilla.
Ratih akhirnya angkat suara, dengan nada lebih lembut namun tetap penuh kehormatan. “Mungkin… kita bisa bicara baik-baik dulu dengan Olivia, Yah. Dia memang keras kepala, tapi… dia anak yang baik.”
“Baik?” Hadikusuma mengulang kata itu seperti menggugat. “Sejak kapan anak baik pulang pukul dua pagi? Sejak kapan gadis dari keluarga Hadikusuma berani mengabaikan subuh demi tidur panjangnya? Bahkan hari ini, ia belum bangun.”
Tak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya bunyi detik jam besar yang berdiri di sudut ruangan. Semua diam, karena tahu: Hadikusuma sudah memutuskan.
“Pernikahan akan diatur dalam waktu dekat. Aku sudah siapkan calon yang pantas sedari dulu. Latar belakangnya bersih, keluarganya terhormat. Dan yang terpenting, dia bisa mendidik Olivia.”
“Siapa, Pah?” tanya Bayu dengan suara berat, meski ia sudah tahu bahwa pertanyaannya hanya sekadar formalitas.
“Kepala desa muda di daerah Lamiran. Namanya Maalik Faruq Alfarizi. Lulusan luar negeri, kembali ke kampung halamannya membangun tanah leluhurnya. Disiplin. Tegas. Bukan lelaki kota yang lembek.”
Sekali lagi, tak ada yang bersuara. Karena pada akhirnya, jika Hadikusuma yang berbicara, maka keputusan adalah titah.
Sementara itu, di lantai atas, Olivia masih tertidur pulas dalam dekapan selimut berbulu tebalnya. Hingar-bingar dunia di meja makan tak menjangkaunya—belum. Bahkan cahaya pagi pun belum ia ijinkan masuk ke hidupnya hari itu.
Namun waktu tak akan lama lagi bersabar.
---
Olivia baru saja turun dari tangga, rambutnya masih berantakan dan piyamanya belum berganti. Ia melirik sekilas ke ruang makan yang kini sudah sepi, hanya ada Mbok Nah yang sedang membereskan piring sarapan.
"Papi mana?" tanyanya sembari menguap.
"Di ruang tamu, Non. Sama Eyang Kakung, Eyang Putri dan Ibu Camilla."
Tanpa pikir panjang, Olivia melangkah ke ruang tamu. Tapi belum sempat ia duduk, suara dingin Hadikusuma langsung memotong suasana.
"Akhirnya bangun juga. Sudah jam sepuluh lewat."
Olivia mengangkat alis. "Kenapa? Ada yang terbakar?"
Hadikusuma berdiri, tubuh tegapnya tampak seperti tak tergerus usia. Ia berjalan pelan ke arah Olivia, menatap cucu perempuannya dari ujung kepala hingga kaki.
"Sudah saatnya kamu bersiap. Kita akan membicarakan perjodohanmu."
Olivia menegakkan tubuhnya. “Perjodohan?”
Bayu langsung berdiri, mencoba menengahi. “Pah, mungkin terlalu pagi membahas ini. Olivia baru bangun, biar—”
"Justru karena sudah terlalu lama dibiarkan, makanya seperti ini hasilnya," tegas Hadikusuma. Ia lalu berbalik pada Olivia. “Kamu akan dijodohkan dengan anak sahabat lama Eyang. Namanya Maalik Faruq Alfarizi. Lulusan luar negeri, santun, dan baik agamanya.”
Olivia tertawa sinis. “Lucu. Pagi-pagi, Oliv malah dikasih sinetron.”
“Ini bukan tawaran, Olivia. Ini keputusan.” Hadikusuma melipat tangannya di dada.
“Oliv baru lulus. Oliv punya rencana hidup sendiri,” bantah Olivia.
“Rencana hidup yang mana? Keluyuran sampai tengah malam? Tidur sampai lewat subuh? Tidak pernah ikut salat berjamaah, tidak pernah turun tangan bantu ibumu, bahkan bicara pun seperti tidak kenal adab?”
“Jangan bawa agama ke sini kalau cuma untuk menekan Oliv, Eyang,” suara Olivia bergetar, marah, tapi tetap tak bisa menyembunyikan goresan luka yang mulai muncul.
Hadikusuma melangkah mendekat, matanya tajam. “Kamu pikir hidup ini mainan? Kamu pikir semua ini kamu dapat karena kemampuanmu sendiri? Tidak. Kamu hidup terlalu nyaman karena harta orang tuamu. Dan sekarang saatnya kamu belajar jadi perempuan yang tahu arah.”
“Oliv bukan barang, Eyang! Oliv manusia! Oliv bisa pilih hidup Oliv sendiri!” Olivia menatap datar, tapi suaranya pecah.
Ratih menutup mulutnya yang gemetar, air matanya nyaris tumpah. Bayu dan Camilla sama-sama terdiam. Tegangan di ruangan itu begitu padat hingga nyaris bisa dipotong dengan pisau.
Hadikusuma akhirnya berkata pelan tapi penuh tekanan, “Kalau kamu tidak mau menurut, kamu boleh keluar dari rumah ini. Jangan pernah minta satu rupiah pun dari kami.”
Olivia menahan napasnya. Tenggorokannya tercekat. Tapi ia tak mengalihkan pandang. “Baik. Kalau itu maunya Eyang, Oliv akan pergi.”
Ratih sontak berdiri. “Liv! Jangan seperti itu, Nak—”
Tapi Olivia sudah berbalik, naik ke kamarnya dengan langkah cepat.
Bayu memejamkan mata, menunduk dalam-dalam. Camilla menangis diam-diam. Ratih memegang dada kirinya, menahan sesak yang tiba-tiba datang.
Hadikusuma duduk kembali dengan wajah tanpa emosi.
“Lebih baik dia keras di awal. Daripada jadi perempuan lemah yang hanya tahu menuntut, tapi tidak tahu bersyukur.”
---
Olivia benar-benar melangkah pergi.
Dengan satu koper di tangan—penuh dengan baju-baju kesayangannya—ia turun dari tangga depan rumah besar itu tanpa menoleh sedikit pun. Hatinya bergemuruh, tapi wajahnya tetap keras. Camilla mengejarnya dengan mata sembab, berusaha menahan gadis itu di teras.
“Olivia, nak… tolong pikir lagi. Jangan seperti ini…” ucap Camilla, suaranya gemetar menahan tangis.
Ratih, yang sejak tadi menangis dalam diam, kini memeluk tubuh menantunya dengan wajah pucat. “Liv… Eyang mohon. Jangan tinggalkan rumah ini. Rumah ini selalu terbuka buatmu…”
Namun, Olivia hanya menarik napas dalam-dalam. “Maaf, Mami… Eyang… Tapi Oliv harus pergi. Oliv bukan anak kecil lagi,” katanya lirih.
Pintu gerbang terbuka. Seorang ojek online yang dipesan lewat aplikasi sudah menunggu.
Tanpa sepatah kata pun pada siapapun selain salam singkat, Olivia pergi meninggalkan rumah yang selama ini membesarkannya—dan mengekangnya.
---
Di ruang tengah yang hening, hanya suara napas berat terdengar.
Bayu berdiri terpaku, wajahnya pucat, bola matanya memerah karena terlalu banyak menahan emosi. “Pah… Papah nggak bisa seperti ini. Olivia masih muda. Dia masih butuh waktu untuk cari jati diri…”
Hadikusuma tak langsung menanggapi. Ia duduk di kursinya yang tinggi, tubuhnya tegak, dan matanya menatap tajam lurus ke arah pintu yang tadi dilalui Olivia.
Sampai akhirnya ia berkata dingin namun tegas, suaranya seperti cambuk:
“Mencari jati diri, katamu?”
Bayu menatap ayahnya dengan rahang mengeras, namun tak mampu menjawab.
Hadikusuma bangkit dari kursi dengan gerak perlahan namun penuh wibawa. Tatapannya kini menghujam tajam ke arah Bayu, membuat Camilla merapat pada suaminya.
“Kau terlalu lembek sebagai orang tua, Bayu. Itulah kenapa anakmu tidak punya batas. Karena setiap kali ia bertingkah, kalian pikir itu bagian dari ‘mencari jati diri’. Padahal itu pembiaran.”
Ia berjalan mendekat, berdiri di tengah ruang yang kini sunyi, hanya suara napas yang tersisa.
“Olivia lahir dengan sendok mas di mulutnya. Sejak bayi, semuanya sudah disediakan. Ia tak pernah tahu rasanya hidup tanpa AC, tanpa supir, tanpa kartu debit yang bisa ia gesek kapan saja. Kalian pikir anak seperti itu bisa hidup sendiri? Tidak! Dia bahkan tidak tahu harga sabun cuci baju! Jangan bodoh.”
“Pah…” Bayu menunduk, tapi suara ayahnya kian menusuk.
“Kita hidup dalam dunia yang kejam, Bayu. Dan cucumu itu—dengan segala kemanjaannya—tidak akan mampu bertahan. Biarkan dia jatuh. Kadang manusia harus jatuh untuk tahu rasanya sakit. Hanya setelah itu dia bisa belajar berdiri.”
Bayu menatap sang ayah, nadanya lirih. “Tapi dia masih anak-anak…”
Hadikusuma menyeringai kecil. “Justru karena itu aku ambil semua darinya. Kunci mobil, kartu ATM, dompet digital, bahkan ijazahnya sudah aku amankan. Aku tidak akan biarkan dia jatuh sampai hancur, tapi aku juga tidak akan menyodorkan tangan untuk menahannya. Biarkan dia mencium tanah dulu. Lalu kita lihat… apakah sendok mas itu masih bisa ia genggam.”
Camilla terisak, memeluk Ratih yang wajahnya kini sepucat kertas.
Bayu menggertakkan giginya. “Tapi Pah, Olivia anak kita…”
“Anak kita?” suara Hadikusuma naik satu oktaf. “Kalau benar dia anak kita, maka sudah saatnya dia belajar hidup sebagai manusia, bukan boneka rumah besar.”
Ia mengibaskan tangan ke arah Bayu. “Telepon anak buahmu. Suruh mereka blokir semuanya sekarang. Aku tidak mau satu rupiah pun bisa ia akses.”
Bayu memejamkan mata sesaat sebelum mengeluarkan ponselnya. Dengan jari gemetar, ia menekan nomor cepat.
“Pak Tio, tolong blokir semua akses rekening atas nama Olivia. ATM, e-wallet, semuanya. Sekarang.”
Setelah menutup telepon, ia memandang sang ayah dengan mata penuh sesal.
“Kalau dia kenapa-kenapa?” gumam Bayu pelan.
Hadikusuma memalingkan wajah ke jendela, menatap langit yang mulai mendung.
"Dia tidak akan kenapa-kenapa. Aku sudah siapkan mata untuk mengawasinya dari jauh. Tapi sampai dia menyerah dan kembali sendiri ke rumah ini… aku tidak akan sediakan payung. Biarkan dia merasa kehujanan dulu.”
---
Catatan tambahan:
Kalimat “sendok mas” atau born with a silver spoon dijelaskan secara elegan: sebagai simbol kehidupan mewah sejak lahir. Olivia tumbuh tanpa pernah tahu bagaimana menghadapi kesulitan hidup. Itu yang menjadi alasan Hadikusuma mengambil semua fasilitasnya.
Ketegasan Hadikusuma tidak datang dari kebencian, tetapi dari cinta yang keras: tough love.
Olivia sedang dalam proses menjadi dewasa… dan Hadikusuma memilih caranya sendiri untuk mendorong proses itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments