Sore itu, langit Jakarta merangkak tenang. Cahaya matahari menari malu-malu di sela jendela rumah mewah keluarga Hadikusuma. Udara di dalam rumah sejuk, tapi suasananya hangat—penuh senyum dan tawa setelah perayaan yang sederhana namun meriah.
Olivia Yvaine Hadikusuma baru saja menanggalkan kebaya cantiknya. Riasan wajahnya masih sempurna, rambutnya sedikit acak karena angin, tapi tetap memesona. Ia melangkah gontai ke ruang tengah dengan toga yang ia lempar asal ke lantai, lalu menjatuhkan diri ke sofa panjang berwarna gading.
Dengan kepala bersandar, matanya tertutup malas.
"Mbok Nahhhh!!!" teriaknya kencang, nyaring seperti biasa.
Teriakan itu langsung menggema di dalam rumah. Tak lama, dari arah dapur muncullah sosok wanita paruh baya, tubuhnya sedikit gemetar karena langkah tergesa. Kerudungnya sedikit miring, tapi senyumnya tetap ramah.
"Iya, Non. Ada yang bisa Mbok bantu?" tanya Mbok Nah sopan sambil membungkuk sedikit.
Olivia membuka satu matanya, mengangkat alis lalu menjawab dengan nada yang ribet dan khas dirinya.
"Buatin Oliv jus alpukat. Gulanya sedikit ya, airnya cuma beberapa mili aja, tapi jangan terlalu encer. Alpukatnya yang mateng, tapi bukan yang kematengan juga. Jangan dikasih es, nanti rasanya hambar."
Mbok Nah mengangguk pelan. Ia sudah terbiasa dengan perintah-perintah detil semacam itu.
"Siap, Non," sahutnya lembut sebelum berbalik menuju dapur.
Hadikusuma, yang duduk bersandar di kursi tua kesayangannya sambil memutar tasbih kecil di tangan kanan, hanya bisa menggelengkan kepala pelan.
Cucu semata wayangnya itu… Terlalu manja. Terlalu keras kepala. Dan, terlalu terbiasa mendapatkan segalanya tanpa usaha.
Ia sadar, semua ini bukan sepenuhnya salah Olivia. Justru, ia menyalahkan anaknya sendiri, Bayu, dan menantunya, Camilla, yang terlalu sering memanjakan gadis itu. Segala yang diminta Olivia, dituruti. Tidak ada batas. Tidak ada didikan yang cukup kuat menanamkan nilai.
"Olivia," panggil Hadikusuma, suaranya dalam dan tenang.
Gadis itu membuka matanya sedikit, lalu melirik ke arah Eyang Kakung-nya.
"Apa, Eyang?" jawabnya santai.
"Jangan bersikap seperti itu. Sopan santun kamu dijaga."
Olivia mengernyit, menautkan kedua alisnya.
"Oliv capek, Eyang..." keluhnya malas, suaranya nyaris seperti rengekan.
Hadikusuma menoleh ke arah Bayu yang sejak tadi berdiri di dekat tangga bersama Camilla. Pria itu menghela napas sebelum akhirnya ikut bersuara.
"Oliv," tegurnya pelan, nyaris tanpa tenaga.
Pandangan Olivia segera beralih pada ayahnya.
"Apalagi, Papi? Oliv cuma minta minum. Kenapa sih semua ribet banget?" ucapnya kesal, suaranya meninggi.
"Permintaanmu boleh, tapi caramu salah. Mbok Nah itu orang tua. Minta dengan sopan, bukan teriak-teriak." sambung Hadikusuma, nada suaranya masih terjaga.
Olivia hanya memutar matanya malas, lalu menoleh ke arah satu-satunya orang yang bisa ia taklukkan dengan mudah.
"Eyaaanngg..." panggilnya dengan suara manja, seraya merentangkan tangan ke arah Ratih.
Ratih yang sedari tadi duduk tenang di kursi rotan dekat jendela, langsung tersenyum. Ia bangkit perlahan dan menghampiri cucunya, lalu duduk di sebelah Olivia.
"Olivia sayang..." ucapnya lembut sambil memeluk tubuh mungil cucunya.
"Oliv capek, ya?" tanyanya pelan, tangannya mengelus punggung cucunya penuh kasih.
Gadis itu mengangguk lemah, membenamkan wajahnya di bahu Ratih.
"Mau Eyang temenin istirahat?"
"Mauu..." jawab Olivia, masih dengan nada merengek manja.
Ratih tersenyum kecil, lalu berkata, "Tapi janji dulu sama Eyang, ya?"
Olivia mengangkat wajahnya, menatap sang nenek dengan ekspresi bingung.
"Untuk ke depannya, kalau butuh apa-apa, kamu minta tolong ya? Minta tolong itu nggak susah, sayang. Masa cucu Eyang yang cantik jelita ini kasar begitu? Hmmm?"
Ratih menatap Olivia dalam-dalam. Bukan dengan marah, tapi dengan cinta yang begitu besar.
Olivia mendengus pelan, tapi akhirnya mengangguk.
"Iya..." jawabnya singkat, lalu kembali bergelayut manja.
Ratih mengelus punggung cucunya. Wajahnya menyiratkan cinta, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.
Hadikusuma memandangi keduanya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa cucunya tumbuh dengan cinta, tapi cinta yang kurang arah. Cinta yang dimanjakan dengan kemudahan. Ia tahu, selama ini ia dan istrinya tak banyak terlibat karena jarak. Mereka tinggal di Jogja, sementara Bayu dan keluarganya menetap di Jakarta. Tapi hatinya tak bisa diam lagi melihat Olivia tumbuh semakin jauh dari nilai-nilai penting dalam hidup.
Ia bahkan menyadari, Olivia nyaris kosong dalam urusan agama. Tidak ada pemahaman, tidak ada kebiasaan beribadah, tidak ada pembiasaan yang seharusnya dibentuk sejak kecil.
Camilla, menantunya, memang seorang wanita yang lembut. Wanita Prancis itu sudah memeluk Islam dengan tulus. Ia masuk Islam karena pernikahannya dengan Bayu, dan sejak itu ia berusaha menyesuaikan diri. Tapi sayangnya, dalam hal agama, Camilla sendiri masih belajar. Dan Bayu... Anaknya itu terlalu sibuk, terlalu ingin menjadi ayah yang menyenangkan, hingga lupa bahwa cinta sejati butuh arah dan batas.
Hadikusuma mendesah pelan.
Sudah saatnya sesuatu dilakukan. Bukan lagi lewat nasihat atau teguran. Tapi lewat tindakan nyata. Olivia harus bertemu dunia lain. Dunia yang berbeda dari gemerlap Jakarta dan kemanjaan yang membelenggunya.
---
Sudah pukul 01.30 dan Olivia belum pulang. Hadikusuma bolak-balik melirik jam di dinding mewah rumah anaknya. Detik jam berdetak nyaring di tengah ruang keluarga yang sunyi dan menegang. Di sofa ada Bayu, Camilla, dan Ratih yang ikut menunggu, masing-masing dengan kecemasan yang berbeda di wajah mereka.
"Ini hasil didikan kalian?" suara Hadikusuma akhirnya terdengar, pelan namun dingin seperti bilah baja.
Camilla menunduk, tak berani membalas. Bayu mengusap wajahnya kasar, gusar sekaligus malu.
"Olivia itu perempuan," lanjut Hadikusuma, nadanya mulai meninggi, "Tapi dia main sampai tengah malam begini. Tak tahu aturan. Tak tahu adab. Kalian biarkan dia tumbuh seenaknya. Kalian manjakan dia terlalu lama!"
“Pah…” Camilla mencoba bicara, suaranya lirih.
"Diam!" potong Hadikusuma. "Kamu dari dulu terlalu lemah menghadapi anak. Terlalu takut dia marah, terlalu takut dia menangis. Anakku pun sama—kau, Bayu!" Ia menatap Bayu tajam. “Kau ayah, tapi lebih banyak diam. Kau kepala keluarga atau hanya pajangan di rumah ini?"
Bayu mengembuskan napas panjang, matanya mulai memerah, tapi ia tak sanggup menyela. Tangan kirinya mengepal di atas lutut, mencoba menahan rasa malu dan kecewa pada dirinya sendiri.
Ratih, yang duduk di samping suaminya, mencoba menenangkan.
"Mas… tenangkan dulu hatimu, ya? Kita semua khawatir. Tapi mungkin ada baiknya tunggu Olivia pulang dulu. Kita tanya baik-baik, siapa tahu ada hal darurat—"
"Tidak, Ratih," potong Hadikusuma, kali ini suaranya lebih rendah, tapi tak kalah tajam. "Ini bukan soal malam ini saja. Ini soal bertahun-tahun pembiaran. Kalian besarkan dia tanpa disiplin, tanpa arah. Sekarang kalian lihat sendiri hasilnya."
Ia berjalan ke depan jendela, menyingkap tirai, menatap ke luar—gelap, hening, hanya gemerlap lampu jalan yang menyala temaram.
"Jika anak perempuan dibiarkan pulang semaunya, apa yang membedakan rumah ini dengan jalanan umum?" gumamnya.
Camilla menyeka air mata yang mengalir pelan. Suasana makin tegang.
"Mulai sekarang, aku yang akan bicara langsung pada Olivia," tegas Hadikusuma akhirnya. "Dan kau, Bayu, harus mulai jadi ayah. Kalau tidak sekarang, nanti akan terlambat."
Bayu hanya menunduk, rahangnya mengeras. Camilla menggenggam tangan suaminya, dan Ratih duduk membisu, memeluk kedua tangannya sendiri—menyimpan gelisah dalam diam.
Jam berdetak lagi.
Pukul 01.34.
Dan pintu rumah masih tertutup.
---
Bunyi deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Suara pintu pagar otomatis bergeser perlahan, diikuti rem mobil yang berdecit pelan. Camilla langsung bangkit berdiri, tapi Hadikusuma menahan dengan satu gerakan tangan.
“Duduk,” perintahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah pintu utama.
Tak lama, suara tumit tinggi beradu dengan lantai marmer memenuhi lorong rumah. Olivia masuk dengan senyum santai, tas kecil menggantung di siku, dan rambut tergerai rapi.
“Hai semua,” sapanya singkat, lalu hendak naik ke lantai dua.
“Berhenti di situ!” suara Hadikusuma menggema seperti gemuruh halilintar. Suasana yang tadinya tegang berubah mencekam.
Olivia menoleh. Alisnya terangkat heran. “Ada apa, Eyang?”
“Kamu pikir rumah ini tempat keluar masuk sesukamu?” tanya Hadikusuma, suaranya tajam. “Sudah pukul dua dini hari. Anak perempuan pulang tengah malam seperti ini? Mau jadi apa kamu?”
Olivia menarik napas. “Aku kan sudah dewasa, Kek. Aku cuma—”
“DEWASA?!” potong Hadikusuma, berdiri dan menghampiri cucunya. “Dewasa itu bukan soal umur! Tapi tahu diri! Tahu waktu! Tahu tempat!”
Bayu mengusap wajahnya kasar, tak sanggup menatap. Camilla berdiri, hendak menengahi, tapi Hadikusuma sudah lebih dulu bersuara.
“Dan kalian berdua!” tegurnya, menunjuk Camilla dan Bayu. “Inikah hasil didikan kalian? Anak perempuan pulang dini hari tanpa kabar, dan kalian duduk seperti patung?”
“Kami juga sudah berkali-kali menasihati, Pah...” ujar Camilla pelan, nyaris seperti bisikan.
“Kalau begitu kalian sudah gagal jadi orang tua,” desis Hadikusuma. “Dan Olivia...”
Ia menatap cucunya dalam. “Kalau kamu pikir kebebasan itu berarti bisa seenaknya, kamu salah besar. Kamu tinggal di rumah ini. Nama keluargamu adalah Hadikusuma. Dan itu bukan hanya nama, tapi harga diri.”
Olivia mengerucutkan bibir, matanya mulai memanas. Tapi sebelum sempat bicara, Hadikusuma mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya.
“Mulai malam ini, jam malam diberlakukan. Kamu hanya boleh keluar sampai pukul sepuluh malam. Kalau lewat, kunci pintu akan dikunci. Dan jangan harap mobil bisa keluar dari garasi tanpa izinku.”
“Eyang... please, ini bukan zaman penjajahan. Aku—”
“Memang bukan zaman penjajahan,” potong Hadikusuma. “Tapi selagi kamu tinggal di rumah ini, kamu ikut aturanku. Kalau merasa tak cocok, silakan angkat kaki!”
“Mas…” Ratih, istri Hadikusuma, berdiri dengan wajah cemas. “Jangan terlalu keras...”
Tapi Hadikusuma tak menggubris. Sorot matanya tak bergeming. Ia menatap Olivia dalam-dalam, hingga gadis itu akhirnya menunduk.
Tak ada yang berani bicara. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak lambat namun pasti, seperti menegaskan bahwa waktu tak akan pernah kembali. Dan malam itu, rumah Hadikusuma kembali tenggelam dalam diam yang mencekam.
“Sudah saatnya aku bicara,” ucap Hadikusuma sembari meletakkan sendok terakhirnya di sisi piring porselen. Suara logam halus menyentuh keramik meja makan menandai ketegasan—dan ketegangan—yang akan menyusul.
Bayu, Camilla, dan Ratih secara bersamaan menoleh. Mata mereka terfokus pada lelaki tua itu. Sorot matanya tidak berubah sejak subuh: tajam dan penuh keputusan.
“Aku akan mempercepat perjodohan Olivia,” lanjut Hadikusuma, datar, namun tegas. Tidak ada ruang untuk diskusi dalam nada suaranya.
Suasana ruang makan itu mendadak membeku. Bahkan dentingan sendok kecil yang tadi terdengar kini seperti tak berani muncul kembali.
“Pah?” Bayu bersuara pelan, nyaris seperti bisikan yang tertahan di tenggorokannya. “Olivia baru saja wisuda beberapa hari yang lalu. Dia pasti ingin bekerja, mencoba mandiri dan—”
“Bekerja?” Hadikusuma langsung memotong, tak membiarkan putranya menyelesaikan kalimat. Nada suaranya naik satu oktaf, penuh sorotan. “Untuk apa? Menjadi perempuan kota yang bebas keluar masuk malam seperti semalam? Tidak tahu adab? Tidak paham waktu? Atau… ingin aku biarkan dia memilih pasangan sekehendaknya lalu berakhir mempermalukan nama keluarga ini?”
Camilla menunduk, kedua tangannya gemetar di bawah meja. Ia tidak berani menyela, meski hatinya memihak anaknya. Ratih meletakkan tangan lembut di punggung Bayu, mencoba menenangkan suaminya yang tampak mulai gelisah.
Hadikusuma menghela nafas berat "Anak perempuan yang tak tahu tanggung jawab harus dibenahi. Kalau orang tuanya tak mampu membimbing, biar aku yang turun tangan. Lagipula, aku ragu Olivia benar-benar ingin bekerja. Dia sudah terlalu nyaman hidup bergelimang harta kalian. Kalian masih yakin dia akan sungguh-sungguh bekerja?"
“Pah… Olivia belum tahu apa-apa tentang perjodohan ini,” ucap Camilla lirih, nyaris seperti permohonan. “Dia pasti kaget. Apalagi… dia masih muda, belum mengerti dunia rumah tangga.”
“Dan karena itulah, dia perlu diarahkan. Kita bukan keluarga yang bisa membiarkan gadis muda hidup seolah tanpa batas,” jawab Hadikusuma, tatapannya menusuk ke Camilla.
Ratih akhirnya angkat suara, dengan nada lebih lembut namun tetap penuh kehormatan. “Mungkin… kita bisa bicara baik-baik dulu dengan Olivia, Yah. Dia memang keras kepala, tapi… dia anak yang baik.”
“Baik?” Hadikusuma mengulang kata itu seperti menggugat. “Sejak kapan anak baik pulang pukul dua pagi? Sejak kapan gadis dari keluarga Hadikusuma berani mengabaikan subuh demi tidur panjangnya? Bahkan hari ini, ia belum bangun.”
Tak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya bunyi detik jam besar yang berdiri di sudut ruangan. Semua diam, karena tahu: Hadikusuma sudah memutuskan.
“Pernikahan akan diatur dalam waktu dekat. Aku sudah siapkan calon yang pantas sedari dulu. Latar belakangnya bersih, keluarganya terhormat. Dan yang terpenting, dia bisa mendidik Olivia.”
“Siapa, Pah?” tanya Bayu dengan suara berat, meski ia sudah tahu bahwa pertanyaannya hanya sekadar formalitas.
“Kepala desa muda di daerah Lamiran. Namanya Maalik Faruq Alfarizi. Lulusan luar negeri, kembali ke kampung halamannya membangun tanah leluhurnya. Disiplin. Tegas. Bukan lelaki kota yang lembek.”
Sekali lagi, tak ada yang bersuara. Karena pada akhirnya, jika Hadikusuma yang berbicara, maka keputusan adalah titah.
Sementara itu, di lantai atas, Olivia masih tertidur pulas dalam dekapan selimut berbulu tebalnya. Hingar-bingar dunia di meja makan tak menjangkaunya—belum. Bahkan cahaya pagi pun belum ia ijinkan masuk ke hidupnya hari itu.
Namun waktu tak akan lama lagi bersabar.
---
Olivia baru saja turun dari tangga, rambutnya masih berantakan dan piyamanya belum berganti. Ia melirik sekilas ke ruang makan yang kini sudah sepi, hanya ada Mbok Nah yang sedang membereskan piring sarapan.
"Papi mana?" tanyanya sembari menguap.
"Di ruang tamu, Non. Sama Eyang Kakung, Eyang Putri dan Ibu Camilla."
Tanpa pikir panjang, Olivia melangkah ke ruang tamu. Tapi belum sempat ia duduk, suara dingin Hadikusuma langsung memotong suasana.
"Akhirnya bangun juga. Sudah jam sepuluh lewat."
Olivia mengangkat alis. "Kenapa? Ada yang terbakar?"
Hadikusuma berdiri, tubuh tegapnya tampak seperti tak tergerus usia. Ia berjalan pelan ke arah Olivia, menatap cucu perempuannya dari ujung kepala hingga kaki.
"Sudah saatnya kamu bersiap. Kita akan membicarakan perjodohanmu."
Olivia menegakkan tubuhnya. “Perjodohan?”
Bayu langsung berdiri, mencoba menengahi. “Pah, mungkin terlalu pagi membahas ini. Olivia baru bangun, biar—”
"Justru karena sudah terlalu lama dibiarkan, makanya seperti ini hasilnya," tegas Hadikusuma. Ia lalu berbalik pada Olivia. “Kamu akan dijodohkan dengan anak sahabat lama Eyang. Namanya Maalik Faruq Alfarizi. Lulusan luar negeri, santun, dan baik agamanya.”
Olivia tertawa sinis. “Lucu. Pagi-pagi, Oliv malah dikasih sinetron.”
“Ini bukan tawaran, Olivia. Ini keputusan.” Hadikusuma melipat tangannya di dada.
“Oliv baru lulus. Oliv punya rencana hidup sendiri,” bantah Olivia.
“Rencana hidup yang mana? Keluyuran sampai tengah malam? Tidur sampai lewat subuh? Tidak pernah ikut salat berjamaah, tidak pernah turun tangan bantu ibumu, bahkan bicara pun seperti tidak kenal adab?”
“Jangan bawa agama ke sini kalau cuma untuk menekan Oliv, Eyang,” suara Olivia bergetar, marah, tapi tetap tak bisa menyembunyikan goresan luka yang mulai muncul.
Hadikusuma melangkah mendekat, matanya tajam. “Kamu pikir hidup ini mainan? Kamu pikir semua ini kamu dapat karena kemampuanmu sendiri? Tidak. Kamu hidup terlalu nyaman karena harta orang tuamu. Dan sekarang saatnya kamu belajar jadi perempuan yang tahu arah.”
“Oliv bukan barang, Eyang! Oliv manusia! Oliv bisa pilih hidup Oliv sendiri!” Olivia menatap datar, tapi suaranya pecah.
Ratih menutup mulutnya yang gemetar, air matanya nyaris tumpah. Bayu dan Camilla sama-sama terdiam. Tegangan di ruangan itu begitu padat hingga nyaris bisa dipotong dengan pisau.
Hadikusuma akhirnya berkata pelan tapi penuh tekanan, “Kalau kamu tidak mau menurut, kamu boleh keluar dari rumah ini. Jangan pernah minta satu rupiah pun dari kami.”
Olivia menahan napasnya. Tenggorokannya tercekat. Tapi ia tak mengalihkan pandang. “Baik. Kalau itu maunya Eyang, Oliv akan pergi.”
Ratih sontak berdiri. “Liv! Jangan seperti itu, Nak—”
Tapi Olivia sudah berbalik, naik ke kamarnya dengan langkah cepat.
Bayu memejamkan mata, menunduk dalam-dalam. Camilla menangis diam-diam. Ratih memegang dada kirinya, menahan sesak yang tiba-tiba datang.
Hadikusuma duduk kembali dengan wajah tanpa emosi.
“Lebih baik dia keras di awal. Daripada jadi perempuan lemah yang hanya tahu menuntut, tapi tidak tahu bersyukur.”
---
Olivia benar-benar melangkah pergi.
Dengan satu koper di tangan—penuh dengan baju-baju kesayangannya—ia turun dari tangga depan rumah besar itu tanpa menoleh sedikit pun. Hatinya bergemuruh, tapi wajahnya tetap keras. Camilla mengejarnya dengan mata sembab, berusaha menahan gadis itu di teras.
“Olivia, nak… tolong pikir lagi. Jangan seperti ini…” ucap Camilla, suaranya gemetar menahan tangis.
Ratih, yang sejak tadi menangis dalam diam, kini memeluk tubuh menantunya dengan wajah pucat. “Liv… Eyang mohon. Jangan tinggalkan rumah ini. Rumah ini selalu terbuka buatmu…”
Namun, Olivia hanya menarik napas dalam-dalam. “Maaf, Mami… Eyang… Tapi Oliv harus pergi. Oliv bukan anak kecil lagi,” katanya lirih.
Pintu gerbang terbuka. Seorang ojek online yang dipesan lewat aplikasi sudah menunggu.
Tanpa sepatah kata pun pada siapapun selain salam singkat, Olivia pergi meninggalkan rumah yang selama ini membesarkannya—dan mengekangnya.
---
Di ruang tengah yang hening, hanya suara napas berat terdengar.
Bayu berdiri terpaku, wajahnya pucat, bola matanya memerah karena terlalu banyak menahan emosi. “Pah… Papah nggak bisa seperti ini. Olivia masih muda. Dia masih butuh waktu untuk cari jati diri…”
Hadikusuma tak langsung menanggapi. Ia duduk di kursinya yang tinggi, tubuhnya tegak, dan matanya menatap tajam lurus ke arah pintu yang tadi dilalui Olivia.
Sampai akhirnya ia berkata dingin namun tegas, suaranya seperti cambuk:
“Mencari jati diri, katamu?”
Bayu menatap ayahnya dengan rahang mengeras, namun tak mampu menjawab.
Hadikusuma bangkit dari kursi dengan gerak perlahan namun penuh wibawa. Tatapannya kini menghujam tajam ke arah Bayu, membuat Camilla merapat pada suaminya.
“Kau terlalu lembek sebagai orang tua, Bayu. Itulah kenapa anakmu tidak punya batas. Karena setiap kali ia bertingkah, kalian pikir itu bagian dari ‘mencari jati diri’. Padahal itu pembiaran.”
Ia berjalan mendekat, berdiri di tengah ruang yang kini sunyi, hanya suara napas yang tersisa.
“Olivia lahir dengan sendok mas di mulutnya. Sejak bayi, semuanya sudah disediakan. Ia tak pernah tahu rasanya hidup tanpa AC, tanpa supir, tanpa kartu debit yang bisa ia gesek kapan saja. Kalian pikir anak seperti itu bisa hidup sendiri? Tidak! Dia bahkan tidak tahu harga sabun cuci baju! Jangan bodoh.”
“Pah…” Bayu menunduk, tapi suara ayahnya kian menusuk.
“Kita hidup dalam dunia yang kejam, Bayu. Dan cucumu itu—dengan segala kemanjaannya—tidak akan mampu bertahan. Biarkan dia jatuh. Kadang manusia harus jatuh untuk tahu rasanya sakit. Hanya setelah itu dia bisa belajar berdiri.”
Bayu menatap sang ayah, nadanya lirih. “Tapi dia masih anak-anak…”
Hadikusuma menyeringai kecil. “Justru karena itu aku ambil semua darinya. Kunci mobil, kartu ATM, dompet digital, bahkan ijazahnya sudah aku amankan. Aku tidak akan biarkan dia jatuh sampai hancur, tapi aku juga tidak akan menyodorkan tangan untuk menahannya. Biarkan dia mencium tanah dulu. Lalu kita lihat… apakah sendok mas itu masih bisa ia genggam.”
Camilla terisak, memeluk Ratih yang wajahnya kini sepucat kertas.
Bayu menggertakkan giginya. “Tapi Pah, Olivia anak kita…”
“Anak kita?” suara Hadikusuma naik satu oktaf. “Kalau benar dia anak kita, maka sudah saatnya dia belajar hidup sebagai manusia, bukan boneka rumah besar.”
Ia mengibaskan tangan ke arah Bayu. “Telepon anak buahmu. Suruh mereka blokir semuanya sekarang. Aku tidak mau satu rupiah pun bisa ia akses.”
Bayu memejamkan mata sesaat sebelum mengeluarkan ponselnya. Dengan jari gemetar, ia menekan nomor cepat.
“Pak Tio, tolong blokir semua akses rekening atas nama Olivia. ATM, e-wallet, semuanya. Sekarang.”
Setelah menutup telepon, ia memandang sang ayah dengan mata penuh sesal.
“Kalau dia kenapa-kenapa?” gumam Bayu pelan.
Hadikusuma memalingkan wajah ke jendela, menatap langit yang mulai mendung.
"Dia tidak akan kenapa-kenapa. Aku sudah siapkan mata untuk mengawasinya dari jauh. Tapi sampai dia menyerah dan kembali sendiri ke rumah ini… aku tidak akan sediakan payung. Biarkan dia merasa kehujanan dulu.”
---
Catatan tambahan:
Kalimat “sendok mas” atau born with a silver spoon dijelaskan secara elegan: sebagai simbol kehidupan mewah sejak lahir. Olivia tumbuh tanpa pernah tahu bagaimana menghadapi kesulitan hidup. Itu yang menjadi alasan Hadikusuma mengambil semua fasilitasnya.
Ketegasan Hadikusuma tidak datang dari kebencian, tetapi dari cinta yang keras: tough love.
Olivia sedang dalam proses menjadi dewasa… dan Hadikusuma memilih caranya sendiri untuk mendorong proses itu.
Hari keempat Olivia hidup di luar rumah bukan lagi glamor seperti dalam film atau sinetron. Tidak ada bantal satin, tidak ada kamar mandi marmer dengan bath bomb wangi lavender. Satu koper pakaiannya sudah berantakan, hotel bintang lima yang ia sewa di hari pertama sudah tak bisa lagi ditinggali karena saldo di ATM-nya ditolak saat mencoba memperpanjang masa inap.
Sisa uang tunai yang ia miliki habis dalam dua hari. Hari pertama, ia check-in dengan santai ke kamar deluxe di hotel mewah kawasan SCBD, memesan room service tanpa pikir panjang, dan membeli setelan tidur baru dari butik hotel karena katanya, "Gue nggak bisa tidur kalo bukan piyama silk." Hari kedua, Olivia masih sempat facial. Hari ketiga, kartu debitnya ditolak. Hari keempat, dompet digitalnya diblokir. Ia mulai panik.
Sekarang, ia menyeret kopernya di trotoar panas, rambut acak-acakan, sandal mules-nya lecet. Wajahnya kusam. Make up tak lagi menempel sempurna. Kacamata hitam mahalnya pun kini hanya menutupi matanya yang sembab dan kelelahan.
Langkahnya tergesa dan tidak fokus saat tiba-tiba—
Bruk!
Bahu Olivia membentur keras tubuh seseorang. Kacamatanya miring, kopernya hampir terjungkal.
“Hei!” Olivia langsung melotot, dengan suara tinggi dan sengak. “Mata lo dimana, sih?! Jalan nggak liat-liat?!” bentaknya kasar dengan aksen Jaksel yang kental, bibirnya bergetar, bukan karena marah, tapi karena hampir meledak menahan emosi.
Lelaki itu tampak terkejut. Sekilas usianya mungkin akhir dua puluhan, berpakaian sederhana tapi rapi. Ia sempat menoleh, memastikan tidak ada yang luka.
“Maaf, saya nggak sengaja…” ucapnya pelan, matanya menatap Olivia dengan bingung.
“Ya nggak sengaja kepala lo! Lo tuh jalan, ya jalan aja. Jangan jadi zombie. Astaga... get outta my way, loser,” dengus Olivia kasar, lalu menyibakkan rambutnya dan melenggang pergi begitu saja.
Lelaki itu tak menjawab, hanya menggeleng pelan. “Astaghfirullah…” gumamnya lirih, seraya menatap punggung Olivia yang menjauh dengan langkah sombong namun terlihat limbung.
—
Sore itu, Olivia terduduk di halte bus, menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang mulai menggelayut. Ia benar-benar tak tahu harus ke mana. Sinyal ponselnya lemah, dan setiap aplikasi pembayaran online miliknya sudah tidak bisa diakses. Notifikasi dari perbankan terakhir yang ia terima adalah: "Akun Anda dibekukan sesuai permintaan pemilik rekening induk."
“Papi lo bener-bener parah sih, Liv…” gumamnya sendiri. Tapi bahkan saat menggerutu, suaranya terdengar lelah dan nyaris putus asa.
Perutnya berbunyi. Ia belum makan sejak pagi. Ia tidak punya uang untuk membeli air minum, apalagi latte caramel kesukaannya. Olivia memandangi pantulan dirinya di kaca halte—mata sembab, rambut berantakan, dan ekspresi kaku penuh kelelahan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa jatuh bebas dari langit emas tempat ia biasa hidup.
Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri.
Tapi tubuhnya tak bisa lagi diajak kompromi.
Hidup dengan sendok emas sejak kecil membuatnya tak pernah tahu rasanya hidup susah. Semua keinginannya dikabulkan. Ia bisa menyuruh siapa pun, kapan pun. Mau makan tinggal pesan, mau belanja tinggal tunjuk.
Sekarang?
Sekadar duduk di pinggir jalan saja terasa seperti kehinaan terbesar dalam hidupnya.
Dan ia tahu…
Kakeknya, Hadikusuma, sedang menyaksikan semua ini dari jauh. Mungkin lewat orang-orang bayaran. Mungkin lewat kamera yang ia pasang di sekeliling hidupnya. Atau mungkin… hanya lewat intuisi seorang pria tua yang terlalu tahu betul cucu semata wayangnya.
Tapi yang jelas, Olivia mulai sadar: ia sedang dijatuhkan bukan karena benci… tapi karena ingin diajarkan.
Dan yang lebih menyakitkan?
Ia tak punya siapa pun untuk mengeluh sekarang.
Tidak sahabat. Tidak uang. Tidak keluarga.
Hanya dirinya… dan kenyataan bahwa dunia tidak lagi memanggilnya Princess.
Gerimis membasahi atap taksi ketika Olivia akhirnya memutuskan pulang. Setelah empat hari di luar rumah, tubuhnya letih, matanya sembab, dan kepala terasa berat karena kurang tidur. Hotel mewah yang ia sewa di hari pertama kini tinggal kenangan; uangnya sudah ludes hanya untuk dua malam di kamar suite, makanan mahal, dan satu stel pakaian yang dibelinya di mal. Hari ketiga ia tidur di bangku lobi hotel setelah tak bisa membayar perpanjangan kamar. Hari keempat, ia bahkan makan mie instan yang dibelikan oleh resepsionis yang iba melihat keadaannya.
Olivia tak sanggup lagi. Seluruh dompet digitalnya terblokir. ATM tak bisa digunakan. Mobilnya tak ada. Bahkan satu-satunya kontak keluarga yang ia hubungi—maminya—hanya menjawab dengan suara tangis dan "Maafin Eyang ya, Nak…"
Ia menyerah.
Saat taksi berhenti di depan pagar besar rumahnya, Olivia menghela napas berat. Tubuhnya masih mengenakan hoodie abu-abu, wajah tanpa makeup, dan rambut kusut yang tak sempat ia tata selama berhari-hari.
“Bayarin, Pak… saya udah nggak punya uang,” katanya lirih ke satpam rumahnya.
Pak Tio, satpam yang sudah bekerja belasan tahun di rumah keluarga Hadikusuma, terbelalak saat melihat gadis muda itu turun dari taksi dengan koper compang-camping.
“Non Oliv?” serunya kaget, segera berlari ke arah taksi dan membayar dengan dompet pribadinya. “Non nggak apa-apa? Astaga… ayo masuk dulu, Non, ayo…”
Olivia tak menjawab. Ia hanya melangkah masuk, menyeret kopernya yang berdebu, sementara tubuhnya menggigil pelan karena kelelahan dan dinginnya hujan tipis yang turun dari langit Jakarta sore itu.
Begitu pintu utama dibuka, aroma khas rumahnya menyambutnya—campuran bunga segar di ruang tamu dan kayu jati yang mengilap. Lampu kristal di langit-langit menyala lembut. Langkah Olivia terasa berat.
Di balik ruang tengah, suara langkah kaki terdengar. Hadikusuma muncul, berdiri tegak dengan tongkat kayunya. Wibawanya tetap utuh, matanya tajam meski tubuhnya tak sekuat dulu.
Olivia menegakkan dagu. Meski lelah, ia masih menyimpan sedikit harga diri.
“Oliv pulang,” katanya datar.
Hadikusuma mengamati cucunya dari ujung kepala hingga kaki. Ia menatap cucu semata wayangnya itu. Ada garis-garis marah di wajah tuanya, namun sorot mata itu masih sama—penuh kuasa, penuh kontrol.
“Pulang?” tanyanya sinis. “Rumah ini bukan tempat pelarian, Olivia. Ini tempat untuk mereka yang siap menerima konsekuensi.”
“Oliv cuma… butuh istirahat sebentar,” Olivia mencoba mencari alasan.
Hadikusuma mencibir. “Empat hari. Hotel bintang lima. Makan delivery. Gaya hidupmu lebih boros dari CEO perusahaan digital. Dan sekarang, kamu pulang karena kehabisan uang. Itu bukan istirahat, itu kalah.”
Olivia menunduk. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
“Kau pikir hidup bisa kau bentuk seenak lidahmu? Dunia tidak peduli kamu siapa. Dunia hanya akan memeluk mereka yang berjuang. Kau bukan petarung, Olivia. Kau hanya boneka porselen yang pecah begitu uang tak lagi menyelimuti.”
Bayu, yang sejak tadi berdiri di tangga atas, tak sanggup bicara. Ia ingin membela anaknya, tapi ia tahu, ayahnya tak pernah salah dalam membaca manusia. Dan hari ini, Olivia memang pulang dengan kepala tertunduk.
Hadikusuma melangkah mendekat, menatap mata cucunya dari dekat. “Kau kira hidupmu ini bebas? Tidak, Liv. Bahkan sebelum kau lahir, masa depanmu sudah kujaga. Sudah kusiapkan. Kau pikir aku diam selama ini? Tidak. Hari ini, kau pulang tepat waktu.”
Olivia memandang kakeknya, bingung. “Maksud Eyang?”
“Kau akan menikah,” ujar Hadikusuma datar.
Jantung Olivia seperti berhenti berdetak.
“Apa?!”
Hadikusuma tidak mengulang.
“Kau akan bertemu dengan seseorang sore ini. Dia bukan orang asing. Perjodohan ini sudah kutanam bahkan sebelum ibumu melahirkanmu. Hari ini, pohonnya tumbuh. Dan kau, cucu Hadikusuma, akan menikmatinya. Suka atau tidak.”
“Oliv nggak—”
“Kau tidak punya pilihan,” potong Hadikusuma tajam. “Kecuali kau ingin kembali tidur di emperan, tanpa kartu ATM, tanpa uang, dan tanpa keluarga. Dunia tak akan memberimu pelukan, Liv. Hanya aku yang masih bersedia membuka pintu.”
Olivia merasa darahnya menguap dari tubuh. Kepulangannya tak menyelamatkannya dari kehancuran. Sebaliknya, kepulangannya justru membuka pintu ke dunia yang lebih mengerikan—pernikahan yang tak pernah ia inginkan.
Tapi ia tahu… melawan Hadikusuma adalah hal paling mustahil di dunia ini.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Olivia benar-benar tidak punya pilihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!