[ BAB 4 ] Takdir yang Dipaksa

Malam itu, Olivia telah berganti pakaian. Gaun tidur sutra warna gading membalut tubuh mungilnya, dan rambutnya yang semula berantakan kini tertata rapi dalam balutan jepit mutiara. Ia tampak lebih segar setelah mandi, meski matanya masih menyiratkan letih yang tak bisa disembunyikan. Di kursi makan, ia duduk bersandar lesu, sementara Camilla—maminya—dengan sabar menyuapi suapan demi suapan ke mulut sang putri.

Olivia makan dengan lahap. Rasa lapar yang ia tahan sejak pagi seakan meledak sekaligus. Ia bahkan tak sempat bicara, hanya mengunyah cepat-cepat, meneguk air putih dalam-dalam. Di ujung meja makan panjang, Hadikusuma memperhatikannya dengan tatapan dalam.

Ia diam, namun tatapan itu menyimpan berbagai lapisan emosi: kekhawatiran, sayang yang terpendam, juga kegundahan yang tak bisa ia utarakan. Ia mencintai cucunya, lebih dari yang bisa ia tunjukkan. Tapi ia sadar, cinta saja tak cukup untuk membimbing seorang gadis yang mulai hilang arah di tengah arus kehidupan ibukota.

Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, suara Hadikusuma akhirnya memecah malam.

"Besok sore, keluarga calon kamu akan datang," ucapnya tenang namun mantap.

Suapan yang baru saja masuk ke mulut Olivia langsung tersedak. Ia memegangi tenggorokannya, terbatuk-batuk. Matanya membelalak.

“Eyang... Olivia belum bilang setuju!!” geramnya setengah berteriak, meletakkan sendok dengan suara nyaring ke atas piring.

Hadikusuma tak bereaksi keras. Ia hanya mengangkat sebelah alis, lalu berkata dengan suara berat yang mengandung kuasa.

“Eyang tidak perlu meminta persetujuan kamu. Dengan kamu kembali ke rumah ini, itu sudah cukup jadi tanda bahwa kamu setuju. Kalau kamu tidak mau, pintu keluar terbuka lebar.”

Olivia membeku di tempat. Matanya bergerak pelan ke arah papinya, seolah mencari pembelaan terakhir.

“Papiii…” panggilnya lirih, nyaris memelas.

Bayu, yang duduk di samping Camilla, menatap putrinya dalam-dalam. Ia menggenggam tangan Olivia dengan lembut, memberikan kehangatan yang selama ini selalu berhasil menenangkan.

“Demi kebaikan kamu, Sayang…” ucapnya pelan, penuh kasih sayang.

Tapi malam ini, kata-kata Papi-nya tak cukup ampuh untuk memadamkan bara di hati Olivia. Gadis itu menarik tangannya dengan kesal, lalu menatap mereka satu per satu—Camilla, Bayu, dan Hadikusuma.

"Olivia belum kenal sama orang itu! Gimana kalau dia jahat? Kalau dia KDRT, terus Olivia harus menderita seumur hidup?!" suaranya meninggi, nadanya penuh tuduhan dan ketakutan.

“Hilangkan pikiran negatif kamu, Olivia,” sela Hadikusuma tegas. “Maalik itu orang baik. Eyang kenal betul siapa dia.”

“Siapa tadi namanya?” Olivia memicingkan mata, setengah mengejek.

“Maalik Faruq Alfarizi,” jawab Hadikusuma, tetap dengan nada datarnya. “Dia kepala desa di daerah Lamiran. Besok dia akan datang bersama keluarganya.”

“Apa?!” Olivia bangkit dari duduknya, napasnya memburu. “Kepala desa?! Eyang serius? Olivia dijodohin sama kepala desa? Yang bener aja! Eyang pikir ini tahun berapa?!”

“Jaga intonasi kamu, Olivia,” tegur Hadikusuma, suara prianya berat dan tajam. “Maalik masih muda. Umurnya dua puluh sembilan tahun. Tapi dia sudah jadi kepala desa karena kecakapannya. Lulusan S1 dari UGM dan S2 dari UI. Orangnya cerdas, berwibawa, dan…”

“Eyang tahu dari mana kalau dia baik?! Jangan-jangan itu cuma kedok! Bisa aja dia ngibul supaya dapet cewek kota!”

Sekali lagi, Olivia mencoba membela diri dengan akal logisnya yang kalut. Tapi Hadikusuma hanya memijit pelipisnya, menahan letupan emosi yang nyaris meledak. Lalu dengan sorot mata yang dingin namun sarat keyakinan, ia menatap cucunya.

“Eyang kenal Maalik sejak dia bayi,” ujarnya singkat, tegas.

Olivia tak bisa berkata-kata. Ia tercenung, lalu duduk kembali dengan keras, tangannya mengusap wajah dengan frustasi.

Camilla menatap anaknya dengan iba, lalu meraih tangan gadis itu.

“Coba dulu kenalannya, Sayang,” bujuknya lembut. “Kamu nggak tahu kalau kamu belum mencoba.”

Olivia menggeleng cepat. “Ini bukan coba-coba, Mi… Ini hidup Olivia. Masa depan Olivia. Kenapa semua orang di rumah ini bertindak seakan Olivia nggak punya hak milih?”

Hadikusuma bangkit dari duduknya. Suaranya makin rendah, tapi mengandung kuasa yang tak bisa ditawar.

“Karena kamu sudah terlalu lama hidup tanpa arah. Dan Eyang sudah terlalu lama membiarkan kamu memilih jalan yang akhirnya menghancurkan diri kamu sendiri. Sekarang giliran Eyang yang ambil alih. Eyang sudah menjodohkan kamu sejak kamu belum lahir”

Olivia membuang wajahnya, rahangnya mengeras, bola matanya bergetar menahan amarah. Tangannya mengepal erat di atas pangkuan, sementara tubuhnya menegang meski masih duduk di sofa panjang ruang keluarga yang megah itu.

“Sejak bayi?” gumamnya setengah tertawa tak percaya. “Jadi... perjodohan ini udah direncanain sejak aku belum lahir?!”

Hadikusuma menegakkan punggung. Tangannya menyatu di atas tongkat kayu ukir pemberian sahabat lamanya dulu. Pandangannya tajam, penuh wibawa, seperti seorang raja yang tak ingin ada suara sumbang dalam putusan istananya.

“Benar,” ucapnya tenang. “Maalik adalah anak dari sahabat karib Eyang semasa muda. Kami sudah saling berjanji akan menyatukan keluarga jika takdir memungkinkan.”

“Tapi ini bukan zaman kerajaan, Eyang!” Olivia berdiri mendadak, tubuhnya bergetar. “Oliv bukan barang yang bisa ditukar demi nostalgia masa lalu!”

Camilla spontan berdiri, tangannya terangkat seperti hendak menenangkan putrinya. “Sayang, duduk dulu... jangan emosi seperti ini...”

Namun Olivia menepis pelan tangan ibunya, matanya mulai berkaca. Bayu yang sedari tadi diam, hanya mampu menghela napas berat.

“Papi... kenapa sih nggak ada yang tanya perasaan Olivia? Apa kalian pikir aku cuma akan nurut dan pasrah?!” isaknya mulai terdengar, meski ia berusaha menahan agar suaranya tak pecah.

Bayu menatap mata putrinya yang berkaca, kemudian berdiri perlahan. Ia berjalan mendekat dan menyentuh pundak Olivia.

“Kamu tahu Papi sayang kamu,” ucapnya lirih. “Tapi ini semua bukan untuk menghukummu. Ini demi masa depan kamu, Liv.”

“Masa depan?” Olivia mendengus. “Masa depan macam apa yang kalian harapkan dari seorang pria yang bahkan aku nggak kenal?!”

“Lalu, dengan siapa kamu ingin menikah?” tukas Hadikusuma cepat. “Dengan lelaki yang membuatmu mabuk di klub malam itu? Dengan lingkungan yang merusakmu tanpa kamu sadari? Dunia luar tak seperti yang kamu bayangkan, Olivia.”

Olivia menunduk, bibirnya gemetar. Ia tidak bisa membantah ucapan itu—karena sebagian dari kata-kata Eyangnya memang benar.

Tapi tetap saja...

“Olivia bisa memilih jalan sendiri, Eyang... Olivia cuma butuh waktu buat membuktikan itu.”

Hadikusuma menggeleng. “Kamu sudah cukup diberi waktu. Bertahun-tahun Olivia hidup semaunya. Sekarang waktunya kamu belajar hidup dalam tanggung jawab.”

“Dengan menikahi orang asing?!” Olivia nyaris menjerit. “Ini bukan tanggung jawab, ini hukuman!”

Suasana menegang. Camilla memejamkan mata, bibirnya bergetar menahan tangis. Sementara Bayu menatap Olivia dengan wajah nelangsa—terjepit di antara bakti pada ayahnya dan cinta pada anaknya.

Hadikusuma mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Dengarkan baik-baik, Olivia. Keluarga Maalik akan datang besok sore. Kalian hanya akan makan malam. Bicara. Tidak lebih. Eyang tidak akan menikahkan kamu hari ini juga. Tapi kamu harus menghormati perjanjian ini.”

Olivia memejamkan mata, air matanya jatuh, membasahi pipi yang memerah karena emosi. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hingga hampir sobek.

Suaranya lirih saat berkata, “Kalau Olivia menolak... Eyang tetap akan paksa?”

Hadikusuma tak menjawab langsung. Hanya napasnya yang terdengar berat sebelum akhirnya berkata,

“Kalau kamu menolak... maka kamu harus keluar dari rumah ini. Dan tidak akan mendapat warisan satu sen pun dari keluarga ini.”

Seketika ruangan hening. Hanya detik jam antik di dinding yang berdentang memecah keheningan.

Camilla menutup mulutnya, tercekat. Bayu menggeleng lemah, tak menyangka kata-kata sekeras itu keluar dari bibir ayahnya.

Olivia mendongak perlahan. Tatapannya tak lagi gemetar, melainkan berubah jadi tajam dan penuh luka.

“Baik, Eyang,” bisiknya dingin. “Besok Olivia akan bertemu pria itu.”

Hadikusuma mengangguk tipis, tapi Olivia belum selesai.

“Tapi jangan pernah harap Olivia akan menyerah begitu saja.”

Ia berbalik cepat, melangkah menuju tangga. Gaun tidurnya berkibar ringan, menandai kepergiannya dari ruangan yang penuh bara itu.

Begitu pintu kamarnya tertutup keras, Bayu hanya bisa mengusap wajahnya yang lelah.

Sementara Hadikusuma, meski wajahnya tetap keras, matanya redup... dan hatinya—diam-diam—perih.

Terpopuler

Comments

Hoa xương rồng

Hoa xương rồng

Teruslah menulis dan mempersembahkan cerita yang menakjubkan ini, thor!

2025-08-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!