Kembali ke makan malam...
Drama Anindya berlanjut. Sebelum papanya marah-marah atau mencecar lebih jauh, dia curi start duluan. Dengan muka melas dan setetes air mata bohongan (hasil menahan kedip selama setengah menit) dia berkata bahwa usia kandungannya baru beberapa minggu. Anin bilang bayinya bisa dibuang kalau Papa dan Mama tidak mau punya cucu hasil kebobolan. Papa jelas makin meradang, Mama makin-makin mau pingsan.
Saat situasi memuncak, di situlah Oma masuk ke dalam drama, berperan sebagai penyelamat. Matanya berkaca-kaca menatap Papa, meminta maaf mewakili cucu kesayangannya. Oma meyakinkan Papa bahwa Malik akan bertanggung jawab. Wanita itu pastikan Anindya dan bayi dalam kandungannya akan hidup tentram dan bahagia. Nyawanya adalah taruhannya.
Di tengah kekacauan pikirannya, Papa hanya bisa menghela napas panjang. Tangannya yang semula berdiam di pinggang perlahan diturunkan. Lelaki itu beralih menatap Malik lekat-lekat. Di matanya, lelaki muda itu masih terlalu abu-abu untuk dibaca. Sejak kepindahannya enam bulan lalu, hanya Oma yang rajin bertegur sapa. Sedangkan Malik hampir tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kiranya mereka bisa jadi teman mengobrol soal bisnis setelah makan malam ini. Siapa sangka malah diberi kejutan lebih besar dan menggoyahkan hati.
"Kamu yakin bisa bertanggung jawab atas putri saya dan anak yang dikandungnya? Siap menjaga dia dan nggak bikin dia menangis?" tanya Papa.
Malik, yang sejatinya tak tahu apa-apa, hanya bisa diam seribu bahasa. Dia menatap Anindya sambil merutuk. Tak habis pikir bocah ingusan itu akan menciptakan drama semengerikan ini di keluarganya sendiri.
"Jawab iya," bisik Oma, sambil mencubit kecil pinggang Malik.
Malik menghela napas berat, lalu mengangguk ketika matanya kembali bersirobok dengan Papa.
Kelegaan perlahan merambati Papa dan Mama, juga Anindya. Sedangkan Malik mulai dimakan emosi yang merayap pelan-pelan di dada.
Setelah ketegangan yang sempat terjadi, Oma pamit undur diri. Beliau mengucapkan terima kasih atas jamuan makan malam, meminta maaf sekali lagi atas kegaduhan yang terjadi, dan berjanji akan datang lagi. Sesegera mungkin, untuk mengajukan lamaran resmi agar Anindya dan Malik bisa segera menikah sebelum perut Anindya membuncit.
Papa dan Mama mengantarkan kepulangan mereka sampai depan pintu. Anindya tetap di kursinya, santai mengunyah anggur merah sebiji-bijinya. Dari raut wajahnya yang semringah sih, sudah kelihatan tidak ada rasa bersalah sama sekali sudah menyeret anak orang ke dalam masalah.
Tak lama berselang, Papa dan Mama kembali. Anindya mulai drama lagi. Ia pura-pura mengusak matanya, seakan habis menangis. Bibirnya juga tak henti-hentinya mengucap maaf. Sadar diri sudah gagal menjadi anak dan membuat malu keluarga. Mama, biar bagaimana pun, adalah seorang ibu. Jadi alih-alih marah, wanita itu mendekati Anindya dan memeluknya, mengusap-usap bahunya menguatkan.
Papa juga tak berani mengamuk. Nasi sudah jadi bubur. Menghajar Anindya sampai mampus pun tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula. Tapi lebih dari itu, mana tega dia menghajar putri kesayangannya yang sejak kecil dia timang-timang penuh cinta?
"Naik sana, istirahat. Kita bahas soal pernikahan kalian nanti setelah Malik dan Oma datang ke sini lagi." Pria paruh baya itu berujar lembut, walau hatinya remuk.
Anindya mengangguk dan memungut tespek palsu dari atas meja. Terseok-seok langkahnya menaiki tangga, pura-pura menangis lagi sampai bahunya ikutan bergetar.
Tiba di kamar, dramanya buyar. Dia menutup pintu, tersenyum lebar dan berlari melompat ke kasur. Akhirnya, dia bisa bebas dari agenda perjodohan yang dicanangkan oleh Papa.
Untuk merayakan keberhasilan tahap pertama, Anindya sudah memutuskan bahwa malam ini ia akan bergadang semalam suntuk. Untuk apa? Main game. Baru-baru ini ada satu game online yang dia senangi. Di sana, dia bisa main bersama beberapa orang tak dikenal, bekerja sama menjalankan misi, dan sesekali mengobrol di grup chat. Anindya bukan pecandu game, tapi yang satu ini benar-benar asyik karena teman-teman online yang ditemui agaknya sefrekuensi.
Setelah memastikan sekali lagi bahwa pintu kamarnya terkunci, Anindya melompat turun dari kasur dan berjalan menuju meja belajar di sudut kamar. Tombol enter ditekan begitu keras, membuat layar monitor menyala terang. Lampu utama dimatikan dari remote control, menyisakan cahaya lampu tidur yang berpadu dengan cahaya monitor.
Merona memasukkan kode akses ke komputernya, log in ke game, dan dengan cepat menemukan teman-teman yang biasa mabar dengannya ada di daftar online. Beberapa dari mereka sedang bermain di grup lain, beberapa yang nganggur langsung Anindya invite.
Dia tersenyum saat satu per satu teman online-nya menerima undangan. Mereka saling sapa singkat melalui room chat, sambil menunggu yang lain bergabung. Dan setelah semua kumpul, mereka memulai permainan dengan semangat.
"Yas!" seru Anindya setelah berhasil menembak kepala musuh. Belum lama permainan dimulai, atmosfirnya sudah menggila. Anindya begitu bersemangat. Dia yakin bisa menghabisi semuanya tanpa ampun.
"Belakang, kawan!" serunya begitu melihat musuh di kejauhan. Rekannya bergerak cepat, menembakkan peluru hingga tepat mengenai kepala musuh.
Anindya berseru senang, mengepalkan tangan di udara dan bertepuk tangan. Tak perlu repot-repot memelankan suara, terima kasih kepada Papa yang membuat semua kamar di rumah ini kedap suara.
Malam itu, Anindya betulan menggila.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Sementara itu, di rumah sebelah, Malik sedang menginterogasi Oma. Ia tak terima sudah dijadikan kambing hitam dan bahkan tidak diberitahu sebelumnya.
"Kalau Oma kasih tahu, kamu pasti nggak mau bantu," kilah Oma.
Malik melangkah lebar, menyusul Oma yang sudah hampir mencapai ujung tangga.
"Lagian kenapa kita harus bantu? Anak ingusan itu kan punya orang tua, kenapa hidupnya jadi tanggung jawab kita?" berondong Malik. Suaranya tetap stabil, tak naik sedikit pun meski sedang dilanda badai emosi.
Oma berhenti di anak tangga terakhir, berbalik. "Oma kasihan sama dia, Malik."
"Ngerti, ngerti," Malik mengangguk, ikut berhenti beberapa tangga di bawah Oma. "Tapi kan nggak harus korbanin Malik juga, Oma."
"Malik," kata Oma, turun lagi beberapa tangga untuk tiba di hadapan Malik. "Oma nggak korbanin kamu, tahu. Oma justru kasih kamu solusi."
Malik menaikkan sebelah alisnya. "Solusi apa? Malik lagi nggak ada masalah. Malah Oma nih sekarang yang kasih masalah ke hidup Malik."
"Kamu kan jomblo," celetuk Oma.
"Kalau jomblo emangnya kenapa? Baik-baik aja tuh hidup Malik, malah lebih bebas dan bahagia."
"Tapi Oma enggak," potong Oma. "Oma juga pengen lihat kamu menikah sebelum Oma mati. Kamu kan tahu sendiri, Oma udah tua. Emang kamu mau lihat Oma sedih karena meninggal sebelum lihat kamu menikah?"
Waduh, kalau Oma sudah bawa-bawa kematian begitu, Malik sudah kehabisan kata-kata, deh. Mau dilawan dengan cara apa pun juga tidak akan mempan. Ujung-ujungnya malah dia terkesan jadi cucu durhaka.
"Tolonglah, Malik. Permintaan Oma kan nggak banyak," susul Oma, wajahnya makin memelas.
Malik mengusak rambutnya gemas, bergerak ribut dengan pandangan yang berlarian ke sembarang arah.
"Malik...."
"Terserah Oma deh," tandas Malik pada akhirnya. Mau ditolak pun tak sampai hati. Pun bisa, pasti akan disesali di kemudian hari.
Kesedihan di wajah Oma luntur seketika. Malik hanya bisa pasrah tubuhnya dipeluk, ditepuk, dan diguncang sedemikian rupa. Kalau saja mesin waktu itu ada, dia mungkin akan mengendarainya dan kembali ke masa lalu. Mati muda bersama ayah dan ibunya sepertinya bukan ide yang buruk.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Zenun
enaknya habis ngerjain anak orang, terus main game😁
2025-07-24
0