NovelToon NovelToon

Jodoh Di Tangan Semesta

Semesta 1.

Anindya tidak bisa memasak, tapi sore ini, dia sibuk sekali membantu mamanya menyiapkan makan malam. Alasannya hanya satu, karena nanti malam mereka akan kedatangan tamu. Mas Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu, untuk pertama kalinya akan datang ke jamuan makan malam bersama Oma (neneknya). Anindya ingin menyajikan yang terbaik. Sebagai bentuk apresiasi terhadap Oma yang sudah berhasil menyeret cucunya yang gila kerja untuk pulang lebih cepat supaya bisa makan malam bersama.

Dari satu titik ke titik lain, Anindya terus berpindah. Wajan dan spatula jelas bukan pegangan sehari-hari, tapi dia masih cukup membantu untuk mencuci sayuran atau menata piring dan buah-buahan. Ada Mbak Pria (asisten rumah tangga) yang juga membantu Mama. Keberadaan Anindya mungkin tak terlalu banyak berpengaruh. Biar saja. Yang penting dia sedikit berkontribusi supaya ada yang bisa dipamerkan kepada Oma nanti.

"Bajumu udah disiapin?"

"Baju?" Anindya memutar tubuhnya, sejenak meninggalkan daun bawang jumbo yang sedang dicuci di bawah air mengalir.

Mama ikut berhenti mengoseng ayam, menatap Anindya dengan satu tangan di pinggang. "Iya, baju buat makan malam nanti. Nggak mungkin dong kamu mau pakai pakaian kayak gini," ujar Mama. Spatula di tangan kiri bergerak naik-turun, menunjuk penampilan Anindya yang lebih tampak seperti pembantu alih-alih anak majikan; baju kebesaran yang sudah lusuh dan bolong di bagian bahu, celana pendek dengan potongan tidak rapi (bekas celana panjang yang dipotong asal-asalan), sendal jepit dan rambut yang dicepol asal-asalan.

Anindya memperhatikan penampilannya sendiri, lalu menyengir kuda. "Pakai baju apa dong harusnya?" tanyanya polos.

Mama menggeleng tak habis pikir dan berdecak pelan. "Pakai gaun yang waktu itu Mama belikan buat acara ulang tahun Caca."

Caca itu anjing peliharaan mereka by the way. Jenisnya Siberian Husky, laki-laki. Nggak tahu deh kenapa diberi nama Caca. Nanti coba Anindya tanyakan kepada papanya kalau ada kesempatan.

Anyway, karena sudah diberi jawaban, Anindya mengangguk mengerti. Daun bawang diserahkan kepada Mbak Pria untuk lanjut dicuci, lalu dia bergegas naik ke kamar.

"Jangan lupa keramas! Terus rambutnya diblow biar rapi!"

Anindya melongok sedikit dari tangga, berkata ok dan lanjut meniti sisa anak tangga menuju kamarnya.

Di depan pintu, papanya berdiri berkacak pinggang. Tampangnya tidak bersahabat. Kusut, seperti habis kalah tender ratusan miliar.

"Kenapa, wahai ayahku yang tampan?" tanya Anindya.

Pujian pura-pura itu tak mempan. Muka ayahnya masih saja masam.

"Apa, sih, Papa? Kenapa?" Anindya mulai hilang kesabaran. Masalahnya, Papa berdiri di depan pintu kamarnya persis, seakan sengaja memblokir akses.

"Ketemu sama Rio," kata Papa.

Mata Anindya berotasi. Rio lagi, Rio lagi. Kenapa, sih, papanya ini kekeuh sekali mengenalkannya dengan anak koleganya itu? Padahal cakep juga tidak (menurut Anindya), kaya banget juga tidak (masih sedikit lebih kaya Opa, ayah mamanya), pintar juga tidak (ranking masih di bawah Anindya), terkenal juga tidak. Terus apa coba yang papanya ini banggakan dari si Rio Rio itu?

"Anin, denger nggak Papa ngomong?"

"Nggak mau," tolak Anindya. "Rio bukan tipe Anin."

Papa mendesah sebal. "Terus yang tipe kamu itu yang kayak gimana?"

"Son Suk-ku."

"Bocah edan!" kesal Papa. Satu tangannya sudah melayang di udara, siap menggeplak putri bungsunya yang bangor minta ampun.

Anindya mengangkat dua tangannya, melindungi kepala. Matanya mengintip sedikit, dan saat dirasa Papa tak betulan hendak memukul, dia menurunkan kedua tangannya perlahan.

"Papa nggak mau tahu, tetap harus ketemu Rio. Papa udah bikinin janji."

"Nggak mau, Papa. Anin nggak mau."

"Harus mau, atau--"

"Atau apa?" Anindya menantang. Mukanya songong sekali, benar-benar gambaran anak kurang ajar.

"Atau Papa tarik semua fasilitas yang kamu punya, terus Papa alihkan semuanya ke Caca."

Anindya melotot tak terima. "Caca kan anjing, buat apa juga dapat warisan?!" kesalnya.

Tapi Papa seakan tidak mau ambil pusing. Setelah mengibaskan tangan di udara, Papa berlalu. Itu artinya keputusan sudah bulat. Anindya tak punya kesempatan untuk mengajukan banding.

"NGGAK MAU! ANINDYA NGGAK MAU!"

...🌲🌲🌲🌲🌲...

Makan malam berjalan lancar. Masakan Mama berkali-kali mendapatkan pujian oleh Oma. Mama tampak senang sekali. Senyumnya tak kunjung luntur dan wajahnya berseri-seri. Kalau Malik sih tidak usah ditanya. Sejak hari pertama pindah juga Anindya sudah tahu kalau laki-laki matang ini sangat irit bicara dan pasti sudah didekati. Jadi dia sudah tidak heran melihat reaksinya yang datar-datar saja. Berapa kali suaranya terdengar selama perjamuan makan malam pun bisa dihitung jari. Jika dibandingkan dengan dirinya yang cerewet, mereka betulan ibarat langit dan bumi.

Ketika para orang tua berbincang ringan usai menandaskan semua menu makan malam, Anindya mulai bergerak gelisah di tempat duduk. Dalam hati tak berhenti berdoa, sambil masih terus berhitung mundur. Tak sedetik pun dia lewatkan dari setiap momen yang ada, memperhitungkan dengan saksama kapan waktunya ia masuk memulai rencana.

Dan ketika momen yang ditunggu tiba, Anindya tak menyia-nyiakan kesempatan. Pada jeda yang tercipta dari berhentinya obrolan bisnis Papa dan Malik, dia meminta waktu untuk bicara. Semua orang setuju, meski wajah mereka diliputi rasa penasaran yang kentara.

Anindya menatap mereka satu per satu. Dimulai dari Papa, Mama, Oma, dan terakhir Malik. Kakinya di bawah meja bergerak gusar. Semua mata tertuju padanya kini, menantinya membuka mulut.

"Kenapa, Anin?" tagih Mama, agaknya paling tidak sabaran.

Anindya melirik Oma dan Malik sekali lagi, lalu perlahan mengeluarkan sesuatu dari saku gaunnya. Benda kecil seukuran jari sepanjang telapak tangan itu langsung menarik perhatian semua orang ketika Anindya letakkan di atas meja. Mereka serempak melongokkan kepala mendekat, lalu mata mereka membola.

"Ini ... apa maksudnya, Anin?" tanya Papa. Suaranya bergetar. Campuran rasa terkejut dan marah.

Anindya menggigit pipi bagian dalam. Sumpah demi apa pun, dia deg-degan mampus sekarang. Telapak tangannya sudah basah dan kakinya tak bisa berhenti bergerak gelisah.

Dia melirik ayahnya dan berkata, "Anin hamil, Pa."

Tak hanya ayahnya, yang lain pun ikut menganga. Mama mendadak pucat, nyaris pingsan. Oma terlihat terkejut, tapi ekspresinya masih bisa dikendalikan. Sementara Malik... aduh, Anindya tidak tahu lagi deh soal lelaki itu. Karena cuma dia satu-satunya yang tetap memasang wajah datar.

Suara meja yang digebrak membangunkan semua orang dari keterkejutan. Anindya mendongak menatap ayahnya yang berdiri marah. Keringat dingin semakin deras membanjiri pelipisnya.

"Apa-apaan kamu, Anin? Apa maksudnya kamu hamil? Sama siapa?"

"Sama...." Anindya melirik Oma, lalu beralih pada Malik. "Mas Malik."

"APA?!"

Bersambung....

Semesta 2.

Beberapa jam sebelumnya....

Menjadi pengangguran sebetulnya enak. Bisa rebahan sepanjang hari. Bermalasan-malasan di kamar tanpa harus keluar bertarung dengan matahari. Tidak perlu mandi dua kali sehari. Pokoknya bebas deh mau ngapain aja. Tapi sayang Anindya tidak bisa menikmati waktu nganggur dengan tenang. Sebab papanya cerewet sekali memintanya berkeliaran di luar. Katanya, kalau terus mendekam di rumah, bagaimana caranya akan bertemu jodoh? Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kalau kita tidak menjemput, ya Tuhan malas mengantarkan! Begitu kata papanya setiap kali Anindya ngeles dan bilang bahwa jodoh itu sudah diatur.

Kurang lebih sudah sembilan bulan Anindya menganggur. Bukannya tidak mau cari kerja, tapi dia sedang ingin menikmati waktu senggang setelah berbulan-bulan bertarung dengan skripsi dan bimbingan. Awalnya Papa dan Mama juga oke-oke saja. Semua bencana dan kecerewetan ini bermula ketika saingan bisnis sekaligus musuh bebuyutan Papa sejak masa sekolah dulu, pamer bahwa putri bungsunya akan menikah dalam waktu dekat. Hubungan yang dasarnya tidak baik, ditambah cara si teman bangsat itu memanasi, Papa akhirnya kemakan juga. Akhirnya Anindya lah yang jadi korban. Dia yang tadinya anak tunggal kesayangan, sekarang malah didesak untuk segera cari pacar.

Anindya stres sekali. Rasanya ingin kabur saja. Bahkan sudah sempat packing baju untuk kabur ke Korea, nyamperin Om Son Suk-ku, mana tahu bisa dia gaet jadi sugar daddy-nya. Tapi tidak jadi. Kartu kreditnya tahu-tahu diblokir oleh Papa sehingga tak bisa dipakai memesan tiket pesawat. Sialan sekali.

Mungkin karena Tuhan kasihan melihat Anindya si bontot kesayangan yang hidupnya mendadak merana, maka didatangkanlah malaikat penyelamat. Seorang nenek baik hati pindah ke sebelah rumahnya enam bulan lalu. Tak hanya sendiri, tapi membawa serta cucu tunggalnya. Laki-laki, tampan, mapan, menawan. Minus terlalu pendiam.

Sejak kedatangan Oma, hidup Anindya jadi lebih berwarna. Papa masih saja mengoceh memintanya cari pacar, tapi setidaknya dia punya tempat curhat sekarang.

Setiap hari, di waktu siang atau menjelang sore, Anindya akan main ke rumah Oma. Biasanya mereka suka nongkrong di gazebo halaman belakang, bergosip sambil ditemani rujak buah. Kalau turun hujan atau cuaca terlalu panas, tempat nongkrong mereka pindah ke dalam rumah. Bukan di ruang tamu atau ruang tengah, Anindya diajak menjajah ruang keluarga di lantai dua. Di sana, dia bebas melakukan apa saja. Rebahan di sofa, menonton televisi sambil kayang, bahkan mencuri lihat isi di dalam kamar Malik. Oma memperlakukannya seperti cucu sendiri. Jauh lebih baik daripada nenek kandungnya dari pihak Papa yang julidnya amit-amit.

"Gitu?"

"Iya, Oma." Kali ini, Anindya mengadu soal papanya yang sudah membuat janji temu dengan seorang lelaki. Dia mengadu di atas pangkuan Oma, sementara tangan keriput wanita itu mengusap-usap sayang kepalanya.

"Hmm ... cukup mengganggu, ya."

"Banget...." Anindya berguling. Posisinya kini tengkurap sambil bertopang dagu. "Anin bingung deh Oma, gimana caranya biar Papa berhenti jodohin Anin."

Oma tampak berpikir cukup serius. Beberapa saat kemudian, sebuah ide sepertinya berhasil melintas di kepalanya. Tapi Oma terlihat ragu-ragu.

"Apa, Oma? Bilang aja." Anindya dengan segala bujuk rayunya.

"Tapi kayaknya ini terlalu ekstrem deh," kata Oma.

Anindya menggeleng ribut. "Nggak pa-pa, Oma. Malah bagus. Semakin ekstrem, tingkat keberhasilannya juga semakin tinggi kan?"

"Hm..." Oma mengetuk-ngetuk dagu.

"Ayolah, Oma..." desak Anindya. Sampai duduk tuh dia, menggoyang-goyangkan lengan Oma seperti bocil kematian yang merengek minta dibelikan jajan.

Akhirnya, Oma menyerah. Dia bisikkan sesuatu ke telinga Anindya. Kata demi katanya dipilih hati-hati, takut anak orang kena sawan karena tidak siap mendengar idenya yang sedikit liar.

Tak disangka, ide liar itu malah diterima Anindya dengan baik. Wajah gadis itu seketika merona, seperti namanya.

"Itu ide cemerlang!" serunya. Sedetik kemudian, dia terdiam. "Tapi, gimana sama Mas Malik?"

Oma mengibaskan tangan. "Soal Malik mah gampang, serahin aja sama Oma."

Kalau begitu, tunggu apa lagi? Jelas harus segera dieksekusi. Anindya langsung pamit undur diri untuk mempersiapkan semuanya. Mulai dari makan malam, sampai kejutan yang akan diberikan kepada orang tuanya dan Malik.

Sementara Oma, wanita tua itu terkikik geli melihat Anindya begitu semangat menjalankan misi. Untuk itu, dia juga harus mempersiapkan diri. Mengatasi Malik tidak akan sulit kalau sudah menyiapkan amunisi.

...🌲🌲🌲🌲🌲...

Malik baru mencapai teras ketika Oma muncul dengan wajah berseri-seri. Berlari-lari kecil kepadanya, merentangkan tangan begitu lebar dan tersenyum riang.

"Makasih, sayangku...." katanya, sambil mengusap-usap gemas pipi Malik sebelum dicium manja bertubi-tubi.

"Ada apa sih emangnya?" tanyanya sembari menggiring Oma masuk. Dia sedang ada di tengah meeting ketika Oma menelepon, memintanya pulang cepat karena ada sesuatu yang penting. Malik memang gila kerja. Hujan badai sekali pun tak akan bisa menghalangi langkahnya untuk tetap datang ke kantor. Tapi kalau urusannya sudah Oma, itu lain lagi. Sebaliknya, mau seurgent apa pun pekerjaannya, pasti akan ditinggalkan demi sang nenek tercinta.

"Anindya undang kita makan malam."

Malik berhenti di ruang tamu, meletakkan tasnya di sofa. "Anindya?" tanyanya. Salah satu kelemahannya adalah mengingat nama orang, jadi entah sudah berapa kali Oma menyebut nama itu, Malik masih selalu merasa asing.

"Teman Oma, tetangga sebelah." Tak lelah-lelahnya Oma menjelaskan untuk yang ke-seratus delapan belas kali.

Bibir Malik membulat, kepalanya manggut-manggut.

"Ya udah sana mandi, terus dandan yang rapi." Oma mendorong punggung Malik, agak sedikit bersemangat sampai membuat cucunya terheran-heran.

"Kenapa harus rapi? Kan cuma makan malam?" Tapi Malik tetap menurut. Dia berjalan menaiki tangga, bersama Oma mengekor di belakang sambil membawakan tas kerjanya.

"Buat first impression. Kamu kan baru pertama kali ketemu keluarganya Anindya."

"Kenapa harus kasih first impression?"

"Karena ... Karena...." Oma mendadak gagap. Sampai di depan pintu kamar Malik, wanita itu berdecak. "Pokoknya biar bagus aja first impression-nya. Udah, nggak usah banyak nanya."

Malik terheran-heran sebab Oma tidak biasanya terlihat gugup. Dia memicing curiga. Mencium bau-bau tidak beres dari gelagat aneh neneknya.

"Oma nggak lagi merencanakan sesuatu di belakang Malik, kan?" selidiknya.

"E--enggak! Rencana apa coba?"

Melihat Oma kelimpungan, Malik semakin curiga.

"Udah, ah, kamu nih cerewet banget. Cepetan mandi sana!"

Oma kabur ke kamarnya sendiri. Gedebukan menutup pintu dan memutar kunci sampai dua kali. Setelahnya, wanita itu mengecek ponselnya, membuka room chat bersama Anindya. Sebelumnya, gadis itu sudah mengiriminya sebuah gambar, hanya beberapa detik sebelum Malik sampai rumah. Jadi Oma belum sempat membuka gambarnya dan membalas pesan.

Begitu diklik, gambar dari Anindya mulai terdownload. Sebuah tespek dengan dua garis merah muncul di sana. Oma tersenyum senang. Ditambah dengan keberuntungan, rencana mereka kali ini 99,99 persen pasti berhasil.

Dengan bantuan tespek bohongan yang dibeli di online shop itu, mereka akan mengatasi dua masalah sekaligus: Anindya yang dicecar cari pacar dan Malik yang workaholic mampus sampai tidak sempat membangun asrama.

Oke, Anindya. Oma juga udah berhasil bujuk Malik buat datang makan malam. Semoga rencana kita sukses besar, ya.

Bersambung....

Semesta 3.

Kembali ke makan malam...

Drama Anindya berlanjut. Sebelum papanya marah-marah atau mencecar lebih jauh, dia curi start duluan. Dengan muka melas dan setetes air mata bohongan (hasil menahan kedip selama setengah menit) dia berkata bahwa usia kandungannya baru beberapa minggu. Anin bilang bayinya bisa dibuang kalau Papa dan Mama tidak mau punya cucu hasil kebobolan. Papa jelas makin meradang, Mama makin-makin mau pingsan.

Saat situasi memuncak, di situlah Oma masuk ke dalam drama, berperan sebagai penyelamat. Matanya berkaca-kaca menatap Papa, meminta maaf mewakili cucu kesayangannya. Oma meyakinkan Papa bahwa Malik akan bertanggung jawab. Wanita itu pastikan Anindya dan bayi dalam kandungannya akan hidup tentram dan bahagia. Nyawanya adalah taruhannya.

Di tengah kekacauan pikirannya, Papa hanya bisa menghela napas panjang. Tangannya yang semula berdiam di pinggang perlahan diturunkan. Lelaki itu beralih menatap Malik lekat-lekat. Di matanya, lelaki muda itu masih terlalu abu-abu untuk dibaca. Sejak kepindahannya enam bulan lalu, hanya Oma yang rajin bertegur sapa. Sedangkan Malik hampir tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kiranya mereka bisa jadi teman mengobrol soal bisnis setelah makan malam ini. Siapa sangka malah diberi kejutan lebih besar dan menggoyahkan hati.

"Kamu yakin bisa bertanggung jawab atas putri saya dan anak yang dikandungnya? Siap menjaga dia dan nggak bikin dia menangis?" tanya Papa.

Malik, yang sejatinya tak tahu apa-apa, hanya bisa diam seribu bahasa. Dia menatap Anindya sambil merutuk. Tak habis pikir bocah ingusan itu akan menciptakan drama semengerikan ini di keluarganya sendiri.

"Jawab iya," bisik Oma, sambil mencubit kecil pinggang Malik.

Malik menghela napas berat, lalu mengangguk ketika matanya kembali bersirobok dengan Papa.

Kelegaan perlahan merambati Papa dan Mama, juga Anindya. Sedangkan Malik mulai dimakan emosi yang merayap pelan-pelan di dada.

Setelah ketegangan yang sempat terjadi, Oma pamit undur diri. Beliau mengucapkan terima kasih atas jamuan makan malam, meminta maaf sekali lagi atas kegaduhan yang terjadi, dan berjanji akan datang lagi. Sesegera mungkin, untuk mengajukan lamaran resmi agar Anindya dan Malik bisa segera menikah sebelum perut Anindya membuncit.

Papa dan Mama mengantarkan kepulangan mereka sampai depan pintu. Anindya tetap di kursinya, santai mengunyah anggur merah sebiji-bijinya. Dari raut wajahnya yang semringah sih, sudah kelihatan tidak ada rasa bersalah sama sekali sudah menyeret anak orang ke dalam masalah.

Tak lama berselang, Papa dan Mama kembali. Anindya mulai drama lagi. Ia pura-pura mengusak matanya, seakan habis menangis. Bibirnya juga tak henti-hentinya mengucap maaf. Sadar diri sudah gagal menjadi anak dan membuat malu keluarga. Mama, biar bagaimana pun, adalah seorang ibu. Jadi alih-alih marah, wanita itu mendekati Anindya dan memeluknya, mengusap-usap bahunya menguatkan.

Papa juga tak berani mengamuk. Nasi sudah jadi bubur. Menghajar Anindya sampai mampus pun tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula. Tapi lebih dari itu, mana tega dia menghajar putri kesayangannya yang sejak kecil dia timang-timang penuh cinta?

"Naik sana, istirahat. Kita bahas soal pernikahan kalian nanti setelah Malik dan Oma datang ke sini lagi." Pria paruh baya itu berujar lembut, walau hatinya remuk.

Anindya mengangguk dan memungut tespek palsu dari atas meja. Terseok-seok langkahnya menaiki tangga, pura-pura menangis lagi sampai bahunya ikutan bergetar.

Tiba di kamar, dramanya buyar. Dia menutup pintu, tersenyum lebar dan berlari melompat ke kasur. Akhirnya, dia bisa bebas dari agenda perjodohan yang dicanangkan oleh Papa.

Untuk merayakan keberhasilan tahap pertama, Anindya sudah memutuskan bahwa malam ini ia akan bergadang semalam suntuk. Untuk apa? Main game. Baru-baru ini ada satu game online yang dia senangi. Di sana, dia bisa main bersama beberapa orang tak dikenal, bekerja sama menjalankan misi, dan sesekali mengobrol di grup chat. Anindya bukan pecandu game, tapi yang satu ini benar-benar asyik karena teman-teman online yang ditemui agaknya sefrekuensi.

Setelah memastikan sekali lagi bahwa pintu kamarnya terkunci, Anindya melompat turun dari kasur dan berjalan menuju meja belajar di sudut kamar. Tombol enter ditekan begitu keras, membuat layar monitor menyala terang. Lampu utama dimatikan dari remote control, menyisakan cahaya lampu tidur yang berpadu dengan cahaya monitor.

Merona memasukkan kode akses ke komputernya, log in ke game, dan dengan cepat menemukan teman-teman yang biasa mabar dengannya ada di daftar online. Beberapa dari mereka sedang bermain di grup lain, beberapa yang nganggur langsung Anindya invite.

Dia tersenyum saat satu per satu teman online-nya menerima undangan. Mereka saling sapa singkat melalui room chat, sambil menunggu yang lain bergabung. Dan setelah semua kumpul, mereka memulai permainan dengan semangat.

"Yas!" seru Anindya setelah berhasil menembak kepala musuh. Belum lama permainan dimulai, atmosfirnya sudah menggila. Anindya begitu bersemangat. Dia yakin bisa menghabisi semuanya tanpa ampun.

"Belakang, kawan!" serunya begitu melihat musuh di kejauhan. Rekannya bergerak cepat, menembakkan peluru hingga tepat mengenai kepala musuh.

Anindya berseru senang, mengepalkan tangan di udara dan bertepuk tangan. Tak perlu repot-repot memelankan suara, terima kasih kepada Papa yang membuat semua kamar di rumah ini kedap suara.

Malam itu, Anindya betulan menggila.

...🌲🌲🌲🌲🌲...

Sementara itu, di rumah sebelah, Malik sedang menginterogasi Oma. Ia tak terima sudah dijadikan kambing hitam dan bahkan tidak diberitahu sebelumnya.

"Kalau Oma kasih tahu, kamu pasti nggak mau bantu," kilah Oma.

Malik melangkah lebar, menyusul Oma yang sudah hampir mencapai ujung tangga.

"Lagian kenapa kita harus bantu? Anak ingusan itu kan punya orang tua, kenapa hidupnya jadi tanggung jawab kita?" berondong Malik. Suaranya tetap stabil, tak naik sedikit pun meski sedang dilanda badai emosi.

Oma berhenti di anak tangga terakhir, berbalik. "Oma kasihan sama dia, Malik."

"Ngerti, ngerti," Malik mengangguk, ikut berhenti beberapa tangga di bawah Oma. "Tapi kan nggak harus korbanin Malik juga, Oma."

"Malik," kata Oma, turun lagi beberapa tangga untuk tiba di hadapan Malik. "Oma nggak korbanin kamu, tahu. Oma justru kasih kamu solusi."

Malik menaikkan sebelah alisnya. "Solusi apa? Malik lagi nggak ada masalah. Malah Oma nih sekarang yang kasih masalah ke hidup Malik."

"Kamu kan jomblo," celetuk Oma.

"Kalau jomblo emangnya kenapa? Baik-baik aja tuh hidup Malik, malah lebih bebas dan bahagia."

"Tapi Oma enggak," potong Oma. "Oma juga pengen lihat kamu menikah sebelum Oma mati. Kamu kan tahu sendiri, Oma udah tua. Emang kamu mau lihat Oma sedih karena meninggal sebelum lihat kamu menikah?"

Waduh, kalau Oma sudah bawa-bawa kematian begitu, Malik sudah kehabisan kata-kata, deh. Mau dilawan dengan cara apa pun juga tidak akan mempan. Ujung-ujungnya malah dia terkesan jadi cucu durhaka.

"Tolonglah, Malik. Permintaan Oma kan nggak banyak," susul Oma, wajahnya makin memelas.

Malik mengusak rambutnya gemas, bergerak ribut dengan pandangan yang berlarian ke sembarang arah.

"Malik...."

"Terserah Oma deh," tandas Malik pada akhirnya. Mau ditolak pun tak sampai hati. Pun bisa, pasti akan disesali di kemudian hari.

Kesedihan di wajah Oma luntur seketika. Malik hanya bisa pasrah tubuhnya dipeluk, ditepuk, dan diguncang sedemikian rupa. Kalau saja mesin waktu itu ada, dia mungkin akan mengendarainya dan kembali ke masa lalu. Mati muda bersama ayah dan ibunya sepertinya bukan ide yang buruk.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!