Malik memang tidak bisa menolak permintaan Oma, tapi bukan berarti dia akan menerima kehadiran Anindya begitu saja.
Tadinya, dia hanya cuek menanggapi Anindya yang rajin datang ke rumahnya. Setiap weekend, gadis ingusan itu akan berkunjung dan menemani Oma berkebun. Sementara Malik hanya mengamati dari kejauhan, dari ruang kerjanya di lantai tiga yang jendelanya mengarah ke kebun belakang.
Kali ini, karena Anindya sudah menabuh genderang perang, Malik tak mau lagi terlihat santai. Kepada Anindya, ia tak lagi sekadar bersikap cuek, tapi juga ketus dan antipati. Setiap gadis itu bertanya sesuatu, dia akan menjawab singkat dan cenderung penuh penekanan. Niatnya sih supaya Anindya ciut. Kalaupun tidak bisa membatalkan rencana pernikahan, setidaknya bisa membuat gadis itu melihat garis batas yang Malik ciptakan.
Tapi sepertinya Malik salah membaca Anindya. Jangankan jadi ciut apalagi berpikir untuk tidak lagi menginjakkan kaki di rumahnya, gadis itu malah jadi lebih cerewet dan gencar menggodanya.
Seperti siang ini misalnya. Di saat Malik sedang bersantai di halaman belakang, menikmati semilir angin sambil menyesap jus apel, Anindya datang tiba-tiba. Tanpa permisi ikut duduk di seberangnya, mencomot kacang almond berharga dari mangkuk, mengunyahnya tanpa rasa berdosa dan mulai berceloteh bagai orang gila.
"Mas Malik."
Malik tidak menjawab. Dia akan pura-pura tuli dan fokus membaca berita dari tab di tangannya.
"Mas Malik...."
Anggap saja angin lalu, atau suara kecoak, atau gemercik air kolam, atau bisikan setan yang terkutuk. Malik tidak akan menyahut.
"Mas Malik!"
Barusan adalah gelegar petir. Malik tak perlu menanggapi, hanya perlu beres-beres dan masuk ke dalam rumah. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan.
"Mas Malikkkkk."
Ah, sudahlah! Gadis ini memang menyebalkan!
"Apa?" sahut Malik pada akhirnya, tab diletakkan, tatapannya datar.
Anindya tersenyum lebar. "Mau rujak buah," pintanya.
"Beli lah sana," jawab Malik acuh tak acuh.
"Beliin."
"Nggak." Malik sudah meraih tab-nya lagi, tapi Anindya malah mendadak tantrum hingga membuatnya speechless sendiri.
Bayangkan saja, memangnya ada gadis 23 tahun yang akan mengentak-entakkan kaki sambil cemberut hanya karena tidak dibelikan rujak buah? Malik yakin tak ada, selain Anindya.
"Anindya ngidam tau!"
Apalah dia apalah. Malik memutar bola mata malas. Hamilnya kan pura-pura, masa iya ngidamnya betulan? Anindya ini memang minta dicites ya.
"Ayolah, Mas Malik. Nanti kalau anak kita ileran gimana?"
"Tinggal dilap pakai tisu, nggak repot," jawab Malik cuek.
Ditolak begitu, Anindya makin menjadi. Mulanya gadis itu bangkit dari kursi, memicing ke arah Malik sambil berkomat-kamit, lalu....
"Huwaaa! Oma! Mas Malik nggak mah beliin Anindya rujak buah! Huwaaa...." Tangisnya memecah udara.
Malik melongo. Tab di tangannya sampai meluncur bebas dan teronggok di rerumputan. Nasib baik tak jatuh di bebatuan dalam jalur setapak menuju pintu belakang.
Drama Anindya terus berlanjut sampai Oma muncul dari dalam rumah. Wanita tua itu berlari tergopoh-gopoh, mengangkat dress batiknya sampai hampir sebatas paha.
Kepala Malik rasanya mau pecah. Suara tangis pura-pura Anindya yang beradu dengan ocehan Oma serupa palu godam yang dihantamkan berkali-kali.
"Kenapa, Sayang? Cup, cup, kesayangan Oma." Oma memeluk Anindya, mengusap-usap kepalanya.
Malik muak, jujur saja. Pindah ke sini sepertinya adalah keputusan yang sembrono. Oma yang dasarnya memang drama queen, sekarang jadi punya partner untuk menciptakan drama yang makin maha dahsyat mengguncang dunia.
"Anindya mau apa, Sayang? Bilang sama Oma. Kalau Mas Malik nggak mau kasih, biar Oma yang berikan."
"A--Anindya ... Anindya kepengen rujak buah, Oma." Sambil terisak-isak tuh Anindya bicara. Padahal anak balita juga tahu kalau itu pura-pura. Tangis macam apa memangnya yang serius, tapi tak mengeluarkan setetes pun air mata?
"Mau rujak buah? Anindya ngidam, ya? Aduh, Sayang ... cup, cup, biar Oma yang belikan. Mas Agit emang nggak pengertian." Oma menyindir sambil melirik sinis.
Demi Tuhan, Malik sepertinya butuh psikiater sekarang.
"Stop drama," potongnya.
Duo maut itu mendadak kicep. Anindya berhenti menangis, Oma juga tak lagi melirik sinis.
"Mau rujak buah yang kayak gimana? Saya belikan online."
"Nggak mau online, maunya beli langsung."
"Nggak usah banyak mau." Malik memberi ultimatum.
Oma maju, mau bertindak bagai pahlawan. "Beli di depan aja, dekat taman kompleks suka ada yang jualan," usulnya.
"Panas, Malik males jalan."
"Malik..."
"Nggak mau, Oma." Malik kekeuh menolak. Sekali lagi, Anindya ini tidak benar-benar hamil, jadi kenapa kemauannya harus dituruti? Kalaupun betulan hamil, itu juga kan bukan anak Malik. Kenapa dia yang harus repot? Sudah bagus Malik mau berbaik hati memesankan online.
"Nggak jadi deh, udah nggak kepengen."
Pesanan sudah hampir dibuat, lalu Anindya tiba-tiba berkata begitu.
Malik memejamkan matanya erat-erat sambil melakukan teknis pernapasan agar amarahnya tidak meledak. Begitu matanya kembali terbuka, Anindya dan Oma sudah berjalan menjauhi dirinya. Duo maut itu bergandengan menuju pintu belakang, sesekali terdengar celoteh manja Anindya yang ditanggapi penuh sayang oleh Oma.
Di tempatnya berdiri, Malik mengumpat di dalam hati. Inginnya memaki secara langsung, tapi tak mampu. Sialan sifat tak tegaannya ini. Entah saja, enyah. Enyahlah bersama Anindya yang ratu drama dan menyebalkan!
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Tak seperti biasa, Anindya betah sekali di rumah Oma. Mungkin karena sudah berhasil mengerjai Malik, suasana hatinya jadi baik. Well, sebenarnya, dia tidak pernah memiliki masalah pribadi dengan lelaki itu. Hanya saja, ide jahilnya tetiba muncul setelah Oma bercerita bahwa Malik setuju membantu karena takut jadi cucu yang durhaka.
Anindya terkikik geli. Tak menyangka laki-laki yang kelihatan cool, berkarisma dan tak banyak bicara itu ternyata begitu menyayangi omanya. Anindya dengar-dengar ayah dan ibunya meninggal waktu usia Malik masih belia, mungkin karena itu dia jadi begitu tergantung pada Oma selaku satu-satunya keluarga yang merawatnya.
"Malik jarang marah, tapi sekalinya marah bisa benar-benar meledak. Jadi Oma saranin kamu jangan melewati batas."
Anindya mengangguk. "Anindya cuma mau lihat Mas Malik berekspresi, Oma. Habisnya selama ini makanya selalu datar, kayak robot. Tapi tadi lucu banget pas nahan kesel," celotehnya sambil menahan tawa.
"Dari kecil memang sudah begitu," kata Oma. Tangan keriputnya menepuk-nepuk kepala Anindya di pangkuannya. Entah sejak kapan, posisi ini jadi favorit mereka kalau sedang berbagi cerita. "Oma juga nggak tahu kenapa Agit suka memendam perasaannya begitu. Padahal sedari kecil, Oma sudah sering bilang supaya dia lepaskan semuanya. Supaya nggak menumpuk dan jadi penyakit."
"Mungkin karena Mas Malik nggak mau bikin Oma sedih."
Oma tersenyum lembut. Apa yang Anindya bilang ada benarnya. Sedari kecil, Malik adalah anak yang baik. Tidak pernah berbuat onar, selalu berprestasi baik di bidang akademik ataupun non-akademik, tidak rewel dan sangat pengertian. Bagi orang tua lain, Malik mungkin adalah anak idaman. Sebab penurut dan tidak menyusahkan.
Tapi bagi Oma, justru rasanya nelangsa melihat Malik tak bisa leluasa mengekspresikan diri.
"Oma harap suatu saat dia bisa berubah," ucapnya pelan.
"Pasti bisa, Oma. Anindya bantu," kata Anindya penuh percaya diri.
Oma tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengaminkan ucapan Anindya. Sejak kali pertama diajak kenalan oleh gadis ini, Oma memang sudah melihat sesuatu yang berbeda. Anindya energik dan ceria, cerdas tapi tampak naif dalam beberapa hal, blak-blakan dan banyak bicara. Sangat berbanding terbalik dengan Malik. Itu sebabnya, Oma berharap bisa menyatukan mereka. Berharap Anindya bisa membantu Malik mengenali dirinya sendiri dengan lebih baik.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Zenun
Dengerin Oma ya
2025-07-24
0