Beberapa jam sebelumnya....
Menjadi pengangguran sebetulnya enak. Bisa rebahan sepanjang hari. Bermalasan-malasan di kamar tanpa harus keluar bertarung dengan matahari. Tidak perlu mandi dua kali sehari. Pokoknya bebas deh mau ngapain aja. Tapi sayang Anindya tidak bisa menikmati waktu nganggur dengan tenang. Sebab papanya cerewet sekali memintanya berkeliaran di luar. Katanya, kalau terus mendekam di rumah, bagaimana caranya akan bertemu jodoh? Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kalau kita tidak menjemput, ya Tuhan malas mengantarkan! Begitu kata papanya setiap kali Anindya ngeles dan bilang bahwa jodoh itu sudah diatur.
Kurang lebih sudah sembilan bulan Anindya menganggur. Bukannya tidak mau cari kerja, tapi dia sedang ingin menikmati waktu senggang setelah berbulan-bulan bertarung dengan skripsi dan bimbingan. Awalnya Papa dan Mama juga oke-oke saja. Semua bencana dan kecerewetan ini bermula ketika saingan bisnis sekaligus musuh bebuyutan Papa sejak masa sekolah dulu, pamer bahwa putri bungsunya akan menikah dalam waktu dekat. Hubungan yang dasarnya tidak baik, ditambah cara si teman bangsat itu memanasi, Papa akhirnya kemakan juga. Akhirnya Anindya lah yang jadi korban. Dia yang tadinya anak tunggal kesayangan, sekarang malah didesak untuk segera cari pacar.
Anindya stres sekali. Rasanya ingin kabur saja. Bahkan sudah sempat packing baju untuk kabur ke Korea, nyamperin Om Son Suk-ku, mana tahu bisa dia gaet jadi sugar daddy-nya. Tapi tidak jadi. Kartu kreditnya tahu-tahu diblokir oleh Papa sehingga tak bisa dipakai memesan tiket pesawat. Sialan sekali.
Mungkin karena Tuhan kasihan melihat Anindya si bontot kesayangan yang hidupnya mendadak merana, maka didatangkanlah malaikat penyelamat. Seorang nenek baik hati pindah ke sebelah rumahnya enam bulan lalu. Tak hanya sendiri, tapi membawa serta cucu tunggalnya. Laki-laki, tampan, mapan, menawan. Minus terlalu pendiam.
Sejak kedatangan Oma, hidup Anindya jadi lebih berwarna. Papa masih saja mengoceh memintanya cari pacar, tapi setidaknya dia punya tempat curhat sekarang.
Setiap hari, di waktu siang atau menjelang sore, Anindya akan main ke rumah Oma. Biasanya mereka suka nongkrong di gazebo halaman belakang, bergosip sambil ditemani rujak buah. Kalau turun hujan atau cuaca terlalu panas, tempat nongkrong mereka pindah ke dalam rumah. Bukan di ruang tamu atau ruang tengah, Anindya diajak menjajah ruang keluarga di lantai dua. Di sana, dia bebas melakukan apa saja. Rebahan di sofa, menonton televisi sambil kayang, bahkan mencuri lihat isi di dalam kamar Malik. Oma memperlakukannya seperti cucu sendiri. Jauh lebih baik daripada nenek kandungnya dari pihak Papa yang julidnya amit-amit.
"Gitu?"
"Iya, Oma." Kali ini, Anindya mengadu soal papanya yang sudah membuat janji temu dengan seorang lelaki. Dia mengadu di atas pangkuan Oma, sementara tangan keriput wanita itu mengusap-usap sayang kepalanya.
"Hmm ... cukup mengganggu, ya."
"Banget...." Anindya berguling. Posisinya kini tengkurap sambil bertopang dagu. "Anin bingung deh Oma, gimana caranya biar Papa berhenti jodohin Anin."
Oma tampak berpikir cukup serius. Beberapa saat kemudian, sebuah ide sepertinya berhasil melintas di kepalanya. Tapi Oma terlihat ragu-ragu.
"Apa, Oma? Bilang aja." Anindya dengan segala bujuk rayunya.
"Tapi kayaknya ini terlalu ekstrem deh," kata Oma.
Anindya menggeleng ribut. "Nggak pa-pa, Oma. Malah bagus. Semakin ekstrem, tingkat keberhasilannya juga semakin tinggi kan?"
"Hm..." Oma mengetuk-ngetuk dagu.
"Ayolah, Oma..." desak Anindya. Sampai duduk tuh dia, menggoyang-goyangkan lengan Oma seperti bocil kematian yang merengek minta dibelikan jajan.
Akhirnya, Oma menyerah. Dia bisikkan sesuatu ke telinga Anindya. Kata demi katanya dipilih hati-hati, takut anak orang kena sawan karena tidak siap mendengar idenya yang sedikit liar.
Tak disangka, ide liar itu malah diterima Anindya dengan baik. Wajah gadis itu seketika merona, seperti namanya.
"Itu ide cemerlang!" serunya. Sedetik kemudian, dia terdiam. "Tapi, gimana sama Mas Malik?"
Oma mengibaskan tangan. "Soal Malik mah gampang, serahin aja sama Oma."
Kalau begitu, tunggu apa lagi? Jelas harus segera dieksekusi. Anindya langsung pamit undur diri untuk mempersiapkan semuanya. Mulai dari makan malam, sampai kejutan yang akan diberikan kepada orang tuanya dan Malik.
Sementara Oma, wanita tua itu terkikik geli melihat Anindya begitu semangat menjalankan misi. Untuk itu, dia juga harus mempersiapkan diri. Mengatasi Malik tidak akan sulit kalau sudah menyiapkan amunisi.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Malik baru mencapai teras ketika Oma muncul dengan wajah berseri-seri. Berlari-lari kecil kepadanya, merentangkan tangan begitu lebar dan tersenyum riang.
"Makasih, sayangku...." katanya, sambil mengusap-usap gemas pipi Malik sebelum dicium manja bertubi-tubi.
"Ada apa sih emangnya?" tanyanya sembari menggiring Oma masuk. Dia sedang ada di tengah meeting ketika Oma menelepon, memintanya pulang cepat karena ada sesuatu yang penting. Malik memang gila kerja. Hujan badai sekali pun tak akan bisa menghalangi langkahnya untuk tetap datang ke kantor. Tapi kalau urusannya sudah Oma, itu lain lagi. Sebaliknya, mau seurgent apa pun pekerjaannya, pasti akan ditinggalkan demi sang nenek tercinta.
"Anindya undang kita makan malam."
Malik berhenti di ruang tamu, meletakkan tasnya di sofa. "Anindya?" tanyanya. Salah satu kelemahannya adalah mengingat nama orang, jadi entah sudah berapa kali Oma menyebut nama itu, Malik masih selalu merasa asing.
"Teman Oma, tetangga sebelah." Tak lelah-lelahnya Oma menjelaskan untuk yang ke-seratus delapan belas kali.
Bibir Malik membulat, kepalanya manggut-manggut.
"Ya udah sana mandi, terus dandan yang rapi." Oma mendorong punggung Malik, agak sedikit bersemangat sampai membuat cucunya terheran-heran.
"Kenapa harus rapi? Kan cuma makan malam?" Tapi Malik tetap menurut. Dia berjalan menaiki tangga, bersama Oma mengekor di belakang sambil membawakan tas kerjanya.
"Buat first impression. Kamu kan baru pertama kali ketemu keluarganya Anindya."
"Kenapa harus kasih first impression?"
"Karena ... Karena...." Oma mendadak gagap. Sampai di depan pintu kamar Malik, wanita itu berdecak. "Pokoknya biar bagus aja first impression-nya. Udah, nggak usah banyak nanya."
Malik terheran-heran sebab Oma tidak biasanya terlihat gugup. Dia memicing curiga. Mencium bau-bau tidak beres dari gelagat aneh neneknya.
"Oma nggak lagi merencanakan sesuatu di belakang Malik, kan?" selidiknya.
"E--enggak! Rencana apa coba?"
Melihat Oma kelimpungan, Malik semakin curiga.
"Udah, ah, kamu nih cerewet banget. Cepetan mandi sana!"
Oma kabur ke kamarnya sendiri. Gedebukan menutup pintu dan memutar kunci sampai dua kali. Setelahnya, wanita itu mengecek ponselnya, membuka room chat bersama Anindya. Sebelumnya, gadis itu sudah mengiriminya sebuah gambar, hanya beberapa detik sebelum Malik sampai rumah. Jadi Oma belum sempat membuka gambarnya dan membalas pesan.
Begitu diklik, gambar dari Anindya mulai terdownload. Sebuah tespek dengan dua garis merah muncul di sana. Oma tersenyum senang. Ditambah dengan keberuntungan, rencana mereka kali ini 99,99 persen pasti berhasil.
Dengan bantuan tespek bohongan yang dibeli di online shop itu, mereka akan mengatasi dua masalah sekaligus: Anindya yang dicecar cari pacar dan Malik yang workaholic mampus sampai tidak sempat membangun asrama.
Oke, Anindya. Oma juga udah berhasil bujuk Malik buat datang makan malam. Semoga rencana kita sukses besar, ya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Zenun
Membangun asrama nih ye😁
2025-07-22
1
Zenun
Ya sukses besar.
2025-07-22
1