Berpulang

Umi Im yang telah ditangani dokter kembali di rawat di ruang ICU karena semua fungsi organnya menurun. Dokter meminta pihakkeluarga untuk bersiap kapanpun pasien kehilangan kesadaran.

Saat Arumi pulang ke rumah ingin membersihkan tubuh, ia tidak sengaja mendengar suara neneknya yang sedang berbincang dengan Om Muslih, suami Tante Nanik.

“Apa Ibu memberikan izin kepada Mas Aji untuk membawa mereka pulang?”

“Mau bagaimana lagi? Hidup Aji harus tetap berlanjut!”

“Bagaimana dengan Arumi?”

“Biarkan Aji yang memutuskannya. Aku juga tidak keberatan kalau dia tetap tinggal.”

“Apa Ibu sepesimis itu dengan Mbak Im?”

“Lihatlah kenyataannya! Dokter saja sudah menyerah, kita bisa apa? Mau menahannya juga tidak mungkin!”

“Setidaknya pikirkanlah perasaan Arumi, Bu!”

“Kamu jangan ikut-ikutan istrimu! Semua keputusan ada di tangan Aji. Kalau dia mau biarkan Arumi bertahan, kalau tidak biarkan Arumi memilih jalannya sendiri.”

Arumi yang mendengarkan percakapan mereka dibayangi banyak pertanyaan. Apa maksud dari percakapan mereka? Tetapi sang nenek yang mengatakan hidup harus berlanjut, Arumi berani menyimpulkan jika abinya sudah memiliki keluarga baru.

“Apakah aku akan disingkirkan jika benar Abi punya keluarga baru?” batin Arumi yang memutuskan untuk pergi dan tidak lagi menguping.

Sebelum kembali ke rumah sakit, Arumi menyempatkan membuat sarapan cepat berupa nasi goreng dan telur gulung. Ia makan dengan cepat dan membawa sisanya ke rumah sakit untuk abinya.

“Kenapa kamu tidak masuk sekolah?” tanya Aliya di panggilan telepon.

“Umi masuk ICU. Aku tidak tega meninggalkannya.”

“Semoga Umi segera sembuh.”

“Aamiin…”

“Aku akan mengabarimu kalau ada tugas.”

“Terima kasih.”

“Siapa?” tanya Abi Aji yang ada di samping Arumi.

“Aliya, Bi.”

“Kamu masih berteman dengan anak urakan itu?”

“Aliya tidak urakan, Abi.”

“Kalau tidak urakan apa namanya? Hijabnya saja masih memamerkan rambut seperti tidak niat! Ucapannya juga ceplas-ceplos!”

“Tapi dia baik, Abi.” Arumi berusaha membela temannya.

“Jangan membelanya terus! Kamu cukup tidak terpengaruh saja sudah bagus.” Arumi tidak lagi menjawab perkataan abinya.

Ia menyodorkan kotak nasi dan tumbler untuk abinya yang disambut dengan baik. Segera Abi Aji menghabiskan makanan dan kopi yang Arumi berikan. Setelah selesai, Arumi menyimpannya kembali ke dalam tasnya.

Umi Im di rawat di ruang ICU selama 2 hari. Dan di hari ketiga, beliau baru dipindahkan ke ruang inap setelah sadar dari tidur panjangnya.

Arumi yang sudah izin beberapa hari kembali ke sekolah dan mengumpulkan tugas dari guru sebagai ganti absennya. Ia juga mengikuti les yang diadakan sekolah untuk persiapan ujian sehingga ia baru bisa pulang sekolah pukul 5 sore.

Nenek Ifah yang sudah tahu, tidak menegur atau mengomel karena beberapa hari ini beliau melihat Arumi tetap melakukan pekerjaannya dengan baik meskipun pulang larut.

“Apa kamu mau ke rumah sakit?” tanya Tante Nanik.

“Iya, Tante.”

“Pulang tidak?”

“Besok pagi baru pulang.”

“Ya sudah. Kamu hati-hati.”

“Apa Tante mau nitip sesuatu?”

“Aku ingin makan semur daging buatanmu, Rum.”

“Besok, bagaimana?”

“Oke! Tante akan siapkan bahannya.” Arumi mengangguk dan berpamitan.

Di ruangan Umi Im, ada Abi Aji yang sedang mengupas jeruk untuk istrinya. Arumi meletakkan tasnya dan mengeluarkan makan malam untuk abinya.

Arumi meminta abinya untuk makan dulu dan dirinya mengambil alih menyuapi Umi Im jeruk. Hanya suara denting sendok yang terdengar di ruangan itu, sampai Umi Im bersuara.

“Bagaimana sekolahnya hari ini?”

“Alhamdulillah lancar, Umi. Umi, bagaimana?”

“Umi, baik. Ada Abi yang menjaga Umi.”

“Kapan Umi bisa pulang?”

“3 hari lagi kan, Bi?”

“Iya.” Jawab Abi Aji yang sudah selesai makan.

“Alhamdulillah…” Arumi memeluk uminya dengan lembut.

Setidaknya, ia masih memiliki hari bersama uminya. Sayangnya, apa yang Arumi harapkan tidak menjadi kenyataan. Di hari kelima dimana Umi Im dijadwalkan pulang, dokter menyatakan kalau beliau telah berpulang.

Arumi yang masih di sekolah, membeku mendengar kabar tersebut. Segera saja ia mengemas bukunya dan izin untuk pulang. Arumi sampai di rumah bersamaan dengan jenazah Umi Im.

Semua orang yang sudah bersiap segera melaksanakan pemandian jenazah. Arumi ikut memandikan jenazah Umi Im bersama beberapa keluarga perempuan dan juru mandi.

Selesai dimandikan, jenazah Umi Im dikafani dan di sholatkan. Semua prosesi berjalan dengan cepat sampai Arumi merasa tidak percaya dirinya kini sudah di hadapan pusara uminya.

“Ayo, pulang!” ajak Abi Aji.

Arumi mengangguk. Ia mengucapkan salam untuk berpamitan dengan pusara uminya dan mengikuti abinya ke tempat motor beliau terparkir. Di perjalanan pulang, Arumi yang dibonceng Abi Aji hanya diam.

Sampai di rumah, Arumi justru bingung harus melakukan apa karena semua pekerjaan telah dikerjakan keluarga Abi Aji dan beberapa tetangga yang datang membantu.

“Kenapa malah melamun di Tengah jalan?” tanya Tante Nanik.

“Aku bantu apa, Te?”

“Tidak perlu. Kamu duduk manis saja. Nanti ikut yasinan ibu-ibu.”

“Kalau tidak ada kerjaan, mending kamu bersihkan kamar umimu!” kata Abi Aji dengan nada dingin.

“Apa tidak sebaiknya tunggu setelah 40 harinya, Mas?”

“Lebih cepat lebih baik.”

“Apa Abi tidak merasa kehilangan?” pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Arumi yang selama prosesi pemakaman, tidak melihat abinya menitikkan air mata atau justru terlihat sangat tenang.

“Semua manusia pasti mati. Entah itu besok, lusa atau kapan.”

“Tapi yang meninggal itu Umi! Istri yang sudah menemani Abi selama ini. Apakah tidak ada rasa simpati sedikit pun?” Tante Nanik segera menggenggam tangan Arumi seolah menghentikannya.

“Kamu tidak tahu apa-apa!” kata Abi Aji dengan ketus, lalu meninggalkan Arumi dan Tante Nanik.

Mata Arumi berkaca-kaca, namun ia tidak menangis. Ia sudah memantapkan hatinya untuk menerima kematian uminya dengan lapang dada.

Tante Nanik yang justru tidak bisa membendung air matanya. Air mata beliau tumpah seraya memeluk tubuh Arumi. Meskipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Umi Im, sejak mereka menjadi saudara ipar, hubungan mereka cukup dekat. Apalagi Umi In memanglah sosok yang baik kepada siapapun.

“Apa Tante tahu sesuatu?” tanya Arumi penuh selidik.

Mulai dari sikap Abi Aji, percakapan yang ia dengar dan Tante Nanik yang menangis di pelukannya, Arumi semakin penasaran dengan apa yang telah terjadi di keluarga abinya dan apa yang tidak ia ketahui.

Tante Nanik hanya menggelengkan kepalanya dan mengatakan tidak ada yang terjadi. Setelah beliau melepaskan pelukan, Tante Nanik pergi meninggal Arumi yang masih diliputi tanda tanya.

Arumi yang merasa menganggur akhirnya ikut membantu ibu-ibu yang sedang melipat kardus untuk kotak makan yasinan nanti malam.

Ketika yasinan selesai dan semua orang sudah berpamitan, Arumi masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk diam di pinggir tempat tidur, menata pemikirannya.

Rasa penasaran yang belum terpuaskan dan tanda tanya atas sikap Umi Im akhir-akhir ini membuatnya semakin yakin jika ada yang disembunyikan darinya.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mereka menyembunyikannya dariku?”

“Umi, kenapa Umi tidak mengatakannya secara langsung kepadaku? Jika saja Umi mengatakannya, aku tidak akan merasakan penasaran seperti sekarang.”

“Kesulitan apa yang akan aku alami? Jika hanya sikap dingin Abi dan Nenek, aku sudah terbiasa.”

Arumi bermonolog sambil melihat bingkai fotonya bersama Umi Im.

Terpopuler

Comments

indy

indy

ikut sedih

2025-07-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!