Wasiat

“Apa Abi sudah berangkat?” tanya Umi Im saat Arumi masuk ke dalam kamar.

“Sudah, Mi. Umi mau makan siang apa hari ini?”

“Umi pengen ayam bakar. Sudah lama Umi tidak makan.”

“Tapi Umi dilarang makan makanan pemicu kanker sama dokter.”

“Sekali ini saja, Nak. Umi pengen banget.”

“Kalau ayamnya dipanggang, bagaimana?”

“Ayam bakar, Nak!”

“Baiklah, kalau begitu Arumi ke tukang sayur dulu, Mi.”

“Ambil uangnya di laci!”

“Yang kemarin masih, Mi.”

Arumi bersiap pergi ke pinggir jalan dimana tukang sayur biasanya mangkal. Di sana sudah ada ibu-ibu yang bergerombol memilih sayur dan perdagingan.

Setelah menyapa semuanya, Arumi menyela gerombolan untuk mengambil satu ekor ayam, timun dan kemangi. Segera ia membayar belanjaannya dan berpamitan pulang.

“Anaknya Bu Im rajin sekali, ya? Anak saya kalau hari minggu seperti ini masih molor jam segini.” Kata salah satu ibu-ibu.

“Kalau tidak rajin, Nenek Ifah bisa mengomel!” seru salah satu dari mereka.

“Benar! Siapa yang tidak rajin kalau punya nenek seperti itu? Justru kasihan Aruminya.”

“Iya, ya. Kasihan Arumi yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sejak SD kelas 5.”

“Ya mau bagaimana lagi? Bu Im yang sakit-sakitan mana bisa melakukannya!”

“Kemarin katanya masuk rumah sakit lagi.”

“Iya, saya juga dengar. Katanya penyakitnya semakin parah.”

“Kasihan juga Bu Im itu. Sejak Arumi kelas 5 sudah divonis sakit yang katanya sulit disembuhkan.”

Ibu-ibu mulai berdiskusi mengenai penyakit Umi Im yang mereka hanya tahu kalau susah disembuhkan tanpa tahu penyebabnya karena keluarga Abi Aji tutup mulut mengenai penyakit beliau. Dan saat mereka bertanya kepada Arumi, mereka hanya mendapatkan jawaban “Doakan Umi lekas sembuh ya, Bu.”.

Sementara itu, Arumi yang sudah sampai di rumah segera mencuci ayam yang di belinya dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ia menyiapkan bumbu yang digunakan untuk mengungkep ayam sebelum dibakar.

Jika biasanya ayam ungkep akan di rebus, kali ini Arumi mengungkep ayam dengan cara mengukusnya. Hal ini dilakukan agar ayam tetap lembut saat di bakar nanti.

Sambil menunggu jam makan siang, Arumi menyetrika pakaian sambil memantau uminya yang tidur setelah meminum obat.

“Arumi!” Teriak Nenek Ifah dari rumah sebelah.

Segera Arumi mencabut setrika dan berlari ke sumber suara. Dilihatnya tanaman yang tertata di rak teras berantakan dan bahkan ada pot dari tanah liat pecah.

“Kamu yang membawa kucing kemari?” tanya Nenek Ifah dengan geram.

“Tidak, Nek. Aku tidak ada memelihara kucing.” Jawab Arumi seraya merapikan rak dan menata pot yang terjatuh.

“Lalu kucing siapa yang melakukannya?”

“Aku tidak tahu, Nek.”

“Bersihkan! Ganti potnya dengan pot plastikyang kamu beli dulu.”

“Bukannya nenek tidak mau menggunakannya?”

“Gunakan saja!” Nenek Ifah dengan kesal masuk ke dalam rumah meninggalkan Arumi.

Dengan menghembuskan nafas dalam, Arumi kembali merapikan pot dan membersihkan tanah yang berserakan. Setelah selesai, ia ke Gudang untuk mengambil pot yang dimaksud sang nenek.

Dulu Arumi membelinya karena ingin mengganti beberapa pot tanah liat yang sudah mulai retak, tetapi sang nenek tidak mau dan tetap mempertahankan pot tersebut. Mungkin sang nenek tidak mau ada yang pecah lagi, makanya menyuruhnya menggunakan pot plastik.

Selesai memindahkan tanaman, Arumi meletakkannya kembali ke rak dan ia juga kembali menyelesaikan setrikaannya. Menyetrika selesai, Arumi ke belakang rumah menyiapkan arang untuk membakar ayam.

Ayam bakar siap, Arumi mengantarkan Sebagian ke rumah Nenek Ifah dan membawa piring ke kamar uminya.

“Umi, ayam bakarnya sudah siap.” Kata Arumi yang menggoyangkan tangan Umi Im.

“Umi…”

“Iya.” Jawab Umi Im dengan lemah.

Arumi membantu uminya duduk bersandar dan meletakkan meja lipat di pangkuan beliau. Setelah Arumi mengusap tangan Umi Im dengan tisu basah beralkohol, barulah beliau mulai makan.

Selesai makan, Umi Im menghentikan Arumi yang ingin membawa nampan ke dapur.

“Tolong ambilkan map yang ada di laci lemari!” Arumi menurut.

Setelah mengambil map yang dimaksud uminya, Arumi menyerahkannya dan duduk di samping uminya.

“Arumi, waktu Umi sudah tidak banyak. Setelah kepergian Umi, mungkin kehidupanmu akan semakin sulit. Jika kamu tidak tahan, kamu bisa pergi meninggalkan rumah ini. Kamu bisa tinggal di rumah peninggalan orang tua Umi.” Umi Im membuka map yang ternyata berisi surat tanah dan rumah dengan nama Arumi.

“Arumi baik-baik saja, Umi. Bukankah masih ada Abi dan Nenek?” Umi Im menggelengkan kepalanya membuat Arumi penasaran.

“Dengarkan Umi! Jika kamu sudah tidak tahan, tinggalkan rumah ini! Kamu bisa memulai hidup baru di sana.”

Entah apa yang dimaksud uminya, Arumi hanya bisa menganggukkan kepalanya. Umi Im tersenyum. Beliau juga mengambil buku tabungan dan kartu ATM yang selama ini tersimpan di laci sebelah tempat tidur.

“Selama ini, Umi sudah siapkan tabungan untukmu. Gunakan ini saat kamu memulai hidup baru. Jika kamu mau kuliah, kamu bisa menggunakannya. Jika kurang, kamu bisa menggadaikan tanah atau rumah ini. Terserah padamu karena Umi sudah memberikan semuanya kepadamu.” Arumi menatap bingung ke arah uminya.

Ia semakin dibuat penasaran dengan kata-kata Umi Im yang seolah-olah memberikan wasiat kepadanya. Apakah ajal sudah dekat? Jika iya, tentu Arumi akan mengikhlaskan uminya. Tetapi mengapa uminya mengatakannya seolah Arumi akan menderita setelah beliau tiada?

Arumi yang tidak bisa menangkap maksud uminya hanya menganggukkan kepalanya. Sayangnya, kalimat Umi Im berikutnya kembali membuat rasa penasarannya semakin kuat.

“Jangan katakana apapun kepada Abi! Simpan rahasia ini untukmu sendiri.”

“Kenap…”

“Nanti kamu akan tahu jawabannya, Nak.” Arumi mengangguk.

Setelah beberapa kalimat, Umi Im meminta Arumi untuk menyimpan pemberiannya. Arumi keluar dari kamar dan masuk ke dalam kamar untuk menyimpan map dan buku tabungan. Setelah itu ia ke dapur untuk membersihkan bekas makan uminya.

Tangan dan kaki Arumi bergerak dengan teratur tetapi kepalanya di penuhi dengan pertanyaan mengenai maksud uminya. Beliau adalah seorang ibu yang sangat baik dan penyayang.

Ini adalah kali pertama uminya mengatakan kalimat yang sangat ambigu. Sampai ia tidak bisa menafsirkan maksud beliau yang sebenarnya.

“Maafkan Umi yang egois ini, Nak. Umi tidak sanggup untuk jujur kepadamu. Kalau kamu membenci Umi karena keegoisan Umi, maka Umi akan menerimanya.”

Episodes
1 Arumi
2 Setengah Tahun Lagi
3 Wasiat
4 Tidak Pulang
5 Berpulang
6 Ibu Tiri
7 Kelulusan
8 Anak Angkat
9 Di Usir?
10 Mogok
11 Menemani Arumi
12 Perbaikan Rumah
13 Kehidupan Baru
14 Mencari Kenalan
15 Membatalkan
16 Mencari Arumi
17 Pertemuan
18 Karang Taruna
19 Berkunjung
20 Kakak Arumi
21 Tidak Bertemu
22 Sengaja Menjemput
23 Canggung
24 Tidak Sesuai Harapan
25 Izin Menginap
26 Luka
27 Bismillah...
28 Tidak Menyesal
29 Air Terjun
30 Apa Aku Layak?
31 Melamar
32 Siti Ingin Bertemu
33 Saingan Cinta
34 Menguras Kantong
35 Siti
36 Mencari Masalah
37 Arumi Gugup
38 Mengaku
39 Persiapan Pernikahan
40 Menunggu Waktu
41 Resmi Menikah
42 Suami Istri
43 Lupa Bernafas
44 Masih Berdarah
45 Tidak Melakukan Apapun
46 Resepsi
47 Aku Tahu
48 Kedatangan Tamu
49 Menantu Kesayangan
50 Makan Di Luar
51 Bi Nuri
52 Maafkan Kami
53 Malu Sendiri
54 Kamu Sangat Seksi
55 Ikut Ibu
56 Ziarah
57 Ziarah 2
58 Menyambut Arumi
59 Berusaha
60 Berita Kehamilan
61 Berita Duka
62 Tetaplah Anak
63 Durhaka
64 Sudahlah, Dek!
65 Wasiat
66 Kepiting dan Kerang
67 Nana dan Nani
68 Mulai Jalan-jalan
69 Pemeriksaan
70 Mengunjungi Siti
71 Mana Yang Baik
72 Cobaan
73 Kembar
74 Ide Jualan
75 Masuk Angin
76 Semuanya Datang
77 Cara Bikang
78 Berjauhan
79 Titip Salam
80 Keinginan Bumil
81 Menyayangi Arumi
82 Maaf
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Arumi
2
Setengah Tahun Lagi
3
Wasiat
4
Tidak Pulang
5
Berpulang
6
Ibu Tiri
7
Kelulusan
8
Anak Angkat
9
Di Usir?
10
Mogok
11
Menemani Arumi
12
Perbaikan Rumah
13
Kehidupan Baru
14
Mencari Kenalan
15
Membatalkan
16
Mencari Arumi
17
Pertemuan
18
Karang Taruna
19
Berkunjung
20
Kakak Arumi
21
Tidak Bertemu
22
Sengaja Menjemput
23
Canggung
24
Tidak Sesuai Harapan
25
Izin Menginap
26
Luka
27
Bismillah...
28
Tidak Menyesal
29
Air Terjun
30
Apa Aku Layak?
31
Melamar
32
Siti Ingin Bertemu
33
Saingan Cinta
34
Menguras Kantong
35
Siti
36
Mencari Masalah
37
Arumi Gugup
38
Mengaku
39
Persiapan Pernikahan
40
Menunggu Waktu
41
Resmi Menikah
42
Suami Istri
43
Lupa Bernafas
44
Masih Berdarah
45
Tidak Melakukan Apapun
46
Resepsi
47
Aku Tahu
48
Kedatangan Tamu
49
Menantu Kesayangan
50
Makan Di Luar
51
Bi Nuri
52
Maafkan Kami
53
Malu Sendiri
54
Kamu Sangat Seksi
55
Ikut Ibu
56
Ziarah
57
Ziarah 2
58
Menyambut Arumi
59
Berusaha
60
Berita Kehamilan
61
Berita Duka
62
Tetaplah Anak
63
Durhaka
64
Sudahlah, Dek!
65
Wasiat
66
Kepiting dan Kerang
67
Nana dan Nani
68
Mulai Jalan-jalan
69
Pemeriksaan
70
Mengunjungi Siti
71
Mana Yang Baik
72
Cobaan
73
Kembar
74
Ide Jualan
75
Masuk Angin
76
Semuanya Datang
77
Cara Bikang
78
Berjauhan
79
Titip Salam
80
Keinginan Bumil
81
Menyayangi Arumi
82
Maaf

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!