Bab 3: Taman yang Tak Pernah Penuh

Taman belakang kampus itu seperti dunia lain. Tak banyak mahasiswa yang ke sini, mungkin karena letaknya tersembunyi di balik gedung perpustakaan lama yang nyaris tak terurus. Jalan setapaknya sempit, dikelilingi ilalang dan pohon besar yang menua dalam diam. Angin berhembus lebih pelan di sini, seolah waktu melangkah dengan tenang.

Aku datang lebih awal. Tiga puluh menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Duduk di bangku besi yang sudah berkarat sebagian, dengan tangan gemetar yang tak bisa kuhentikan meski sudah kugenggam erat buku catatanku.

Aku menunggu.

Dan seperti kemarin, dia muncul tanpa suara.

Ale.

Jaket kampusnya masih sama. Langkahnya tenang. Tatapannya langsung menyentuh mataku—bukan dalam cara yang tajam atau menusuk, tapi lembut, seperti seseorang yang sudah lama mengenalmu dan tahu kamu tidak baik-baik saja, bahkan tanpa perlu bertanya.

“Aku tahu kamu datang,” katanya pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu kesunyian pohon-pohon di sekitar kami.

Aku menelan ludah. “Kamu yang kirim kertas itu, kan?”

Dia tak menjawab langsung. Sebaliknya, ia duduk di bangku sampingku, sedikit menyandar, menatap langit yang mulai kemerahan di ujung senja.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya kemudian.

Pertanyaan sederhana. Tapi nadanya... seperti datang dari seseorang yang benar-benar peduli.

“Entahlah,” jawabku jujur. “Aku masih menyesuaikan diri. Tempat ini asing. Semua orang kelihatan seperti tahu apa yang mereka lakukan. Aku... cuma berusaha kelihatan kuat.”

Dia mengangguk kecil. “Kamu nggak harus selalu kelihatan kuat.”

Aku menghela napas panjang. “Kalau aku kelihatan lemah, siapa yang akan bantu aku?”

Dia menoleh padaku. Senyum itu lagi—samar, hangat, nyaris menyakitkan karena terlalu tulus.

“Ada orang-orang yang akan peduli. Bahkan kadang, mereka nggak perlu kelihatan untuk benar-benar ada.”

Aku menatapnya, mencari makna di balik ucapannya. Tapi dia hanya kembali menatap langit.

“Aku bukan orang penting,” kataku akhirnya. “Nggak ada alasan buat siapa pun memperhatikan aku.”

“Kamu salah,” katanya pelan. “Setiap orang penting bagi semesta. Bahkan kalau dia merasa nggak berarti, ada tempat dalam hidup orang lain yang hanya bisa dia isi. Termasuk kamu, Wina.”

Hatiku bergetar. Ia menyebut namaku lagi dengan cara yang aneh—seolah... penuh makna, bukan basa-basi.

“Kamu selalu muncul pas aku butuh,” gumamku. “Kenapa?”

Ia menatapku lekat-lekat untuk pertama kalinya.

“Karena kamu mengingatkan aku... bahwa harapan itu bukan soal tahu ujungnya di mana. Tapi soal berani melangkah, walau masih gelap.”

Aku terdiam. Lama.

Dan saat aku ingin bertanya lebih jauh—siapa dia, kenapa dia selalu tahu aku di mana, dan mengapa tidak ada orang lain yang menyebut namanya—ia bangkit perlahan.

“Besok kamu akan menghadapi hari yang berat,” katanya. “Tapi kamu bisa. Kamu sudah lebih kuat dari yang kamu kira.”

“Kenapa kamu tahu?” bisikku.

Dia menoleh sekali lagi sebelum pergi.

“Karena aku pernah melihat orang sepertimu. Orang yang nggak sadar kalau dia sedang menyelamatkan dirinya sendiri.”

Lalu dia berjalan menjauh. Perlahan. Tanpa suara.

Dan anehnya, tak kutemukan bekas langkah di rerumputan setelahnya.

***

Jika kamu berada di posisi Wina, apakah kamu akan mempercayai sosok misterius seperti Ale atau justru mempertanyakan kenyataan yang kamu alami?

Jika kamu tahu seseorang menyimpan rahasia tentang masa lalumu dan dia selalu muncul di saat kamu paling rapuh apa yang akan kamu lakukan ketika akhirnya dihadapkan padanya dalam kesunyian malam? Seperti yang Wina alami.

Terpopuler

Comments

bluemoon

bluemoon

si ale muncul ga ngasi notif pulang juga ga beri notif

2025-08-04

1

༺𝑨𝒕𝒉𝒆𝒏𝒂_𝟐𝟓༻

༺𝑨𝒕𝒉𝒆𝒏𝒂_𝟐𝟓༻

awokawok win, kamu di gombalin arwah🤭

2025-08-03

1

sjulerjn29

sjulerjn29

jadi ale ini manusia bukan sih

2025-08-04

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Tanda yang Tak Biasa
2 Bab 2: Tidak Terdaftar
3 Bab 3: Taman yang Tak Pernah Penuh
4 Bab 4: Aula dan Malam yang Panjang
5 Bab 5: Aula dan Bisikan Lama
6 Bab 6: Antara Nyata dan Tidak
7 Bab 7: Buku, Filsafat, dan Jejak yang Tertinggal
8 Bab 8: Bayangan yang Tertinggal
9 Bab 9: Nama yang Terkubur
10 Bab 10: Roda yang Masih Menyimpan Nama
11 Bab 11: Kursi yang Menyimpan Bayangan
12 Bab 12: Cinta yang Tak Bisa Tinggal
13 Bab 13: Suara yang Tak Bisa Dimatikan
14 Bab 14: Waktu yang Ingin Ditahan
15 Bab 15: Yang Belum Dipulangkan
16 Bab 16: Rumah yang Menyimpan Namamu
17 Bab 17: Jalan Menuju Turunan Itu
18 Bab 18: Titik Terakhir
19 Bab 19: Hari Pertama Tanpamu & Setelah Kelulusan, Sebelum Kehilangan Lain
20 Bab 20 – Wajah yang (Pernah) Kukenal
21 Bab 21 - Tumpangan Tak Terduga & Wajah Itu Masih Sama
22 Bab 21 – Ganteng yang Terlalu Familiar
23 Bab 23 – Luka yang Pernah Ada & Nama yang Pernah Disebut dalam Doa Keluarga
24 Bab 24 – Yang Pernah Direncanakan
25 Bab 24 – Dua Nama, Satu Jiwa
26 Bab 26 – Saat Dunia Diam, Tapi Jantungnya Masih Berdetak
27 Bab 27 – Jika Aku Menutup Mata & Goresan yang Tak Pernah Berubah
28 Bab 28 – Kepada Seseorang yang Percaya & Rumah yang Terlalu Besar untuk Kenangan
29 Bab 29 – Perempuan dalam Seragam Merah & Perjalanan Kembali ke Titik Awal
30 Bab 30 – Runtuhnya Dinding yang Terakhir
31 Bab 31 – Rumah yang Pernah Menyebut Namamu
32 Bab 32 – Tiga Tahun yang Hilang
33 Bab 33 – Hantu di Siang Bolong
34 Bab 34 – Bayangan Lama di Lorong Baru
35 Bab 35 – Kepulangan yang Diharapkan
36 Bab 36 – Semua Kebenaran Tak Lagi Bisa Disembunyikan
37 Bab 37 – Dua Keluarga, Satu Luka dan Harapan
38 Bab 38 – Dua Pintu, Satu Jawaban
39 Bab 39 – Sebelum Aku Jadi Diriku Lagi & Pertunangan di Hari yang Cerah
40 Bab 40 – Satu Nama di Sehelai Doa
Episodes

Updated 40 Episodes

1
Bab 1: Tanda yang Tak Biasa
2
Bab 2: Tidak Terdaftar
3
Bab 3: Taman yang Tak Pernah Penuh
4
Bab 4: Aula dan Malam yang Panjang
5
Bab 5: Aula dan Bisikan Lama
6
Bab 6: Antara Nyata dan Tidak
7
Bab 7: Buku, Filsafat, dan Jejak yang Tertinggal
8
Bab 8: Bayangan yang Tertinggal
9
Bab 9: Nama yang Terkubur
10
Bab 10: Roda yang Masih Menyimpan Nama
11
Bab 11: Kursi yang Menyimpan Bayangan
12
Bab 12: Cinta yang Tak Bisa Tinggal
13
Bab 13: Suara yang Tak Bisa Dimatikan
14
Bab 14: Waktu yang Ingin Ditahan
15
Bab 15: Yang Belum Dipulangkan
16
Bab 16: Rumah yang Menyimpan Namamu
17
Bab 17: Jalan Menuju Turunan Itu
18
Bab 18: Titik Terakhir
19
Bab 19: Hari Pertama Tanpamu & Setelah Kelulusan, Sebelum Kehilangan Lain
20
Bab 20 – Wajah yang (Pernah) Kukenal
21
Bab 21 - Tumpangan Tak Terduga & Wajah Itu Masih Sama
22
Bab 21 – Ganteng yang Terlalu Familiar
23
Bab 23 – Luka yang Pernah Ada & Nama yang Pernah Disebut dalam Doa Keluarga
24
Bab 24 – Yang Pernah Direncanakan
25
Bab 24 – Dua Nama, Satu Jiwa
26
Bab 26 – Saat Dunia Diam, Tapi Jantungnya Masih Berdetak
27
Bab 27 – Jika Aku Menutup Mata & Goresan yang Tak Pernah Berubah
28
Bab 28 – Kepada Seseorang yang Percaya & Rumah yang Terlalu Besar untuk Kenangan
29
Bab 29 – Perempuan dalam Seragam Merah & Perjalanan Kembali ke Titik Awal
30
Bab 30 – Runtuhnya Dinding yang Terakhir
31
Bab 31 – Rumah yang Pernah Menyebut Namamu
32
Bab 32 – Tiga Tahun yang Hilang
33
Bab 33 – Hantu di Siang Bolong
34
Bab 34 – Bayangan Lama di Lorong Baru
35
Bab 35 – Kepulangan yang Diharapkan
36
Bab 36 – Semua Kebenaran Tak Lagi Bisa Disembunyikan
37
Bab 37 – Dua Keluarga, Satu Luka dan Harapan
38
Bab 38 – Dua Pintu, Satu Jawaban
39
Bab 39 – Sebelum Aku Jadi Diriku Lagi & Pertunangan di Hari yang Cerah
40
Bab 40 – Satu Nama di Sehelai Doa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!