Cold War on the Wedding Night
Tamara berhenti sejenak di sudut ruangan, mengambil segelas sampanye dari pelayan yang lewat, lalu menyesapnya perlahan. Namun, sebelum ia bisa menikmati ketenangan sesaat, suara lembut namun tajam terdengar di sampingnya.
???
Dia memang selalu seperti itu. Dingin, kasar, dan sulit ditebak.
Tamara menoleh dan menemukan seorang pria tinggi dengan jas hitam berdiri di sampingnya. Wajahnya tampan dan karismatik, dengan sorot mata tajam yang penuh kewaspadaan.
Leo Damian Sterling
Leo Sterling.
Pria itu memperkenalkan diri, mengulurkan tangan padanya.
Leo Damian Sterling
Kakak laki-laki Ethan.
Tamara terkejut sesaat sebelum akhirnya menjabat tangan Leo dengan anggun.
Tamara Evangelyn Arthur
Tamara Evangelyn Arthur... meskipun aku yakin kau sudah tahu itu."
Leo Damian Sterling
[Menyeringai tipis]
Leo Damian Sterling
Tentu saja. Aku hanya ingin melihat sendiri seperti apa wanita yang cukup berani untuk menikahi adikku.
Tamara Evangelyn Arthur
[Tertawa kecil meskipun ada kepahitan di dalamnya]
Tamara Evangelyn Arthur
Aku tidak tahu apakah ini disebut keberanian atau kebodohan.
Leo mengangkat alisnya, menatap Tamara dengan penuh ketertarikan.
Leo Damian Sterling
Mungkin keduanya.
Leo Damian Sterling
Tapi, satu hal yang pasti... Ethan tidak akan mudah ditangani. Jika kau ingin bertahan dalam pernikahan ini, kau harus lebih kuat darinya."
Tamara menatap Leo sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Ethan yang masih berdiri di kejauhan, dikelilingi beberapa pria dan wanita dari kalangan bisnis.
Tamara Evangelyn Arthur
[Matanya menyipit sediki
Tamara Evangelyn Arthur
Aku tidak berniat menyerah.
Leo Damian Sterling
[tersenyum kecil]
Leo Damian Sterling
Bagus. Karena aku ingin melihat bagaimana kau akan menghadapi adikku.
Hari semakin larut, dan pesta pernikahan mereka akhirnya berakhir. Para tamu mulai meninggalkan gedung megah itu, sementara Tamara hanya bisa menghela napas lega. Malam yang panjang dan melelahkan akhirnya usai, Namun, tantangan sebenarnya baru saja dimulai.
Di dalam kamar pengantin yang luas dan mewah, Tamara berdiri di depan cermin, melepaskan anting-antingnya satu per satu. Gaun pengantinnya masih terpasang sempurna, tetapi ia merasa terbebani olehnya—seperti simbol pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Pintu kamar terbuka dengan suara klik pelan, tetapi cukup untuk menarik perhatian Tamara. Ia menoleh sekilas melalui cermin, melihat sosok pria itu masuk dengan langkah santai.
Ethan Alexander Sterling berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin yang sudah sangat familiar.
Jas hitamnya sudah dilepas, meninggalkan kemeja putih yang sedikit kusut. Dengan gerakan malas, ia melonggarkan dasinya, lalu melemparkannya ke sofa tanpa peduli.
Tatapan matanya tajam saat bertemu dengan milik Tamara di pantulan cermin.
Ethan Alexander Sterling
Jangan berpikir terlalu jauh, Tamara. Pernikahan ini hanya sekadar formalitas.
Tamara menahan napas sesaat sebelum tersenyum sinis. Ia berbalik, menatap pria itu dengan tatapan tak tergoyahkan.
Tamara Evangelyn Arthur
Aku tidak perlu kau ingatkan, Ethan.
Ethan terkekeh kecil, tetapi tidak ada humor di sana. Ia berjalan mendekat, satu tangan membuka beberapa kancing atas kemejanya, memperlihatkan sedikit tato di dadanya.
Ethan Alexander Sterling
Bagus. Karena aku tidak tertarik bermain sandiwara sebagai suami yang baik.
Tamara Evangelyn Arthur
[Melipat tangan di depan dada]
Tamara Evangelyn Arthur
Sempurna. Karena aku juga tidak tertarik menjadi istri yang penuh harapan."
Ethan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dan berjalan menuju minibar di sudut kamar. Ia menuangkan whiskey ke dalam gelas, menyesapnya dengan santai.
Ethan Alexander Sterling
Kalau begitu, pastikan kau tetap berada di sisimu sendiri. Aku tidak ingin gangguan dalam hidupku.
Tamara terkekeh pelan, lalu berbalik kembali ke cermin, melepaskan perhiasannya satu per satu.
Tamara Evangelyn Arthur
Percayalah, Ethan. Aku tidak pernah tertarik untuk masuk ke dalam duniamu.
Malam itu, meskipun mereka berada di kamar yang sama, dinding tak terlihat di antara mereka terasa semakin tebal.
Suasana di kamar terasa dingin, bukan karena suhu ruangan, tetapi karena jarak yang sengaja diciptakan di antara mereka.
Ethan meletakkan gelasnya di meja dengan bunyi dentingan halus, lalu menghela napas pelan. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju ranjang dengan langkah santai, seolah kehadiran Tamara tidak berarti apa-apa baginya.
Tamara bisa melihat bayangannya di cermin—pria itu membuka kancing kemejanya satu per satu, memperlihatkan dada bidangnya yang dihiasi tato samar. Tatapannya tetap datar, tidak menunjukkan emosi apa pun.
Ethan duduk di tepi ranjang, mengusap tengkuknya sejenak sebelum akhirnya berbaring dengan santai. Ia tidak repot-repot melihat Tamara lagi, seolah kehadiran istrinya di ruangan yang sama tidak mengganggunya sedikit pun.
Tamara menghela napas panjang. Malam ini benar-benar melelahkan, dan ia tidak punya energi untuk berdebat dengan pria dingin itu.
Tapi, saat ia hendak beranjak menuju lemari, suara Ethan terdengar.
Ethan Alexander Sterling
Lampunya matikan.
Tamara berhenti sejenak, menoleh ke arahnya
Tamara Evangelyn Arthur
Kau punya tangan sendiri, Tuan Sterling.
Ethan membuka satu matanya, menatapnya seolah ia baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. "
Ethan Alexander Sterling
Aku lelah.
Tamara Evangelyn Arthur
Aku juga.
[Mendengus]
Ethan menghela napas dramatis, lalu—dengan sangat malas—mengangkat tangannya dan menjentikkan jari ke arah saklar.
Ethan Alexander Sterling
Matikan
Tamara Evangelyn Arthur
[Menyilangkan tangan di dada]
Tamara Evangelyn Arthur
Apakah kau selalu seperti ini? Menyuruh-nyuruh orang bahkan untuk hal sekecil itu?"
Ethan Alexander Sterling
[Menutup matanya lagi]
Ethan Alexander Sterling
Bukan salahku jika aku terbiasa dilayani."
Tanpa menjawab Tamara hanya menatap Ethan dengan ekspresi datar sebelum berbalik dan berjalan menuju kamar mandi.
Ethan membuka matanya sedikit, menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Ia mengerutkan kening.
Ethan Alexander Sterling
Hei, Tamara—"
Pintu kamar mandi tertutup sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.
Ethan menghela napas panjang, masih menatap pintu kamar mandi yang baru saja dibanting oleh istrinya.
Ethan Alexander Sterling
Sial
Dengan enggan, Ethan akhirnya bangkit dari ranjang, berjalan dengan malas menuju saklar, dan mematikannya sendiri. Ruangan langsung diselimuti kegelapan.
Saat kembali berbaring di tempat tidur ia memejamkan matanya.
Beberapa jam kemudian, pintu kamar mandi akhirnya terbuka, dan Tamara keluar dengan mengenakan piyama satin berwarna hitam. Rambutnya masih sedikit basah, dan wajahnya tampak segar setelah mandi Namun, langkahnya terhenti di dekat ranjang.
Ethan masih berbaring di sana, satu tangan di bawah kepala, matanya terpejam seolah sudah tertidur. Tapi, begitu Tamara berdiri diam terlalu lama, pria itu akhirnya membuka matanya sedikit, menatapnya dalam cahaya redup kamar.
Ethan Alexander Sterling
[Mengangkat satu alis]
Ethan Alexander Sterling
Apa kau akan terus berdiri di sana?"
Tamara Evangelyn Arthur
Aku sedang berpikir apakah ranjang ini cukup besar untuk kita berdua.
Ethan Alexander Sterling
Kalau kau takut tidur di sini, aku tidak keberatan jika kau mengambil sofa."
Tamara Evangelyn Arthur
[Melipat tangan di dada]
Tamara Evangelyn Arthur
Ini juga kamarku, Sterling. Aku tidak akan tidur di sofa.
Ethan hanya mengangkat bahu, lalu menutup matanya lagi.
Ethan Alexander Sterling
Kalau begitu, berhentilah berdiri di sana seperti hantu dan cepat tidur."
Tamara mendelik kesal, tapi akhirnya berjalan ke sisi ranjang dan naik ke atasnya. Ia menarik selimutnya sendiri, memastikan ada cukup jarak antara dirinya dan Ethan, Baru saja ia merasa nyaman, suara Ethan kembali terdengar.
Ethan Alexander Sterling
Oh, dan satu hal lagi.
Tamara Evangelyn Arthur
Apa lagi?"
Ethan Alexander Sterling
Jangan pernah menyentuhku saat tidur."
Tamara Evangelyn Arthur
[Mendengus]
Tamara Evangelyn Arthur
Percayalah, Ethan. Jika aku menyentuhmu, itu pasti bukan untuk alasan yang menyenangkan."
Ethan hanya tertawa pelan sebelum akhirnya benar-benar memejamkan matanya. Malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri berakhir dengan perang dingin yang... sedikit konyol.
Comments