Seekor kunang-kunang terbang melewati embun pada permukaan daun hijau, menyingkap tikus-tikus yang bersembunyi di balik kegelapan malam.
Dia berkeliling mengitari semak belukar dengan cahayanya yang redup, memberikan warna baru bagi pekarangan dari rumah kayu sederhana dengan ukiran-ukiran sederhana pada tiang-tiangnya.
Seorang wanita muda berambut hitam menggendong seorang bayi sambil menepuk-nepuk pelan punggung sang bayi, penuh kehati-hatian, penuh kehangatan, hingga sang bayi tertidur pulas olehnya.
Dia memandang pekarangan rumah sejenak sebelum mengambil sehelai kain yang tersampir di pagar teras rumahnya – pemandangan yang sunyi dan gelap.
Beberapa saat kemudian, suara berdesir terdengar dari halaman rumahnya, dari angin yang membawa debu dan dedaunan kering yang rontok. Tubuh wanita itu agak menggigil karena udara dingin.
"Huf.. Sebaiknya aku cepat-cepat masuk."
Wanita itu menutupi bayinya dengan kain yang baru diambil dan melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan hati-hati.
Kriet....
Suara yang menyertai pintu yang terbuka, menunjukkan pemandangan baru yang ceria dari Danu yang berebut makanan dengan seseorang yang lebih tua dengannya.
"Gak boleh..! Bapak kan sudah dapat tadi..!" Teriak Danu yang menyembunyikan kueh kering di balik bajunya.
"Loh.. Sudah dari mana? Orang bapak tadi baru naru kue kering udah gak ada!" Elak Tuan Senja - ayah Danu.
Wanita itu tertawa kecil dengan kelakuan mereka yang kekanakan, dia mendekat dan menggapai pundak Danu dengan lembut.
"Sudah bapak ... nanti Kemuning bangun ..." Tegur ringan sang wanita.
Tuan Senja berdecak kesal. "Lalu, kue bapak bagaimana?"
Istrinya meringis. "Aku yang makan, terus kenapa?"
"Ha ...? Ya ampun ... Cendana ... kenapa tidak bilang?" tanya Tuan Senja yang mengacak-acak rambutnya sendiri.
Nyonya Cendana duduk pada kursi yang ada di sana, menatap Tuan Senja sambil memelas, "aku tadi lapar, maaf ya~"
Tuan Senja kehabisan kata-kata dengan jawaban istrinya itu dan memalingkan wajah - diam-diam melirik kesal sang istri yang lembut.
Nyonya Cendana menggoyang lembut Kemuning yang sempat meronta sejenak, membiarkan Danu mendekat dan menyentuh pipi tembam adiknya.
Senyum Danu mengembang, memperhatikan dengan seksama adiknya yang tertidur pulas sambil menarik ringan pakaian ibunya.
Danu berlutut dan membenamkan kepalanya pada lutut Nyonya Cendana. Nafas Danu semakin tenang seiring belaian Nyonya Cendana yang menyisir rambutnya.
"Untung ibu datang ... hehe ..." batin Danu
Tuan Senja duduk dengan pasrah pada kursi yang ada di hadapan Nyonya Cendana. Matanya teralihkan pada sebuah bingkai lukisan seorang lelaki tua yang penuh kebahagiaan.
Mata Tuan Senja tampak terpaku padanya – terdiam dalam pikirannya sendiri.
Nyonya Cendana dapat mendengar suara nafas Tuan Senja yang berat. Lelaki itu tampak murung saat tidak ada yang bicara dengannya.
Nyonya Cendana berfikir, "sejak ayah mertua wafat 1 tahun lalu, Senja menjadi lebih sering murung dari biasanya."
"Danu minggir dulu ya ..." pinta Nyonya Cendana pada Danu sambil beranjak pergi, membaringkan Kemuning di dalam kamarnya.
Danu menghela nafas melihat mata murung ayahnya. "Ha ... Bapak ini, pasti masih kepikiran Kakek Surya."
Dia mengatakan itu di dalam hati, meski dia sendiri juga merasakannya.
Tuan Senja termenung sampai rasa geli menjalar di kakinya karena Nyonya Cendana yang tiba-tiba duduk di pangkuanya.
Nyonya Cendana mengusapkan wajahnya pada leher Tuan Senja, membuat Danu cemberut karena dipinggirkan.
Danu berteriak dalam hati, "aduh ... kenapa sih, bapak sama ibu harus bermesraan di depan ku?"
"Ha ... Kakek ... bisa-bisanya kamu meninggalkan aku sendirian, jadi obat nyamuk."
Lesung pipi Nyonya Cendana terpampang tat kala dia bermanja dengan Tuan Senja.
Tuan Senja meraih pinggang Nyonya Cendana, melirik Danu yang bergegas masuk ke kamar dan keluar dengan pakaian berbeda yang lebih kasar.
"Oh ... Sudah mau latihan di jam segini?" Tanya Tuan Senja.
Danu menjawab tanpa menoleh, "iya, dari pada jadi obat nyamuk doang!"
"Hei! Sama orang tua kok bicara sembarangan!" tegur Tuan Senja, ringan.
Nyonya Cendana terkekeh geli mendengar perkataan Danu, dia masih berlama-lama pada pangkuan suaminya, menghiraukan perkataan Danu.
#####
Di belakang rumah Danu rumput-rumput berdesir oleh angin yang datang berirama.
Menyertai Danu yang bersiap dengan mata oenuh keyakinan, lalu menggeser kakinya pada permukaan tanah.
Memasang posisi kuda-kuda tengah sambil merentangkan kedua tangannya yang mengepal ke depan.
Danu mulai mengatur nafasnya. Menarik, menahan, dan mengeluarkan nafas secara perlahan.
Udara hangat memenuhi paru-parunya setiap kali dia menarik nafas, meregangkan otot-otot dadanya yang terasa dipanaskan oleh aliran darahnya.
"Huff ... fokus ... biarkan lingkungan disekitar mu 'berbicara' dengan sendirinya." batin Danu, mengingat apa yang pernah dia pelajari.
Desis nafas yang dihembuskan menyatu dengan tiupan angin yang mengurai rambut Danu.
Kulitnya merasakan terpaan suhu dingin dan debu yang berterbangan, dengan disertai perasaan halus pada tiap partikel yang dibawa.
Keberadaan Danu seolah menyatu dengan alam, dengan mata yang fokus pada satu titik - retakan kecil di pohon.
Dia dapat mengetahui katak yang bergerak di antara guguran daun, dibalik rumput tinggi, melalui pendengaran dan aura yang dia pancarkan.
Tubuhnya terasa semakin hangat, rasa hangat semakin menjadi pada syaraf-syaraf yang menegang, menjalar dari dada hingga ke ujung jari-jarinya, sampai rasa sakit datang perlahan.
Nafasnya semakin berat dan dalam, setiap tarikannya menjadi sumber kekuatan dan hembusannya seolah mengusir pergi rasa sakitnya.
Waktu terus perjalan dengan perasaan yang sama dan rasa sakit yang sama. Danu tidak menghitung berapa lama dia berdiri dan melatih napasnya.
15 menit?
20 menit?
Danu tidak tahu pasti karena fokusnya hanya untuk merasakan 'kekosongan' yang mendatangkan keheningan dan penepis rasa sakitnya.
Hening
Sampai gerakan kecil dari semut di tanah dapat dia rasakan.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang bergejolak menggerutu dalam hatinya.
Muncul ingatan yang masih segar tentang rintihan kesakitan Klara saat dia menarik tangannya, berusaha melindunginya dari sesuatu yang tidak dapat mereka hindari.
Kenapa harus mereka?
Memangnya apa arti tanda itu?
Cahaya mengintip keluar dari pintu rumah tanpa Danu sadari. Tuan Senja menengok anaknya dan mengernyitkan mata.
"Tumben fokus anak itu pecah? Padahal baru 2 jam berlalu?" Batin Tuan Senja.
Tuan Senja mengamati sekitarnya, menelusuri setiap sudut rumah dan menemukan kain pel yang tergeletak di sudut teras.
Seringai licik tergambar di wajah lelaki paru baya itu, dia memungut dan membuntalnya - bersiap melemparkannya pada Danu.
Bak...
Danu terjungkal dengan kain kotor menempel di wajah.
Dia segera menyingkirkan kain itu dari wajahnya dan menatap tajam Tuan Senja yang tertawa ringan.
"Apaan sih ... bapak ini?" keluh Danu dalam batinnya.
Tuan Senja melambaikan tangannya, memberikan isyarat pada Danu untuk mendekat.
Danu mendekat dengan muka masam sambil membawa kain itu bersamanya.
Dia protes, "bapak ini, kayak gak ada cara lain aja!"
"Hem ... apa? perbaiki dulu bahasa mu!" tegur Tuan Senja.
Danu mengerutkan kening. "Bapak ... anda kan bisa cari cara lain selain pakai kain pel ini!"
Tuan Senja mengelus kepala Danu dan berkata, "iya bapak minta maaf, tadi bapak cuma iseng saja."
"Latihan kamu sampai sini saja dulu!"
Danu tertegun, menoleh pada Tuan Senja dengan heran.
Tuan Senja melanjutkan, "kita lanjutkan besok, ada yang harus bapak benarkan dari pengendalian pikiranmu."
Danu menunduk dan mengiyakannya sambil masuk ke rumah.
Tuan Senja terpikirkan sesuatu dan menggoda Danu, "jangan lupa mandi! Bau mu sudah seperti kain pel!"
"Iya ..." jawab Danu malas.
Tuan Senja tidak langsung masuk ke dalam rumahnya, dia berjalan ke hamparan rumput itu sejenak.
mendongak ke langit dan mengamati bintang-bintang yang bersinar.
"Apa sudah waktunya ya?" Gumam Tuan Senja.
#####
Di bawah bentangan lintang bintang yang sama.
Seorang berjubah hitam dengan topeng hitam berukiran wajah harimau masuk pada bangunan tua, berpondasi batu bata dan berbahan baku kayu yang telah bobrok.
Lumut tumbuh pada setiap cela bangunan bersama dengan serangga menjijikan dan bau busuk yang memenuhi ruangan.
Seorang pria tua mengelap bola kristal bercahaya di tengah ruangan dan melirik sosok yang masuk.
"Jadi, apa yang kalian ini Tuan Barakas inginkan?"
"Sang eksekutor bertopeng harimau," sindir sang pria tua.
Barakas meletakkan selembar kertas dengan lingkaran sihir yang tertulis di atasnya, menatap pria tua itu dengan tajam.
"Lacak lingkaran sihir ini sesegera mungkin!"
"Aku buru-buru!"
Pria tua itu terkekeh dengan permintaan Barakas, dia berhenti mengelap dan ber-celetuk, "segala sesuatu ada harganya bukan?"
Sesst...
Asap keluar dari kayu meja yang disentuh Barakas.
Dia berjalan ke samping sang pria tua, meletakkan sebuah potongan jari ke atas meja, dan berbisik, "anggap saja itu jantung mu!"
Pria itu langsung pucat pasi dan bertekuk lutut, memohon dengan putus asa.
"A-ampuni saya tuan ..."
Barakas tidak mempedulikannya dan mencengkram pundak pria itu, membuatnya menjerit kesakitan karena cengkraman tangannya yang membara.
"Sadarlah! Kamu tidak diposisi yang layak untuk menawar!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Wida_Ast Jcy
hahaaa... kain pelikat baunya kayak gimana thor
2025-11-09
1
Chimpanzini Banananini
normal sih jika sepasang suami istri bermesraan depan anak. taoi yaa ga gitu juga kaleeee
2025-11-10
1
ginevra
mengumbar kemesraan di depan anak. bagus bagus lanjutkan pak
2025-11-03
1