Barisan kesatria berbaris rapi mengitari taman pada sebuah Mansion besar dengan lentera di tangan pemimpin mereka.
Pada malam yang sunyi, derap kaki mereka menjadi satu-satunya sumber suara selain suara kuk kuk burung hantu.
Malam itu menjadi malam yang tenang seperti biasa bagi para prajurit, tapi tidak bagi seorang bangsawan yang mereka lindungi.
Namanya Evelyn Sharma, anak tunggal dari Roman Sharma, lambang kecantikan bagi keluarga Sharma.
Bangsawan dengan rambut hitam itu berjalan dengan tenang, melewati lorong panjang dengan cahaya remang yang memantul pada setiap sisinya.
Langkah kakinya anggun, terangkat dan menapak dengan hati-hati namun alami, seolah dialah arti keanggunan itu sendiri.
Mata coklat gelapnya yang jernih menyala dengan indah di depan api pada setiap lentera yang dia lalui.
Setiap pelayan dan prajurit akan membungkuk kepadanya, siapapun akan tahu kebangsawanan gadis itu hanya dengan melihatnya saja.
Dia berhenti pada sepasang daun pintu besar yang dijaga oleh kesatria berzirah mengkilat, dengan lambang bunga melati putih pada plat armor-nya.
Dua keberadaan yang tidak bisa nona itu abaikan kesenioran-nya.
Kedua kesatria itu tidak membungkuk padanya, namun tatapan mata mereka tertunduk, tidak berani bertemu pandang dengan sang bangsawan.
Sang bangsawan menyingsing gaunnya dan menunduk, memberikan penghormatan pada kedua kesatria.
"Salam tuan kesatria,"
"Bisakah putri yang kesepian ini bertemu dengan ayahnya?"
Kedua kesatria itu saling bertukar pandang sesaat melalui lirikan mata, sebelum seorang dari mereka mengetuk pintu dari kayu dengan warna coklat gelap itu.
Tok tok
"Tuan, putri anda, Nona Evelyn, ingin bertemu dengan anda." ucap sang kesatria dengan suara berwibawa.
Tidak ada jawaban dari dalam, bahkan sedikitpun reaksi tidak ada, baik persetujuan maupun larangan, sesuatu yang tidak biasa, sehingga evelyn mundur secara naluriah, membiarkan kedua kesatria bersiap mengambil langkah masuk.
Satu orang berdiri di depan Evelyn sementara yang lainnya bersiap menarik pedangnya dan menyentuh permukaan pintu dengan ujung jari tangannya yang lain.
Kesatria menutup matanya dan berfokus pada daun pintu yang dia sentuh, membiarkan auranya berjalan dengan sendirinya ke arah pintu itu.
"Fokus, rasakan setiap getaran kecil memandu mu ..." begitulah pikirnya.
Perasaannya semakin tidak nyaman saat memfokuskan auranya pada ruangan di balik pintu.
Ruangan itu benar-benar sunyi, tidak tanda-tanda suara lembaran kertas yang terbalik atau suara dengkuran dari seseorang yang tertidur.
Hanya suara rintihan ketakutan.
Sang kesatria segera tersentak sadar, membuka pintu yang terkunci hanya dengan sedikit hentakan jarinya.
Udara hangat segera masuk pada ruangan dingin itu, bersamaan dengan gerakan cepat sang kesatria yang terhenti di tengah ruangan.
Netra sang kesatria bergetar, tidak percaya dengan apa yang dia lihat sendiri.
Suara hatinya langsung berkata, "maafkan aku tuan ...."
Kesatria tertunduk dan berlutut penuh penyesalan di hadapan seorang bangsawan yang meringkuk di atas kursi dengan ketakutan.
"Ayah!"
Evelyn segara menghampiri ayahnya dan memeluknya erat, menyandarkan kepala bangsawan itu pada bahunya.
"Ayahanda kenapa? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan panik.
Nona itu menatap tajam dua kesatria di depannya dengan matanya yang merah padam karena amarah.
Tekanan kuat dari seorang penguasa menggantikan keanggunan yang semula terpancar dari Evelyn.
"Temukan siapa yang membuat Ayahanda seperti ini! Dan jangan berani lalai atas setiap detail sekecil apapun!"
Kedua kesatria segera pergi tanpa menunda waktu, mereka berjalan dengan cepat dan memanggil setiap penjaga yang mereka temui.
Sementara Evelyn masih memeluk ayahnya yang bergumam.
"E... Eksekutor..."
"Ampuni a..aku, tu-tuan eksekutor..!"
Evelyn mengernyitkan dahinya, bertanya-tanya dalam hati, "Siapa mereka?"
#####
Rembulan tidak hanya menaungi Evelyn yang diliputi kegelisahan dan kekhawatiran kepada ayahnya.
Cahaya sayup itu juga menjadi waktu bagi setiap makhluk hidup untuk beristirahat bersama kerabat mereka.
Membiarkan kesejukan malam meniupkan suara-suara halus yang menenangkan, bersama lantunan hewan-hewan yang beraktivitas pada malam itu.
Keharmonisan yang mengisi kekosongan dari Klara yang termenung dalam belaian kasih sayang dari ibunya, yang menyisir perlahan rambut panjangnya, helai demi helai, sampai rambut merah panjang itu terlihat rapi.
Pada ruang keluarga, Klara duduk di depan sofa panjang yang ditempati ibunya, menghadap cermin besar yang terpajang di sana.
Nyonya Vivi, mama Klara, tersenyum melihat bayangan anaknya dari cermin di depan mereka.
Jari-jari halusnya mengelus kepala Klara, perlahan dan tenang, dengan senyum yang mengembang.
"Ada apa sayang, kok murung?" Tanya Nyonya Vivi - perhatian.
Klara mengangguk pelan dan memeluk pinggang mamanya, bermanja-manja pada wanita yang menemaninya itu.
Nyonya Vivi membujuk Klara dengan kehangatannya, melalui belaian tangan perlahan, sambil berkata, "Klara~ anak mama yang cantik ... kalau ada apa-apa bicara sama mama ya ..."
"Jangan buat mama khawatir ..."
"Mama kan jadi sedih kalau Klara murung seperti ini~"
Klara menegakkan tubuhnya sebentar, mencari posisi yang nyaman untuk bersandar pada mamanya.
Klara bercerita dengan mata yang agak terkatup karena kantuk yang datang.
"Mama ... kata Kak Danu, mulai besok, Kak Danu gak bisa gendong Klara lagi ... Kak Danu bilang Klara udah besar jadi gak boleh ..."
Nyonya Vivi tertawa kecil, dia menggoda, "loh ... memangnya Klara masih kecil?"
Klara mengeluh, "ih ... Mama ah ..., bukan itu maksudnya ..."
"Lalu apa?"
"Maksud Klara itu ... Klara masih ingin digendong sama Kak Danu ... tapi sekarang sudah gak bisa lagi karena kami bukan saudara kandung ..."
Nyonya Vivi menghela nafas lega, ada sedikit harapan yang dia tunjukkan pada Danu hingga muncul sebuah ide dibenaknya.
Klara melihat ekspresi mamanya dari kaca, anehnya ibunya itu meringis penuh siasat.
Entah mengapa, Klara merasa kalau hal itu berhubungan dengannya.
Nyonya Vivi berdehem, memperbaiki ekspresi wajahnya dengan cepat, secepat membalikkan tangan.
Dia menanggapi Klara, "itu artinya Kak Danu orangnya bertanggung jawab, justru Klara harusnya bersyukur ..."
"Memangnya kenapa? Kak Danu kan memang bertanggung jawab?"
Nyonya Vivi berteriak gemas di dalam hatinya.
"Ah ... Klara ... masak gak paham maksud Mama sih ..."
Kali ini Klara merasa sedikit takut, apalagi melihat wajah Nyonya Vivi yang sedikit tidak teratur - penuh perasaan gembira yang tidak biasa bagi Klara.
Nyonya Vivi mendekatkan bibirnya pada telinga Klara, membisikan sesuatu pada anaknya yang masih polos itu.
Klara menyimak dengan seksama, pupil matanya melebar bersama dengan wajahnya merona secara perlahan hingga menjadi merah padam.
"Ah ... Mama apaan sih!" teriak Klara dengan keras hingga terdengar dari ruangan sebelah yang merupakan ruang kerja papanya.
Papa Klara, Tuan Daniel, Menengok dari balik pintu yang dia buka setengah karena terkejut. Dia memperhatikan langkah lebar Klara yang menaiki tangga menuju kamarnya.
Suara derit kayu terdengar pada tiap langkah yang dia ambil, seolah akan patah karena pijakan Klara.
Tuan Daniel keluar dari ruangannya dan menyandarkan tubuhnya di samping Nyonya Vivi, membiarkan istrinya itu tertawa sambil merilekskan tubuh pada rangkulan sang suami.
Tuan Daniel bertanya dengan heran, "apa yang kalian bicarakan sampai Klara marah seperti itu?"
Nyonya Vivi tersenyum licik padanya dan menjawab, "Coba tebak..!"
Dia melangkah pergi ke kamarnya, meninggalkan Tuan Daniel yang kebingungan sendiri di ruangan itu.
#####
Sementara itu, Klara berbaring di atas kasurnya, sambil membungkus tubuhnya dengan selimut putih.
Wajah Klara masih mera padam di balik selimut, memikirkan apa yang buru saja dibisikkan mamanya.
Klara mengeratkan selimut, berguling-guling dan membuat dirinya terbungkus seperti kepompong.
Namun, segera melemparkan kain itu ke atas karena gerah dan rasa frustasi.
Dia kembali menyeret selimutnya, membiarkan setengah wajahnya terpampang.
Klara bergumam,
"Aku dan Kak Danu?"
"Yang benar saja ...."
"Menikah?"
Klara menutup seluruh wajahnya setelah menggumamkan hal itu, memaksa matanya untuk tertutup - berharap dia bisa melupakan perkataan mamanya.
Walau dalam hati juga menantikan momen itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Vᴇᴇ
𝖻𝗎𝗄𝖺𝗇 𝗆𝖺𝗋𝖺𝗁 𝗌𝗂𝗂 𝗅𝖾𝖻𝗂𝗁 𝗍𝖾𝗉𝖺𝗍𝗇𝗒𝖺 𝗌𝗂 𝗄𝗅𝖺𝗋𝖺 𝗅𝖺𝗀𝗂 𝖻𝗅𝗎𝗌𝗁𝗂𝗇𝗀 /Awkward/
2025-11-10
1
Chimpanzini Banananini
netra itu artinya udh mata kak meng/Drowsy/
2025-11-08
0
ginevra
kok nggak boleh menemui ayahnya. kenapa?
2025-10-31
1