Merasa aneh dengan apa yang Abiyan katakan Asha terkekeh pelan. "Apa yang bisa menyulitkanku, Ian?"
Abiyan mengedikkan bahu lalu tersenyum kecil. Keduanya berpisah jalan di depan pintu restoran. Asha membawa langkahnya menuju halte, namun ketika ia melewati deretan toko dan kafe Asha terpaksa menghentikan langkah kakinya. Seorang pria memanggil namanya.
Asha menoleh, seorang pria jangkung dengan kulit putih dan wajah serta matanya yang sangat kental dengan orang bule tersenyum ke arahnya.
"Ace," pekik Asha. Pertemuan pertamanya dengan sahabatnya sejak bertahun-tahun lalu membuat Asha merasa bersemangat.
Ace menghampirinya memeluk Asha dengan erat, melepas kerinduan yang memenuhi keduanya. Ace mengajak Asha untuk mengobrol di dalam dan wanita itu menyetujuinya.
"Bagaimana kabarmu, Ash? Bukankah terakhir kali aku dengar kamu bekerja di Paris? Mengapa kembali ke sini? Liburan? Kapan kamu akan kembali ke Paris?" Ace menyerbu Asha dengan pertanyaannya, mata biru di balik bulu mata lentik pria itu tampak fokus menatap Asha. "Dan, wow— apa ini? Style mu kembali ke setelan awal. Aku kira terakhir kali kamu sudah jadi lebih feminim?"
"Kamu masih sama, ya? Penuh semangat seperti dulu." Asha tersenyum kecil. "Aku akan menjawab pertanyaanmu satu per satu, oke!"
Ace mengangguk namun matanya tak pernah sekalipun lepas dari Asha. Binar wajahnya tidak menutupi perasaannya yang bahagia.
"Pertama kabarku baik, Ace. Seperti yang kamu lihat. Dan ya, seperti yang kamu dengar aku memang bekerja di Paris setelah studiku berakhir. Tapi bicara soal itu, hei— bukankah kamu curang? Kamu tahu kabarku, tapi mengapa sama sekali tidak menghubungiku saat aku melanjutkan studi ke Paris hingga saat ini?"
"Aku menyesal soal itu, Ash. Kamu tahu, aku kembali ke negara asal ayahku sejak bisnisnya bangkrut di sini. Dan yah, aku terlalu sibuk mengurusi studi juga bisnis ayahku. Perihal tentangmu, aku sesekali mengintip akun sosial media milikmu."
"Dan kamu tidak menghubungiku sekali pun?"
Ace menunduk. "Maaf. Aku takut pikiranku terpecah jika kita kembali berhubungan."
"Maksudnya?" sahut Asha, ia merasa kalimat Ace sedikit ambigu.
"Lupakan tentangku! Aku minta maaf atas apa yang terjadi. Ke depannya tidak akan ada hal seperti itu lagi." Ace kembali menatap Asha. "Lanjutkan jawabanmu!"
"Baiklah," ucap Asha namun wajahnya tampak ragu sebentar sebelum ia kembali melanjutkan bicara. "Aku tidak akan kembali ke Paris."
Ace ingin sekali bertanya namun akhirnya memilih untuk menahan diri, ia menunggu Asha melanjutkan kalimatnya.
"Aku akan menikah."
"M–menikah?" Ace bangun dari kursinya, keterkejutannya sama sekali tidak bisa ditutupi.
Asha mengangguk, wanita itu sama sekali tidak terusik oleh respon dari sahabat yang beberapa tahun ini hilang kontak dengannya.
"Tapi tadi pagi aku baru saja membatalkannya." Asha menunjukkan deretan giginya yang rapi, seolah apa yang ia ucapkan bukanlah sesuatu yang besar.
"APA?" Ace kembali berdiri kali ini tangannya bahkan kursinya ikut terpental ke belakang akibat gerakannya yang terlalu cepat.
Asha ikut berdiri dan membungkuk meminta maaf pada setiap pasang mata pengunjung yang kini berpusat padanya dan Ace. Asha tahu tindakan Ace cukup mengganggu pengunjung lain, setidaknya membungkuk dan meminta maaf bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan lagi. Sudah menjadi hukum alam jika melakukan kesalahan memang perlu meminta maaf.
"Duduklah! Semua orang melihat kita," bisik Asha.
Ace tersadar tindakannya berlebihan, ia segera duduk dan memasang wajah hati-hati untuk kembali membuka mulut. "Kau tidak apa-apa?"
Asha mengangguk lalu mengulas senyum. "As you know, Ace."
"Rhea sudah tahu?" Ace menelisik wajah Asha namun wanita itu tidak menyahuti, ia hanya diam dan menunduk. Ace meraih ponselnya, menelepon seseorang. Asha mendongak lalu merampas dan mematikan sambungan telepon yang baru saja terhubung. Seseorang sempat mengucap halo sebelum Asha berhasil mematikan sambungan telepon tersebut.
"How's it going, Ash? Itu Rhea, dia perlu tahu tentang ini."
"I know it was her, Ace. Rhea— aku batal menikah ada kaitannya dengannya." Asha membekap mulutnya sendiri dengan tangan, ia kelepasan bicara.
"Apa maksudmu?"
Asha menggeleng pelan, berharap Ace berhenti penasaran. Namun Asha salah orang, Ace bukan pria seperti itu. Sejak dulu jika itu berkaitan dengan dirinya Ace tidak akan pernah berhenti untuk penasaran hingga menemukan jawabannya.
Asha menyerah. "Baiklah, janji padaku untuk tidak menunjukkan respon berlebihan setelah aku bicara. Jika tidak aku tidak akan pernah membuka mulutku."
Ace menganggukkan kepala berkali-kali, ia tampak antusias. "Katakan!"
"Rhea tidur dengan pria yang akan menjadi suamiku, di atas ranjang kamarku di apartemen milikku." Asha memejamkan mata dan menutup telinganya. Mengantisipasi teriakan Ace, ia yakin pria itu akan sangat syok mendengar penjelasannya.
Beberapa saat berlalu dan Asha membuka matanya, berharap syok yang dialami Ace telah berlalu. Namun kali ini Asha yang terkejut pria itu sudah berjongkok disampingnya. Tidak hanya itu, lebih tepatnya Ace menarik Asha dalam pelukan dengan sebelah tangannya. Tangan kirinya terkepal, urat-urat di lengannya tampak mencuat dan tubuhnya menegang. Asha tahu pria itu sedang diliputi amarah.
"Aku tahu mulutmu sangat gatal untuk mengumpat, tapi tenanglah! Bukankah Rhea teman kita?"
"Teman? Mana ada teman yang tidur dengan calon suami temannya? Dia sinting, Ash. Tapi kamu lebih sinting karena membiarkan ini berlalu begitu saja."
"Aku tidak membiarkan ini begitu saja, Ace. Seperti kataku aku sudah membatalkan pernikahanku dan untuk Rhea aku sedang berpikir akan melakukan apa."
Ace melepaskan pelukannya. "Ah, aku lupa. Kamu memang wanita yang seperti itu. Kamu punya caramu sendiri. Aku menyesal sempat mengkhawatirkanmu." Ace kembali ke tempat duduknya.
Asha terkikik. "Aku tetap berterima kasih Ace meskipun kamu menyesal. Mm jika kamu bertemu Rhea jangan katakan apa pun! Bersikaplah seolah kamu tidak tahu apa-apa, oke!"
"Entahlah, aku tidak bisa jamin."
"Hei, ayolah! Kau harus membantuku agar rencanaku berhasil. Berjanjilah, oke!"
Ace mengangguk. Ia benar-benar ingin melampiaskan amarahnya jika bertemu Rhea, namun ia terpaksa membuat janji itu, demi Asha. Keduanya berpisah ketika Asha kembali menerima panggilan telepon dari Zaky. Kali ini ia tidak bisa mengabaikan pria itu lagi. Asha harus bertemu Zaky agar urusannya dengan pria itu segera selesai.
Zaky meminta bertemu dan Asha yang menentukan lokasi. Di sebuah mall besar di pusat kota, tepatnya di tempat ice skating. Asha datang lebih dulu sebelum Zaky. Wanita itu memasang sepatu ice skating di kakinya, selanjutnya Blade Guards dan yang terakhir adalah soakers. Beruntung pakaian yang ia kenakan hari ini mendukung pergerakannya untuk bermain ice skating.
Ia melakukan pemanasan dan peregangan otot sebelum meluncur di atas es yang dingin. Asha mulai mendorong menggunakan ujung kakinya, meluncur perlahan dan semakin menaikkan kecepatan. Ia bahkan beberapa kali berputar di atas es, tubuhnya meliuk-liuk mengikuti gerakan kakinya seolah ia menari di atas es yang dingin.
Di luar Zaky berdiri, matanya fokus menatap setiap gerakan wanita itu. Dulu ia sempat melakukan hal yang sama, sempat merasakan debar dan takjub yang sama pada sosok di atas es layaknya saat ini. Pria itu sadar, ini bukan tujuannya. Tujuannya adalah bertemu Asha. Zaky membuka ponselnya membaca pesan terakhir yang Asha kirim. Wanita itu meminta agar Zaky masuk ke area ice skating, ia sudah lebih dulu berada di sana.
Zaky kembali menatap ke dalam, mencari sosok Asha seperti yang terakhir kali ia kenali. Namun nihil, tidak ada seorang pun di dalam sana yang berpenampilan seperti Asha yang ia kenal. Satu-satunya wanita yang memiliki postur tubuh seperti Asha hanya wanita dengan jaket hitam dengan celana panjang dan rambut Messy Bob itu.
Jangan-jangan ...
Tanpa ragu lagi Zaky masuk ke area ice skating usai memasang kelengkapan yang dibutuhkan. Tanpa pikir panjang Zaky mendekati wanita yang sejak tadi mencuri perhatiannya. Begitu sampai di samping wanita itu, matanya membulat sempurna.
"Hai ... "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments