TUKAR PASANGAN

TUKAR PASANGAN

BAB 1

"Aku akan menjemputmu di bandara, jadi tunggu saja sampai aku datang!"

Asha membaca lagi pesan yang dikirim Zaky dua jam lalu. Tidak— lebih tepatnya dua jam lewat delapan belas menit yang lalu. Entah sudah kali ke berapa Asha mengintip layar ponselnya.

Wanita dengan Trench Coat berwarna cokelat susu itu duduk dengan gelisah di kursi tunggu. Ia mengetuk-ngetukkan sepatu boat dengan hak tinggi yang melindungi kakinya itu di lantai, hingga suaranya samar terdengar di antara kebisingan bandara.

Asha sengaja memoles sedikit make up di wajahnya sebelum ia terbang dari Paris beberapa jam lalu. Riasan di wajahnya kini sudah hampir luntur, namun pria yang seminggu lagi akan menjadi suaminya itu belum kunjung datang.

Asha membuka lagi ponselnya mengetik pesan lagi pada Zaky, meskipun beberapa pesan yang ia kirim sebelumnya sama sekali tidak di baca oleh pria itu. Tidak— bahkan pesan yang ia kirim belum sampai pada penerimanya. Entah apa yang terjadi hingga membuat ponsel Zaky tidak dapat dihubungi.

Asha berdiri, wanita itu berjalan mondar-mandir. Kini Asha dilanda rasa khawatir. Wanita itu mencoba menghubungi sahabatnya yang menjabat sebagai sekretaris Zaky, ia perlu mengonfirmasi keberadaan Zaky agar tidak lagi memikirkan hal buruk yang terjadi pada Zaky. Pasalnya pria itu sebelumnya selalu fast respon jika Asha mengirim pesan.

"Hallo," sapa seorang wanita yang menerima panggilan telepon dari Asha.

"Kamu lagi dimana Rhea, aku perlu memastikan keberadaan Zaky. Dia bilang akan menjemputku di bandara, tapi sekarang bahkan belum kelihatan batang hidungnya."

"Ah— aku sudah di apartemen Ash. Jika dia belum datang mungkin dia sedang mengurus hal lain yang lebih penting. Tunggu saja!"

"Tapi ... " Belum sempat Asha melanjutkan kalimatnya panggilannya sudah diakhiri secara sepihak. Asha hanya bisa mengembuskan napasnya tanpa bisa protes. Ia kembali duduk.

Di atas ranjang yang seprainya kusut serta selimut dan dua stel pakaian yang berserakan di lantai Rhea bergelayut manja pada seorang pria yang sama polosnya dengan dirinya.

"Kamu yakin tidak ingin menjemputnya sekarang?" Suaranya yang manja lagi-lagi membuat pria itu bergairah.

"Nanti. Ini lebih penting," tunjuknya pada aset pribadinya yang kembali menegang.

"Dasar pria nakal!" Rhea memukul pelan dada bidang pria yang kini sudah berpindah posisi di atasnya. Ciuman yang berlanjut dengan lumatan dan napas yang menuntut terjadi di antara dua manusia yang dipenuhi gairah itu. Rhea bahkan mengabaikan notifikasi pesan yang muncul di ponselnya.

Asha menyimpan kembali ponselnya begitu ia mengirim pesan pada Rhea. Sudah terlalu lama ia menunggu Zaky, namun nyatanya pria itu tidak kunjung tiba. Mungkin pria itu benar-benar sedang mengurus hal yang benar-benar penting. Lagipula ia bukan wanita manja yang hanya bisa mengandalkan pasangannya, Asha memilih untuk pulang sendiri.

Asha menyeret kopernya menuju pintu keluar. Di belakangnya seorang pria dengan hodie hitam juga headphone yang menggantung di leher berjalan menuju arah yang sama. Koper di tangan pria itu menandakan jika ia sama halnya dengan Asha yang baru saja melakukan perjalanan. Bedanya pria itu langsung keluar begitu ia tiba, sedangkan Asha sudah berdiam di bandara selama hampir tiga jam.

Asha masuk ke dalam taksi yang ia hentikan. Dadanya berdegup gembira, membayangkan bisa bertemu dengan sahabatnya. Satu-satunya orang yang sangat dekat dengannya. Selain Zaky, Rhea juga alasan baginya untuk kembali ke negara kelahirannya itu.

Taksi berhenti di area parkir apartemen yang lebih dari empat tahun Asha tinggalkan. Sejak neneknya meninggal dunia Asha memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Dua tahun lalu Asha bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan sebagai copy writer. Ia mencintai pekerjaannya, namun ia harus pulang dan melangsungkan pernikahannya dengan Zaky. Dua bulan lalu Nyonya dan Tuan Andara secara pribadi terbang ke Paris hanya demi melamarnya untuk menikah dengan Zaky pria yang di menjadi kekasihnya sejak delapan tahun lalu.

Asha menghirup dalam-dalam udara kota yang sangat ia rindukan sebelum ia benar-benar masuk ke dalam lift yang akan membawanya menuju lantai delapan. Lantai yang sengaja ia pilih karena menyukai angka delapan. Apartemen tempat ia dan Rhea tinggali sebelum ia melanjutkan studinya di Paris.

Denting indikator suara berbunyi, penanda lift telah sampai di lantai yang dituju. Asha lagi-lagi menyeret kopernya, kali ini langkahnya dipercepat. Ia sudah sangat tidak sabar untuk memeluk sahabat yang ia rindukan.

Jemari lentiknya memasukkan kode pintu, namun begitu pintu terbuka ia sama sekali tidak melihat keberadaan Rhea, pintu kamar Rhea tertutup rapat. Mungkinkah ia sedang pergi? Asha terpaksa menelan rasa kecewanya. Kakinya berjalan lebih jauh ke dalam menuju kamar miliknya pintunya terbuka separuh.

Asha dengan jelas melihat seorang pria yang tengah bergumul dengan Rhea di atas ranjang miliknya. Pria itu mengerang bersamaan dengan Rhea yang melenguh puas. Pinggul pria itu berhenti bergerak namun ia tidak kunjung melepaskan diri.

"Aku masih ingin. Ayo lakukan lagi!" Suara yang familiar terdengar begitu jelas di telinga Asha.

Asha menegang hingga akhirnya tubuhnya bergetar. Tubuhnya merespon lebih dulu dibandingkan dengan pikirannya yang masih menolak untuk menerima kenyataan.

"Kamu benar-benar nakal, Zaky. Calon istrimu menunggu di bandara bukankah kamu harus menjemputnya?"

Zaky menghentakkan pinggulnya, membuat aset miliknya yang masih berada di dalam inti Rhea semakin masuk. Desahan kencang lolos dari bibir Rhea yang bengkak. Zaky melumat kasar bibir bengkak itu.

"Diamlah! Jangan membahas wanita yang bahkan tidak bisa membuatku puas!" Zaky terdengar kesal. Sementara Rhea mengalungkan tangannya dengan manja di leher pria itu.

"Baiklah, lakukan dengan pelan!"

"Bukankah kamu menyukai yang cepat? Kamu tadi memintaku untuk mempercepat durasi," sahut Zaky yang moodnya sudah kembali normal.

Asha masih berdiri mematung di depan pintu, tubuhnya tidak bisa bergerak selain gemetar karena marah dan kecewa yang bercampur. Air matanya tiba-tiba luruh dengan derasnya, di hadapannya Zaky mengerang bersahutan dengan Rhea yang mendesah, keduanya saling menyebut nama dengan manja.

Gerakan pinggul Zaky yang liar, suara-suara yang menjijikkan semuanya membuat Asha mual. Perutnya seperti diaduk-aduk, air mata yang tidak kunjung berhenti— Asha benar-benar kacau. Dering ponsel milik Rhea membuat Asha tersadar ia harus pergi dari sana. Sebelum pergi, Asha berharap Zaky menyebut namanya meskipun sedang bergumul dengan Rhea. Asha berharap Zaky melakukan itu hanya karena mabuk. Namun, sampai ia benar-benar menjauh pria itu tetap menyebut nama Rhea di sela-sela gerakan dan erangannya.

Asha berlari menyeret koper yang tadi ia tinggalkan di dekat pintu apartemen. Di lobi Asha berpapasan dengan Abiyan, pria itu menyeret koper dengan satu buket bunga di tangannya. Namun, jangankan peduli dengan sapaan basa-basi Asha menyeret kakinya dengan langkah cepat dengan wajah yang kacau.

Melihat penampilan Asha yang kacau Abiyan mengurungkan niatnya untuk menyapa, Abiyan menarik kembali tangannya yang semula terangkat. Tak lagi ambil pusing Abiyan kembali melangkah, ia harus segera menemui kekasihnya.

Abiyan berdiri dengan jantung yang berdebar-debar di depan pintu dengan nomer 808. Abiyan merasa janggal dengan pintu apartemen yang terbuka sedikit, mungkinkah ini di sebabkan oleh Asha yang ia temui tadi atau karena sebab lain? Entahlah Abiyan merasa perlu memeriksa ke dalam. Ia sengaja masuk tanpa menekan tombol bel.

Kaki Abiyan terus melangkah dengan mantap, namun tetap waspada hingga terhenti di depan pintu kamar dengan nama Ash tergantung di daun pintunya. Pintu yang terbuka separuh menampilkan dengan jelas pemandangan di dalam kamar. Suara Rhea yang melenguh panjang juga erangan Zaky yang begitu puas dengan permainan mereka membuat mata Abiyan membelalak nyalang.

Pria itu mendorong kencang pintu kamar hingga menimbulkan bunyi benturan yang keras antara daun pintu dengan tembok itu membuat dua insan yang masih tumpang tindih itu terlonjak kaget.

Rhea yang pertama kali menyadari keberadaan Abiyan. Wajahnya berubah pucat. "K–kka kamu, kapan datang Abi?" Rhea turun dari ranjang berniat menghampiri Abiyan, ia bahkan lupa jika kini tubuhnya masih telanjang.

Abiyan mengabaikan Rhea yang akhirnya mematung di tempat. Pria itu memutari sisi sebelah ranjang, matanya tajam dan wajahnya begitu nyalang. Dengan brutal ia melayangkan tinju ke wajah Zaky. Rhea berteriak histeris, namun teriakannya seolah menjadi penyemangat bagi Abiyan. Pria itu menghujani wajah Zaky dengan pukulan bertubi-tubi. Wajah Zaky memar tanpa bisa melakukan perlawanan.

Wajah Zaky memar dan berdarah di beberapa bagian. Abi menatap wajah Zaky dan Rhea secara bergantian. Tubuh keduanya yang polos tanpa tanpa satu helai kain pun membuat Abiyan geram sekaligus jijik.

Pria itu mendengus kesal, "Wah— kalian benar-benar luar biasa."

Rhea berniat menjelaskan pada Abiyan, namun pria itu menolak dengan keras. "Berhenti di sana! Kau benar-benar membuatku jijik."

Rhea mematung, wajahnya pucat. Ia menunduk kecewa namun akhirnya tersadar jika ternyata kini tubuhnya benar-benar masih polos. Ia berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan kedua tangannya.

Abiyan mendecih. "Tidak perlu berpura-pura malu, lagipula aku tidak akan bernafsu meski kamu memamerkannya dengan jelas sejak tadi. Kamu benar-benar menjijikkan Rhea."

"Tidak— bukan hanya Rhea, kamu juga kak. Kamu bahkan lebih menjijikkan dari wanita itu," tunjuk Abiyan pada Rhea. "Kamu tahu dia kekasihku tetapi masih menidurinya, seminggu lagi kamu bahkan akan menikahi sahabatnya. Apakah kalian masih bisa di sebut manusia?" teriak Abiyan. Entah mengapa wajah kacau Asha terlintas di benaknya.

Ah— jadi Asha kacau seperti itu setelah melihat ini semua. Wanita itu terlalu baik atau karena terlalu naif? Hingga membiarkan ini berlalu begitu saja.

"Bagaimana jika Asha tahu perbuatan kalian?" Abiyan seperti bicara pada tembok. Kedua orang di depannya sama sekali tidak ada yang menyahuti pertanyaannya. Ia mendengus kesal.

Buket bunga yang tergeletak di lantai ia injak dengan sepatunya, menggilasnya pelan hingga kelopaknya hancur satu per satu. Abiyan berlalu meninggalkan dua orang yang masih berada di posisi semula mereka. Ia menyeret koper yang ia tinggalkan di depan pintu. Langkahnya gontai, ledakan perasaan di hatinya benar-benar membuatnya tidak nyaman.

Apa yang harus ku lakukan?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!