Asha tenggelam dalam kenangan yang pernah ia lalui bersama Zaky. Kenangan saat pertama kali ia berdebar meski hanya dengan menatap wajah Zaky kembali berputar dalam ingatannya. Semua kenangan kebersamaannya dengan Zaky tampak jelas seolah itu terjadi di depan matanya. Asha tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi, bahkan di depan matanya sendiri.
Sebelumnya hubungannya dengan Zaky baik-baik saja. Meskipun jauh dari kata romantis, namun pria ia itu tidak pernah berbuat buruk pada Asha. Bahkan saat keduanya menjalani hubungan jarak jauh, Zaky selalu fast respon saat membalas pesan-pesan yang dikirim Asha. Juga panggilan vidio, tidak pernah sekalipun pria itu melewatkan barang sehari pun.
Asha masih begitu denial dengan apa yang terjadi, pasalnya Zaky tidak pernah menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan sebelumnya. Wanita itu duduk di atas sebuah bangku yang dicor beton, di bawah pohon flamboyan yang bunganya sedang mekar di setiap batangnya. Kulit pahanya yang tidak terlindung rok pendek sama sekali tidak merasakan dinginnya permukaan bangku. Seolah seluruh indera di tubuhnya menjadi mati rasa.
Ingatannya kembali berputar di mana Asha saat itu menyatakan perasaannya dan langsung Zaky terima tanpa berpikir dua kali. Asha menyimpulkan jika pria itu benar-benar memiliki perasaan yang sama padanya. Asha sama sekali tidak pernah berpikir kemungkinan jika Zaky akan mengkhianati perasaannya. Hubungannya yang hampir tidak pernah sekalipun berselisih membuat Asha bersyukur dengan hal itu.
Namun, siapa sangka hubungan damai yang ia jalani kini diterpa badai yang sangat dahsyat, hingga hatinya tak mampu menopang gelombangnya.
Kakinya masih bergetar hebat. Sungai air mata mengalir deras tanpa kendali. Waktu yang Asha rasakan seolah melambat dan berjalan mundur kembali pada beberapa saat lalu dimana matanya menangkap pengkhianatan calon suaminya bersama sahabat yang begitu ia sayangi melebihi apa pun.
Asha merasa dirinya menjadi titik fokus saat itu dimana semua bergerak secara samar namun ia hanya berdiam diri di tempat dengan dimensi waktu yang seolah enggan bergerak.
"Hai calon kakak ipar." Abiyan tiba-tiba saja sudah berjongkok di hadapan Asha.
Terkejut, tentu saja. Asha masih kalut dengan perasaannya sendiri namun kini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa pria yang seharusnya menjadi adik iparnya itu memergoki kondisinya yang kacau.
Asha menyeka kasar air mata yang membanjiri pipinya. Hidung dan matanya tampak semerah udang rebus. "Ian, sejak kapan?" Dari sekian banyaknya orang yang memanggil nama Abiyan dengan panggilan Abi akan tetapi, sejak pertama kali mereka bertemu Asha memilih memanggil Abiyan dengan panggilan Ian, menurutnya nama itu lebih mudah diucapkan dan Abiyan sendiri tidak pernah mempermasalahkan hal itu.
"Cukup lama, mungkin beberapa saat sebelum kamu menyedot lagi ingus yang keluar dari hidungmu, Ash." Abiyan tersenyum jahil.
Mata Asha membelalak, terkejut dengan apa yang diucapkan Abiyan. Bukan bualan semata namun Asha memang sempat menyedot ingusnya beberapa saat lalu. Jadi, saat ini Asha benar-benar merasa malu.
"Mengapa wajahmu memerah Ash, jangan katakan kamu sekarang merasa malu? Padahal tadi kamu sangat bersemangat saat menyedot ingusmu. Bahkan bunyinya—"
"Tutup mulutmu, Ian!" pekik Asha. Lalu dengan suara pelan yang lebih seperti berbisik Asha bergumam, "Rasanya aku ingin mengubur diriku sendiri saat ini." Asha menutup matanya rapat-rapat. Wanita itu tidak berani menatap Abiyan.
"Bagus, marah jauh lebih baik Ash. Menangis sangat tidak cocok denganmu. Tersenyumlah!"
Asha membuka matanya, mengintip sedikit pada ekspresi yang Abiyan tunjukkan, tidak ada senyum jahil seperti sebelumnya. Melainkan sikap tenang yang benar-benar terlihat tulus.
Asha dan Abiyan tenggelam dalam pikiran masing-masing, tidak ada lagi kalimat yang saling menyahut seperti yang sudah terjadi.
Setelah kebisuan cukup lama menelan mereka, tiba-tiba Abiyan bangkit. Tubuhnya yang jangkung membuat Asha terpaksa mendongak untuk menatap wajah pria itu.
Setelah Asha perhatikan Abiyan memiliki rambut hitam pekat dengan potongan rambut messy wolf cut yang jatuh berantakan dengan poni panjang yang membingkai wajah tegasnya. Membuat tampilan Abiyan terlihat liar namun tetap memikat. Sorot mata yang tenang seolah menghipnotis Asha untuk tetap berada dalam jangkauan pandang pria itu. Ada kilat sendu yang samar di wajahnya meski ia sembunyikan sebaik mungkin.
Asha sadar pria itu juga telah mengetahui perihal perselingkuhan Rhea dan Zaky, namun meskipun Asha menunggu nyatanya Abiyan tidak mengatakan sepatah kata pun tentang hal itu. Dan Asha cukup tahu diri untuk tidak membahasnya lebih dulu. Lagipula yang berselingkuh dengan kekasih Abiyan tak lain adalah calon suaminya.
Setelah mengembuskan napas yang cukup panjang pria itu menarik sudut bibirnya sedikit. "Bangunlah! Aku akan mengantarmu pulang."
"Pulang?" Pertanyaan Asha menggantung di udara, wanita itu memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaannya dan lebih memilih untuk diam dan mengalihkan pandangannya ke samping.
"Keluarga kami, memiliki beberapa apartemen dan aku rasa sudah sewajarnya kamu bisa tinggal pada salah satunya. Aku akan mengantarmu ke sana, Ash," jelas Abiyan seolah tahu apa yang sedang dikhawatirkan oleh Asha.
Asha kembali menatap Abiyan namun kali ini pria itu yang berusaha menghindar. Asha tahu saat ini adalah saat-saat yang sulit bagi dirinya maupun bagi Abiyan. Ia butuh istirahat setelah perjalanan jauh namun kembali ke apartemennya sendiri itu jauh tidak mungkin lagi, Asha tidak bisa membayangkan jika harus beristirahat di ranjang miliknya dipakai untuk bercinta oleh Rhea dan Zaky. Asha akhirnya menyetujui tawaran dari Abiyan.
Asha duduk di samping Abiyan dalam mobil roadster milik pria itu. Mobil yang sangat cocok dengan style pria itu. Meski Abiyan dan Zaky adalah kakak beradik namun segala hal tentang mereka begitu berbanding terbalik. Abiyan dengan tampilan liarnya dan Zaky dengan tampilan tenangnya. Namun malam ini pandangan Asha terhadap dua pria yang saling terhubung itu berubah drastis. Pria yang disangka-sangka liar dan nakal ternyata jauh lebih baik dari pria yang terlihat tenang itu. Zaky yang tenang ternyata mampu membuat badai yang begitu ribut bagi Asha. Bahkan membuatnya merasa ditenggelamkan dengan paska dalam alur yang disusun Zaky untuknya.
"Aku ingat terakhir kali rambutmu pendek sebahu dan style berpakaianmu juga um— sedikit tomboy. Tapi aku rasa kau sudah banyak berubah rambutmu jauh lebih panjang dan penampilanmu terlihat lebih feminim." Abiyan berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari kemudi.
"Hei— ayolah! Kau tahu kakakmu sangat tidak menyukai style seperti itu. Eh— lupakan! Aku bahkan tidak sadar sudah sejak kapan aku mengubah style." Asha mengalihkan pembicaraan. "Berusaha melakukan hal yang tidak disukai ternyata memang sia-sia, ya?" tanya Asha lirih, wanita itu lebih seperti merutuki dirinya sendiri.
Abiyan tahu pertanyaan Asha bukanlah sebuah pertanyaan yang benar-benar membutuhkan jawaban melainkan hanya sebuah pertanyaan yang mengandung kekecewaan pada Zaky. Sama halnya dengan dirinya yang juga merasa kecewa pada Rhea. Abiyan mencengkeram kemudinya dengan sangat erat, kuku jarinya bahkan sampai menancap. Pria itu menoleh ke arah Asha yang menatap ke luar jendela. Entah apa yang di pikirkan wanita itu, namun sepertinya itu bukan saatnya Abiyan bertanya. Ia kembali menghadap ke depan dan fokus pada kemudi.
Begitu sampai di apartemen, Abiyan bahkan membawakan koper milik Asha hingga ke lantai teratas. Asha mengikuti Abiyan dalam diam. Sebuah penthouse mewah yang rapi dan bersih membuat Asha membelalak begitu masuk ke dalamnya.
"Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau, Ash. Anggap saja rumah sendiri!"
"Mana mungkin aku begitu, Ian. Aku hanya akan tinggal di sini selama beberapa hari saja."
"Hei— Ayolah! Kita bahkan bukan orang asing, Ash."
Asha tertawa getir, "Aku terima kebaikanmu Ian, tapi aku tidak enak hati dengan nyonya dan Tuan Andara jika tinggal di sini lebih lama."
Abiyan menggaruk tengkuknya. "Sebenarnya penthouse ini milikku pribadi. Aku takut kamu akan menolaknya jika tahu jadi aku tadi mengatakan bahwa ini milik keluargaku."
Asha tampak terkejut, namun tidak ada kemarahan meskipun sudah dibohongi. "Tetap saja Ian, aku akan tetap menerima niat baikmu, dan sampai aku menemukan tempat tinggal baru aku akan meninggalkan penthouse ini."
Alis Abiyan terangkat sebelah. "Tempat tinggal baru? Bukankah apartemen yang di tempati Rhea itu milikmu?"
Asha menyunggingkan senyum di wajahnya lalu mengangguk.
"Apa kau hanya akan diam saja ketika Rhea menyabotase apartemen milikmu?"
"Akan aku pikirkan nanti saja perihal itu, Ian!"
"Lalu kau mau pergi ke mana? Apakah masih di kota ini atau akan pergi jauh?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments