Pemaksaan

..."Apa salahnya aku menjadi diriku sendiri, bukan menjadi apa yang orang lain inginkan"...

...•...

...•...

Arlan menatap adik kecilnya yang masih bersekolah di sekolah dasar kelas 3, seumuran dengan Arsa. Ia menatap iba karena sering ditekankan oleh papanya untuk selalu menjadi nomor satu di kelasnya, sama dengannya. Arlan tidak benar-benar membenci teman-teman sekelasnya. Hanya saja, ia bersifat dan bersikap kasar kepada mereka untuk takut kepadanya dan mengikuti perintahnya.

Mengapa demikian? Karena jika Arlan berbaur dengan teman-temannya dengan akur dan dekat. Mereka akan menjadi teman Arlan dan akan selalu dekat dengannya. Ia tidak menginginkan hal tersebut. Karena Arlan ingin dirinya dikenal dengan ego besarnya untuk selalu menjadi nomor satu, walaupun tidak memiliki teman.

Arlan sengaja membuat orang lain tidak menyukainya agar mereka menghindarinya. Papanya selalu menekan kedua putranya, yaitu Arlan dan adiknya yang masih kecil. Maka dari itu, Arlan membuat dirinya ditakuti dan tidak disegani karena egonya yang besar untuk mendapatkan nilai yang memuaskan.

Walaupun menyakitkan dirinya sendiri dan membuatnya kesepian di sekolah. Arlan tetap menurut kepada papanya karena beliau adalah orang tua satu-satunya setelah bercerai. Sering demam, mimisan, bahkan pingsan di suatu tempat tidak membuat Arlan kendor untuk terus belajar dan belajar demi sebuah angka agar papanya memujinya, dan tidak membentak ataupun menghindarinya.

Dengan cara orang-orang menakutinya dan membencinya. Nama Arlan Baswara sering memenuhi mading utama sekolah yang terletak di bagian paling depan karena sering memenangkan perlombaan. Tidak hanya itu, nama Arlan juga termasuk dalam sebuah lampiran para guru-guru karenanya namanya selalu menjadi paling atas dari nama-nama siswa-siswi seangkatannya. Apakah itu? Itu adalah lampiran jejeran nilai tertinggi dalam beberapa semester yang bersaing dalam semua siswa-siswi seangkatannya.

Rasa ketakutan para siswa-siswi yang seangkatan dengan Arlan selalu mengikuti mereka karena papa Arlan adalah kepala sekolah dari SMA Alatra. Papa Arlan tidak mengetahui hal tersebut, karena papanya tidak peduli dengan kabar yang beredar di dalam lingkungan sekolah dan hanya memfokuskan diri pada nominal angka yang dicapai oleh kedua putranya.

Tidak adanya rasa kepedulian ataupun kasih sayang kepada anak-anaknya membuat kedua putranya kurang akan kasih sayang. Adik Arlan yang bernama Gevariel, atau sering dipanggil dengan sebutan Variel oleh abangnya, sering menatap iri kepada teman-temannya yang selalu diantar jemput oleh kedua orangtuanya dan mendapatkan kecupan di pipi saat akan memasuki kelas.

Variel hanya bisa melihat hal tersebut dengan tatapan datar, lalu menundukkan kepalanya. Di saat anak-anak seusianya bermain dengan orangtuanya di taman dan diberikan es krim, Variel justru diberikan buku bacaan oleh papanya. Terkadang Arlan membantunya dan mengelus punggung adik kecilnya saat adiknya merasa sesak di dadanya.

Arlan hanya bisa tersenyum miris melihat keadaan keluarganya yang sangat ambrul adul. Ia sering mendapatkan lingkaran hitam di matanya saat bangun tidur karena keseringan begadang dan menatap layar laptop, ataupun tabletnya. Buku-buku banyak berserakan dengan buku-buku tebal bacaannya di meja belajar. Sering belajar dan ketiduran di meja belajar juga menyebabkan tubuhnya pegal-pegal karena tidak nyaman dengan posisi seperti itu.

Jati dirinya adalah di rumah, Sementara topengnya di sekolah. Sebuah suara keras dengan jari telunjuk kanan yang menusuk-nusuk dahinya terasa sakit pula di lubuk hatinya. Sebuah bentakan dan suara seseorang yang memarahinya dengan meremas lembaran hasil ujiannya telah memanah Arlan dengan sebuah pedang yang terbuat dari api yang menyala-nyala.

Perih, sakit, tapi hanya bisa berdiam diri dan menundukkan kepalanya. Gio habis-habisnya memarahi putra sulungnya karena mendapatkan nilai 95 dalam penilaian kimianya. Nilai tersebut paling tinggi di kelasnya, tapi nilai Zea lebih tinggi, yaitu sempurna alias 100. Gio menusuk-nusuk jari telunjuknya ke dahi Arlan dengan suara keras dan meremas hasil penilaian tersebut dengan geram. Bahkan, Gio melempar hasil penilaian tersebut ke tempat sampah di ujung ruangan tapi melesat karena tidak tepat.

"Kamu kira saya menyekolahkan kamu demi nilai di bawa nilai yang lebih tinggi? Tidak! Saya hanya menginginkan kamu untuk terus belajar demi nilai yang paling tinggi dan menjadi nomor satu, bukan dua ataupun tiga dari beberapa jejeran murid yang lainnya."

Arlan semakin dalam menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap Gio. Bahkan, dari sisi ucapan dari omongan yang selalu Gio lontarkan itu tidak menunjukkan bahwa dirinya seorang orangtuanya. Melainkan bos dari Arlan yang menyuruhnya untuk selalu kerja dengan hasil yang memuaskan. Jika tidak, ia akan marah besar dan tidak akan mengucapkan kata pujian untuk Arlan.

"Kamu dengar tidak?" Arlan mengangguk. "Berikan ini ke adik kamu."

Gio memberikan sebuah buku pembelajaran anak sekolah dasar yang biasa. Tapi hal yang tidak biasa adalah sebuah angka kelas yang terletak di pojok kanan bawah buku tersebut. Buku ini untuk kelas 4, sementara Variel masih kelas tiga.

"Ini..."

"Buat adik kamu, biar semakin semangat belajar. Kemarin saya melihat nilai Variel naik dengan bagus, tapi ada beberapa yang belum sempurna."

Arlan meremas sisi buku tersebut dengan mengigit bibir bawahnya. Lagi-lagi Gio tidak memperdulikan keadaan ataupun kondisi anaknya yang sedang tertekan dengan kemauannya. Arlan benar-benar muak dan ingin menghempaskan buku yang ia tatap sekarang ke wajah orangtuanya dengan kesal.

Tapi tidak bisa, walaupun sikap Gio seperti ini kepada anak-anaknya. Arlan akan tetap menerimanya walaupun jauh di lubuk hatinya tersakiti. Ia bersalaman dan mencium punggung tangan Gio sebelum keluar dari ruang kerja Papanya dengan senyuman yang ia paksakan.

Sebuah cahaya keluar dari pintu kamar Variel yang tidak benar-benar tertutup. Arlan melangkah perlahan untuk mengintip apa yang adiknya lakukan saat larut malam seperti ini. Ia membulatkan matanya saat melihat Variel menangis dengan memeluk lututnya di atas kasur dan kepalanya yang ia tenggelam ke dalam lipatan tangannya.

Arlan memasuki kamar adiknya dengan perlahan-lahan dan menutup pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Ia meletakkan buku di laci sebelah kasur dan duduk di dekat Variel. Pergerakan kasur yang dapat Variel rasakan membuatnya mengangkat kepalanya dan menoleh kepada orang yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Abang nggak apa-apa?" Arlan mengangguk. "Tadi papa marahin Abang kayak gitu nggak takut?"

"Enggak, emang kenapa?"

"Serem."

Arlan menatap manik mata adiknya yang berair dan menghapus air mata yang lolos turun membasahi pipi Variel dengan tangannya. Ia tidak dapat memungkiri jika Variel mengucapkannya. Bahkan, anak kecil saja tahu hal seram yang orangtuanya lakukan. Tapi orangtuanya tidak mengetahui hal seram pada anaknya yang dibuat olehnya. Arlan mengelus punggung Variel dan merebahkan tubuh adiknya agar segera tidur karena sudah larut.

Mungkin, suara Gio tadi membuat Variel terbangun dan membuatnya mendengar ucapan yang seharusnya tidak didengarkan. Arlan mengelus rambut Variel dan menatap wajah tenang adiknya saat tidur. Anak sekecil ini sudah menghadapi pahitnya kehidupan karena orangtuanya. Mulai dari hal perceraian, pertengkaran, bahkan sebuah ucapan pemaksaan yang seharusnya tidak masuk dalam gendang telinganya.

Setelah mendengar dengkuran Variel, Arlan perlahan meninggalkan kamar adiknya menuju kamarnya yang berada tepat di depan kamar Variel. Ia membuka pintu balkon dan menghirup udara malam yang dingin dengan dalam-dalam dan menghempaskan kasar. Ia melirik kertas jadwal yang sudah ia buat untuk bulan ini karena sangat padat. Apalagi ia mengikuti perlombaan yang sama dengan Zea.

...••••...

Zea meletakkan tasnya di bangku bus dan mulai mengeluarkan bukunya untuk memulai belajar pagi ini. Bisa dikatakan sangat pagi, karena Zea berangkat lebih awal yang ditemani oleh dinginnya udara pagi yang menusuk kulitnya. Ia juga memasang earphone pada telinganya agar tidak terganggu dengan suara dari luar, walaupun samar-samar masih bisa ia dengar.

Bus berhenti di halte berikutnya dan mengangkut penumpang lebih banyak. Para pekerja kantoran serta seorang pelajar juga ikut naik. Dengan tidak sengaja, mata Zea menabrak mata seseorang yang sempat membuatnya kesal dan ingin ia lempar keluar saat itu juga.

Arlan tiba-tiba ada di dalam bus dengan gerombolan para pelajar lainnya. Ia tidak memperdulikan Zea dan duduk di sebrang tempat duduk Zea agar tidak berdekatan karena bangku yang lain sudah penuh. Seorang laki-laki bertubuh kekar dan sebuah kalung rantai perak yang bergelantungan di lehernya, serta tato hitam yang terlihat di kedua bahunya itu membuat Zea bergidik ngeri. Arlan hanya meliriknya sekilas dan mulai membuka bukunya.

Saat laki-laki tersebut mencari tempat kosong di bus. Ia tidak menemukan tempat kosong selain sebelah Zea. Laki-laki tersebut akhirnya berjalan ke samping Zea dengan tampang wajah songongnya dan sebuah permen karet yang ia kunyah. Zea meneguk salivanya saat merasakan laki-laki itu mendekati. Ia menggeser tubuhnya untuk lebih menempel dengan jendela dan membuat ruang kosong di tengah. Ia takut jika laki-laki bertubuh kekar itu duduk di sebelahnya.

Sebelum laki-laki bertubuh kekar tersebut duduk, Arlan memegang tangan pria itu dan mengatakan, "Maaf. Silahkan duduk di sini. Saya ingin duduk bersama teman saya."

Zea membulatkan matanya tidak percaya. Bagaimana bisa Arlan berbicara sopan dan menganggap dirinya itu teman. Arlan langsung duduk di samping Zea dan membuka bukunya kembali. Ia tidak memperdulikan tatapan aneh yang Zea lontarkan kepadanya.

Pria tersebut sedikit mendengkus pelan melirik Arlan yang sibuk dengan bukunya. Padahal ia ingin duduk di samping gadis muda, bukan dengan wanita tua di sebelahnya.

Sama halnya, Arlan juga memakai earphone dengan membaca buku. Tidak lupa dengan kaca matanya yang sudah terpasang dan setelan seragam yang rapi. Berbeda dengan siswa lainnya yang masih pagi sudah acak-acakan. 

Segerombolan motor berjejer di sampingnya saat bus berhenti di lampu merah. Zea menatap motor-motor tersebut yang memang sudah tidak asing lagi karena sering ia lihat saat istirahat karena telat masuk sekolah dan harus mendapatkan hukuman terlebih dahulu dari guru kesiswaan sebelum boleh memasukkan motor mereka ke dalam sekolah.

Kejam memang guru kesiswaannya. Sampai jam istirahat pun mereka dihukum dan tidak mengikuti jam-jam pembelajaran sebelumnya setelah bell masuk berbunyi. Kenapa tidak? Hukumannya saja membersihkan toilet sekolah yang sangat banyak dan bercabang di seluruh sekolah yang sangat luas ini.

Zea menghembuskan nafasnya dan mulai kembali pada bukunya.

...••••...

...TBC....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!