NovelToon NovelToon

Kez & Dar With Ze

Kezia-Zea

..."Setidaknya aku tidak merasa kesepian dengan pikiranku yang ramai"...

...•...

...•...

Kezia menatap pangsit yang sudah dingin di mejanya. Ini makanan masakan kantin dan baru pertama kali ia mencobanya. Hanya dua suapan saja, Kezia akui kalau ini enak. Tapi ia merindukan masakan Zayan. Jika tidak, ia merindukan salad yang dibuatkan Ezra. Itu hanya kenangan saja.

"Kenapa nggak dimakan? Nggak suka?" tanya Adara.

Kezia menggeleng. "Enggak, enak kok ini. Tapi gua masih kenyang minum susu tadi."

Sedikit heran dengan ucapan Kezia. Bukankah itu minum susu waktu pagi saat sarapan tadi? Ini sudah menunjukkan waktu jam makan siang. Adara tau yang diinginkan Kezia. Ia melirik Leon untuk kembali saja ke kelas daripada di kantin.

Leon berdiri terlebih dahulu dan berjalan meninggalkan kantin. Adara pun menarik tangan Kezia untuk keluar juga dan mengajaknya ke taman sekolah, lalu duduk di samping pancuran air. Suasananya tidak terlalu ramai karena bell akan berakhir dan mereka semua juga pasti akan kembali ke kelasnya sebelum itu terjadi.

Hembusan angin dan awan mendung yang mewakili perasaan Kezia. Masih tersisa sedikit rasa kesedihan dalam dirinya. Darren menatap coklatnya yang akan ia berikan kepada Kezia. Saat akan melewati taman, ia melihat 2 gadis yang punggungnya mirip dengan Kezia dan Adara.

Darren menghampirinya dan akan mengejutkan mereka, tapi tidak jadi karena Kezia menoleh saat ia akan mengejutkannya. Ia menyodorkan coklat untuk Kezia yang merupakan coklat favoritnya. Kezia menerimanya dan membuka coklat tersebut untuk dimakan. Adara tersenyum melihatnya, ia mengacungkan jempolnya kepada Darren dari belakang Kezia.

"Suka?" tanya Darren menatap Kezia.

Kezia mengangguk. "Makasih."

Darren tersenyum dan duduk di samping Kezia. Baru saja ia duduk, tapi bell tiba-tiba berbunyi. Kezia tertawa kecil dengan mengelap sudut bibirnya. Ia menyodorkan tangannya kepada Darren. "Nggak mau balik?"

Darren menggenggam tangan Kezia dan berdiri. Setelah Darren berdiri, Adara langsung berdiri diantara mereka dan melepaskan genggaman tersebut. "Jangan lama-lama, gua yang bakal gandeng Kezia ke kelas."

Adara menarik tangan Kezia, sementara yang ia tarik melirik Darren dengan tertawa kecil. Walaupun suara tawanya kecil, setidaknya Darren dapat melihat Kezia tersenyum dan tertawa lagi setelah kejadian seminggu yang lalu.

...••••...

Garrel menghela nafasnya dengan menutup wajahnya dengan buku perpustakaan yang ia baca. Sean juga tiba-tiba merasa malas melihat tumpukan bukunya yang sangat banyak untuk ia pelajari. Sudah banyak penilaian-penilaian dan ulangan. Beberapa bulan lagi ia juga ujian.

Di samping Garrel, Sava masih diam dan tenang dengan membaca novelnya. Naufal dan Arzan menghampiri temannya saat melihat mereka. Naufal dan Arzan duduk di hadapan Sean sementara Garrel meletakkan buku yang mereka pinjam.

Perpustakaan ini sangat tenang walaupun banyak pengunjungnya. Sean meletakkan kepalanya di lipatan tangannya dan menatap ke kaca jendela yang menunjukkan taman di luar sana.

"Main ke kota yuk? Sekalian jalan-jalan sama Zea. Gua pengen tau kayak gimana dia di kota sama Arden," ajak Naufal.

"Lo nggak ingat jadwal kita?" balas Sean.

"Sehari doang kok."

"Setengah hari lebih tepatnya."

Sheila datang dengan tiba-tiba dan langsung duduk di samping Sean yang membuatnya terkejut dengan kehadirannya. Sheila mengotak-atik ponselnya sebentar dan menunjukkan sesuatu. "Zea bakal ke sini akhir minggu ini, kita nggak mau main kemana-mana gitu? Rekomendasi tempat, tapi masih di sekitar sini aja biar nggak jauh-jauh."

"Kemana ya...?" Garrel mengetuk-ngetuk dagunya seolah-olah berpikir.

"Kita ajak main-main di pantai aja kayak biasanya. Tapi kita ajak dia ke wisata pantai, jadi bukan sekedar ke gazebo aja," jelas Naufal.

Sheila menimbang-nimbang ucapan Naufal yang ada benarnya. "Nggak ada yang lain?"

"Mall? Tempat main anak-anak, buat Arden," balas Sean.

Sheila mengangguk-anggukan kepalanya. "Boleh juga tuh, sama Arsa diajak juga biar Arden ada temen kecilnya."

Sean mengangguk. Ia menatap wajah Sheila yang tersenyum. Dengan tiba-tiba, cahaya matahari masuk dari jendela dan mengenai wajah Sheila. Yang awalnya mendung, tiba-tiba awan mendung menyingkir dan membiarkan matahari memancarkan cahaya sinarnya.

"Cantik," katanya.

Garrel, Naufal, dan Arzan membuang muka. Setidaknya Sean melihat sekitarnya jika ingin manis-manisan dengan Sheila. Sava melirik Sean dengan menahan senyumnya. Seorang mantan ketos yang dulunya terlihat seram sekarang lebih ramah dan suka menggoda Sheila yang berstatus pacarnya. Padahal, Sheila dulu sering telat bersama Sava, tapi setelah menjadi anggota OSIS. Sheila berusaha untuk tidak telat lagi dan mengatur waktu tidurnya agar lebih awal bangunnya, tapi dengan waktu tidur yang cukup.

Garrel melirik Sava yang tiba-tiba senyum-senyum sendiri dengan buku novel yang menutupi wajahnya. "Ngapain senyum-senyum sendiri? Ada apa?"

Sava langsung gelagapan dan berusaha untuk tetap tenang. "Enggak, enggak ada apa-apa. Cuman ceritanya aja bikin baper."

"Ohh."

"Masa? Anka juga ganteng kok," balas Sheila tiba-tiba.

Sean langsung menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya dengan menahan senyumannya. Pujian yang selalu keluar dari Sheila membuatnya salting dan jantung tidak aman saat itu juga.

Sheila terkekeh. "Udah-udah, nggak malu dilihatin yang lain?"

"Kenapa? Mereka juga udah tau kita."

"Ya, tapi jangan terus terang-terangan juga kali.."

"Bener tuh, lo nggak kasihan sama kita yang jomblo?" timpal Garrel.

"Enggak juga," balas Sean.

"Kalau bukan saudara gua mungkin udah gua tabok mukanya," gumam Garrel.

"Gua denger," balas Sean.

...••••...

Zea menaiki bus untuk pulang ke rumah setelah bell pulang sekolah berakhir. Ia hari ini hanya berkenalan saja tanpa ingin mendekati teman sekelasnya agar memiliki teman baru. Teman-teman barunya di kelas semuanya bertolak belakang dari teman-temannya di sekolah sebelumnya. Mereka banyak yang berbicara kotor dan mengumpat. Bahkan, Zea hari ini mendapatkan umpatan karena ia berhasil mengerjakan soal di papan terlebih dahulu daripada si pintar yang suka membuat onar di sekolah. Tapi Zea tidak mengetahui hal tersebut.

Menyandarkan kepalanya di kaca bus dengan menatap keluar. Ia ingin pekan ini cepat-cepat berakhir dan bertemu dengan teman-temannya di sana. Tapi ini masih Senin dan masih lama untuk hari Sabtu. Melihat segerombolan siswa yang memakai seragam sama dengannya memasuki bus dengan pakaiannya yang rapi.

Siswa tersebut berjumlah 7 orang. Salah satunya sedang memakan permen dan menatapnya. Siswa tersebut mengenal Zea, tapi Zea tidak.

"Minggir! Gua mau duduk di sini," pintanya.

Karena tidak mau terjadi kegaduhan, Zea mengalah dan langsung berdiri. Saat dia akan duduk, bus berhenti secara tiba-tiba dan membuatnya kembali terduduk di pangkuan laki-laki yang menyuruhnya minggir.

Zea langsung membulatkan matanya dan berdiri. Ia terus-terusan menundukkan kepalanya untuk meminta maaf. Sementara laki-laki tersebut menatap Zea dengan tatapan datar.

"Maaf-maaf, gua nggak sengaja," kata Zea.

Laki-laki tersebut hanya acuh dan membiarkan Zea. Ia justru menyuruh salah satu temannya untuk mengisi bangku di sampingnya yang kosong. Zea pun langsung melangkahkan kakinya beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan mereka. Ia tidak mau terjadi masalah.

Setelah beberapa menit, bus berhenti di sebuah halte yang Zea tuju. Zea turun dan berjalan menyusuri jalanan ke arah rumahnya. Laki-laki tersebut meliriknya dari jendela bus sampai Zea benar-benar tidak terlihat oleh pandangan matanya.

"Itu adiknya Nathan, bukan?" tanya laki-laki tersebut.

"Iya, emang kenapa?" jawab temannya yang duduk di sebelahnya.

"Gua sedikit kasihan lihat wajahnya, apalagi setelah denger cerita dari Lino."

"Kehidupannya sadis banget sih menurut gua."

"Banget."

Zea sedikit melamun dan menendang-nendang angin. Ia memasuki gang dan melihat Arden sedang bermain di taman umum. Iya, bermain, walaupun Arden tidak bersuara. Arden hanya menggerakkan truk mainannya dengan rasa jenuh. Sementara teman-temannya yang lain berlarian dengan gelak tawanya.

Arden mendongak saat melihat ada bayangan yang mendekatinya. Ia tersenyum menatap Zea dan langsung berdiri. "Kok lama? Katanya jam empat udah pulang, ini udah lewat hampir setengah jam."

"Maaf, tadi kakak mampir ke perpustakaan bentar sebelum pulang buat cari buku."

Arden menarik kerah tangan Zea. "Pengen es kelapa," katanya.

"Mau kakak beliin?" Arden menggeleng.

"Maunya es kelapa di tempat kak Zia beli."

"Enggak bisa, Ar. Tapi akhir pekan ini bisa, soalnya kakak mau ke pantai ketemu sama yang lainnya di sana."

Arden mengembangkan senyumannya. "Beneran?" Zea mengangguk.

Arden mengambil mainan truknya dan menggandeng tangan kakaknya. Zea tersenyum tipis dan berjalan bersama Arden menuju rumah. Saat memasuki rumah, Arfan menyambutnya dengan memakai celemek.

"Kenapa pakai celemek, Pa?" tanya Zea.

"Lagi belajar masak buat kalian berdua," jawab Arfan.

Arden memiringkan kepalanya. "Emang papa bisa masak?"

Arfan terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak, mangkanya belajar."

"Mau Arden bantuin?" tawar Arden.

"Boleh."

Arden melepaskan genggamannya dan berjalan ke arah dapur bersama Arfan. Setelah itu, Zea melepaskan sepatunya dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, kamar Nathan lebih tepatnya.

Sebenarnya Zea memiliki kamar sendiri, tapi ia ingin mengisi kamar abangnya. Bahkan aroma parfum Nathan masih ada saat Zea memasukinya. Aromanya sangat hangat. Ia meletakkan tasnya di kursi meja belajar dan melempar tubuhnya ke kasur grey.

Di sisi ruangan terdapat rak buku yang berisi buku-buku pelajaran dengan banyaknya piala, piagam dan kalung penghargaan yang Nathan raih selama ini. Mulai dari perlombaan OSN, dan perlombaan cerdas cermat. Tapi yang paling banyak adalah penghargaan dari usahanya di dalam air, yaitu berenang. Banyak perlombaan berenang yang ternyata dimenangkan oleh Nathan.

Sering menjadi perwakilan sekolahnya saat terdapat perlombaan tersebut. Nathan juga sering berusaha terus-menerus walaupun terkadang bahunya kesakitan, tapi ia tetap gigih dan terus melakukannya. Nathan tidak menyukai hafalan, tapi ia akan berusaha untuk memahaminya dan memenangkan perlombaan lainnya. Zea melihat sebuah foto Nathan yang sedang berpelukan pundak dengan seorang laki-laki yang mirip dengan seseorang yang menyuruhnya minggir saat di bus.

Zea mengambil foto tersebut dan menyipitkan matanya. Ternyata benar, itu adalah laki-laki tadi yang menyuruhnya minggir dengan segerombolan teman-temannya. Nathan terlihat sangat dekat dengannya saat di dalam foto tersebut. Bahkan mereka tertawa bersama. Terdapat Lino juga di sana yang memegangi kamera untuk mengajak lainnya berfoto.

Tidak ingin terhanyut akan pikiran dengan foto tersebut, Zea langsung menuju kamar mandinya, tidak lupa juga untuk mengambil handuknya.

...••••...

...TBC....

Rindu

..."Dari semua yang hilang, yang aku rindukan adalah suasana hangat keluarga"...

...•...

...•...

Arfan menatap foto Nathan yang terpajang di ruang keluarga sedang mengangkat medali serta pialanya dengan teman-temannya yang menampilkan senyum semringah. Wajah anaknya yang gembira, senyuman yang ramah, tatapan yang hangat milik Nathan. Tapi semuanya sudah tertimbun tanah beserta pemiliknya.

Arden memerhatikan Papanya yang menatap foto abangnya dengan sedikit bendungan air mata. Tidak hanya Arfan, Arden juga merindukan abangnya yang selalu sabar dengan sikapnya.

Arden menghampiri Arfan dan memegang jari telunjuknya. "Laper..," katanya.

Senyuman Arfan terbit dan mengelus rambut Arden yang panjang karena belum dipotong sejak satu bulan yang lalu. "Kan udah selesai masak tadi, kenapa nggak makan? Nggak suka?"

Arden menggeleng. "Nungguin Papa sama kak Zea makan bareng."

Zea menuruni tangga dengan baju rumahan dan rambut yang ia kuncir ke belakang. Ia melirik Arden dan Arfan yang berdiri tepat di depan foto Nathan dan teman-temannya. "Kenapa, Pa?"

"Nggak ada apa-pa. Arden laper mau makan, tapi nungguin Papa sama kamu dulu katanya."

Arden menganggukkan kepalanya. "Keburu makanannya dingin nanti."

Arfan menggenggam tangan Arden menuju meja makan dan mendudukkan Arden di kursi karena tubuhnya yang tidak sampai.

"Katanya kamu mau ikut lomba OSN, ya ,Ze?" tanya Arfan mengambilkan lauk pauk untuk Arden.

Zea mengangguk. "Iya, dua Minggu lagi dilaksanakan. Dari mana papa tau?"

"Bu Gia bilang ke papa kalau kamu mau ikut tadi siang."

Zea mengangguk-anggukkan kepalanya. "Doain biar dapat juara, Pa."

"Pasti dong, apapun yang terbaik buat anak-anak papa."

"Arden?" tanya Arden dengan mulut yang terisi.

"Arden juga, kamu udah punya berapa kenalan di sekolah baru?"

Arden menunjukkan tangannya dengan empat jari yang berdiri. "Cewek." Dan menunjukkan lima jari lagi, "Cowok"

Arfan mengangguk-anggukan kepalanya. "Banyak dong? Mereka baik-baik nggak?"

"Itu yang di kelas, masih ada banyak lagi yang beda kelas. Mereka baik-baik kok, Bu gurunya juga suka kasih Arden permen," jawab Arden.

"Jangan sering-sering makan permen lho, Ar. Nggak baik kalau kebanyakan," kata Zea.

"Siap!"

Arfan terkekeh dan ikut makan bersama dengan keluarga kecil barunya. Walaupun merindukan putra sulungnya, tapi ia juga tidak boleh terlalu larut memikirkannya. Setidaknya ia masih memiliki Zea dan Arden yang masih bersama dengannya.

Arden mengacungkan jempolnya kepada Arfan. Tanda bahwa masakannya enak. Zea tersenyum melihatnya dan mengambilkan Arden telur rebus kesukaannya.

Hujan gerimis tiba-tiba mengguyur kota dan gedung-gedung tinggi di luar sana. Hawa dingin mulai terasa saat malam. Angin-angin masuk dari sela-sela jendela dan membuat bulu kuduk berdiri karena hawa dinginnya.

Zevan melempar tasnya saat memasuki kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menatap atap rumahnya dengan tatapan datar, namun pikiran berkecamuk tentang temannya Nathan.

Tiba-tiba kamar terbuka tapi Zevan tidak mengetahui hal tersebut. Seorang gadis diam-diam memasuki kamar Zevan dengan mengendap-endap. Ia muncul tiba-tiba di atas kepala Zevan dengan niat mengejutkannya, tapi Zevan tetap datar menatapnya. Zevan sudah terbiasa dengan hal tersebut karena itu kebiasaan adiknya yang usil.

"Kenapa? Mau sesuatu?" tanya Zevan.

Retha cengengesan menatap abangnya yang terlihat sedang tidak mood. "Nggak ada sih. Cuman pengen pentol bakar aja, tapi di luar lagi hujan."

Zevan melirik balkonnya. Ternyata benar, di luar sedang hujan gerimis, beruntung saja ia sudah sampai di rumah tanpa kehujanan. "Nanti juga ada yang lewat di depan rumah."

"Nggak ada. Rumor-rumornya orangnya lagi pulang kampung."

"Ohh.."

"Ohh doang? Nggak ada sesuatu yang bikin aku suka gitu, Bang? Suka banget lihat adiknya ngenes," kata Retha.

Zevan bangun dari rebahannya. "Terus Abang harus gimana?"

"Mikir sesuatu yang aku sukai, aku lagi bosen ini."

"Kerjain tugas kamu yang numpuk. Biar Abang nggak sering-sering lihat kamu berdiri di depan tiang bendera karena hukuman sama bersihin toilet sekolah," jawab Zevan.

"Males, Bang. Aku maunya yang seru-seru," kata Retha dengan menatap abangnya dan cemberut karena ucapannya yang tadi.

"Ya, itu tadi. Apa dengan kamu bersihin sekolah itu hal seru juga?"

"Serulah! Bisa bantuin petugas kebersihan dengan gaya."

Zevan menjitak kening Retha. "Nggak jelas itu namanya"

"Nggak jelas dari mana? Udah jelas-jelas jelas ini," ujar Retha bersedekap dada.

Zevan menghela nafasnya. Baru juga ia sampai di rumah, langsung dihadiahi Retha yang memintanya berpikir. Ia mengambil handuknya dan berjalan ke arah kamar mandi dengan menggubris Retha yang sedang mengomel-omel.

"ABANG!!!"

Zevan terlonjak kaget sebab Retha membuka pintu kamar mandinya saat baru akan ditutup. "Iya, nanti. Biarin tubuh Abang seger dulu baru bisa mikir," kata Zevan menutup pintunya kembali.

"Awas aja kalau lama. Kalau lama harus habisin satu buah durian dan harus bener-bener abis," ancam Retha.

Mendengar ancaman Retha. Zevan buru-buru melepaskan pakaiannya dan cepat-cepat mandi. Ia tidak menyukai buah durian dan baunya yang menyengat baginya. Bahkan Zevan tidak ingin bertemu dengan buat berduri tersebut.

Setelah tujuh menit berlalu, Zevan keluar dengan kaos oblong abunya dengan rambut yang basah dan air yang menetes dari sana karena belum dikeringkan. Retha langsung menyiapkan kamera ponselnya dan memotret Zevan dengan menahan senyumnya.

"Ngapain kamu foto-fotoin Abang?" tanya Zevan menghampirinya.

"Pengen aja. Soalnya temen aku banyak yang suka," jawab Retha.

"Kamu mau jual foto Abang gitu? Kamu sebar-sebarin, tunjuk-tunjukin ke temen-temen kamu tanpa izin?"

"Enggak, kadang mereka sendiri yang buka-buka galeri."

Zevan menghela nafasnya dan menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya.

"Adiknya Bang Nathan itu kok nggak mirip, ya?" tanya Retha tiba-tiba.

Zevan melirik adiknya dari cermin yang seolah-olah sedang berpikir. "Dia sepupunya, sekaligus adiknya. Yang adik kandungnya itu masih kelas 2 SD."

"Ha? Kelas 2 SD? Padahal pengen aku deketin, sapa tau adiknya bang Nathan juga ganteng kayak abangnya," kata Retha.

"Hhm.."

"Ada orang jualan ketoprak di depan," kata Zevan.

Retha mengernyitkan dahinya. "Ha? Dari mana Abang tau?"

"Biasanya jam segini lewat depan rumah, coba kamu lihat," pinta Zevan.

Retha beranjak dari duduknya dan melihat dari kaca jendela. Benar saja, sebuah gerobak bertuliskan ketoprak berhenti tepat di depan rumahnya karena ibu-ibu yang menghentikannya ingin membeli. Retha buru-buru keluar dari kamar abangnya dan berjalan ke arah dapur mengambil piring.

"Jangan lupa Abang juga, Tha!" teriak Zevan.

"Bayar tiga kali lipat," balas Retha dari lantai bawah.

"Iya.. buruan. Jangan lupa bawa payung, nanti kalau kehujanan demam," suruh Zevan.

Retha menganggukkan kepalanya dan mengambil payung motif bunga-bunga milik mamanya di samping rak sepatu.

"Aduh! Retha udah keluar aja kalau ada makanan yang lewat," kata seorang ibu yang membeli ketoprak juga.

"Iya nih, Bu. Lagi pengen," jawab Retha ramah.

"Abang kamu udah pulang?"

"Udah di dalam, emangnya kenapa, Bu?" tanya balik Retha.

"Bagus kalau gitu. Biar nggak kehujanan," jawab seorang ibu tersebut dengan membayar pesanannya. "Ibu duluan ya, Tha?"

Retha mengangguk dengan menyunggingkan senyumnya.

Sementara itu, Zevan memperhatikan Retha dari balkon kamarnya dengan tersenyum. Walaupun sikap Retha menyebalkan, tapi sopan santunnya masih ada di sana. Tidak seperti Zevan yang masih rada-rada.

Retha sedikit kebingungan. Ia memesan dua untuk dirinya dan juga abangnya. Tapi bagaimana ia harus kembali ke rumah jika kedua tangannya penuh dan tidak ada yang memegangi payung. Zevan berlarian menuju Retha dan langsung mengambil payung tersebut.

Sebuah senyuman tertampil di wajah Retha karena abangnya yang peka. Seharusnya tadi ia meminta dibungkus saja agar mudah membawa, tapi ini sudah menjadi kebiasaan agar tidak menambah jumlah sampah di rumah.

Zevan memegangi payung dengan Retha yang memegangi 2 piring berisi ketoprak tersebut.

...••••...

Kezia berdiam diri di balkon sambil memerhatikan hujan dengan menyandarkan punggungnya. Hujan akhir-akhir ini sering turun walaupun hanya gerimis saja, tapi itu membuat suhu menurun dan membuat suasana menjadi dingin.

Bintang dan bulan yang Kezia tunggu-tunggu tidak muncul karena tertutup awan mendung di sana. Setelah memakan makan malamnya buatan bi Mina, Kezia kembali ke kamar dan tidak keluar lagi jika tidak terjadi apa-apa. Padahal ia biasanya duduk di sofa ruang tamu dengan memainkan tabletnya, tapi sekarang tidak.

Suasana rumah sepi dan rasa kesepian dari dirinya. Tidak ada seorang pun yang berada di rumah ini selain security depan rumahnya setelah makan malam, karena bi Mina akan pulang setelah membuat makan malam dan mencuci piring di dapur.

Kezia menoleh saat layar ponselnya menyala dan menampilkan sebuah pesan masuk. Ia tersenyum saat Zea menanyakan keadaannya dengan mengirimkan sebuah stiker kucing berkacamata untuk menghiburnya.

Walaupun jarak mereka yang jauh, Zea tetap menemani Kezia meskipun dengan cara virtual. Zea juga memberikan sebuah foto Arden yang sudah terlelap.

...••••...

...Jarak tidak membuat kita berpisah karena terlalu jauh. Yang membuat kita berpisah adalah ketika salah satu dari kita tidak memperdulikan yang lain....

...Teman yang selalu menemani dengan cara apapun itu akan tetap membuatku senang. Karena cara dia yang selalu menemaniku dengan cara yang berbeda walaupun tidak dapat langsung bertemu saja....

...Meskipun hanya dalam layar saja. Tapi kebahagiaan tetap kita rasakan di depan layar tersebut....

...Sebuah senyuman indah terbit saat membaca sebuah pesan manis dan membuat kita tertawa....

...Sebuah pesan tulisan saja terkadang membuatku tersenyum, apalagi mendapat sebuah foto darinya membuat degup jantung bertambah saat masih mengunduh....

...Entah itu teman, sahabat, saudara, atau hanya melihat-lihat hal lucu melalui sosial media, itu membuat senang walaupun dalam keadaan kesendirian....

...••••...

Kezia menutup pintu balkonnya dan berjalan ke kamar mandi sebelum naik ke kasurnya. Ia merebahkan dirinya dengan menatap langit-langit kamarnya. Walaupun merasa kesepian, ia berusaha untuk menyingkirkannya. Karena ia harus bersyukur memiliki orang-orang yang menyayanginya di luar sana.

Kesepian ini hanya sementara, dalam beberapa waktu lagi ia akan tertawa saat mendengar lelucon dari orang-orang yang menyayanginya untuk saling menghibur satu sama lain.

...••••...

...TBC....

Ayunan kenangan

..."Badan boleh lelah, mata boleh basah, tapi hati jangan pernah menyerah"...

...•...

...•...

Air laut luas terbentang di depan sana. Hembusan angin mengenai daun hingga dedaunannya seakan-akan melambai-lambai dengan runtuhnya daun yang telah layu dan sudah saatnya jatuh mengenai pasir. Cuaca cerah dengan teriknya matahari di atas sana, rindangnya pepohonan dengan ayunan di bawahnya. Sebuah kenangan telah tercipta di sana.

Adara menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya dengan mengayunkan ayunannya dengan kakinya ke atas-bawah. Senyuman tercipta dengan rambut terurai yang tergerai bebas. Seorang laki-laki yang menatapnya juga tersenyum ke arahnya dengan menyandarkan punggungnya ke pohon.

Menatap putri kesayangannya dengan penuh kehangatan serta kasih sayang. Faiz menatap lurus ke depan, melihat gelombang-gelombang dan ombak air laut. Tempat penuh kenangan dengan seorang wanita kesayangannya. Sekarang, hanya tertinggal berlian yang sedang bersenang-senang di depannya.

"Kamu nggak bosan, sayang?" tanya Faiz.

Adara pun menggeleng dengan senyumannya yang seakan tiada luntur-lunturnya. "Nggak ada kata bosan untuk ayunan."

"Kamu pengen makan sesuatu nggak? Biar papa beliin, kamu belum makan sama sekali sejak tadi pagi," tawar Faiz sedikit khawatir.

Adara menghentikan ayunannya dan celingak-celinguk melihat sekitarnya. Ia melihat seorang penjual pentol yang sedang membuatkan pesanan dari seorang anak kecil di depannya. Adara menunjuk penjual tersebut. "Itu aja, Pa."

"Yakin, cuma itu aja?" Adara mengangguk.

Faiz beranjak dan berjalan ke arah penjual pentol tersebut. Tidak membeli terlalu banyak pentol, karena ia tahu kalau Adara mungkin tidak dapat menghabiskan pentol tersebut jika terlalu banyak. Faiz kembali dengan membawa pentol yang Adara inginkan dan meletakkannya di atas tikar piknik dengan minuman yang ia bawa di sampingnya.

Adara turun menghampiri Faiz dan langsung duduk di hadapan Papa dengan tersenyum semringah. Ia mengambil salah satu pentol dengan tusuknya, lalu menyuapkan ke Faiz. Dengan senang hati, Faiz langsung menerima suapan dari putri kesayangannya.

Dari kejauhan, Ara tersenyum menatap kedekatan Adara dan Faiz dengan bahagia. Senyuman Adara memang candu. Walaupun Ara sering melihatnya, tapi senyuman tersebut tidak membuatnya bosan. Begitupun Leon.

Leon sejak tadi berdiri di samping Ara dengan menghentak-hentakkan kakinya karena ada semut yang berjalan di kakinya. Leon kesal dengan tempat yang Ara pilih sebagai tempat persembunyian melihat Adara dari kejauhan untuk memantaunya.

Padahal, mereka hanya ingin mengintip kegiatan Adara saja. Kurang pekerjaan memang. Hanya karena sekolah mereka diliburkan, mereka menjadi bosan di tepi pantai.

Adara yang merasa aneh langsung melihat sekitarnya dengan intens. Sebuah pohon kelapa sejajar dengan pohon kelapa lainnya membuat ia memiringkan kepalanya karena ada sesuatu dari balik pohon tersebut. Topi yang Ara gunakan tiba-tiba terkena angin dan membuat topi tersebut terjatuh dan keluar dari tempat persembunyiannya. Adara tersenyum saat mengetahui topi tersebut, karena topi tersebut bukan asing lagi jika melihat motifnya.

"Ngapain di situ? Sini!" panggil Adara.

Faiz sempat kaget dengan teriakan Adara dan mengambil minumannya. Seorang laki-laki dan perempuan keluar dari balik pohon kelapa menghampirinya dengan cengengesan. Faiz mengenal keduanya, karena sama-sama teman masa kecil Adara.

"Kenapa sembunyi? Padahal bisa join," tanya Adara.

"Biar sedikit ekstrim," jawab Ara.

"Kalian dari mana? Kok Dara tadi teriakin kalian?" tanya Faiz menatap keduanya bergantian.

"Kita tadi jalan-jalan di sekitar sini, terus dipanggil Adara, Om," jawab Leon.

"Ohh.."

Ara sedikit menyikut perut Leon karena kesal dengan jawaban yang dia berikan. "Kita tadi yang liatin Adara, abis gitu dipanggil ke sini."

Sama aja, batin Leon.

"Ohh.. sini duduk, temenin Adara biar ada temennya." Ajakan Faiz membuat Leon dan Ara merasa tidak enak jika menerimanya, tapi mereka juga ingin bersama Adara untuk bermain dan berbagi cerita.

Akhirnya mereka berdua duduk di samping Adara yang berhadapan langsung dengan Faiz. Di sisi lain, Leon sudah tidak merasakan perasaan aneh saat mendapatkan tatapan dari Faiz yang tidak mengenakkan. Ia lega, karena Faiz tidak lagi membatasinya bertemu dengan Adara. Walaupun harus bertemu di depan rumah langsung. Jika tidak, Leon harus bertamu dan langsung masuk kedalam rumah Faiz jika ingin mengajak Adara bermain.

Faiz hanya mengkhawatirkan Adara, tapi ia juga tidak ingin merusak kebahagiaan putrinya dengan teman-temannya. Maka dari itu, ia memperingatkan Adara untuk selalu berhati-hati, karena kejadian yang dulu membuatnya takut dan khawatir jika melepaskan putrinya.

"Makan aja cemilannya, pentolnya juga boleh. Kebanyakan tadi," kata Adara.

Tadinya Faiz hanya membeli 10 ribu, tapi ternyata mendapatkan banyak juga. Ara dengan senang hati mencicipi pentol tersebut karena itu makanan kesukaannya. Sementara itu, Leon kikuk dengan suasananya. Tidak seperti Ara yang sudah terbiasa dengan keluarga Adara.

...••••...

Zevan menaiki tangga untuk ke rooftop dan ingin menikmati rasa kedamaian dengan dirinya sendiri di sana. Namun, saat ia baru sampai dan membuka pintu. Zevan melihat seorang gadis bersandar di pagar pembatas dengan menutup matanya untuk menikmati angin yang menerpa wajahnya.

Zea membuka matanya saat mendengar pintu rooftop dibuka seseorang yang menimbulkan suara, karena pintu tersebut sedikit berat. Ia membulatkan matanya saat manik matanya bertemu dengan Zevan. Bukankah laki-laki itu yang menyuruhnya untuk minggir saat di bus kemarin? Ia langsung menegakkan tubuhnya dan akan berjalan melewati Zevan untuk meninggalkan rooftop.

"Lo adiknya Nathan bukan?" tanya Zevan tiba-tiba.

Langkah kaki Zea berhenti saat mendengar nama Nathan disebut laki-laki tersebut. "Dari mana lo tau?"

Zevan menyodorkan tangannya mengenalkan diri. "Gua Zevan, temen Nathan sejak SMP sama Lino dan Linda."

Zea hanya melirik sekilas tangan tersebut dan menatap mata Zevan. "Zea."

Setelah mengucapkannya, Zea kembali berbalik dan meninggalkan Zevan yang tengah menatapnya.

"Sifatnya nggak jauh beda. Cuman lebih cuek aja. Padahal Nathan dulu asikan orangnya," kata Zevan, saat melihat Zea sudah tidak ada di pandangannya.

Saat bell istirahat berbunyi, seluruh siswa-siswi Alatra berhamburan menuju kelas masing-masing. Zea tengah membaca buku catatannya dengan diam dan ketenangan, padahal kelasnya seperti suasana pasar tengah ramai diskon.

Seorang laki-laki berjalan ke arahnya dengan tatapan sinis menatapnya. Dia ketua kelas, sekaligus orang yang paling pintar sebelumnya, sebelum Zea masuk ke kelasnya. Sejak Zea masuk, dia merasa tersaingi dan tidak menyukai Zea.

"Lo jangan sok pintar di depan gua bisa nggak?" tanya laki-laki tersebut yang memiliki name tag Arlan Baswara.

"Sok pintar? Maksud lo?"

Seluruh kelas menjadi diam saat mereka mendengar ucapan Zea yang bagi mereka berani menentang ketua kelas yang memiliki ego yang besar.

"Lo tuh di sini masih baru, jangan cari muka di depan guru. Apalagi sampai sok deket lagi," tunjuk-tunjuk Arlan.

"Maksud lo apa, sih?" bingung Zea.

"Nggak usah sok nggak tau deh lo. Lain kali kalau ada guru yang ngasih soal atau lagi ujian. Jangan pernah lo duluan yang ngumpulin sebelum gua."

"Kenapa? Orang gua udah selesai, kok. Ngapain nungguin lo duluan?"

Arlan melirik sekitarnya. "Karena gua nggak suka kalau ada orang lain yang membuat gua merasa tersaingi."

"Gua nggak nyaingin elo, dan gua juga nggak minat. Karena kalau gua bisa, yah bisa, kalau enggak, ya udah. Lo duluan atau enggak itu juga tergantung diri lo sendiri bisa atau enggak," balas Zea dengan penuh percaya diri.

Hampir seluruh kelas tersenyum melihat sikap Zea yang menentang ketua kelasnya. Mereka mungkin akan mendukung Zea, karena hanya Zea yang berani menentang Arlan dengan keberanian dan kepintarannya.

Arlan menatap Zea kesal dan ingin memukulnya jika Zea itu laki-laki. Ia menahan amarahnya saat ada orang yang berani menentang omongannya. Di sini hanya Zea yang berani menentangnya. Sisanya tidak, karena jika menentang Arlan, orang yang menentangnya akan tidak tenang saat di sekolah.

Memiliki ego yang tinggi, tidak ada yang boleh berada di depannya, selalu merasa tersaingi, mudah tersulut emosi, dan tatapan sinis sana-sini. Itulah, Arlan si ketua kelas mereka.

Zea membalas tatapan tajam Arlan saat tatapan tersebut tertuju ke arahnya. Ia berani, karena tidak ingin ada orang yang semena-mena di hadapannya. Apalagi yang tidak memiliki sopan santun dan tidak menjaga sikapnya.

Tiba-tiba seorang guru masuk dan membuat mereka semua duduk di bangku masing-masing. Barulah setelah mereka duduk di tempat masing-masing, Arlan sekilas melirik Zea sebelum kembali ke mejanya yang paling depan dan berhadapan langsung dengan papan.

Entah perasaan apa ini, mungkin Zea harus terbiasa tentang suasana dan keadaan yang jauh berbeda dengan sekolahnya sebelumnya. Jam pembelajaran berlanjut terus dengan jam pembelajaran yang sama di kelas Zevan dan Retha yang berjalan lancar.

Hanya karena Zea mengumpulkan bukunya terlebih dahulu, Arlan menatap Zea dengan tatapan sinis dan tidak suka. Setelah mengumpulkan tugas-tugasnya kepada sang guru pengajar. Zea langsung membereskan buku-bukunya karena bell pulang sekolah telah berbunyi.

Seluruh kelas sudah keluar dan hanya menyisakan Zea dan Arlan di dalam kelasnya. Arlan berjalan mendekati Zea dan menatapnya tajam. "Jangan lo menentang omongan gua, kalau lo nggak mau keluar dari sekolah ini hanya dalam jangka waktu sehari."

"Emang gua takut? Kalaupun gua dikeluarin, emang lo punya bukti? Enggak, kan?" balas Zea. "Kalau lo membuat-buat sebuah cerita agar gua di keluarin, tenang aja. Karena gua juga nggak peduli dengan mulut lo yang bau sampah dan merendah-rendahkan orang-orang di sekitar lo."

Arlan terdiam. Zea berjalan melewatinya dengan sengaja menabrak bahunya sangat kencang. Ia tersenyum, ternyata ada orang yang berani dengannya. Baru kali ini. Karena orang yang menentangnya, besoknya langsung patuh kepadanya. Tidak dengan seorang Zea yang pemberani.

...••••...

...Kau memiliki ego, orang lain juga punya. Jangan membuat masalah karena adanya perbedaan pendapat....

...Sebuah pertikaian dan pertengkaran muncul akibat perbedaan yang membuat mereka memperdebatkannya. Padahal, bicara baik-baik dengan kepala dingin juga bisa menyelesaikannya. ...

...Sikap mereka yang gegabah saja yang merusak keadaan dan suasana. Mengakibatkan pertengkaran dan kecanggungan....

...Jangan samakan dirimu dengan orang lain, karena itu jelas-jelas berbeda. Perbedaan pendapat dapat kita bicarakan dan menemukan jalan keluarnya jika kita saling memberikan masukan....

...Kau memiliki hak untuk berpendapat, tapi orang lain juga punya. Jadi jangan memaksa pendapat orang lain untuk kau singkirkan....

...Kita punya beberapa hak dan kewajiban yang sama. Jadi jangan saling merendahkan hanya karena sebuah jabatan atau sesuatu yang membuatmu tidak menyukainya, lalu merendahkannya....

...Sampingkan emosi yang berlebih dan mulai berdiskusi dengan kepala dingin dan juga pendapat masing-masing untuk dibicarakan. Bukan dipertikaian....

...••••...

...TBC....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!