..."Dari semua yang hilang, yang aku rindukan adalah suasana hangat keluarga"...
...•...
...•...
Arfan menatap foto Nathan yang terpajang di ruang keluarga sedang mengangkat medali serta pialanya dengan teman-temannya yang menampilkan senyum semringah. Wajah anaknya yang gembira, senyuman yang ramah, tatapan yang hangat milik Nathan. Tapi semuanya sudah tertimbun tanah beserta pemiliknya.
Arden memerhatikan Papanya yang menatap foto abangnya dengan sedikit bendungan air mata. Tidak hanya Arfan, Arden juga merindukan abangnya yang selalu sabar dengan sikapnya.
Arden menghampiri Arfan dan memegang jari telunjuknya. "Laper..," katanya.
Senyuman Arfan terbit dan mengelus rambut Arden yang panjang karena belum dipotong sejak satu bulan yang lalu. "Kan udah selesai masak tadi, kenapa nggak makan? Nggak suka?"
Arden menggeleng. "Nungguin Papa sama kak Zea makan bareng."
Zea menuruni tangga dengan baju rumahan dan rambut yang ia kuncir ke belakang. Ia melirik Arden dan Arfan yang berdiri tepat di depan foto Nathan dan teman-temannya. "Kenapa, Pa?"
"Nggak ada apa-pa. Arden laper mau makan, tapi nungguin Papa sama kamu dulu katanya."
Arden menganggukkan kepalanya. "Keburu makanannya dingin nanti."
Arfan menggenggam tangan Arden menuju meja makan dan mendudukkan Arden di kursi karena tubuhnya yang tidak sampai.
"Katanya kamu mau ikut lomba OSN, ya ,Ze?" tanya Arfan mengambilkan lauk pauk untuk Arden.
Zea mengangguk. "Iya, dua Minggu lagi dilaksanakan. Dari mana papa tau?"
"Bu Gia bilang ke papa kalau kamu mau ikut tadi siang."
Zea mengangguk-anggukkan kepalanya. "Doain biar dapat juara, Pa."
"Pasti dong, apapun yang terbaik buat anak-anak papa."
"Arden?" tanya Arden dengan mulut yang terisi.
"Arden juga, kamu udah punya berapa kenalan di sekolah baru?"
Arden menunjukkan tangannya dengan empat jari yang berdiri. "Cewek." Dan menunjukkan lima jari lagi, "Cowok"
Arfan mengangguk-anggukan kepalanya. "Banyak dong? Mereka baik-baik nggak?"
"Itu yang di kelas, masih ada banyak lagi yang beda kelas. Mereka baik-baik kok, Bu gurunya juga suka kasih Arden permen," jawab Arden.
"Jangan sering-sering makan permen lho, Ar. Nggak baik kalau kebanyakan," kata Zea.
"Siap!"
Arfan terkekeh dan ikut makan bersama dengan keluarga kecil barunya. Walaupun merindukan putra sulungnya, tapi ia juga tidak boleh terlalu larut memikirkannya. Setidaknya ia masih memiliki Zea dan Arden yang masih bersama dengannya.
Arden mengacungkan jempolnya kepada Arfan. Tanda bahwa masakannya enak. Zea tersenyum melihatnya dan mengambilkan Arden telur rebus kesukaannya.
Hujan gerimis tiba-tiba mengguyur kota dan gedung-gedung tinggi di luar sana. Hawa dingin mulai terasa saat malam. Angin-angin masuk dari sela-sela jendela dan membuat bulu kuduk berdiri karena hawa dinginnya.
Zevan melempar tasnya saat memasuki kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menatap atap rumahnya dengan tatapan datar, namun pikiran berkecamuk tentang temannya Nathan.
Tiba-tiba kamar terbuka tapi Zevan tidak mengetahui hal tersebut. Seorang gadis diam-diam memasuki kamar Zevan dengan mengendap-endap. Ia muncul tiba-tiba di atas kepala Zevan dengan niat mengejutkannya, tapi Zevan tetap datar menatapnya. Zevan sudah terbiasa dengan hal tersebut karena itu kebiasaan adiknya yang usil.
"Kenapa? Mau sesuatu?" tanya Zevan.
Retha cengengesan menatap abangnya yang terlihat sedang tidak mood. "Nggak ada sih. Cuman pengen pentol bakar aja, tapi di luar lagi hujan."
Zevan melirik balkonnya. Ternyata benar, di luar sedang hujan gerimis, beruntung saja ia sudah sampai di rumah tanpa kehujanan. "Nanti juga ada yang lewat di depan rumah."
"Nggak ada. Rumor-rumornya orangnya lagi pulang kampung."
"Ohh.."
"Ohh doang? Nggak ada sesuatu yang bikin aku suka gitu, Bang? Suka banget lihat adiknya ngenes," kata Retha.
Zevan bangun dari rebahannya. "Terus Abang harus gimana?"
"Mikir sesuatu yang aku sukai, aku lagi bosen ini."
"Kerjain tugas kamu yang numpuk. Biar Abang nggak sering-sering lihat kamu berdiri di depan tiang bendera karena hukuman sama bersihin toilet sekolah," jawab Zevan.
"Males, Bang. Aku maunya yang seru-seru," kata Retha dengan menatap abangnya dan cemberut karena ucapannya yang tadi.
"Ya, itu tadi. Apa dengan kamu bersihin sekolah itu hal seru juga?"
"Serulah! Bisa bantuin petugas kebersihan dengan gaya."
Zevan menjitak kening Retha. "Nggak jelas itu namanya"
"Nggak jelas dari mana? Udah jelas-jelas jelas ini," ujar Retha bersedekap dada.
Zevan menghela nafasnya. Baru juga ia sampai di rumah, langsung dihadiahi Retha yang memintanya berpikir. Ia mengambil handuknya dan berjalan ke arah kamar mandi dengan menggubris Retha yang sedang mengomel-omel.
"ABANG!!!"
Zevan terlonjak kaget sebab Retha membuka pintu kamar mandinya saat baru akan ditutup. "Iya, nanti. Biarin tubuh Abang seger dulu baru bisa mikir," kata Zevan menutup pintunya kembali.
"Awas aja kalau lama. Kalau lama harus habisin satu buah durian dan harus bener-bener abis," ancam Retha.
Mendengar ancaman Retha. Zevan buru-buru melepaskan pakaiannya dan cepat-cepat mandi. Ia tidak menyukai buah durian dan baunya yang menyengat baginya. Bahkan Zevan tidak ingin bertemu dengan buat berduri tersebut.
Setelah tujuh menit berlalu, Zevan keluar dengan kaos oblong abunya dengan rambut yang basah dan air yang menetes dari sana karena belum dikeringkan. Retha langsung menyiapkan kamera ponselnya dan memotret Zevan dengan menahan senyumnya.
"Ngapain kamu foto-fotoin Abang?" tanya Zevan menghampirinya.
"Pengen aja. Soalnya temen aku banyak yang suka," jawab Retha.
"Kamu mau jual foto Abang gitu? Kamu sebar-sebarin, tunjuk-tunjukin ke temen-temen kamu tanpa izin?"
"Enggak, kadang mereka sendiri yang buka-buka galeri."
Zevan menghela nafasnya dan menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya.
"Adiknya Bang Nathan itu kok nggak mirip, ya?" tanya Retha tiba-tiba.
Zevan melirik adiknya dari cermin yang seolah-olah sedang berpikir. "Dia sepupunya, sekaligus adiknya. Yang adik kandungnya itu masih kelas 2 SD."
"Ha? Kelas 2 SD? Padahal pengen aku deketin, sapa tau adiknya bang Nathan juga ganteng kayak abangnya," kata Retha.
"Hhm.."
"Ada orang jualan ketoprak di depan," kata Zevan.
Retha mengernyitkan dahinya. "Ha? Dari mana Abang tau?"
"Biasanya jam segini lewat depan rumah, coba kamu lihat," pinta Zevan.
Retha beranjak dari duduknya dan melihat dari kaca jendela. Benar saja, sebuah gerobak bertuliskan ketoprak berhenti tepat di depan rumahnya karena ibu-ibu yang menghentikannya ingin membeli. Retha buru-buru keluar dari kamar abangnya dan berjalan ke arah dapur mengambil piring.
"Jangan lupa Abang juga, Tha!" teriak Zevan.
"Bayar tiga kali lipat," balas Retha dari lantai bawah.
"Iya.. buruan. Jangan lupa bawa payung, nanti kalau kehujanan demam," suruh Zevan.
Retha menganggukkan kepalanya dan mengambil payung motif bunga-bunga milik mamanya di samping rak sepatu.
"Aduh! Retha udah keluar aja kalau ada makanan yang lewat," kata seorang ibu yang membeli ketoprak juga.
"Iya nih, Bu. Lagi pengen," jawab Retha ramah.
"Abang kamu udah pulang?"
"Udah di dalam, emangnya kenapa, Bu?" tanya balik Retha.
"Bagus kalau gitu. Biar nggak kehujanan," jawab seorang ibu tersebut dengan membayar pesanannya. "Ibu duluan ya, Tha?"
Retha mengangguk dengan menyunggingkan senyumnya.
Sementara itu, Zevan memperhatikan Retha dari balkon kamarnya dengan tersenyum. Walaupun sikap Retha menyebalkan, tapi sopan santunnya masih ada di sana. Tidak seperti Zevan yang masih rada-rada.
Retha sedikit kebingungan. Ia memesan dua untuk dirinya dan juga abangnya. Tapi bagaimana ia harus kembali ke rumah jika kedua tangannya penuh dan tidak ada yang memegangi payung. Zevan berlarian menuju Retha dan langsung mengambil payung tersebut.
Sebuah senyuman tertampil di wajah Retha karena abangnya yang peka. Seharusnya tadi ia meminta dibungkus saja agar mudah membawa, tapi ini sudah menjadi kebiasaan agar tidak menambah jumlah sampah di rumah.
Zevan memegangi payung dengan Retha yang memegangi 2 piring berisi ketoprak tersebut.
...••••...
Kezia berdiam diri di balkon sambil memerhatikan hujan dengan menyandarkan punggungnya. Hujan akhir-akhir ini sering turun walaupun hanya gerimis saja, tapi itu membuat suhu menurun dan membuat suasana menjadi dingin.
Bintang dan bulan yang Kezia tunggu-tunggu tidak muncul karena tertutup awan mendung di sana. Setelah memakan makan malamnya buatan bi Mina, Kezia kembali ke kamar dan tidak keluar lagi jika tidak terjadi apa-apa. Padahal ia biasanya duduk di sofa ruang tamu dengan memainkan tabletnya, tapi sekarang tidak.
Suasana rumah sepi dan rasa kesepian dari dirinya. Tidak ada seorang pun yang berada di rumah ini selain security depan rumahnya setelah makan malam, karena bi Mina akan pulang setelah membuat makan malam dan mencuci piring di dapur.
Kezia menoleh saat layar ponselnya menyala dan menampilkan sebuah pesan masuk. Ia tersenyum saat Zea menanyakan keadaannya dengan mengirimkan sebuah stiker kucing berkacamata untuk menghiburnya.
Walaupun jarak mereka yang jauh, Zea tetap menemani Kezia meskipun dengan cara virtual. Zea juga memberikan sebuah foto Arden yang sudah terlelap.
...••••...
...Jarak tidak membuat kita berpisah karena terlalu jauh. Yang membuat kita berpisah adalah ketika salah satu dari kita tidak memperdulikan yang lain....
...Teman yang selalu menemani dengan cara apapun itu akan tetap membuatku senang. Karena cara dia yang selalu menemaniku dengan cara yang berbeda walaupun tidak dapat langsung bertemu saja....
...Meskipun hanya dalam layar saja. Tapi kebahagiaan tetap kita rasakan di depan layar tersebut....
...Sebuah senyuman indah terbit saat membaca sebuah pesan manis dan membuat kita tertawa....
...Sebuah pesan tulisan saja terkadang membuatku tersenyum, apalagi mendapat sebuah foto darinya membuat degup jantung bertambah saat masih mengunduh....
...Entah itu teman, sahabat, saudara, atau hanya melihat-lihat hal lucu melalui sosial media, itu membuat senang walaupun dalam keadaan kesendirian....
...••••...
Kezia menutup pintu balkonnya dan berjalan ke kamar mandi sebelum naik ke kasurnya. Ia merebahkan dirinya dengan menatap langit-langit kamarnya. Walaupun merasa kesepian, ia berusaha untuk menyingkirkannya. Karena ia harus bersyukur memiliki orang-orang yang menyayanginya di luar sana.
Kesepian ini hanya sementara, dalam beberapa waktu lagi ia akan tertawa saat mendengar lelucon dari orang-orang yang menyayanginya untuk saling menghibur satu sama lain.
...••••...
...TBC....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments