Kecerobohan Retha

..."Aku tidak menyukai masalah, tapi jika kau membuatnya. Aku tidak peduli"...

...•...

...•...

Zea berjalan menuju rumahnya dari sisi jalan raya sebelum berbelok ke sebuah gang. Sebuah segerombolan motor melintas tepat di sampingnya dengan sangat kencang hingga membuat rambutnya berkibar. Zea berbalik untuk melihat segerombolan motor tersebut dengan mengerutkan keningnya. Bukankah itu motor yang sering berbaris di depan gerbang karena sering terlambat? Zea tidak menggubrisnya dan melanjutkan langkahnya.

Seorang perempuan membuka helm dengan rambut yang acak-acakan karena helmnya. Banyaknya pengendara dari segerombolan motor tersebut, hanya terdapat 2 perempuan saja. Yang pertama Retha, dan yang kedua Linda. Terdapat Lino juga di sana.

"Lo nggak di marahin Abang lo kalau ikut kita jalan jauh-jauh?" tanya Lino kepada Retha.

Retha mengibaskan tangannya santai menatap Lino. "Tenang aja, abang gua nggak akan marah kalau gua balik dengan keadaan baik-baik aja."

"Santai banget nih anak. Abang lo kalau marah ngeri, lho. Lo yakin? Apa lo nggak pernah lihat Abang lo marah?" tanya Linda.

Retha menggeleng. "Enggak, orang Abang gua santai-santai aja orangnya. Yang penting gua baik-baik aja, udah, itu aja. Jangan berlebihan lah."

Lino dan Linda saling menatap. Sejujurnya, mereka juga takut jika Retha ikut juga untuk mengendarai motor terlalu jauh. Apalagi sore-sore seperti ini, kalau pulangnya kemalaman bagaimana? Apa Zevan juga tidak akan marah?

"Kita gas aja nggak sih?" ajak salah satu dari segerombolan laki-laki di belakang.

"Bener tuh!' jawab yang lain dengan kompak.

Lino dan Linda juga merasa tidak enak jika teman-temannya menunggu terlalu lama karena masalah Retha yang tidak izin terlebih dahulu. Akhirnya mereka semua memakai helm masing-masing dan menyalakan mesin motornya, begitupun Retha.

Mereka berkendara membela jalanan dengan kecepatan sedang, karena tidak ingin terjadi masalah. Retha tersenyum senang. Ia sudah lama tidak ikut seperti ini karena selalu mendapatkan peringatan dari Zevan agar tidak mengikutinya. Menikmati keindahan kota saat sore hari bersama teman-temannya, yang lebih tua setahun dengannya.

Di sini hanya Retha saja yang masih kelas 11, sisanya adalah kakak kelasnya, dua belas. Saat berhenti di lampu merah, ia membuka kaca helmnya dan menyipitkan matanya saat melihat seorang laki-laki yang tidak asing di sebrang sana. Retha membulatkan matanya dan langsung menutup kaca helmnya.

Sudah terlihat jelas kalau itu Zevan yang baru keluar dari supermarket untuk membeli cemilan dan minuman untuk nonton di rumah. Retha lupa kalau nanti malam memiliki janji dengan Zevan untuk nonton bersama. Saat lampu berubah hijau, cepat-cepat Retha melesatkan motornya dengan kecepatan tinggi agar Zevan tidak melihatnya.

Sementara itu, Lino dan Linda juga ikut deg-degan karena melihat Zevan di depan supermarket. Jika dia tahu teman-temannya bersama Retha, mungkin mereka akan dimarahi habis-habisan.

Suara motor yang keras membuat Zevan menoleh, tapi terlambat. Segerombolan motor-motor tersebut sudah jauh dari tempatnya dan sulit jika dilihat dari kejauhan. Zevan tidak menggubrisnya dan memilih untuk kembali ke mobilnya.

...••••...

"Kalah lo!" seru Garrel menunjuk Naufal.

Naufal menghela nafas berat saat melihat kotak-kotak ular tangga yang di mana miliknya tertinggal jauh. Sementara teman-temannya sudah mencapai atas.

"Gua kena ular mulu tadi, dimaklumi lah," balas Naufal.

Kezia mengocok dadu dan mengeluarkannya. Ia menyunggingkan senyumnya karena angka yang pas untuk berjalan ke nomor seratus dan langsung menjalankannya dengan tersenyum penuh kemenangan.

"Akhirnya menang!!"

Sheila tertawa saat melihat milik Sean turun kembali karena terkena ular. Sementara Naufal akan naik karena mendapatkan kotak tangga ke atas.

"Yok! Bisa yok! Dapat lima, dapat lima, dapat lima." Arzan mengulang-ulang ucapannya agar mendapatkan titik dadu lima. Jika ia mendapatkannya, maka ia selesai bersama Kezia.

Tapi tidak. Ia mendapatkan titik angka dadu lebih dan membuatnya berputar. Naufal tersenyum senang saat Arzan tiba-tiba mendapat ular. Kemenangan Arzan dipending dulu.

"Kasihan...," kata Naufal.

"Tck, gua nggak main, ah. Nggak seru," kata Arzan.

"Lah, kok, ngambek? Bilang aja lo nyerah," balas Garrel.

"Terserah."

"Satu kata ngeselin," balas Naufal.

Sheila menutup matanya setelah mengeluarkan dadu. Ia mengintip dari sela-sela jarinya dan menghitung langkah. Ia tersenyum karena tidak mendapatkan ular. Tapi salah, Sean memperjelas kotak langkahnya yang justru mendapatkan ular. Perhitungan Sheila salah, sementara Sean benar.

Sebuah lesung pipi muncul saat melihat wajah Sheila yang tidak mood karena mendapatkan ular. Sean mengacak-acak rambut Sheila karena gemas melihat pipi Sheila yang mengembung. "Kasihan...," katanya

"Kok malah ikut-ikutan kayak mereka, sih!" kesal Sheila.

"Pengen aja, biar bisa jahilin kamu juga," jawab Sean.

"Ekhm.., masih ada orang di sini, maksimal jangan menebar kemanisan. Karena gua suka kecut," kata Garrel.

"Gua sih taro," balas Arzan.

"Gua avocado, sih," balas Naufal ikut-ikutan.

"Aku sukanya coklat," balas Kezia.

Sean melirik teman-temannya dan juga Kezia berganti. Mereka sangat kompak saat menjahilinya bersama Sheila. Bahkan Kezia ikut-ikutan.

"Ya, udah, deh. Lanjutin, kita mau pindah ke kolam renang aja kalau gitu," kata Garrel.

"Sekalian gua ceburin," balas Sean.

"Oh, iya. Kak Zea mau menginap di sini sama Arden dua hari," kata Kezia.

Sheila kaget. "Ha? Yang bener aja? Nggak boongan, kan, Kez?"

Kezia menggeleng. "Kak Zea yang ngasih kabar aku semalam."

"Ohh..., Kalau aku ikutan boleh nggak?"

Kezia mengembangkan senyumannya. "Boleh kok! Boleh banget malahan, biar makin rame."

"Bener?" Kezia mengangguk.

Sean juga tersenyum mendengarnya. Selain Kezia tidak sendirian lagi. Jarak rumahnya dengan rumah Kezia juga tidak terlalu jauh. Dengan seperti ini, ia dapat dengan mudah mengunjunginya.

...••••...

Linda dan Lino diam-diam memberi tau Zevan jika Retha bersamanya. Anak-anak yang lain juga berhenti dan mengajak Retha berbicara agar mengulur waktu untuk tidak melanjutkan perjalanannya.

Segerombolan motor tiba-tiba datang menghampiri mereka di tepi jalan dengan membawa tongkat bisbol. Mereka berhenti dan langsung membuat onar di tepi jalan dengan cara membuat sebuah pertengkaran dan pertikaian. Lalu terjadilah sebuah adu jotos di sana.

Retha ingin membantu, tapi Lino tidak memberikan izin agar Retha tetap aman dan tidak lecet. Jika tidak, Zevan akan memarahinya.

"Udah, di situ aja!" suruh Lino.

Retha memajukan bibirnya karena tidak dapat ikut juga untuk memukuli lawan. Padahal tangannya sudah gatal dan sudah lama tidak memukuli orang.

Seorang laki-laki dengan wajah yang masih bersembunyi dari balik helm diam-diam mendekati Retha dari arah belakang dan akan memukulnya dengan tongkat bisbol.

Dengan sigap, Retha menghindarinya dan langsung membuat lawan tersungkur ke trotoar jalanan dengan menginjak dadanya. "Lihat! Gua bisa, kan?" tunjuk Retha kepada Lino.

Lino dan yang lain tidak menggubris Retha dan memfokuskan dirinya untuk melawan segerombolan anak-anak motor yang jumlahnya lebih banyak dari mereka.

Sebuah mobil hitam datang dari arah belakang dan keluar seorang laki-laki yang membuat anak-anak motor lawannya bergegas untuk menghidupkan motor masing-masing dan melesat menjauh untuk menghindari orang tersebut. Sebelumnya, laki-laki yang tadi Retha injak langsung memukul pipi Retha yang mengakibatkan sebuah goresan merah karena tergores kuku jempol lawannya dan goresan tersebut mengeluarkan sedikit darah.

Retha meringis pelan menyentuh lukanya. Sedikit perih memang. Laki-laki yang keluar dari mobil adalah Zevan yang menatap mereka dengan tatapan tajam penuh tusukan. Zevan menarik tangan Retha dengan berjalan ke arah mobilnya. "Gua minta tolong salah satu dari kalian bawa motor adik gua ke rumah," suruhnya.

Zevan menutup pintu mobilnya dengan kasar dan membuka pintu pengemudi. Sebelum meninggalkan tempatnya, Zevan sempat memberikan kode untuk teman-temannya agar kembali saja, jangan melanjutkan perjalanan.

Benar saja, mereka semua berputar balik dengan seorang laki-laki yang mengendarai motor Retha untuk dikembalikan sesuai perintah Zevan. Mereka tidak berani melawan ucapan Zevan jika seperti ini.

Keheningan menyelimuti suasana mobil yang Retha duduki, mobil Abangnya. Zevan menatap lurus ke depan dengan menghembuskan nafasnya untuk mengontrol emosinya. Ia melirik adiknya yang sejak tadi menyentuh luka di pipinya dengan suara rintihan karena perih.

"Jangan di sentuh-sentuh, nanti malah makin sakit, bengkak," pinta Zevan.

"Hhm..."

"Lain kali kalau mau keluar, bilang! Izin dulu! Jangan bikin Abang panik dan takut terjadi sesuatu sama kamu."

"Maaf.."

"Baru sadar kesalahan kamu?" Retha mengangguk. "Mangkanya dengerin omongan Abang. Jangan kamu terima dari telinga kanan dan dikeluarin dari telinga kiri. Itu namanya nggak guna juga Abang nasihati kamu."

"Maaf.."

"Lain kali jangan diulangi lagi." Retha mengangguk pelan.

Setelah beberapa menit perjalanan, Retha sampai di rumah dengan selamat tanpa kejaran dari musuh-musuh Abangnya.

Raja dulunya adalah teman dari Zevan dan Nathan. Tapi setelah ia kalah dalam sebuah pertandingan yang dibuat pelatih berenangnya untuk memilih siapa yang berhak untuk mewakili sekolah dalam perlombaan. Ia menjadi membenci Zevan dan Nathan karena keduanya selalu ada di depannya. Sementara Raja selalu menjadi nomor tiga. Nomor yang tidak ia sukai.

Raja pindah sekolah karena kedua orangtuanya agar bisa menyaingi kedua mantan temannya. Tekadnya sangat kuat untuk bisa mengalahkan Nathan dan Zevan, tapi ia selalu kalah saat menjadi perwakilan di sekolah barunya.

Kekalahan yang Raja benci selalu mendatanginya saat bertanding dengan Nathan dan Zevan. Tanpa ada gentar, ia selalu berusaha dan terus berlatih walaupun bahunya terkadang sakit.

Zevan membersihkan darah yang masih menempel di pipi Retha dengan berhati-hati dan telaten agar adiknya tidak kesakitan. Setelah selesai, ia memasang plester untuk menutup luka tersebut dan agar tidak terkena debu kotoran.

"Tumben tadi nggak telat?" Retha menatap abangnya yang tiba-tiba menanyakan perihal tersebut. Memangnya kenapa? Terlambat salah, tepat waktu salah. Terus? Ia harus bagaimana lagi?

"Emangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa, Abang lebih suka kalau kamu tepat waktu," jawab Zevan.

"Padahal situ juga sering telat," sindir Retha.

"Tapi nggak sesering kamu."

"Apanya? Empat kali seminggu itu apa? Itu sama aja tiap hari terlambat. Orang kita sekolah cuman lima hari dalam seminggu."

Zevan tertawa garing dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kemarin ia memang tidak terlambat, tapi hari ini ia terlambat 10 menit setelah gerbang ditutup.

"Yang penting sekolah."

Retha memutar bola matanya malas menanggapi abangnya yang notabenya aneh dan sangat absurd saat bertanya maupun berpikir. Tapi Zevan itu lumayan pintar juga anaknya, aneh bukan?

...••••...

...TBC....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!