Pria berbahaya yang dimaksud oleh Elmar berkilo-kilo jauhnya itu kini baru saja menerima laporan mengenai seorang gadis yang telah menyelamatkannya dengan menggunakan uang tabungan yang tidak seberapa. Ini adalah hal baru baginya, apalagi gadis itu tidak meminta Nicho untuk mengganti uangnya dan cara gadis itu menatap pun tidak seperti kebanyakan wanita yang melihat Nicho dengan tatapan haus yang ingin memiliki atau minimal ingin terlihat menarik di depan Nicho.
Bagaimana cara gadis itu bersikap, berbicara dan melihatnya terasa begitu jujur. Gadis itu tidak tertarik padanya sama sekali, dan ketidak tertarikan itu terasa begitu nyata dan tulus. Ketulusan yang pertama kali Nicho rasakan setelah bertahun-tahun.
“Jadi, dia mahasiswi semester akhir?” tanya Nicho mengulang penjelasan Kaz tentang seorang gadis bernama Anesh Sagitta.
“Benar Tuan. Dia juga bekerja paruh waktu disebuah restoran cepat saji sebagai kasir, dan bekerja paruh waktu di butik sebagai sales promotion girl.”
Nicho menganggukkan kepalanya, sebelah tangannya memegang sebuah kartu yang dia pandangi dengan sepasang mata tajamnya.
“Lanjutkan.” titah Nicho.
Kaz melanjutkan penjelasannya tentang keluarga Anesh yang menerangkan Anesh memiliki satu orang kakak laki-laki yang sudah menikah dan satu adik laki-laki yang masih sekolah menengah. Ibunya adalah seorang penyintas kanker serviks dan ayahnya menjadi salah satu dari karyawan yang terkena PHK dua tahun yang lalu.
“Jadi dia anak tengah?”
“Benar Tuan.”
“Bagaimana dengan perekonomiannya?”
“Saat ini, keluarganya tengah terlilit hutang yang cukup besar. Pinjaman pada bank yang dilakukan oleh ayahnya dengan jaminan sertifikat rumah dan pinjaman online yang dilakukan oleh kakaknya. Jatuh tempo akan dikenakan pada minggu depan, jika tidak dilunasi, maka pihak bank akan segera melelang rumah dan harta lainnya. Dan kemungkinan lain, hukuman pidana bisa membuat ayah dan kakaknya itu dipenjarakan. Anesh juga selalu menjadi sasaran penagihan pinjaman online. Untuk biaya kuliahnya, Anesh membiayainya sendiri dengan bekerja, dia juga rutin memberikan uang ke rekening atas nama ibunya untuk keperluan biaya sekolah adik laki-lakinya.”
“Keluarganya terlilit hutang. Dia bekerja paruh waktu didua tempat. Uang gajinya dia gunakan untuk kuliahnya dan sekolah adiknya. Tapi dia menggunakan uang gajinya itu untuk menyelamatkanku dan tidak memintaku untuk menggantinya.” Nicho menyimpulkan laporan yang dibacakan tangan kanannya itu.
Kaz mengangguk membenarkan kesimpulan yang diucapkan Nicho.
“Apakah menurutmu itu masuk akal? Seseorang masih bisa mengeluarkan tabungannya untuk menyelamatkan nyawa orang yang tidak dia kenal, sementara dia juga membutuhkan uangnya?”
“Normalnya, orang dengan keterbatasan finansial akan berpikir panjang, Tuan.” jawab Kaz dengan sangat logis.
“Tapi dia tetap memilih untuk menyelamatkanku, bahkan tidak mundur ketika aku arahkan pistol.”
Nicho kembali memandangi pas poto yang terdapat pada permukaan kartu mahasiswa yang dipegangnya itu. Sebuah poto gadis yang tersenyum manis dengan rambutnya yang panjang melewati bahunya.
“Apa dia sudah memiliki kekasih?” tanya Nicho dengan kembali melihat Kaz yang masih berdiri dengan tab pada tangannya.
“Tidak ada, Tuan.”
Kepala Nicho bergerak mengangguk pelan, seolah dia memikirkan sebuah ide yang cemerlang di dalam kepalanya. Sudut bibirnya bergerak naik, membentuk senyuman baru pada wajahnya tanpa dia sadari.
Dia bangkit dari posisi duduknya di sofa beludru lembut, dia melangkah seperti orang yang tidak memiliki dua bekas jahitan yang masih basah pada tubuhnya. Nicho kemudian menepuk pundak Kaz.
Untuk kali pertama, sepasang mata yang biasanya menyorot tajam, dingin dan gelap itu kini, terlihat seolah mendapatkan setitik … cahaya.
“Kau akan segera memiliki seorang Nyonya di rumah ini, Kaz.” katanya dengan penuh percaya diri.
Kaz mengerutkan keningnya sebentar, kemudian dia mengerti apa yang dimaksud oleh Tuan yang sudah dia layani bertahun-tahun lamanya.
“Jadwalkan pertemuanku dengan kakaknya besok. Aku akan membuat kesepakatan yang tidak akan diabaikan olehnya.”
*
Nicho menatap puas pada dokumen perjanjian yang telah disepakati dan telah ditandatangani olehnya dan oleh seseorang bernama Jeri Pratama. Nicho sudah dapat menduga pertemuannya dengan Jeri pagi tadi tidak akan memakan waktu lama dan tidak akan sulit untuk membuat pria itu menyanggupi syarat yang diberikan oleh Nicho.
Benar-benar mudah, semudah membalikkan telapak tangan.
Mereka membutuhkan uang dalam jumlah besar, Nicho menawarkan jumlah yang besarnya tiga kali lipat ditambah dengan tawaran pengobatan untuk anaknya yang membutuhkan transplantasi paru secepatnya, tentu saja satu syarat yang diberikan Nicho langsung disetujui begitu saja oleh Jeri.
Nicho menutup kembali dokumen itu dengan puas lalu memandang gedung yang berdiri kokoh di luar mobilnya.
“Dia baru menjadi pekerja paruh waktu di sana?”
“Benar Tuan. Jadi sekarang calon nyonya bekerja paruh waktu ditiga tempat.” jawab Kaz dengan kesadaran penuh menyebut Anesh sebagai calon nyonya dari tuannya.
Nicho mengangguk, kemudian memakai kaca mata hitam di atas hidungnya yang bangir.
“Bagaimana penampilanku, Kaz?” tanya Nicho pada Kaz yang masih duduk di belakang stir.
“Sempurna, Tuan.” jawab Kaz.
“Tentu saja.” sahut Nicho dengan rasa percaya diri yang selalu tinggi.
Setelah itu, dia membuka pintu mobilnya, keluar dari dalam mobil mewah itu di depan gedung perpustakan fakultas tempat dimana Anesh mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang baru. Kemunculannya dengan setelan jas hitam mahal dan sepasang sepatu pantofel mengilat tentu saja menarik perhatian semua orang yang ada di sana. Laki-laki maupun perempuan, semuanya seolah membeku begitu Nicho bergerak masuk menuju ke dalam gedung. Setiap gerakannya seolah menyihir semua orang yang melihatnya.
Gemuruh suara berbisik berisi pertanyaan-pertanyaan penasaran pada sosoknya pun mengisi setiap ruang jalan yang Nicho lalui. Ah, itu sudah biasa bagi seorang Nicho Jevarnio Hardi. Ia tetap berjalan dengan dagunya yang diangkat tinggi.
Dia sampai di tempat tujuannya, gedung perpustakaan yang identik dengan tempat yang tenang dan sepi. Mata elangnya menyapu dan langsung menemukan sosok yang dicarinya.
Anesh tengah duduk di balik meja petugas penjaga perpustakaan sembari menikmati sebungkus roti tawar isian cokelat, earphone kabel yang menyumpal telinganya dan sebuah buku bacaan yang sedang dibacanya.
Anesh terlihat bergeming begitu Nicho berdiri di depan meja yang bagian depannya lebih tinggi. Nicho bersandar dan mengetuk pelan permukaan meja hingga wajah Anesh bergerak dan mereka saling berhadapan.
Anesh melepas kabel earphone dan meletakkan rotinya kemudian berdiri. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Anesh sopan.
Sebelah alis Nicho bergerak naik. “Pak?” tanyanya mengulangi.
“Eh … maaf, Bapak dosen di fakultas ini?” tanya Anesh lagi, masih dengan nada sopan.
Alih-alih menjawab, Nicho melepaskan kaca mata hitamnya seperti seorang model papan atas, senyum tampan terlukis pada wajahnya yang tak lagi pucat.
“Aku bukan dosen.” sahut Nicho.
Perubahan ekspresi pada wajah Anesh menjelaskan dengan sangat baik bahwa gadis itu terkejut dengan kehadiran Nicho di sana.
“Kamu?!” Suaranya mencicit tertahan di ujung tenggorokan.
“Kaget atau terpesona melihatku?” Nicho bersandar pada bagian depan meja. Ia menyeringai jahil.
Anesh kemudian celingak-celinguk sebelum bersuara dengan volume yang lebih pelan. “Bagaimana kamu bisa tau aku ada disini?”
“Bukan hal yang sulit untuk mencarimu.” jawab Nicho santai.
“Lalu untuk apa kamu mencari si-sembarang orang asing-ini?” tanya Anesh dengan sindiran yang masih terasa jelas rasa jengkel itu keluar dalam setiap nadanya.
“Kamu masih marah dengan sebutan itu?” Nicho menekuk tangannya lalu menopangkan dagunya pada sebelah telapak tangannya, matanya dalam menatap Anesh.
“Katakan mau apa kamu datang mencariku? Aku sedang bekerja sekarang, jadi jangan membuatku dipecat dihari pertama.” Desisnya dengan suara pelan dan penuh peringatan.
“Dipecat?” Nicho berdecak. “Aku bisa membeli gedung ini untukmu kalau kamu mau.”
“Aku gak mau.” jawab Anesh cepat tanpa mempertimbangkan ucapan Nicho. “Cepat katakan apa mau mu mencariku?”
“Ini.” Nicho mengeluarkan kartu mahasiswa milik Anesh.
“Kenapa ada sama kamu?” Kedua mata Anesh melebar, tangannya hendak mengambil kartu itu, tapi Nicho menariknya kembali. “Kembalikan!” tegas Anesh meski dengan volume yang pelan, namun matanya yang bulat menatap galak.
“Aku akan mengembalikannya, beserta dengan uang tabunganmu berkali-kali lipat, kamu bahkan tidak perlu bekerja pekerjaan dengan gaji kecil seperti ini, hanya dengan satu syarat.”
“Aku ga membutuhkan syarat apa pun darimu, kalau kamu ga mau ganti, ya udah, ga apa-apa. Kembalikan saja kartu mahasiswaku.” Sahut Anesh tanpa pikir panjang.
Lagi-lagi, ini hal baru bagi Nicho.
Sudut bibir Nicho bergerak naik, bibirnya membentuk senyuman miring yang tipis.
Gadis itu menolaknya, dan penolakannya itu justru menimbulkan sebuah debaran yang Nicho pikir tidak akan pernah dia miliki.
“Baiklah, jika ingin kartu ini kembali, kita perlu bicara.”
“Bicara apa? Kayaknya ga ada hal yang perlu dibicarakan.”
“Ada.” Nicho memajukan setengah tubuhnya dan Anesh bergerak mudur. “Kita perlu membicarakan soal … masa depan kita.”
“Hah?”
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments