Ketika Nicho Jatuh Cinta
Langit malam itu cukup gelap, tidak ada satu pun bintang yang terlihat di atas sana. Udara yang dingin setelah hujan yang mengguyur seharian membuat tubuhnya yang terluka agak menggigil, dan darah yang menetes dari pelipisnya membuat pandangannya tidak terlalu jelas.
Nicho terus bergerak, kemeja yang dikenakannya sudah robek sana-sini karena luka yang dia dapatkan. Sebuah pistol yang masih dia genggam seolah menjadi pegangannya untuk tetap bertahan, meskipun dinginnya besi itu pun tak lagi terasa dalam genggamannya.
Darah yang menetes dari luka tubuhnya yang menganga menciptakan jejak di atas jalanan. Tapi dia harus terus bergerak, sepasang kakinya yang mulai berjalan goyah membawanya atau lebih tepatnya, menyeret tubuhnya masuk ke dalam gang kecil yang tidak terlalu terang.
Dia tahu dia dikhianati oleh anak buahnya, dan kini dia sekarat di dalam gang kecil yang hanya diterangi cahaya lampu jalanan yang berpendar lemah di ujung mulut gang.
Bau seng berkarat, lembab dan pesing menguar di udara. Dia terjatuh di atas tumpukan kardus bekas, kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang berat.
Ah, sial! Aku akan mati di tempat menyedihkan begini! Keluhnya dalam hati.
Dia terbatuk, dan menyemburkan darah dari mulutnya. Napasnya mulai tersenggal-senggal. Matanya menatap kosong ke arah langit yang gelap di atas sana.
Sial! Lagi-lagi hatinya memaki. Entah pada apa atau pada siapa.
Ketika matanya hampir terpejam, pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang bergerak pelan, tapi lama-lama semakin mendekat.
Dia mengeratkan pistol pada cengkramannya, dia bersiap untuk mengarahkan moncong pistol itu kearah datangnya suara.
“Astaga!”
Pekikan itu diiringi dengan kehadiran seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu dan hoodie kebesaran juga ransel yang menggantung pada punggung tubuhnya yang tidak terlalu tinggi.
Matanya membesar begitu melihat pistol yang mengarah padanya, dan refleks dia mengangkat kedua tangannya.
Nicho sama sekali tidak mengenali perempuan itu. Namun, pengalaman mengajarkannya satu hal bahwa tidak ada yang datang secara kebetulan di dunia ini.
“Siapa kamu?” tanya Nicho, suaranya nyaris tidak terdengar, serak dan penuh dengan kecurigaan.
“A--aku bukan siapa-siapa. A-ku cuma melihat tetesan darah dan---“
“Jangan berbohong! Mereka pasti mengirimmu untuk menghabisiku!” desis Nicho.
“Menghabisi?” Suara perempuan itu yang tadinya terdengar shock dan takut kini terdengar lebih tak percaya dan sedikit jengkel. “Bagaimana aku bisa menghabisimu kalo disini yang memegang pistol adalah kamu!” Dia menurunkan tangannya, matanya menatap balik tatapan Nicho.
“Aku hanya ingin menolongmu!” tambah perempuan itu.
“Aku … tidak percaya …” Nicho menarik kuncian pistol dengan ibu jarinya, dia semakin mengarahkan ujung pistol itu kepada perempuan yang kini terlihat ragu, tapi juga khawatir.
“Kamu sekarat, demi Tuhan! Masih bisa menuduhku?” Perempuan itu bergerak mendekat.
Tapi Nicho semakin mengeratkan cengkraman tangannya pada gagang pistol.
“Jangan mendekat!” katanya penuh peringatan yang lemah.
“Kamu akan mati jika kubiarkan begini! Percayalah, aku hanya ingin menolong!” Suara perempuan itu lebih terdengar putus asa.
“Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?”
Alih-alih mundur, perempuan itu justru maju selangkah lagi. Tatapannya bukan hanya khawatir tapi ada kekesalan yang nyata dan juga ketulusan yang membuat pertahanan Nicho nyaris goyah.
“Astaga! Jika aku memang suruhan seseorang untuk menghabisimu, untuk apa aku repot-repot? Aku hanya cukup memastikan ga ada orang yang masuk ke dalam sini untuk menolongmu dan kamu akan mati kehabisan darah! Pikirlah!”
Nicho terdiam, pikirannya buram. Namun kata-kata perempuan itu menamparnya.
“Kamu sungguh akan … menolongku?”
“Ya!” jawab perempuan itu dengan nada yang sangat kesal dan frustasi.
Akhirnya Nicho menurunkan pistolnya, mengunci kembali benda itu.
Perempuan itu pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Siapa yang kamu hubungi?” Nada curiga masih terdengar dalam suara Nicho yang lemah.
“Dokter. Diamlah, simpan saja tenagamu!” jawab perempuan itu.
Nicho menurut.
Gila, ini adalah kali pertama dalam hidupnya dia menurut pada seorang perempuan asing yang kini sedang menatapnya dengan tatapan sinis, cemas, takut, dan galak. Ini benar-benar gila!
“Halo, Mas El, maaf mengganggu, ini Anesh. Aku butuh bantuanmu untuk pertolongan pertama … bukan, bukan aku, tapi seseorang ...”
Nicho terus memperhatikan perempuan itu yang sangat serius mendengarkan apapun yang dia dengar dari dokter yang dia hubungi. Sesekali matanya melihat kepada Nicho, kemudian mengecek luka dan menjelaskan dengan singkat kondisi luka yang ada.
Nicho terbatuk lagi, kali ini lebih banyak darah yang keluar dari mulutnya.
“Astaga! Bertahanlah, kumohon!” kata perempuan itu setelah mengakhiri panggilan teleponnya, dia melepaskan hoddie kebesarannya untuk menahan luka pada perut Nicho.
“Aku akan telepon ambulan, jadi kamu harus bertahan!” Nada kekhawatiran juga peringatan terdengar dari suara perempuan itu. Sepasang matanya yang bulat melihat Nicho dengan tatapan ketulusan yang Nicho pikir tidak akan pernah ada lagi seseorang yang melihatnya seperti itu kecuali mendiang ibunya.
Pandangan Nicho semakin buram, ketajaman pendengarannya pun semakin menghilang, tubuhnya mulai gemetar.
Ia sempat menangkap satu kalimat lagi sebelum semuanya menjadi gelap.
“Bertahanlah, aku ga akan meninggalkanmu!”
Kemudian semuanya hitam.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments