Chapter 4. Pria Itu Hilang!

Sebenarnya Anesh sudah memutuskan untuk tidak akan kembali ke rumah sakit untuk melihat pria paling tidak tahu diri itu, tapi karena kartu mahasiswanya mendadak hilang dari peredaran di dalam ranselnya, terpaksa dia harus kembali ke rumah sakit. Mungkin, kartu itu terjatuh di sana.

“Memang siapa yang sakit?” tanya Riry sembari menyedot es jeruk dalam kemasan plastik transparan.

“Eh…”

Riry memicing curiga pada Anesh, “Lo pasti nolongin orang lagi, trus pakai uang lo lagi, kan, untuk ngebiayain orang?” tanya Riry penuh selidik.

Anesh hanya bisa menyunggingkan senyum tipis pada sahabatnya yang kini hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Lo sadar ga sih, lo nih selain introvert garis keras, tingkat kepedulian lo itu juga kadang udah masuk tahap ga masuk akal.” kata Riry dengan nada gemas yang tertahan, tangannya yang bebas dari plastik minuman bergerak seolah ingin meremas wajah Anesh.

“Ya kalo gue lagi ada rejeki, ya ga apa-apa gue bantu juga, kan? Mereka pasti lebih membutuhkan dari pada gue.”

“Ya ga apa-apa sih kalo lo mau bantu orang, tapi lo kan juga butuh uang, Nesh. Lo sampe kerja part time di dua tempat lho!” Riry benar-benar terlihat geregetan.

“Ga apa-apa lah, hitung-hitung pengalaman kerja.” jawab Anesh masih berusaha mencari kartu mahasiswanya di antara selipan lembaran buku-buku.

Riry hanya bisa membuang napas sambil menggelengkan kepalanya.

“Kayaknya jatoh kali ya di rumah sakit.” ucapnya setelah benar-benar menyerah berharap dapat menemukan kartu itu.

“Trus lo mau ke rumah sakit sekarang?”

“Iya, lah. Kelas gue udah selesai. Dari sana, gue lanjut ke resto.”

Riry hanya berdecak, antara jengkel dan juga simpati.

“Gue duluan, ya.” Anesh beranjak dari kursi kayu yang mereka duduki di taman kecil samping kantin kampus.

Siang itu mendung dan gerimis, Anesh berlari kecil setelah turun dari ojek online yang ditumpanginya. Dia langsung menuju lift, menekan tombol nomor lantai dimana bangsal kelas tiga tempat pria tidak tahu diri itu dirawat.

Sebenarnya, dia sungguh malas jika harus kembali bertemu dengan pria itu. Tapi, dia tidak punya pilihan, dia membutuhkan kartu mahasiswanya untuk keperluan tugasnya kuliahnya.

Begitu sampai di luar bilik paling ujung itu, dia membuang napasnya dulu sebentar, menenangkan kekesalannya yang tiba-tiba memuncak mengingat bagaimana cara pria itu menganggap dirinya berniat menguras harta pria itu dengan dalih memberikan pertolongan. Padahal saat ini tabungannya lah yang terkuras untuk menolong pria tidak tahu terima kasih itu.

Krek!

Tirai dia singkap, namun yang dia temukan adalah seorang petugas rumah sakit yang sedang mengganti seprai dan sarung bantal.

Pria tidak tahu diri itu tidak ada.

“Maaf, pasien laki-laki yang dirawat di sini apa dipindahkan?” tanya Anesh dengan sopan.

“Oh, pasien yang habis operasi kemarin malam itu, ya?” tanya petugas itu.

“Iya. Tadi pagi dia masih ada di sini, kan?”

“Saya kurang tau, Mbak. Mungkin Mbak bisa tanya ke ruang jaga suster.”

“Oh, oke, terima kasih.” Anesh segera menuju ruang jaga para suster berada.

Pikirannya saat itu tidak menentu, dan Anesh sendiri juga tidak mengerti kenapa pikirannya tiba-tiba blank. Dia lupa tujuan kedatangannya adalah untuk mencari kartu mahasiswa yang hilang secara misterius.

“Permisi, maaf, kalo boleh tau, pasien laki-laki yang habis operasi semalam yang dirawat di kamar Lavender 4, bilik balik ujung dekat jendela, apa kamar perawatannya dipindahkan?” Anesh bertanya dengan tanpa basa-basi.

Entah kenapa dia merasa khawatir. Pikirannya langsung teringat bagaimana pria itu kehilangan banyak darah semalam, bagaimana petugas medis melakukan CPR sepanjang perjalanan, bagaimana dirinya menggenggam erat tangan pria itu, bagaimana pucatnya wajah pria itu pagi tadi, dan sekarang … dia tidak ada.

“Oh, yang operasi karena kena tembak peluru di perut dan di dada itu, ya?” tanya salah satu suster.

Anesh mengangguk cepat.

“Tadi pagi dia pinjam telepon, katanya mau menghubungi keluarganya, setelah itu sekitar jam sepuluh ada laki-laki yang datang menjemput dan mengurus administrasi.”

“Oh, yang ganteng itu, ya?” Salah satu suster yang lain menimpali, kemudian direspon dengan anggukan oleh suster yang menjawab Anesh.

“Dia sudah pulang? Memang sudah boleh pulang?” tanya Anesh mengabaikan komentar suster yang kedua.

“Dokter Elmar udah bilang kalau kondisi pasien masih belum stabil sepenuhnya, tapi pasien tetap ingin pulang, katanya saya dengar sekilas, kalau dia merasa lebih aman di rumah dari pada di sini.” jawab suster sambil mengedikkan bahu.

“Tapi kalo dilihat secara fisik, pasien sepertinya cukup kuat, biasanya pasien yang habis dioperasi belum cukup kuat untuk berjalan di hari pertama, karena pengaruh obat bius dan efek nyeri pada bekas jahitannya. Tapi, tadi dia terlihat biasa aja, seperti bukan pasien yang habis dioperasi.”

Anesh terdiam. Dia tidak tahu harus berpikiran apa tentang pria itu.

“Dokter Elmar apa masih ada jadwal hari ini?” tanya Anesh.

“Masih, sampai jam tiga.”

Setelah selesai dari ruang jaga suster, Anesh baru teringat dengan kartu mahasiswanya, dia kembali ke bilik dan bertanya pada petugas kebersihan itu yang kini sedang menyapu bilik itu mengenai kartu mahasiswanya yang mungkin jatuh di sana. Namun, Anesh tidak mendapatkan jawaban yang dia harapkan. Kartu itu benar-benar hilang tanpa pamit, sama seperti pria tidak tahu diri itu.

“Anesh?” Panggilan itu membuat Anesh menggerakkan kepalanya ke arah suara yang memanggilnya.

“Mas … eh, dokter Elmar.” Sahut Anesh. Dia hanya memanggil ‘Mas’ jika mereka hanya berdua. Itu pun juga karena permintaan Elmar.

“Kamu kembali lagi? Pasien, kan, sudah dijemput oleh kerabatnya.”

“Iya, aku juga baru tau. Kupikir dia masih dirawat.”

“Kamu ga tau sebelumnya?”

Anesh menggeleng lesu.

Sungguh, Anesh sendiri juga tidak mengerti kenapa dia merasa lesu dan ada setitik rasa … kecewa.

“Apa dokter tadi bertemu dengannya sebelum dia pulang?”

Elmar menggeleng. “Tapi aku bertemu dengan kerabat yang menjemputnya.”

“Apa dia menyebutkan siapa nama pria itu?”

Elmar lagi-lagi menggeleng. “Tapi, sepertinya mereka bukan orang biasa, Nesh.”

“Maksudnya?”

“Entahlah, aku seperti punya firasat jika suatu ketika kamu bertemu dengannya lagi, sebaiknya kamu menghindarinya, karena firasatku mengatakan dia berbahaya.”

Kata ‘berbahaya’ mengingatkan Anesh kembali pada moment ketika pria itu mengarahkan pistol ke kepala Anesh tanpa ragu. Seolah menodongkan pistol ke kepala manusia bukanlah hal yang baru baginya, bahkan disaat keadaannya sekarat.

"Apa karena dia memiliki benda itu?" tanya Anesh.

Elmar mengangguk.

.

.

.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!