Chapter 2. Menunggu

Anesh duduk di atas kursi mobil ambulan yang bergerak cepat menuju rumah sakit, petugas medis terus memantau kondisi pria asing itu yang semakin lemah, hingga detik berikutnya tanda kritis pun terdengar. Anesh yang melihat dua orang petugas medis langsung sigap melakukan tindakan CPR dan memberikan alat semacam oksigen pada hidung pria itu, seketika teringat dengan ibunya. Beberapa tahun lalu, ibunya juga pernah berada diposisi seperti pria asing itu.

Refleks, Anesh meraih tangan pria itu, menggenggam erat seolah memberikan kekuatan dan energinya untuk si pria asing itu.

Bertahanlah! Batinnya berbisik.

Akhirnya mereka tiba di rumah sakit terdekat, petugas medis yang lain langsung menyambut kedatangan mereka dengan berlari sigap, dengan seorang petugas medis yang masih berada di atas pria itu, masih dengan tindakan CPR yang tidak mengenal putus asa.

Brankar yang membawa pria asing itu pun segera didorong menuju UGD.

Anesh sempat linglung, dia harus kemana?

Tenang, Nesh. Tenang ….

Anesh mengatur napasnya sebentar, setelah pikirannya cukup jernih, dia langsung menuju tempat administrasi agar pria itu segera ditindak.

Setelah selesai dengan urusan administrasi, dia langsung bergegas menuju ruang tunggu operasi yang ternyata pria itu langsung ditindak untuk segera dilakukan operasi.

Tiga jam berlalu, Anesh nyaris tertidur lelap ketika seorang dokter dengan pakaian khusus tindakan operasi berwarna biru berlutut di depannya untuk membangunkan Anesh.

“Nesh, Anesh.” kata dokter itu seraya menggoyangkan pelan lengan Anesh yang kepalanya sudah mulai terkulai ke depan.

Seketika Anesh menegakkan kepala dan menyentak sentuhan itu.

“Maaf.”

“Mas Elmar?” Anesh menegakkan kepalanya.

Elmar menunjukkan senyumnya yang selalu tersungging ramah dan tatapan matanya yang menyorot dengan lembut dan hangat.

Seketika, rasa cemas dan kekhawatiran dalam dada Anesh lenyap melihat keberadaan Elmar di depannya. Berada didekat Elmar selalu membuat Anesh merasakan ketenangan, entah karena memang Elmar memiliki aura yang menenangkan atau karena memang sudah sejak lama Anesh menyimpan perasaannya rapat-rapat pada dokter yang juga teman dari kakak laki-lakinya Anesh.

“Temanmu sudah selesai operasi.”

“Teman …” Anesh mengulang kata itu seraya pandangannya tertuju pada pintu ruang operasi.

“Mas Elmar yang ngoperasi dia?” tanya Anesh tanpa menjawab pertanyaan dokter muda yang selalu menyunggingkan senyum berlesung pipinya di depan Anesh.

Elmar mengangguk. “Ada dua peluru. Satu di perut, satu lagi di dada, beruntung keduanya ga mengenai organ-organ yang berbahaya. Tadi sempat kritis, tapi sekarang sudah mulai stabil.” Elmar menjelaskan dengan sederhana dan singkat.

Anesh melepas napas penuh kelegaan.

“Jadi, bagaimana temanmu bisa mendapatkan tembakan seperti itu? Apa sudah lapor polisi?”

“Eh … aku menemukannya di dalam gang belakang kosan.”

“Apa?” Nada keterkejutan tak sempat disembunyikan oleh Elmar, jelas sekali bagaimana dokter itu terkejut dengan jawaban Anesh. "Jadi kamu ga mengenalnya?"

Anesh menggeleng.

“Kamu menemukan dia di dalam gang dan membawanya sendiri ke sini?”

“Aku ga sendirian, Mas, kan, naik ambulan.”

Elmar pindah posisi, dari berlutut di depan Anesh, menjadi duduk disebelah kiri Anesh.

“Kamu tau kalo pria itu mempunyai …” Elmar berhenti sebentar untuk melihat sekitar mereka, seolah memastikan tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka di dalam ruang tunggu itu. “… pistol?” katanya melengkapi kalimatnya.

Anesh mengangguk.

Tau, lah, orang itu bahkan hampir menembak kepalaku! Batin Anesh.

“Dan kamu tetap membawanya ke rumah sakit? Bagaimana kalo ternyata dia orang jahat?”

“Apa sebaiknya aku hanya menonton saja dia mati kehabisan darah di dalam gang itu hanya karena dia memegang pistol?” Anesh balik bertanya, matanya yang lelah dan mengantuk membalas sorot mata dari sepasang mata yang selalu teduh itu.

Elmar menghela napas panjang. “Bukan begitu, maksudku, kenapa kamu ga cari bantuan?”

“Menurut Mas Elmar, menelepon ambulan itu bukan bentuk mencari bantuan?” Anesh balik bertanya, kali ini dengan nada sedikit kesal. Sungguh, dirinya sudah sangat lelah. Bajunya penuh dengan bekas bercak darah dari pria yang nyaris menembak kepalanya, dan sekarang dia tidak punya energi jika harus disudutkan hanya karena dia menolong nyawa seseorang.

“Bukan begitu, maksudku---”

“Aku tau, Mas Elmar khawatir, tapi aku baik-baik saja, dan tolong jangan sampai lapor ke polisi, kita ga tau apa yang terjadi, kalo polisi tau, udah pasti polisi akan mencari aku juga untuk minta keterangan dan segala macam, aku malas dan capek. Jadi, tolong dibalikin lagi aja pistolnya ke pemiliknya bersama pakaiannya.” ucap Anesh dengan nada lelah yang tak dia sembunyikan meskipun di depan Elmar.

Pada akhirnya, Elmar hanya mengangguk, menyanggupi permintaan tolong Anesh yang benar-benar terlihat tak sanggup lagi untuk berargumen.

“Oke. Maaf, aku ga bermaksud menyudutkanmu apa lagi menyalahkanmu, aku hanya ... khawatir.” ucap Elmar seraya meraih tangan Anesh dan mengusapnya lembut.

Anesh mengangguk singkat. Oh, sungguh, Anesh sangat mengerti Elmar mengkhawatirkannya. Usapan lembut itupun sangat menolong mental Anesh saat ini. Jika logikanya berjalan dengan baik sekarang, Anesh pun merasa bodoh karena tidak lari ketika pria asing itu mengarahkan pistol kepadanya. Itu adalah tindakan paling bodoh. Bagaimana jika dirinya benar-benar ditembak oleh pria itu?

“Keluargamu tau?”

Anesh menggeleng. “Ga perlu ada keluargaku yang tau. Jadi tolong Mas Elmar keep kejadian hari ini ya.”

“Oke.”

Suasana hening sejenak.

“Aku akan carikan kamar perawatan untuk dia, kamu bisa istirahat sebentar di sana atau di ruang kerjaku sebelum dia dipindahkan ke ruang perawatan.”

“Makasi, Mas, bantuannya. Kalo bisa, yang kelas tiga aja, uangku ga cukup untuk kelas yang lain.”

Elmar hendak berkomentar lagi, tapi Anesh langsung menyelanya, “Tolong jangan berkomentar. Sumpah aku udah capek dan ngantuk banget. Sekarang aku cuma pengen tidur sebentar aja, nanti setelah dia sadar, aku akan interogasi dia dan minta dia ganti uang aku.” katanya menjelaskan karena tahu apa yang ada di dalam pikiran Elmar.

Mengenal Elmar sebagai teman dari abangnya, cukup bagi Anesh untuk mengenal karakter dokter muda yang tampan dan selalu ramah itu. Itu lah yang membuat Anesh tidak pernah percaya diri untuk menunjukkan apa yang dia simpan di dalam hatinya untuk Elmar. Baginya, Elmar terlalu sempurna.

    *

Setelah empat jam berlalu, pria asing itu masih saja setia menutup kelopak matanya, sementara Anesh sudah duduk di atas kursi tunggu yang tidak nyaman di samping brankar. Dia baru sempat tidur tiga puluh menit sebelum pria itu dibawa ke kamar perawatan kelas tiga.

Anesh memeluk kedua lututnya yang dia naikkan ke atas kursi, dagunya menopang di atas lututnya, matanya sayu dan mengantuk menatap wajah pria asing yang masih lebam dan penuh dengan luka kering pada wajahnya, tapi tidak memungkiri, pria itu mempunyai garis wajah yang sangat tegas dan hidung yang bangir.

Anesh kemudian mengulurkan sebelah kakinya untuk menendang pelan rangka brankar itu.

“Hei apa kamu benar-benar belum sadar? Kamu ga bisa dengar suaraku?” ucap Anesh.

Tapi pria di atas brankar itu tidak memberikan reaksi apa-apa.

“Cepatlah sadar, banyak yang harus kamu jelaskan.” kata Anesh dengan nada perintah. Tapi kemudian menghela napas. Dia baru memikirkan nasib isi tabungannya yang langsung ludes untuk biaya operasi pria asing itu semalam.

Meskipun begitu, dia tidak menyesali telah menguras tabungannya untuk orang yang tidak dia kenal ini. Namun dia juga tidak memungkiri kalau dia membutuhkan uang itu.

“Nesh?” Suara Elmar kembali memanggil, dokter itu kembali muncul di hadapan Anesh dengan tampilan yang lebih segar dengan jubah putihnya. Dia membawa kantong plastik transparan dengan perekat yang berisi pakaian bekas pria itu.

Sementara Anesh masih dengan pakaiannya yang penuh bekas bercak darah. Namun wajah dan tangannya sudah lebih bersih dari pada semalam. Anesh segera menurunkan kakinya, dia selalu suka melihat penampilan Elmar dengan jubah putihnya.

“Barang itu ada di dalam lipatan pakaiannya.” kata Elmar memberikan kode bahwa barang yang dia maksud adalah pistol yang sempat mereka bicarakan.

Anesh berdiri dan menerima pakaian pria itu yang kemudian dia letakkan di bawah tas ranselnya.

“Mau sarapan bareng aku di kantin?” Elmar menawarkan.

“Mau!” jawab Anesh cepat. Yang kemudian dia sesali karena Elmar terkekeh pelan.

Ah, malu sekali rasanya!

Tapi sebelum keluar, Anesh melihat dulu kepada pria asing yang tubuhnya dililit perban.

“Dia akan baik-baik saja. Kamu butuh mengisi energimu karena sudah menolong orang yang bahkan kamu ga kenal.” kata Elmar seolah menyadari keraguan Anesh yang khawatir untuk meninggalkan pria itu sendirian di balik bilik perawatan kelas tiga ini.

Akhirnya, karena memang perutnya yang sejak tadi sudah sangat berisik, Anesh meninggalkan pria itu berserta ransel milik Anesh dan pakaian pria itu di dalam sana. Elmar benar, dia butuh asupan energi. Sejak semalam energinya benar-benar terkuras.

Mungkin setelah pria asing itu kembali ke ruamahnya, Anesh akan mengurung diri ke kamar kosannya untuk mengisi daya energinya sebagai seseorang yang introvert.

Tanpa keduanya sadari, pria yang sejak tadi ditunggu kesadarannya oleh Anesh perlahan menggerakkan kelopak matanya.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!