“Mau nambah?” Elmar menawari setelah Anesh menghabiskan satu porsi nasi uduk dengan sepotong ayam goreng dan telur balado di kantin rumah sakit.
Anesh menggeleng malu seraya menelan es teh tariknya yang menyegarkan tenggorokan hingga ke otak. Ia tak memungkirinya dirinya sangat lapar tapi juga merasa malu karena harus terlihat kelaparan di depan Elmar.
“Sepertinya aku harus kembali ke kamar, mungkin orang itu sudah bangun. Terima kasih untuk sarapannya, Mas.”
Elmar menganggukkan kepala lalu mengecek jam tangannya. “Seharusnya pengaruh biusnya memang sudah hilang.”
Dia bangkit dari kursinya, enggan sebenarnya, ia ingin terus bersama Elmar, menghabiskan pagi dengan seseorang yang dia sukai, tapi dia harus menunggu pria yang mungkin membutuhkan bantuannya lagi, mengingat pria itu tidak memiliki identitas apa pun. Tiba-tiba Elmar menahan tangan Anesh lalu memberikan sejumlah uang cash.
“Eh, uang apa ini, Mas?” tanya Anesh, keningnya berkerut melihat beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya.
“Buat pegangan kamu.” jawab Elmar. “Uangmu kepakai untuk membantu orang itu, kan?”
“Hah? Eh, ga usah Mas, aku---“
“Terima, Nesh, kamu itu sudah seperti adikku sendiri, ga perlu sungkan padaku.” ujar Elmar, ketulusan sangat terasa sampai ke relung hati Anesh yang paling dalam, namun sayangnya ketulusan itu terasa menyedihkan bagi Anesh. Bahkan menyakitkan.
Elmar tidak pernah melihatnya sebagai wanita, bagi Elmar, selamanya mungkin Anesh hanya seperti adik dari kawan lamanya yang dia anggap seperti adiknya sendiri.
Anesh membuang napas, dilihatnya kembali uang itu, lalu beralih kepada Elmar lagi. Wajah Elmar selalu setenang itu, sebuah senyumnya dapat memberikan kehangatan dan kenyamanan untuk Anesh.
Hah … sadar Nesh, Mas Elmar terlalu sempurna dan terlalu sukses untuk bisa merasakan perasaan yang aku simpan untuknya.
“Terima kasih, ya, Mas.”
Elmar lagi-lagi menyunggingkan senyuman berlesung pipinya yang manis.
“Aku kembali ke kamar dulu.”
“Oke, kabari aku kalau kamu butuh sesuatu.”
Anesh mengangguk kemudian beranjak dari tempatnya, membawa serta hatinya yang hangat sekaligus terluka.
Sesampainya di kamar perawatan kelas tiga, Anesh langsung menuju bilik paling ujung dekat dengan jendela, dia langsung terlonjak begitu melihat pria yang sejak semalam dia nantikan kesadarannya itu kini tengah duduk di tepi brankar. Wajahnya pucat, namun ekspresi dingin terpampang pada wajah itu.
“Kamu sudah bangun?” tanya Anesh dengan nada terkejutnya, bahkan matanya masih melebar seolah tak percaya.
“Alarm ponselmu sangat berisik.” jawab pria itu dengan nada ketus.
“Ah, benar juga, hari ini aku ada kelas pagi.” ucap Anesh baru menyadari bahwa dia memiliki kewajiban sebagai mahasiswi. Dia melangkah melewati pria itu untuk mencabut kabel charger dan kemudian mengecek ponselnya.
“Aku akan ke kampus karena ada kelas, mungkin nanti siang aku akan kembali lagi.” kata Anesh tanpa ditanya, sembari menggulung kabel charger itu dan memasukkannya ke dalam ransel, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku celana jinsnya.
“Sebelum aku pergi, aku ingin bertanya sedikit padamu.” lanjut Anesh.
Pria itu menatap dengan tatapannya yang menghunus.
Anesh dapat merasakan bagaimana tatapan itu bukan hanya sekadar tajam tapi juga defensif, seolah pertanyaan Anesh akan membuat pria itu tercabik-cabik kemudian mati seketika.
“Siapa namamu?” tanya Anesh.
“Aku tidak memberikan namaku pada sembarang orang asing.” jawabnya dengan nada datar yang tak disangka akan Anesh dengar setelah apa yang dia lakukan untuk menyelamatkan nyawanya.
“Apa?” Kedua mata Anesh semakin melebar dengan penekanan suara. “Sembarang orang asing?”
Pria itu masih dengan pose dan tatapan yang sama. Sama sekali tidak peduli dengan ketersinggungan dalam suara Anesh.
“Biar aku ingatkan kembali padamu, aku si sembarang orang asing ini yang telah membawamu ke rumah sakit, memakai tabunganku yang seharusnya akan aku gunakan untuk SPP minggu depan tapi aku pakai untuk biaya operasi dan perawatanmu. Apakah aku ga boleh seenggaknya tau siapa namamu?”
Pria itu terlihat meringis sedikit ketika bergerak kembali untuk merebahkan dirinya di atas brankar, kemudian kembali melihat Anesh dengan tatapan sinisnya. “Apa kamu ingat aku memintamu untuk membawaku ke rumah sakit?” tanyanya kali ini dengan nada sarkas.
Anesh membuka mulutnya, begitu banyak kata-kata umpatan yang mengantre di ujung lidah, menunggu untuk dilontarkan, tapi Anesh kembali menutup mulutnya, memilih untuk menelannya kembali mengingat di dalam kamar ini bukan hanya ada mereka berdua. Dia berkacak pinggang, melihat pria itu dengan tatapan luar biasa tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, kemudian dia melipat tangannya di depan dada sembari membuang napasnya dengan kasar dan keras.
“Baru kali ini aku menyesal berbuat baik.”
“Omong kosong, kamu hanya berkedok menolongku, memakai uangmu, kemudian kamu akan membuatku berhutang budi agar kamu bisa menguras hartaku.”
“Apa?!” Kedua alis Anesh bergerak naik sangat tinggi seiring dengan pergerakan kedua matanya yang melotot, matanya menyorot penuh dengan ketersinggungan.
Pria itu malah memalingkan wajahnya, dia menghadap jendela.
Anesh mengatur napasnya, tangannya bergerak dari atas ke bawah seolah sedang mendorong emosinya untuk turun.
“Baiklah, terserah kamu. Tapi asal kamu tau, aku ga berharap kamu akan mengganti uangku, walaupun aku ga memungkiri aku membutuhkannya. Aku rasa dengan sikapmu ini artinya aku ga perlu lagi membantu untuk menghubungi keluargamu atau siapa pun untuk menjemputmu di sani.” kata Anesh dengan kejengkelan luar biasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
“Jadi, selesaikan sendiri urusanmu di sini dan administrasinya.” Dia langsung memakai ranselnya kemudian pergi begitu saja keluar dari bilik paling ujung itu, meninggalkan pria paling tidak tahu diri yang pernah Anesh temukan selama hidupnya.
Hatinya gondok luar biasa. Belum pernah dia menyesal menolong seseorang meski dia harus mengorbankan waktu atau pun uang tabungannya. Dia selalu tulus menolong, tidak pernah mengharapkan pamrih sedikit pun, dengan melihat orang yang ditolongnya menjadi lebih baik, itu sudah cukup bagi Anesh.
Tapi kali ini, wah!
Jika Anesh bisa memutar waktu, dia pasti memilih untuk memutar jauh lewat jalan utama setelah pulang kerja, agar tidak perlu melihat orang sekarat di dalam gang sempit yang menodongkan pistol padanya dan malah dia tolong dengan suka rela. Bodoh sekali!
“Seharusnya kubiarkan saja tubuhnya masuk dalam berita pagi ini! Dasar orang ga tau diri!”
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments