Bab 5
Suasana di dalam mobil mencekam. Reza mengemudi tanpa suara, rahangnya mengeras. Di kursi sebelah, Nadia duduk dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam penuh amarah.
Nadia akhirnya bicara, suaranya meledak, “Si Alya itu keterlaluan Mas, berkali-kali dia mengataiku gu*dik, itu sama saja dengan menjatuhkan harga diriku, dia juga berani mengusir kita, Mas. Sedangkan kamu! cuma diam saja, sama sekali gak belain aku di depan wanita mandul itu. Tega kamu Mas! Ini semua salah kamu kenapa juga kamu bawa aku ke rumah itu lihat apa yang aku dapat hanya cacian dan makian dari wanita itu.”
Reza menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke jalan. “Sudahlah Nadia kamu terima saja, kamu harusnya maklum dan bersabar tidak mudah untuk Alya untuk bisa menerima kamu,” jawab Reza datar membuat Nadia semakin geram.
“Nadia menepuk dashboard. “bisa-bisanya kamu ngebelain dia di depanku Mas kamu keterlaluan!” bentak Nadia.
Reza menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. “Alya emosi. Kamu juga emosi lalu aku harus bagaimana hah! Kalian itu membuat kepala ku pusing padahal niatku baik untuk memperkenalkan kalian agar kalian berdua ini akur!”
“Mana ada Mas, wanita yang bisa akur sama madunya kamu pikir kamu itu nabi!” sindir Nadia.
Reza terdiam sejenak, melirik ke arah Nadia egonya terluka ketika mendengar hal itu dari mulut Nadia. Awalnya ia berpikir akan berhasil membuat kedua istrinya akur tapi kenyataan berkata lain. Mungkin benar juga yg di katakan Nadia istri pertama dan istri kedua seperti minyak dan air sulit bersatu.
“Satu hal lagi Mas! Jangan bela dia, di depanku aku gak suka!” kata Nadia sinis. “Kamu janji bakal pasang badan buat aku. Tapi tadi? Kamu kayak patung. Bahkan waktu dia mengataiku gu*dik kamu cuma DIAM!”
Reza menepikan mobil tiba-tiba. Ia menoleh dengan mata menyala. “Karena dia istriku, Nad! Aku hanya tidak mau ada pertengkaran yang lebih besar apalagi dia mengancam akan memanggil warga bagaimana jika itu terjadi mau ditaruh dimana muka ku!”
Nadia terdiam, mulutnya gemetar. “Jadi kamu malu Mas, punya aku. Jadi aku ini apa? Cadangan atau Pelarian Mas?”
Reza tak menjawab pertanyaan Nadia ia berusaha mengalihkan pembicaraan. “Lebih baik kita pulang saja, biar kamu bisa istirahat.”
Tapi kamu belum jawab pertanyaan aku Mas, apa sebenarnya arti diriku untuk kamu Mas?” apa hanya sekedar alat penghasil anak? Tidak adakah rasa sayang untukku Mas?” cecar Nadia.
“Sudahkah Nadia aku lelah!” Bentak Reza.
Tapi Nadia tidak tinggal diam. “Jangan alihkan pembicaraan, Mas. Kamu belum jawab aku!”
Suasana di dalam mobil membeku. Hanya ada suara rintik hujan dan suara wiper menyapu kaca.
“Lelah?” suara Nadia pelan, tapi penuh kemarahan yang ditahan. “Yang lelah itu aku, Mas. Selama ini aku nunggu janji-janji manis yang kamu janjikan kepadaku, tapi tidak ada satupun yang kamu tepati. Mana rumah dan mobil yang kamu janjikan itu? Aku juga mau kehidupannya yang layak seperti Alya Mas!”
Reza membanting tangannya ke setir. “Kamu ini banyak nuntut yah Nadia. Sudah syukur kamu ini aku nikahi dan aku beri kamu nafkah yang cukup. Kini kamu meminta lebih?”
“Aku tidak meminta Mas, aku hanya menagih janjimu.”
Reza tercekat. “Nadia, situasinya beda…”
“Enggak beda!” potong Nadia. “Kalau kamu serius, buktikan! Aku mau rumah. Bukan apartemen kecil yang tiap bulan masih harus aku urus sendiri. Aku mau mobil. Aku nggak mau terus dijemput kayak asisten.”
Reza menatap Nadia dengan campuran bingung dan kesal. “Kamu tahu kan kondisi aku sekarang. Aku lagi banyak tekanan…”
Nadia tersenyum sinis. “Tapi kamu masih bisa ngasih nafkah besar ke Alya, kan? Jadi kenapa aku cuma dapat sisa?”
Reza terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Dan itu membuat Nadia makin sakit hati.
“Aku mau rumah sendiri, Mas. atas nama aku. Dan mobil pribadi, bukan mobil pinjaman. Kalau nggak…” Nadia menoleh dengan tatapan tajam. “Aku akan pertimbangkan posisiku di hidup kamu Mas. Aku akan kembali ke Rumah itu dan tinggal di sana,” ancam Nadia.
****
Sementara itu di rumah Alya. Ia duduk sendiri, di depan meja kerja menatap laptop dan tumpukan dokumen. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam seperti seseorang yang sedang menyusun strategi perang.
Ia membuka rekaman CCTV kecil yang ia sembunyikan di ruang tamu rumahnya. Adegan tadi siang terekam jelas. Reza dan Nadia masuk ke rumah Alya sekitar pukul satu siang mereka duduk di sofa, kemudian tanpa rasa segan dan malu mereka juga bercumbu disana di sofa rumah Alya yang berwarna coklat itu. “Kurang ajar kamu Mas, bisa-bisanya kamu melakukan hal tak senonoh itu dirumahku! Dasar kalian berdua memang binatang!” gerutu Nadia kesal.
Ia menyimpan rekam CCTV itu dengan baik untuk dijadikan bukti di pengadilan agama ia berencana akan menggugat cerai Reza di waktu yang tepat. “Satu bukti telah terkumpul, lihat saja Mas kamu pasti akan hancur bersama g*ndik itu!” gumam Alya.
Pagi harinya Alya bergegas ke rumah sakit untuk menengok ibunya yang kini keadaanya sudah berangsur membaik. Dan mulai sadarkan diri.
Di luar ruang rawat, Alya memandang sedih ibunya yang tengah terbaring lemah. “Mbak, Dokter bilang kondisi Ibu memang mulai membaik, tapi masih perlu banyak istirahat,” ucap Rahma.
Alya mengangguk pelan. “Iya Rahma, Mbak tahu, tapi tetap saja, Mbak gak tega lihat ibu kayak gini rasanya nyesek banget.”
Rahma menatap Alya penuh iba, lalu menjelaskan lebih lanjut. “Mbak, ibu itu habis di operasi besar untuk mengeluarkan darah di otak ibu, Operasinya berhasil, tapi efek sampingnya belum hilang sepenuhnya. Makanya ibu masih sulit bicara dan gerak tubuhnya juga masih agak terbatas di sisi kanan.”
Alya menunduk, hatinya perih. “Jadi, memang seperti ini keadaannya pasca operasi yah Rahma?”
“Iya Mbak,” jawab Rahma pelan. “Biasanya butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk pulih. Tapi untungnya ibu kuat Mbak, jadi peluang pulihnya besar. Cuma ibu harus rutin fisioterapi, latihan bicara juga. Kita harus kuat mbak Ibu pasti butuh dukungan penuh dari kita anak-anaknya.”
Alya mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca. “Aku akan temani Ibu terus. Aku gak akan ninggalin dia.”
Rahma tersenyum tipis. “Aku percaya itu Mbak. Dan Ibu pasti merasakannya, walaupun belum bisa bilang. Waktu Mbak masuk tadi, matanya langsung berbinar. Aku yakin itu karena dia senang lihat Mbak datang.”
Alya mengangguk, lalu memandang ke arah pintu ruang rawat ibunya. “Aku janji, Rahma. Aku akan jadi kuat demi ibu.”
“Aku juga Mbak aku akan terus menemani Ibu,”jawab Rahma.
Dalam hati Alya berkecamuk. Otaknya di paksa untuk berpikir keras, bagaimana caranya ia mendapatkan uang yang banyak untuk mengawal pemulihan sang Ibu hal itu pasti membutuhkan banyak biaya batin Alya.
Guys jgn lupa like, share dan komen yahhhh......🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments