“Ha..halo, Mas Reza,” ucap Nadia pelan.
“Kamu dimana Nadia? kenapa kamu keluar tidak pamit kepadaku padahal aku sedang ada di rumah!” Pekik Reza.
“A..Aku sedang di minimarket Mas, tadi aku mau pamit sama kamu, tapi kamu sedang tidur pulas aku jadi gak tega buat bangunin kamu,” ucap Nadia berbohong, dengan nada bicara yang dibuat manja.
“Kalau begitu cepat kamu pulang jangan terlalu capek. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anakku aku tunggu kamu di rumah!”
“Iyah Mas, aku pulang sekarang yah,” ucap Nadia lalu segera menutup teleponnya.
Ryan tersenyum sinis ketika mendengar kebohongan Nadia kepada Reza. “Kamu memang pembohong ulung Nadia aku angkat topi untuk mu.”
“Sudahlah jangan ikut campur urusanku. Aku sudah transfer uang itu. Aku harap ini pertemuan terakhir kita,” Tegas Nadia lalu pergi meninggalkan Ryan di kafe itu. Sementara Ryan tersenyum puas karena berhasil mendapatkan uang secara cuma-cuma dari mantan kekasihnya itu.
****
Dengan hati yang mantap Alya memacu kendaraannya menuju pengadilan agama, sedari malam ia sudah menyiapkan berkas-berkas untuk pengajuan gugatan cerainya.
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit akhirnya ia sampai di tempat itu, ia menatap nanar gedung yang berada di hadapannya, tidak pernah terbayangkan olehnya jika pernikahannya akan berakhir seperti ini. Hatinya dibuat hancur berkeping-keping oleh pria yang paling ia percayai.
“Bismillah,” ucap Alya mantap. Lalu ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke ke gedung itu. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan melewati pintu masuk pengadilan, ponselnya tiba-tiba saja berdering ia melihat nama sang ibu di layar ponselnya dengan cepat ia lalu mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamu'alaikum Bu,” jawab Alya pelan.
“Mbak Alya ini Rahma Mbak!” ucap Rahma terdengar panik.
“Loh, Rahma ada apa? Kok, kenapa kamu panik begitu?” tanya Alya.
“Ini Mbak Ibu.. Ibu pingsan sampai sekarang belum sadar, Rahma sekarang sedang ada di IGD rumah sakit. Mbak kesini sekarang yah,” pinta Rahma panik.
“Astaghfirullah, iya Rahma Mbak kesana sekarang yah tunggu Mbak,” ucap Alya.
Tanpa pikir panjang, Alya langsung berbalik arah. Ia menunda rencana untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Reza. Tiba-tiba emosinya terhadap perceraian seolah menguap, digantikan oleh rasa cemas luar biasa akan keadaan ibunya. Ia berlari menuju mobil, menggenggam erat berkas-berkas cerai yang kini terasa tak lagi penting. Hatinya berdegup kencang seolah hal buruk akan terjadi.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Alya sangat kacau. Ia terus Berpikir hal yang macam- macam rasa takut kehilangan ibunya menjalar keseluruh tubuh “Bagaimana jika aku kehilangan Ibu, Satu-satunya orang tempat ku bersandar, siapa lagi yang akan menguatkanku dalam titik terendahku ini,” batin Alya sampai tak terasa air matanya tumpah.
Sesampainya di rumah sakit, ia segera menghampiri Rahma yang tengah cemas sedang duduk gelisah di ruang tunggu rumah sakit.
“Rahma,” panggil Alya.
“Mbak Alya. Mbak Ibu Mbak,” ucapnya cemas.
“Bagaimana keadaan Ibu sekarang Rahma?” Tanya Alya.
“Ibu sedang di periksa Dokter Mbak, belum tahu apa yang terjadi,” jawab Rahma.
Di sinilah titik balik hidup Alya dimulai. Di sela harap dan doa, ia mulai mempertanyakan apakah perceraian adalah satu-satunya jalan. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa berpikir tentang hal lain.
Saat ini Alya dan Rahma tengah harap-harap cemas matanya terus menatap pintu yang bertuliskan “IGD”. Yang tepat berada di hadapan mereka.
Setelah beberapa saat, seorang Dokter pria paruh baya menghampiri Alya dan Rahma dengan raut wajah yang serius.
"Kalian keluarga Bu Meta?" tanya dokter itu.
Alya dan Rahma segera berdiri. "Iya, saya putrinya,” Jawab Alya. “Bagaimana kondisi ibu saya, Dokter?"
"Maaf Bu, Ibu Meta rupanya mengalami pendarahan hebat di otak. Kami harus segera melakukan operasi sebelum kondisinya semakin memburuk. Keadaannya tidak bagus, tetapi kami butuh persetujuan keluarga secepatnya dan hal ini juga akan membutuhkan banyak biaya yang cukup besar." Kata Dokter itu.
Alya dan Rahma seketika lemas. Tangannya gemetar saat menerima formulir dari Dokter itu “Berapa besar, biayanya Dok?” tanya Alya gematar.
“Sekitar 150 juta rupiah. Bisa lebih tergantung kondisi selama operasi,” jawab Dokter itu.
Dunia seolah runtuh. Tabungan Alya tidak cukup. Ia bingung, tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Ia berpikir sejenak memikirkan solusi terbaik dan yang terpikirkan oleh Alya saat ini adalah hanya sang suami Reza.
Dengan berat hati, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nama yang sebenarnya sangat ia hindari. Tak butuh waktu lama, suara bariton dari pria itu terdengar dari seberang sana.
"Ada apa, Al?" Tanya Reza tegas.
“Mas…begini Ibuku sekarang koma, beliau mengalami pendarah otak dan harus dioperasi sekarang. Aku butuh bantuanmu Mas, untuk biaya operasi Ibu. kamu bisa pinjami aku uang dulu sekitar 150 juta” ucap Alya dengan suara bergetar menahan tangis.
Keadaan Sunyi sejenak. Sepertinya Reza sedang berpikir terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Alya.
“Baik Alya, Mas akan bantu kamu, tapi ada syarat yg harus kamu penuhi,” ujar Reza pelan namun tegas. “Mas minta kamu batalkan gugatan cerai itu dan Terima kehadiran Nadia. Mas, janji akan bersikap adil kepada kalian berdua dan tidak akan ada yang berubah dari hubungan kita.”
Alya hanya terdiam, ia tak menyangka dalam keadaan genting seperti ini Reza malah bernegosiasi dengannya. Hatinya mencelos. Ini seperti menukar harga dirinya demi nyawa ibunya. Tapi di titik ini, apalagi yang bisa ia lakukan? tentu saja tidak ada pilihan lain demi nyawa ibunya.
“Pikirkan cepat, Alya. Waktu Ibu kamu tidak banyak,” ucap Reza sebelum ia akhirnya menutup telepon untuk memberikan Alya waktu untuk berpikir.
Alya menatap langit-langit rumah sakit. Air matanya jatuh satu persatu. Perjuangannya untuk keluar dari luka kini bersanding dengan nyawa orang yang paling ia cintai.
Dengan tangan gemetar dan hati yang seolah remuk, sekuat tenaga Alya berusaha tegar lalu Alya menekan nomor Reza kembali. Ia menunggu beberapa detik yang terasa seperti setahun itu hingga pria di seberang sana akhirnya menjawab telepon darinya.
“Hallo Al, bagaimana keputusanmu?” Tanya Reza.
“Baik Mas, Aku setuju…” ucap Alya lirih.
“Pilihan yang bagus Alya kamu tidak akan menyesal sayang?” ucap Reza tanpa rasa empati.
“Aku setuju, untuk membatalkan gugatan cerai itu aku juga akan terima kehadiran Nadia,” ucapnya pelan tapi jelas. “Asal kamu bantu biaya operasi Ibu sekarang juga Aku butuh secepatnya uang itu,” jelas Alya.
“Baik,” jawab Reza cepat. “Aku transfer sekarang tunggu beberapa detik akan aku kirim uangnya ke nomor rekening kamu,” ucap Reza sambil mengakhiri percakapan telepon.
Setelah menunggu beberapa saat ia mendapatkan notif transfer uang di mobile bankingnya.
“Bagaimana ini Mbak, uang kita tidak cukup untuk biaya operasi ibu,” isak Rahma putus asa.
“Kamu tenang yah Rahma, Mbak sudah dapat uangnya kamu tunggu saja sini.”
Alya lalu dengan segera menyerahkan berkas dan data ke bagian administrasi rumah sakit. Dokter langsung bersiap. Dalam waktu singkat, lalu ibu Alya langsung dibawa ke ruang operasi.
Alya dan Rahma terduduk lemas di kursi tunggu, menatap kosong ke ruangan operasi ibunya. Rasanya seperti ia baru saja menjual harga dirinya, tetapi demi ibu, orang yang telah membesarkannya sendirian itu, orang yang selalu ada saat dunia meninggalkannya ia rela mengorbankan apa saja walaupun harus kehilangan harga dirinya di depan Reza.
Beberapa jam kemudian, lampu ruang operasi mati. Dokter keluar dengan wajah penuh peluh. Dengan perlahan ia menjelaskan keadaan Bu Meta kepada Alya dan Rahma.
“Operasi berhasil, tetapi Bu Meta masih dalam pengawasan ketat untuk beberapa hari ke depan.”
Alya menunduk, menangis dalam hati. Di tengah rasa syukurnya, terselip luka yang harus ia tanggung. perjanjian dengan Reza membuat batinnya terasa sesak.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments