5: A Kiss That Opened Old Wounds
"A Kiss That Opened Old Wounds"
Pagi itu, matahari bersinar hangat di langit kota.
Mahasiswa lalu-lalang di pelataran kampus, membawa buku dan obrolan ringan tentang tugas dan ujian.
Namun, di antara keramaian itu, langkah Selena terasa paling berat.
Ia berjalan pelan menuju gedung fakultas, namun pikirannya tidak di sana.
Wajah Arvino.
Nada suaranya yang dingin.
Tatapan kecewa yang tak sanggup ia lupakan.
Semua masih terukir jelas, momen saat dirinya mendorong batas yang seharusnya tidak ia sentuh.
Selena Arindya
“Bodoh…” (gumamnya lirih)
Selena Arindya
"Kenapa aku harus menciumnya? Kenapa aku begitu gegabah?"
Ia menunduk, mencoba menyembunyikan matanya yang masih sembab.
Semalaman ia tidak bisa tidur.
Bukan karena rasa malu…
Tapi karena rasa bersalah.
Bukan hanya karena dia membuat Arvino marah.
Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa... ada bagian dari hatinya yang mulai menginginkan pria itu.
Bukan sebagai target. Bukan karena uang. Tapi karena sosoknya.
Selena berdiri mematung di koridor kampus, memandangi lantai kosong.
Suara teman-teman kampus terdengar sayup semuanya seperti kabur dari pikirannya.
Yang tersisa hanya potongan kenangan semalam… dan rasa sesal yang menggumpal.
Tiba-tiba, suara centil memecah lamunannya.
Sasha Keyla
“Heiii, Selenaaaa~!”
Sasha muncul dari arah samping, melingkarkan lengannya ke bahu Selena dengan senyum jahilnya.
Make-up tebal dan aroma parfum mahal menyelimuti kehadirannya seperti biasa.
Sasha Keyla
“Gimana, babe?”
Sasha Keyla
“Jadi ikut saranku yang kemarin tuh? Pesan kamar hotel buat… ahh~ satu ronde?”
Sasha tergelak kecil, menutup mulutnya pura-pura malu.
Sasha Keyla
“Atau jangan-jangan... kamu udah ciuman duluan sama si om baik hati itu, yaa~?”
Selena membeku.
Pipinya langsung memanas.
Tapi bukan karena malu melainkan karena campuran marah dan sedih.
Selena Arindya
"Sasha...!"
Suara Selena terdengar pelan tapi penuh tekanan.
Selena Arindya
"Ini bukan permainan."
Namun Sasha malah tertawa makin keras.
Sasha Keyla
“Ya ampun, kamu ini makin hari makin sensitif. Padahal kemarin kamu yang bilang siap lakukan apa aja demi ibu kamu, kan?”
Selena Arindya
sasha bukan gitu...
Selena Arindya
bisa ga sih pelanin suaranya!!
Sasha Keyla
alright babe, aku bakal pelanin..
Sasha Keyla
lo kenape? dari tadi bengong terus kaya ga punya niat idup lagi...
Selena Arindya
bukan gitu saaa..
Selena Arindya
aku ngerasa bersalah...
Sasha Keyla
lahhh... bersalah karena?
Selena Arindya
aku udah nyium bibirnya dia saaa...
Sasha terkejut heboh penuh semangat
Sasha Keyla
anjirrr lo gercep juga ya main nyaplok tu om om...
Selena Arindya
anjirr bukan gitu saaa...
Selena Arindya
guee bego.. gue salah
Selena Arindya
dia marah ke gue
Selena Arindya
gue udah buat dia jadi ke inget masa lalu kelamnya...
Sasha Keyla
jadi dia punya masa lalu sel?
Selena Arindya
iyahh, kemarin kalo aku ga salah denger dia nyebut istrinya...
Sasha Keyla
OMG... selenaaa... artinya dia duren dong...
Selena Arindya
anjirr apaan duren?
Sasha Keyla
DUREN ALIAS DUDA KEREN ANJIRR!!
Selena Arindya
lah bukannya kasih aku solusi malah ke ikan...
Sasha Keyla
nahh kan dia inget masa lalunya yah
Sasha Keyla
kalo gitu lo masa depannya anjay...
Selena Arindya
maksud lo apa?
Sasha Keyla
bikin strategi biar dia bisa lupain masa lalunya
Selena Arindya
hah? lo emang bangke saaa... gue mana berani lakuin kaya gitu
Sasha Keyla
lo udah nyoba cium dia kemarin kan?
Sasha Keyla
artinya lo udah punya nyali sel...
Selena Arindya
anjirr.. ke uji nyali aja guee..
Sasha Keyla
lo buat arvino tergila-gila sama lo...
Sasha Keyla
anjirrr lo tumben nanya caranya...
(Sasha dengan riang gembira)
Sasha Keyla
lo jatuh cintaaa ya sel?
selena langsung menundukkan kepalanya sambil mengangguk karena merasa malu
Sasha Keyla
akhirnya si cewe polos ini bisa jatuh cintrong... (dengan nada teriak keras)
Selena Arindya
Sssstttt... jangan berisik
Selena Arindya
gue suka sama dia... aku ngerasa kalo dia tuh selalu ada buat gue sa... dia baik, sempurna... ditambah aku emang terpesona sih sama ketampanan nya...
Sasha Keyla
tampan, anjirrr
Sasha Keyla
lo punya nomernya kan?
Sasha Keyla
okee, it's your time babe... tunjukin kedia kalo lo tuh hot babe...
Selena Arindya
anjirr... jadi lo nyuruh gue pake baju seksi saa?
Sasha Keyla
iya dong masa pake daster sih yang bener aja...
Selena Arindya
Terus ngapain lagi?
Sasha Keyla
godain dia.. kalo bisa lo ke kantor tempat dia kerja
Selena Arindya
cara godain nya?
Sasha Keyla
kaya gini sel....
Sasha melirik kiri kanan, memastikan tak ada dosen atau teman sekelas yang lewat di koridor kampus itu.
Dengan sigap, ia menarik tangan Selena ke sudut yang lebih sepi dekat loker mahasiswa, lalu bersandar ke dinding dengan gaya centil.
Sasha Keyla
“Dengar ya, sel. Kalo kamu mau dapetin om-om baik itu, kamu harus tahu trik dasarnya dulu.”
Selena mengerutkan kening.
Selena Arindya
“Sasha, aku nggak mau kayak—”
Sasha langsung meletakkan telunjuk di bibir Selena.
Sasha Keyla
“Ssstt... dengerin dulu. Nggak semua hal harus berakhir di ranjang, oke? Tapi menggoda itu seni. Sekarang, tonton dan pelajari.”
Ia pura-pura mengetik di ponsel seperti sedang sibuk, lalu tiba-tiba berjalan pelan, menyentuh bahu seseorang yang tak ada di sana menggambarkan posisi sugar daddy-nya.
Dengan suara manja, ia berkata:
Sasha Keyla
“Om, boleh nggak aku duduk di sini? Aku cuma pengen lihat Om kerja dari dekat… soalnya, keren banget sih cara Om mikir...”
Lalu Sasha memainkan rambutnya dan tersenyum setengah malu.
Sasha Keyla
“Terus... kalo Om udah selesai kerja... mungkin... kita bisa makan bareng? Aku yang traktir, tapi Om yang pilih tempat, yaaa~”
Ia menutup aktingnya dengan kedipan nakal.
Selena hanya bisa melongo.
Selena Arindya
“Sasha, gue nggak bisa kayak gitu...”
Tapi Sasha malah menggenggam tangan Selena dengan antusias.
Sasha Keyla
“Bisa dong! lo cuma butuh keberanian dan timing yang tepat. Cobain sekali aja, ke om baik lo itu. Lihat reaksinya.”
Selena menunduk.
Hatinya berperang.
Antara rasa malu, bersalah, dan rasa penasaran yang mulai tumbuh perlahan…
Dan diam-diam… ia bertanya dalam hati—
Selena Arindya
"Apa benar aku bisa menaklukkan hati seorang pria sekuat Arvino… hanya dengan cara seperti ini?"
Sasha Keyla
udah lah sel, coba aja dulu
Sasha Keyla
sehabis kuliah lo langsung ke kantornya
Selena Arindya
anjirr... selll gue takut dia malah makin marah ke gue..
Sasha Keyla
yang ada dia malah ngerespon lo selenaa cantik...
Hari mulai sore.
Langit kampus sudah mulai merona jingga saat jam kuliah terakhir selesai.
Mahasiswa berbondong-bondong pulang, tapi Selena justru berjalan ke arah berlawanan—menuju halte, sambil menggenggam ponselnya erat.
Jempolnya sudah berkeringat,
ia menatap layar berulang kali sebelum akhirnya mengetik pesan:
"Om Arvino… boleh tahu alamat kantor Om di mana ya? Aku… mau bicara baik-baik soal kemarin."
Selena memejamkan mata sejenak, menahan napas, menunggu centang biru muncul.
Ia masih terbayang jelas ekspresi marah Arvino saat ia mencium bibir pria itu malam sebelumnya.
Selena Arindya
“Kenapa aku bodoh banget…” (gumamnya pelan)
Tapi ia tak ingin lari.
Ia ingin menebus kesalahannya…
atau paling tidak, mencoba memahami kenapa hatinya mulai berdebar tiap kali melihat sosok pria dewasa itu.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar.
Arvino: "Kantorku di The Avenir Tower, lantai 17. Kamu yakin mau datang?"
Selena membalas singkat:
> "Iya. Aku akan ke sana."
Setelah itu, ia langsung melangkah cepat ke arah pusat perbelanjaan terdekat.
Hatinya masih diliputi gugup dan rasa takut ditolak, tapi entah kenapa, ada dorongan kuat dalam dirinya.
Sampai di toko, matanya langsung terpaku pada satu dress:
Warna merah maroon elegan, sedikit terbuka di bagian bahu, dan memeluk tubuhnya dengan pas.
Ia menggenggam dress itu dan membawa ke kasir.
Selena Arindya
“Bukan buat menggoda...” (bisiknya ke diri sendiri)
Selena Arindya
“Cuma… biar aku terlihat percaya diri di hadapannya.”
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu:
ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa percaya diri.
Ada luka… yang ingin ia sembuhkan baik di dirinya, maupun di pria bernama Arvino.
Langkah kaki Selena terdengar pelan namun mantap saat ia melangkah masuk ke lobby The Avenir Tower.
Bangunan itu menjulang tinggi, megah, dan terasa dingin—terutama bagi seseorang yang hatinya masih berdebar tak menentu.
Dress hitam yang membalut tubuhnya menambah aura percaya diri dari luar,
tapi di dalam, Selena sedang bertarung dengan ribuan pikiran dan keraguan.
Ia menuju meja resepsionis dan menyebut nama:
Selena Arindya
“Saya… mau bertemu dengan Bapak Arvino.”
Sang resepsionis memeriksa daftar, lalu mengangguk ramah.
resepsionis
“Silakan ke lantai 17. Sudah ditunggu.”
Lift bergerak naik.
Dengan detak jantung yang seolah berdentum di telinga, Selena merapikan rambutnya dan menarik napas panjang.
Selena Arindya
“Tenang, Sel… kamu datang bukan untuk goda dia… kamu cuma mau… memperbaiki semuanya.”
Pintu lift terbuka, memperlihatkan lorong mewah dengan logo perusahaan Arvino terpampang jelas.
Selena berjalan ke ruang utama, dan di sanalah…
Arvino, duduk di balik meja kaca besar, jas rapi membalut tubuh tinggi tegapnya,
namun matanya yang tajam langsung menangkap kehadiran Selena.
Hening.
Mata mereka bertemu.
Sekejap waktu seperti melambat.
Selena tersenyum canggung, melangkah pelan masuk ke ruangannya.
Arvino bersandar di kursinya, ekspresinya dingin.
Namun ada seberkas kebingungan di matanya saat melihat penampilan Selena hari itu.
Arvino Salvadore
“Untuk apa kamu kemari?”
Selena menelan ludah.
Lalu duduk perlahan di hadapan meja kerjanya.
Selena Arindya
“Aku datang bukan buat godain Om. Bukan juga karena omelanku atau ciumanku kemarin… tapi karena aku… ingin minta maaf.”
Selena Arindya
“Dan… mungkin juga… ingin mengenal Om lebih baik. Kalau diizinkan.”
Selena Arindya
aku bisa ko om jadi temen curhat nya om kalo om mau...
Arvino Salvadore
“Kamu terlalu muda untuk terlibat di hidupku yang rumit, Selena.”
Selena hanya tersenyum… pahit namun tulus.
Selena Arindya
“Mungkin, Om… tapi bukankah semua orang berhak mendapat kesempatan kedua?”
Arvino Salvadore
Aku tau selena..
Arvino Salvadore
tapi kamu gak ada hak untuk ikut campur urusan hidupku
Arvino Salvadore
kalo soal permintaan maaf atas ciuman yang kamu berikan kemarin... sudah aku lupakan sejak hari itu juga.. so, ga perlu khawatir...
Arvino Salvadore
kamu gak perlu cape cape dateng ke kantor ku hanya untuk meminta maaf selena...
Selena Arindya
jadi maksud om apa?
Selena Arindya
om ngusir aku secara halus?
Arvino Salvadore
selena, aku gak bermaksud gitu..
Arvino Salvadore
aku rasa apa yang kamu lakukan sekarang gak ada hasilnya...
Arvino Salvadore
buat apa kamu tampil cantik seperti ini didepanku dengan dress terbuka?
Selena Arindya
Om... dengerin penjelasan aku dulu..
Arvino Salvadore
aku tau kamu ingin merusak kesibukanku kan?
Arvino Salvadore
aku tau kamu mau menggodaku
Selena Arindya
Omm... ko om jadi negatif thinking sih..
Selena Arindya
aku tampil cantik kaya gini cuma menghargai kalo om tuh CEO disini...
Selena Arindya
emang salah yah? (dengan nada penuh emosional karena hati selena terasa tersayat oleh kata kata tuduhan yang di lontarkan oleh Arvino)
Arvino Salvadore
mau nya kamu apa?
Selena Arindya
aku cuma mau deket sama om..
Arvino Salvadore
sel kita baru bertemu beberapa hari ga lama... jadi sudahlah...
Selena Arindya
sudahlah? om dengan mudahnya bilang "sudahlah"? om aku juga punya perasaan...
Selena Arindya
aku kira om satu-satunya yang bisa selena percayai
Selena Arindya
tapi sekarang selena tau kalo om.. sejahat ini sama selena..
Selena menjatuhkan air matanya penuh emosional sakit hati
Arvino mulai bangkit dari posisi duduknya dan melangkah dekat kearah selena dengan langkah secara pelan tapi pasti.
Arvino Salvadore
selena.. ( dengan nada pelan mulai melembut sambil menangkup kedua pipi manisnya selena )
Arvino Salvadore
aku engga bermaksud buat nyakitin kamu..
Arvino Salvadore
aku minta maaf
Tatapan matanya tajam… namun bukan marah, melainkan dalam penuh gejolak batin yang tak bisa disangkal.
Selena membeku di tempat.
Napasnya tercekat.
Arvino Salvadore
“Kenapa kamu muncul di hidupku…” (gumam Arvino pelan namun berat).
Arvino Salvadore
“Kamu membuat semua pertahananku runtuh satu per satu…”
Arvino begitu dekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Selena.
Wajahnya penuh luka… tapi juga harapan yang terkubur lama.
Selena menatap balik… tanpa kata.
Degup jantung mereka menjadi satu.
Selena masih terpaku.
Tangannya secara refleks menyentuh tangan Arvino yang menangkup pipinya.
Selena Arindya
“Aku nggak tahu harus bagaimana, Om… Tapi aku tahu satu hal aku nggak bisa pura-pura nggak peduli sama Om…”
Selena Arindya
" Aku tahu aku ceroboh, maafin aku ya om "
Arvino memejamkan mata sejenak.
Napasnya berat… seolah sedang menahan sesuatu yang ingin ia lepaskan sejak lama.
Arvino Salvadore
“Kamu gadis muda, Selena… dan aku pria yang rusak.”
Arvino Salvadore
“Aku bahkan masih dihantui dosa masa lalu… kematian istriku… semuanya belum selesai.”
Selena menggeleng perlahan, air mata mulai mengalir di pipinya
Selena Arindya
“Tapi Om tetap menolongku. Tetap menjagaku. Dan aku tahu, di balik luka itu… Om orang baik.”
Suasana hening lagi.
Hanya suara napas mereka berdua yang mengisi ruangan kantor yang besar itu.
Arvino membuka mata dan dalam hitungan detik yang terasa
Mencium bibir Selena.
Perlahan. Lembut. Penuh rasa takut dan juga keinginan yang tak terbendung.
Selena membalasnya… tidak terburu-buru, tapi dengan hati yang terbuka.
Itu bukan ciuman penuh gairah,
tapi ciuman dua jiwa yang sama-sama patah… dan saling menemukan tempat untuk sembuh.
Beberapa detik kemudian, Arvino menarik diri pelan.
Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak sanggup bicara.
Arvino Salvadore
“Maaf… Aku… seharusnya tidak melibatkanmu.”
Tapi Selena menempelkan jarinya ke bibir Arvino, menghentikan ucapannya.
Selena Arindya
“Cukup… jangan minta maaf. Aku datang bukan karena butuh uang. Tapi karena aku ingin dekat dengan Om…”
Arvino terdiam.
Untuk pertama kalinya sejak istrinya meninggal, ia benar-benar merasa… hidup.
Suasana terasa sunyi.
Lampu gantung di ruangan kantor itu menyala temaram,
menciptakan cahaya hangat yang membalut keduanya.
Selena masih berdiri begitu dekat,
matanya menatap Arvino tanpa keraguan, meski hatinya berdebar tak karuan.
Arvino menatapnya kembali,
dan dalam detik berikutnya… ia kembali mencium bibir Selena.
Tapi kali ini berbeda.
Ciuman itu lebih dalam.
Lebih lama.
Dan lebih jujur.
Bukan lagi sekadar pelarian dari rasa bersalah,
tapi letupan perasaan yang selama ini ia kubur di balik dinginnya sikap.
Tangan Arvino melingkar di pinggang Selena,
sementara jemari Selena naik menyentuh tengkuk pria yang kini mulai membuatnya kehilangan kendali.
Napas mereka memburu.
Ciuman itu semakin menenggelamkan mereka dalam gejolak yang tak terelakkan.
Namun di tengah derasnya perasaan, Arvino perlahan berhenti.
Ia menatap Selena yang kini tampak terengah pelan pipi memerah, mata berkaca.
Arvino Salvadore
“Kalau aku lanjut…” (ucap Arvino lirih, suaranya dalam dan serak)
Arvino Salvadore
“Aku mungkin nggak bisa berhenti, Selena…”
Selena terdiam. Jantungnya nyaris meledak.
Arvino tidak menjawab.
Tapi tatapannya… sudah berkata cukup banyak.
Selena Arindya
“Lalu… apa Om mau berhenti sekarang?” (bisiknya pelan dengan nakal)
Arvino menghela napas berat…
Tatapannya menajam, dan tanpa sadar, tangannya meraih pinggang Selena, mengangkat tubuh mungil itu dan mendudukkannya di atas meja kerjanya yang rapi.
Dokumen-dokumen berserakan begitu saja, tapi tak satu pun dari mereka peduli.
Ia menangkup wajah Selena, menatap gadis itu dalam-dalam.
Untuk sesaat, waktu seperti berhenti.
Arvino Salvadore
“Kenapa kamu datang ke hidupku sekarang… saat aku sudah terlalu rusak untuk mencintai siapa pun…” (ucap Arvino dengan suara lirih, serak, dan penuh luka).
Selena tak menjawab.
Tatapan matanya hanya mengisyaratkan keberanian dan kelembutan, ia tidak datang untuk merusak, tapi ingin menjadi pelipur lara.
Arvino menunduk…
dan saat bibir mereka kembali bersatu, kali ini bukan sekadar ciuman.
Itu adalah letupan rasa yang selama ini dikekang.
Luka, rindu, marah, dan harapan bercampur jadi satu dalam genggaman mereka.
Selena membalas ciuman itu perlahan, matanya terpejam.
Tak lagi merasa sebagai gadis yang rapuh, tapi wanita yang sedang menyembuhkan…
dan ingin menyelamatkan seseorang yang sudah lama hilang di dalam gelapnya kesepian.
Saat ciuman itu semakin memanas,
tangan Arvino mulai gemetar.
Tubuhnya merespons kedekatan Selena, tapi hatinya justru berontak.
Dalam sekejap, kenangan itu kembali menyergap—
sosok istrinya yang dulu…
senyumnya…
tatapan terakhirnya sebelum pergi untuk selamanya.
Arvino Salvadore
“Apa yang sedang aku lakukan…?”
Arvino Salvadore
“Aku… mengkhianatinya…”
Arvino menghentikan ciuman itu dengan kasar, menarik dirinya menjauh.
Kepalanya tertunduk, nafasnya terengah… bukan karena gairah, tapi karena rasa takut dan bersalah yang menyesakkan.
Selena menatapnya, terkejut.
Selena Arindya
" Omm... kenapa? bukannya om menikmatinya kan? " (berbisik lirih)
Namun Arvino tak menjawab.
Ia memalingkan wajahnya, menggenggam sisi meja begitu erat seolah ingin melampiaskan rasa sakit yang selama ini dia kubur.
Arvino Salvadore
" Maaf selena, "(suara parau)
Arvino Salvadore
Aku gak bisa
Selena terdiam, hatinya mencelos.
Arvino melangkah mundur, menjauh dari meja dan dari dirinya sendiri.
Arvino Salvadore
“Aku bersumpah… aku nggak akan buka hati lagi.”
Arvino Salvadore
“Aku nggak pantas, Lena. Apalagi setelah yang terjadi pada istriku…”
Tangis yang tertahan mulai terdengar dari dada Arvino yang bergetar.
Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan,
berusaha meredam gemuruh penyesalan yang menenggelamkan akalnya.
Selena turun dari meja, perlahan.
Bingung antara tetap mendekat atau membiarkan Arvino kembali larut dalam kesendiriannya.
Selena Arindya
"Aku nggak datang untuk menghancurkan janji apa pun. Aku cuma... pengen ngerti dunia Om yang penuh luka itu."
Arvino Salvadore
" Sampai kapanpun kamu gak akan ngerti luka ku seperti apa lena... "
Selena Arindya
" Om... please... " (nada memohon sambil menggenggam tangan Arvino)
Selena Arindya
" Om, merasa nyaman kan setelah ciuman kita tadi ini? "
Selena, dengan air mata yang mengalir, perlahan mendekat.
Selena Arindya
“Aku nggak tahu kenapa aku begini, Om… tapi aku tahu, aku tulus."
Dengan gemetar, ia mencoba mengecup bibir Arvino sekali lagi,
seolah berharap bahwa sentuhan itu bisa melembutkan dinding dingin di hati pria itu.
Namun, Arvino menahan tubuhnya dengan kedua tangan,
mendorongnya pelan tapi tegas.
Arvino Salvadore
“Cukup!” (bentaknya, tak setegar biasanya).
Tatapan mata Arvino tajam, penuh luka dan amarah yang tertahan.
Tapi bukan pada Selena… melainkan pada dirinya sendiri.
Arvino Salvadore
“Kamu nggak ngerti apa yang kamu lakukan. Kamu main-main dengan luka orang!”
Selena tersentak.
Langkahnya mundur, bibirnya bergetar.
Selena Arindya
“Aku cuma… aku cuma pengen Om tahu… bahwa Om nggak sendiri.”
Selena Arindya
aku ada buat om...
Selena Arindya
om.. kumohon...
Tapi Arvino tak menjawab.
Ia memalingkan wajah, menahan napas berat yang seakan menahan air mata yang hendak jatuh.
Arvino Salvadore
“Pergilah, Lena…”
Dan untuk pertama kalinya,
Selena tahu, ini bukan soal dia.
Tapi soal hati seorang pria yang belum sembuh…
dan masih dikurung oleh rasa kehilangan yang belum selesai.
Selena Arindya
FINE, TAKE YOUR TIME OMM ARVINO!!
dengan penuh kekecewaan, selena keluar dari ruangan, menutup pintu dengan keras menandakan kekesalan nya yang bergejolak tinggi akibat sikap Arvino yang seperti itu.
Langkah kaki Selena terdengar cepat di lorong kantor itu.
Dentingan hak sepatunya seperti menggema seirama dengan detak jantungnya yang penuh kemarahan dan luka.
Air matanya jatuh tanpa ia tahan, bukan karena malu… tapi karena kecewa.
Ia telah membuka hatinya, menyerahkan kepercayaan… namun yang ia terima adalah penolakan yang menyakitkan..
Selena Arindya
“Aku bodoh… bodoh banget…”
Selena bergumam, menahan isak sambil menekan tombol lift dengan kasar.
Dan ketika pintu tertutup, hatinya pun ikut menutup.
#Sementara itu, di dalam ruangan…
Arvino masih berdiri kaku.
Tangannya mengepal, wajahnya menunduk menatap lantai, dan dadanya bergemuruh tak beraturan.
Masih terasa jelas di bibirnya…
sentuhan lembut, hangat, dan polos…
yang tadi penuh gairah namun kini berubah jadi penyesalan yang membakar.
Arvino Salvadore
“Apa yang sudah aku lakukan…”
Ia menarik napas dalam, tapi justru sesak yang didapat.
Punggungnya bersandar di dinding kantor, matanya menatap langit-langit kosong.
Gambaran wajah Selena… ekspresi kecewanya…
semuanya terputar ulang dalam benaknya.
Arvino Salvadore
“Dia cuma ingin dimengerti…”
Arvino Salvadore
“Dan aku malah menyakitinya.”
Arvino memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun…
ia menangis.
Bukan karena kematian…
tapi karena dia sadar, bahwa luka yang belum sembuh itu… telah melukai orang lain yang tak bersalah.
Comments
minsook123
Kurang greget.
2025-05-21
0