4 : Beneath the City Lights, a Kindness Unspoken
# Ruang tunggu rumah sakit, pukul 03.15 dini hari.
Selena sudah diantar pulang. Kosnya kecil dan sederhana, tapi cukup aman untuknya beristirahat.
Arvino kembali sendiri ke rumah sakit. Ia tidak langsung pulang.
Ia duduk sendirian di kursi panjang, tangan bertaut di depan mulutnya, menatap pintu ruang ICU tempat ibu Selena dirawat.
Perawat pribadi yang ditugaskan sudah berada di dalam, memastikan semua kebutuhan terpenuhi. Tapi Arvino tetap bertahan di luar.
Arvino Salvadore
Aku bilang aku akan menjaga... dan aku bukan pria yang ingkar janji, (batinnya)
Angin dari ventilasi rumah sakit menghembus pelan, membuat jas Arvino berkibar sedikit. Ia terlihat tenang dari luar, tapi dalam dirinya ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Bukan karena beban, bukan karena trauma masa lalu…
Melainkan karena sosok gadis muda yang kini terbayang kembali di pikirannya.
Tatapan mata yang penuh ketakutan…
Genggaman eratnya di lengan jasnya…
Dan pelukan tulus yang terasa seperti seribu kata terucap diam-diam.
Arvino menunduk, mengusap wajahnya pelan.
Arvino Salvadore
“Apa yang kamu lakukan, Vin…” “Kamu bukan penyelamat. Kamu bukan pahlawan.” “Kamu hanya pria rusak yang mencoba menebus dosa.” (dengan nada rasa bersalah dalam hatinya)
Tapi di balik keraguan itu, ia tahu satu hal: Selena membuatnya ingin menjadi pria yang lebih baik. Bukan karena cinta…
belum. Tapi karena rasa peduli yang muncul dengan jujur.
#Sementara itu di kamar kos, Selena belum juga bisa tidur.
Meski tubuhnya lelah, pikirannya masih dipenuhi bayangan wajah Arvino.
Bukan karena mobil mewahnya.
Bukan karena kekayaannya.
Tapi karena tatapan tulus dan kalimatnya yang menenangkan.
“Titipkan ibumu padaku malam ini…”
“Aku janji, dia akan baik-baik saja.” (kalimat yang arvino katakan terbayang oleh selena)
Selena menggenggam selimutnya erat-erat, matanya berkaca.
Selena Arindya
Om… siapa kamu sebenarnya?
Dan malam itu, dua orang dari dunia berbeda…
dipersatukan oleh satu hal yang sama: luka.
Tapi mungkin… luka itu yang pelan-pelan akan saling menyembuhkan.
#Pagi hari, pukul 07.08 WIB — Rumah Sakit
Langkah kaki kecil terdengar tergesa di sepanjang lorong rumah sakit.
Selena datang dengan wajah cemas, matanya masih sembap, rambutnya sedikit berantakan.
Ia tidak sempat sarapan. Tidak sempat mandi.
Yang ada di pikirannya sejak membuka mata hanya satu: "Apakah Ibu baik-baik saja?"
Tapi ketika ia mendekati ruang tunggu…
> Di sana, duduk seorang pria yang membuat langkahnya langsung melambat.
Arvino.
Masih dengan setelan jas yang sama. Duduk bersandar di kursi panjang… tertidur.
Tangan kirinya menggenggam gelas kopi kertas yang sudah kosong, sementara kepalanya sedikit menunduk, seperti bertahan semalaman tanpa benar-benar beristirahat.
Selena terpaku.
Jantungnya berdebar.
Ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Selena Arindya
Dia… benar-benar di sini semalaman? (dalam hatinya yang tulus)
Selena Arindya
Dia menepati janjinya…(dalam hatinya)
Perlahan, ia mendekat.
Menatap wajah lelah pria itu mata tertutup, garis rahang tegas, dan sedikit kerutan di keningnya yang membuatnya tampak… manusiawi.
Bukan seperti pria kaya misterius yang ia temui di club. Tapi seperti seseorang… yang selama ini hanya ada dalam doa.
Seseorang yang peduli. Tanpa syarat.
Selena berjongkok pelan di hadapannya.
Ingin membangunkannya. Tapi ragu.
Hanya matanya yang mulai berkaca, tanpa sadar, meneteskan air mata haru.
Selena Arindya
kenapa om begitu baik kepadaku? (dengan nada pelan seperti bisikan tulus)
Selena Arindya
Apa aku pantas mendapatkan ini?
Seketika, Arvino tergerak. Ia perlahan membuka mata, dan tatapan mereka bertemu.
Sejenak keduanya hanya terdiam.
Hening… namun penuh makna.
Arvino mengusap wajahnya pelan, lalu tersenyum kecil.
Arvino Salvadore
Kamu datang… Ibumu baik-baik saja. Operasinya berjalan lancar... (dengan nada mulai melembut tapi terlihat kelelahan)
Air mata Selena langsung tumpah. Ia mengangguk cepat, lalu tanpa berpikir, langsung memeluk pria itu erat.
Selena Arindya
Terima kasih… terima kasih, Om… aku nggak tahu harus gimana kalau bukan karena Om…
Arvino tak langsung membalas pelukan itu. Tapi saat merasakan tubuh Selena yang gemetar…
perlahan, ia meletakkan satu tangan di punggung gadis itu, menepuk pelan.
Dan di saat itu…
Dua hati yang sama-sama hancur,
menemukan sedikit alasan untuk tetap bertahan.
Arvino Salvadore
sama samaaa selenaa.. (dengan senyuman tipis tapi terpancar ekspresi ngantuk diwajahnya)
Selena Arindya
om... belum tidur ya?
Arvino Salvadore
ohh... eee... ga papa.. santai aja... cuma kurang tidur aja sedikit... jangan khawatir (dengan nada sedikit canggung)
Selena perlahan berdiri dari jongkoknya, mendekat dengan langkah ringan.
Tatapannya tertuju pada wajah Arvino yang pucat dan lelah terlihat jelas, pria itu tidak tidur semalaman.
Lingkaran hitam di bawah matanya, kerutan kecil di keningnya…
semuanya berbicara lebih jujur daripada kata-kata.
Tanpa sadar, tangan mungil Selena terangkat.
Ia membelai lembut pipi kiri Arvino…
hangat, penuh rasa syukur.
Arvino tersentak kecil , bukan karena tidak suka,
tapi karena sentuhan itu terasa begitu asing…
dan sudah lama tidak ia rasakan.
Selena Arindya
om... (suara Selena lirih, nyaris seperti bisikan)
Selena Arindya
Maaf… aku jadi bikin Om begadang begini…
Arvino hanya menggeleng pelan, masih menatap mata Selena dengan sorot tenang.
Arvino Salvadore
Kamu nggak bikin aku repot.. (jawabnya, suara serak karena kurang tidur)
Arvino Salvadore
Aku di sini karena aku mau. Karena kamu butuh seseorang… dan aku tahu rasanya kehilangan seseorang....
Sesaat, mereka hanya saling diam.
Tangan Selena masih menyentuh pipi Arvino tak ada niat buruk, tak ada tipu daya.
Hanya ada dua jiwa yang saling menemukan…
di tengah luka yang belum sembuh sepenuhnya.
Selena Arindya
omm... (dengan nada lirih seperti bisikan lembut)
Arvino Salvadore
iyahh selena... (dengan nada serak karena kurang tidur)
Selena Arindya
om, pernah kehilangan seseorang yang om sayangi? sampai om rela menjaga ibuku seperti ini... (dengan nada penuh kelembutan yang membuat arvino tersayat hatinya karena flora bertanya masa lalu kelamnya)
Arvino Salvadore
tidak... tidak ada yang perlu kamu tau selena...
Arvino mulai melepaskan tangan selena yang membelai pipinya, dan mulai berdiri di hadapan selena dengan tegas.
Arvino Salvadore
karena kamu sudah ada disini...
Arvino Salvadore
aku pulang..
Arvino tidak mau memperpanjang pembicaraan selena yang menyangkut masa kelamnya yang tidak mau dia ungkapan kepada siapapun.
Selena Arindya
om... ( dengan nada terkejut sambil memegang tangan arvino secara serentak)
Selena Arindya
om mau kemana?
Arvino Salvadore
aku harus pulang
Arvino Salvadore
titip salam dariku untuk ibumu nanti... (dengan nada datar tapi mendalam seperti sedang menyembunyikan kesedihan nya)
Langkah kaki Arvino menggema di lorong rumah sakit yang sunyi.
Suara detaknya berat… seolah setiap jejak adalah beban dari masa lalu yang belum selesai.
Selena ingin bertanya, ingin tahu…
tentang luka dalam pria yang begitu misterius,
tapi belum waktunya dan Arvino tahu itu.
Ia memilih pergi.
Bukan karena ingin lari,
tapi karena luka itu belum siap dibuka.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Wajahnya dingin… tapi matanya…
mata itu menyimpan badai.
Arvino Salvadore
" Maaf, Selena…” (bisiknya dalam hati)
Arvino Salvadore
“Aku belum siap menyeretmu ke masa kelamku.”(bisiknya dalam hati)
Saat langkahnya menjauh, rasa bersalah mulai merayap lagi,
seperti kabut yang selalu menemaninya saat malam tiba.
Arvino Salvadore
"Kalau saja aku tidak terlalu dalam di dunia itu..." (bisiknya dalam hati)
Arvino Salvadore
"Kalau saja aku bisa lebih cepat menebus semuanya"(bisiknya dalam hati)
Arvino Salvadore
"Mungkin… dia masih hidup."(bisiknya dalam hati)
Bayangan mendiang istrinya kembali datang, senyum manisnya, tawa ringannya,
dan darah yang menodai jalanan saat hari terakhir mereka bersama.
Arvino menahan napas.
Dadanya sesak…
hatinya menjerit tanpa suara.
Dan di momen itu…
ia sadar, mungkin Tuhan tidak mengirim Selena hanya untuk diselamatkan.
Tapi juga untuk menyelamatkannya.
Namun belum sekarang.
Belum hari ini.
Ia hanya bisa pergi…
dengan luka lama yang mulai berdarah kembali.
Arvino melangkah keluar dari rumah sakit dengan beban yang makin terasa di pundaknya.
Lorong-lorong sepi dan dingin seakan mencerminkan kerapuhan jiwanya.
Di luar, udara pagi masih basah oleh embun, namun setiap hembusan angin seolah menyentuh luka yang belum sembuh di dalam hatinya.
Tanpa menoleh ke belakang, ia menaiki mobil sport hitam mewahnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya.
Setibanya di kursi pengemudi, ia duduk terpaku, matanya terhanyut dalam ingatan akan istrinya—senyum hangat yang dulu menghiasi hari-harinya, dan momen-momen terakhir yang selalu ia coba lupakan namun tak pernah benar-benar hilang.
Di balik kemudi, Arvino mendengar dentuman mesinnya yang halus, namun seketika setiap suara itu mengingatkannya akan detak jantung istrinya yang kini telah tiada.
Rasa bersalah mulai mengalir deras, dan ia tak mampu menekan desis perasaan itu.
Arvino Salvadore
“Kalau saja aku bisa menebus semuanya… "(ungkapan dalam hatinya yang berulang kali)
Arvino Salvadore
"Jika saja aku bisa mengulang waktu…” (dalam hati nya)
Dalam keheningan mobil, bayangan masa lalu kembali membanjiri pikirannya.
Ia melihat kembali malam-malam kelam, keputusan-keputusan yang menghancurkan dan jalan yang telah ia pilih dalam dunia yang penuh dengan kegelapan dan dosa.
Di balik topeng sosok CEO yang kuat dan tak tergoyahkan, tersembunyi seorang pria yang terus dihantui oleh bayang-bayang pengkhianatan terhadap cinta sejatinya.
Kemudian, Arvino menghela napas panjang dan membuka jendela mobil sedikit, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya—seolah mencoba menghapus sejumput kepedihan yang sudah mendarah di kulitnya.
Namun, seiring angin itu berhembus, ia hanya semakin sadar bahwa ia tidak bisa lari dari masa lalunya.
Di dalam benaknya, sebuah suara kecil berbisik dengan getir:
“Kamu telah kehilangan semuanya, Om. Tapi mungkin… kehilangannya adalah awal untuk menemukan dirimu yang sebenarnya.”
Meski berat, langkah Arvino di jalanan itu mulai mengarah ke sebuah titik yang belum ia ketahui—suatu saat dimana ia harus menerima luka dan memutuskan untuk bangkit dari kegelapan.
Entah bagaimana, ia tahu harus ada waktu di mana penyesalan akan berubah menjadi tekad untuk memperbaiki segala sesuatunya, meski tak pernah bisa mengembalikan yang telah hilang.
Mobil itu melaju perlahan menyusuri jalanan sepi, membawa Arvino jauh dari rumah sakit, namun jelas tak jauh dari kenangan yang selalu mengikutinya.
Di balik kaca mobil, ia melihat bayangan dirinya terpancar di lampu jalan—seorang pria yang terluka, bergulat dengan masa lalunya, dan yang perlahan mencari secercah harapan di antara reruntuhan kepercayaan pada dirinya sendiri.
Di tengah keraguan itu, Arvino hanya bisa berbisik lirih pada dirinya sendiri:
Arvino Salvadore
“Aku harus mulai memperbaiki semuanya… meski sulit, aku harus mencoba.”
Mobil Arvino masih melaju pelan di bawah cahaya lampu kota yang temaram.
Ia mengendarainya tanpa arah, hanya mengikuti jalan… berharap bisa menemukan ketenangan di antara dentuman mesin dan jalanan sepi.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang tiba-tiba bergetar—sebuah pesan masuk.
Dengan satu tangan, ia meraihnya.
Layar menyala, menampilkan nama pengirim: Selena.
Selena Arindya
“Om… maaf ganggu. Tapi perawat bilang ada yang harus ditandatangani segera untuk tindakan lanjutan operasi. Aku nggak ngerti, Om. Bisa balik sebentar?”
Arvino mematung sejenak.
Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena panik—tapi karena rasa tanggung jawab yang tiba-tiba menyergapnya lagi.
Tanpa pikir panjang, ia segera memutar balik arah.
Mobil sport itu kembali melaju, kali ini dengan kecepatan yang lebih tegas.
Di dalam dirinya, ada suara yang mulai berubah.
Bukan hanya rasa bersalah yang membawanya kembali… tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih lembut… lebih hidup.
Saat sampai di rumah sakit, ia langsung melangkah cepat menuju ruang tunggu.
Dan di sana, ia melihat Selena duduk sambil memeluk lututnya, mata masih sembab dan terlihat lelah, namun tatapannya langsung berbinar saat melihat Arvino datang.
Selena Arindya
maaf kalo aku udah chat yang ganggu om...
Selena Arindya
tapi aku bener bener ga tau harus gimana om...
Tanpa banyak bicara, Arvino meraih kertas yang dibawa perawat, membacanya cepat, lalu menandatangani bagian bawahnya.
Semua formalitas selesai.
Selena menatapnya dalam, seakan ingin membaca isi hati pria itu.
Namun Arvino hanya tersenyum tipis, lalu duduk di sampingnya.
Arvino Salvadore
“Lain kali, jangan takut untuk ganggu aku. Aku janji nggak akan ninggalin kamu dan ibumu sendirian.”
Ucapan itu sederhana, tapi bagi Selena itu seperti pelindung baru yang datang di tengah badai hidupnya.
Dan malam itu, di ruang tunggu rumah sakit yang dingin dan sunyi,
dua jiwa yang terluka duduk berdampingan masih asing, tapi perlahan mulai saling mengisi kekosongan yang lama mereka sembunyikan.
Selena Arindya
Om, mau beli ice cream ga?
mencoba mencairkan suasana
Arvino Salvadore
ice cream?
Arvino Salvadore
biar aku belikan untukmu yah..
Selena Arindya
eh... engga gitu om...
Selena Arindya
aku ikut...
Arvino Salvadore
jangan...
Arvino Salvadore
kamu disini aja jagain ibu kamu...
Selena Arindya
engga mau om..
Selena Arindya
mau ikuttt... please om... (dengan nada memohon yang begitu imut)
Arvino Salvadore
baiklah...
Mata Selena langsung berbinar.
Selena Arindya
“Yeay… tapi Om yang traktir, ya!”
Arvino akhirnya tersenyum juga senyum pertama sejak beberapa hari terakhir yang terasa ringan.
Keduanya lalu berjalan beriringan keluar rumah sakit, menembus malam yang sejuk dengan langkah yang perlahan mulai terasa lebih ringan.
Dan entah kenapa, bagi Arvino, suara tawa pelan Selena di malam itu…
sedikit demi sedikit, mulai menyembuhkan sesuatu yang selama ini ia biarkan membusuk di dalam hatinya.
Lampu-lampu kota masih menyala hangat di sepanjang jalanan dekat rumah sakit.
Selena melangkah ringan di samping Arvino, sesekali melirik pria itu yang masih terkesan kaku namun mulai sedikit rileks.
Mereka berhenti di sebuah minimarket 24 jam yang tak jauh dari gerbang.
Suasana sepi, hanya ada satu petugas kasir yang setengah mengantuk.
Selena langsung membuka freezer es krim, matanya berbinar seperti anak kecil.
Selena Arindya
“Hmm… aku bingung. Antara vanilla atau stroberi,” (gumam Selena, menatap ke dalam)
Arvino menyilangkan tangan, menyahut datar tapi dengan nada menggoda.
Arvino Salvadore
“Ambil dua-duanya. Kamu pasti ujung-ujungnya minta punyaku juga.”
Selena Arindya
Ih om ini bisa aja...
Akhirnya ia mengambil dua es krim cup kecil dan berjalan ke kasir. Arvino mengeluarkan dompet tanpa banyak bicara dan langsung membayarkannya.
Keluar dari minimarket, mereka duduk di bangku taman kecil di sisi trotoar, memandangi lampu jalan yang remang-remang.
Selena membuka cup es krimnya, lalu mencolek sedikit dan tanpa peringatan, menyentuhkan krim itu ke ujung hidung Arvino.
Selena Arindya
“Nah! Biar Om keliatan lebih manis!"
Arvino terperanjat sejenak, lalu mengusap hidungnya dengan bingung.
Arvino Salvadore
“Kamu ini kenapa sih?” (gumamnya kesal tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya)
Selena Arindya
“Biar aja. Om terlalu serius. Sekali-sekali harus punya wajah lucu juga,” (jawab Selena sambil tertawa geli)
Arvino menggeleng pelan, memandangi gadis itu senyumnya, tawanya, dan semangat hidup yang bersinar dari balik kelelahan dan luka.
Ia sendiri bahkan heran… kenapa gadis seperti ini bisa membuat malamnya sedikit lebih terang.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…
> ia tidak merasa sendiri.
Arvino Salvadore
sehabis ini kamu mau apalagi?
Selena Arindya
gimana kalo kita photobook om?
Arvino Salvadore
photobook?
Selena Arindya
"Deket sini ada tuh di ujung blok!"
Arvino langsung menatapnya datar, sedikit mengernyit.
Arvino Salvadore
“Photobooth? Yang kayak anak-anak muda itu kan selena?”
Selena mengangguk semangat, matanya berbinar-binar.
Selena Arindya
“Iya dong! Seru lho. Biar ada kenangan lucu malam ini.”
Arvino Salvadore
“Selena… aku bukan anak SMA.”
Selena Arindya
“Justru itu! Biar Om punya dokumentasi masa muda yang tertunda!”
Sambil tertawa, Selena langsung menarik tangan Arvino, membuat pria itu terpaksa ikut berjalan ke arah photobooth kecil yang masih buka 24 jam di pojokan jalan.
Arvino sempat beberapa kali berusaha menolak, tapi akhirnya menyerah karena Selena tak berhenti merengek manja dan tersenyum nakal setiap beberapa langkah.
Di dalam photobooth kecil yang sempit itu, mereka duduk berdampingan.
Selena sibuk memilih filter dan gaya dari layar, sementara Arvino hanya duduk kaku, gelisah tapi diam.
Selena Arindya
“Ayo, yang pertama senyum biasa ya!”
Selena Arindya
“Kedua, gaya peace!”
Selena Arindya
“Ketiga… gaya cemberut!"
Selena Arindya
“Yang terakhir… gaya bebas!”
Selena menoleh cepat, menatap Arvino sesaat dengan senyum nakalnya.
Selena Arindya
“…kejutan "
Sebelum Arvino sempat bereaksi, Selena menarik wajah pria itu dan mengecup bibirnya lembut, singkat, tapi membuat jantungnya berhenti sejenak.
Suara kamera mengabadikan momen itu tepat saat bibir mereka bersentuhan.
Arvino membelalak kaget, tubuhnya menegang.
Tapi Selena hanya tersenyum jahil sambil kembali menghadap ke layar.
Kamera mengambil gambar ketiga saat Arvino masih terdiam, syok bercampur bingung.
Selena hanya terkikik pelan, puas dengan reaksinya.
Tak lama kemudian, kertas hasil foto keluar dari mesin.
Tiga pose terpampang:
senyum, peace, dan… ciuman di bibir yang tidak akan pernah bisa Arvino lupakan.
Selena Arindya
“Tenang, Om… bukan berarti aku cinta,”
(ucap Selena santai, meskipun matanya bicara hal sebaliknya)
Arvino menatap hasil fotonya dalam diam.
Untuk pertama kalinya… ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hidup.
Ia merasakan detak jantungnya sendiri keras, nyata, dan tak bisa dikendalikan.
Setelah keluar dari photobooth, mereka berjalan dalam diam.
Selena masih tersenyum geli sambil menggenggam hasil foto, tapi Arvino tetap diam… terlalu diam.
Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan mobil.
Selena Arindya
“Kenapa diam aja, Om?”
(tanya Selena ringan)
Arvino menoleh kearahnya dengan matanya yang tajam, rahangnya mengeras.
Tak seperti biasanya.
Arvino Salvadore
“Kenapa kamu lakukan itu?”
(suara Arvino berat, nyaris bergetar)
Arvino Salvadore
“Kenapa kamu cium aku?”
Selena terdiam, canggung seketika
Selena Arindya
“Aku cuma bercanda… buat kenang-kenangan…”
(gumamnya, pelan)
Tapi Arvino menggeleng, langkahnya menjauh.
Arvino Salvadore
“Jangan main-main dengan hal seperti itu, Selena…”
Arvino Salvadore
“Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku. Tentang apa yang udah aku alami…”
Wajahnya berubah gelap, seolah bayangan masa lalu menelannya kembali.
Arvino Salvadore
“Aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri…”
Arvino Salvadore
“Kematian istriku… semua itu… adalah salahku.”
Selena melangkah pelan mendekat, tapi Arvino mundur
Selena Arindya
Om... aku minta maaf.. aku ga tau kalo om bakal kaya gini...
Arvino Salvadore
“Jangan dekat-dekat. Aku… aku bukan pria yang pantas kamu deketin. Aku rusak. Dan aku nggak mau ada orang lain yang ikut hancur karena aku.”
Suasana membeku.
Selena menggenggam erat hasil fotonya yang tadinya lucu, kini terasa menyakitkan.
Dan Arvino hanya berdiri di sisi lain… menatap langit gelap di atas mereka, sambil menahan napas yang terasa sesak di dada.
Untuk pertama kalinya sejak ciuman itu,
yang Arvino rasakan bukan bahagia…
Tapi rasa bersalah… yang membakar perasaannya hidup-hidup.
Malam mulai larut.
Selena pulang ke kosannya dengan langkah lunglai.
Tangannya masih menggenggam lembaran kecil dari photobooth tadi siang—gambar mereka berdua, tersenyum, tertawa… dan satu pose terakhir yang kini terasa terlalu berat baginya untuk dilihat.
Ia duduk di tepi ranjang.
Menatap kosong ke arah foto itu, lalu menatap bayangannya sendiri di cermin.
Selena Arindya
“Aku bodoh…”
(bisiknya)
Selena Arindya
“Aku kira aku bisa membuatnya bahagia… setidaknya sebentar.”
Air matanya mengalir diam-diam.
Bukan hanya karena omelan Arvino… tapi karena ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih.
> Ia mulai peduli.
Dan itu… menakutkan.
Di sisi lain…
Arvino duduk sendirian di balkon mansionnya.
Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma samar dari kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.
Ia menutup mata… dan yang muncul bukan Selena.
Tapi wajah istrinya.
Arvino Salvadore
“Maaf…” (gumamnya lirih)
Arvino Salvadore
“Maaf kalau aku mulai merasa hidup lagi…”
Tangannya menggenggam liontin kecil milik istrinya yang dulu selalu ia simpan.
Tapi kini, rasa bersalah dan harapan bercampur di dadanya berperang hebat.
Ia tahu Selena bukan wanita biasa.
Tapi Arvino takut. Takut bahwa jika ia membuka hati lagi… ia hanya akan melukai seseorang yang tulus.
Malam itu, dua hati yang terluka menangis dalam diam…
Di tempat yang berbeda…
Dengan rasa yang sama: takut mencintai lagi.
Comments
sareishon
keren banget thor, aku suka karakter tokohnya!
2025-05-21
0