3: Unwelcome Warmth

Pagi menjelang. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai jendela kamar mansion mewah itu, tapi Arvino belum juga memejamkan mata. Ia duduk di kursi kerjanya, terdiam. Tangannya memegang secangkir kopi yang sudah dingin sejak satu jam lalu. Wajah Selena masih tergambar jelas di benaknya. Tatapan takutnya, suaranya yang lirih, dan cara dia berterima kasih… semuanya datang silih berganti, mengusik ruang hatinya yang telah ia kunci rapat sejak kematian istrinya.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kenapa gadis itu muncul begitu saja?
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?
Arvino menghela napas panjang, menengadahkan kepala dan menatap langit-langit kosong.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Bodoh, (gumamnya)
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kau sudah bersumpah Arvinoo....
Ia menepuk dahinya pelan, seolah ingin menampar logikanya sendiri. Tiga bulan lalu, dia mengubur wanita yang paling ia cintai… dan kini hanya dalam satu malam, ia membiarkan celah kecil itu terbuka karena seorang gadis muda yang bahkan tak ia kenal sepenuhnya.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
dia terlalu muda untukku...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
dia terlalu berbedaaaa...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
dan aku... tidak pantas memulai apapun lagi sekarang...
Arvino berdiri, berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya, dingin namun menyegarkan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu… bukan perbedaan usia yang membuatnya takut. Tapi karena untuk pertama kalinya setelah kehilangan, ia mulai merasakan sesuatu yang menyeramkan: harapan. Dan itu… jauh lebih menakutkan daripada kehilangan apa pun.
#KOSAN
Kamar kos yang sempit itu tak bisa membuat hati Selena merasa tenang. Sudah lewat tengah malam, tapi matanya menolak terpejam. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lutut sambil menatap lampu jalanan yang redup.
Wajah pria itu… Masih terbayang jelas dalam pikirannya.
Selena Arindya
Selena Arindya
Tatapan matanya dingin… tapi bukan dingin yang jahat...
Selena Arindya
Selena Arindya
Itu seperti… seseorang yang terlalu lama berdiri di tepi kehancuran...
Selena menggeleng cepat, mencoba mengalihkan pikiran. Ia tahu tak seharusnya terlalu memikirkan orang asing yang baru dikenalnya semalam. Tapi ada sesuatu pada pria itu yang membuatnya terus bertanya-tanya.
Selena Arindya
Selena Arindya
Kenapa dia seperti menyembunyikan luka besar?
Selena Arindya
Selena Arindya
Dan kenapa aku ingin tahu lebih banyak?
Selena berdiri, berjalan ke meja, membuka catatan kecilnya. Ia menulis beberapa baris kata yang tak biasa ia tulis:
Selena Arindya
Selena Arindya
Ada sesuatu pada pria itu… yang membuat hatiku takut sekaligus tertarik. Seolah-olah aku sedang mendekati badai… tapi tak bisa berpaling (kalimat yang ditulis selena)
Selena menutup bukunya pelan, menghela napas.
Selena Arindya
Selena Arindya
Jangan bodoh, Sel… dia pasti sudah punya dunia sendiri.
Selena Arindya
Selena Arindya
Dunia yang terlalu gelap untuk kau jamah...
Tapi jauh di dasar hatinya, ia tahu… Rasa penasaran itu akan menuntunnya lebih jauh. Entah pada penyembuhan… atau pada luka yang lebih dalam. Dan di saat dua hati yang sama-sama rusak mulai bersinggungan, takdir pun mulai mengubah arah.
Selena Arindya
Selena Arindya
udahlah... better gue ga perlu mikirin tu cowok
Selena Arindya
Selena Arindya
sekarang yang terpenting adalah.. gue harusss ketemu sasha...
Langit sore mulai meredup saat langkah kaki Selena menyusuri trotoar menuju sebuah kafe tersembunyi di pinggir kota. Ia mengenakan hoodie abu-abu lusuh, topi, dan masker, tak ingin ada yang mengenalnya, terutama dari kalangan kampus. Di sudut paling belakang, duduklah Sasha, teman satu kos dulu yang kini hidup "bebas" dengan penghasilan yang cukup untuk membeli segalanya… dengan cara yang tak semua orang bisa terima. Selena menarik napas panjang sebelum mendekat. Hatinya penuh tanda tanya, tapi pikirannya lebih berat lagi: tagihan bulanan, kuliah, beban pekerjaan, dan ibu yang sakit di rumah, semuanya menghimpit tanpa belas kasihan.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku hanya ingin tahu… apakah jalan itu satu-satunya pilihan?
Selena Arindya
Selena Arindya
Atau… aku cuma sedang tergoda oleh kehidupan instan yang katanya menyelamatkan? (dalam dirinya)
Sasha menyambut Selena dengan pelukan hangat, wangi parfumnya menyengat dan mewah. Senyumnya tak berubah, centil seperti biasa, tapi matanya… tak sepenuhnya bersinar.
Sasha Keyla
Sasha Keyla
Akhirnya kamu datang juga. Aku tahu kamu bakal nyari aku suatu saat nanti....
Sasha Keyla
Sasha Keyla
Semua orang capek, Sel. Tapi yang kuat, tahu kapan harus ambil jalan pintas.
Selena hanya tersenyum kecil. Kata-kata Sasha seperti gula yang larut di mulut, manis… tapi bisa membunuh perlahan. Di depan secangkir kopi yang hampir dingin, dua perempuan muda itu saling menatap dalam diam. Yang satu… sudah lama berdansa dengan dunia gelap dan glamor. Yang satu lagi… berdiri di ambang pintu, bertanya-tanya apakah harus ikut masuk. Selena tak tahu jawabannya malam itu. Tapi di balik kegundahan hatinya, sebuah suara kecil berbisik pelan:
Selena Arindya
Selena Arindya
Jika kamu menjual harga dirimu… apakah kamu juga harus menjual hatimu? (didalam hatinya)
Dan malam itu, keputusan belum dibuat. Tapi langkah menuju jurang… sudah diambil.
Sasha Keyla
Sasha Keyla
lo udah dapet sugar daddy?
Selena Arindya
Selena Arindya
ssssttt... saa... jangan terlalu keras ngomong nya.. nanti ada yang denger..
Sasha Keyla
Sasha Keyla
(sasha tertawa genit) santai aja...
Sasha Keyla
Sasha Keyla
ga akan ada yang denger ko beb...
Sasha Keyla
Sasha Keyla
gimana kemarin malem, dapetkan?
Selena Arindya
Selena Arindya
yang ada gue kena tagihan saa...
Selena Arindya
Selena Arindya
untung aja kemarin ada om" yang baik nolongin guee..
Sasha Keyla
Sasha Keyla
seriously? Omg... itu berita bagus dong...
Sasha Keyla
Sasha Keyla
terus lo godain?
Selena Arindya
Selena Arindya
sasha... engga... aku ga berani godain dia..
Sasha Keyla
Sasha Keyla
payah banget sih... kalo gue ya di posisi lo... udah gue cantol tuh si om" baik itu..
Selena Arindya
Selena Arindya
anjirr.. saa... lo ya ampun.. ( dengan nada terkejut sambil menggelengkan kepalanya)
Sasha Keyla
Sasha Keyla
siapa namanya?
Selena Arindya
Selena Arindya
gue ga tau tapi dia tau nama gue..
Sasha Keyla
Sasha Keyla
anjirr.. lo bisa bisanya kasih tau nama lo sedangkan lo ga tau namanya..
Selena Arindya
Selena Arindya
yaa maaf gue lupaa.. (dengan senyuman malu)
Sasha Keyla
Sasha Keyla
ya udah jadi lo mau kan tetep nyari om"?
Selena Arindya
Selena Arindya
guee.. kesini sebenarnya mau nanya sama lo...
Sasha Keyla
Sasha Keyla
nanya soal apa? (sambil merokok)
Selena Arindya
Selena Arindya
kalo seandainya gue ketemu lagi sama om baik itu... apa gue jadi sugar baby nya aja ya?
Sasha Keyla
Sasha Keyla
(dengan menganggukkan kepalanya penuh kegenitan) mmmm... exactly selena!
Selena Arindya
Selena Arindya
hah?
Sasha Keyla
Sasha Keyla
yoiii... lo harus jadi sugar babynya.. siapa tau lo bakal kaya raya kaya guee...
Sasha Keyla
Sasha Keyla
jadi lo ga usah mikirin soal biaya pengobatan operasi ibu lo...
Selena Arindya
Selena Arindya
tapi masalahnya gue harus apa?
Sasha Keyla
Sasha Keyla
lo harus pake pakaian seksi, terus minta ke dia buat booking kamar hotel buat... ah.. ahh.. saa... (dengan nada mendesah disengaja)
Selena Arindya
Selena Arindya
what?
Selena Arindya
Selena Arindya
ga... gue ga mau...
Selena Arindya
Selena Arindya
itu namanya gue jadi cewe murahan anjirr saaa...
Sasha Keyla
Sasha Keyla
tapi lo dapet gaji 2M beb
Sasha Keyla
Sasha Keyla
1 kali ronde
Sasha menyandarkan punggung ke kursi, memainkan sedotan minumannya dengan senyum menggoda. Lalu kalimat itu meluncur ringan dari bibirnya, tanpa beban, tanpa ragu:
Sasha Keyla
Sasha Keyla
Coba aja, Sel… satu ronde aja. Sewa kamar, selesai. Cuan langsung dapet. Gak perlu pakai hati..
Deg. Kata-kata itu menghantam Selena seperti hantaman palu di dada.
Selena Arindya
Selena Arindya
Satu ronde? Apa maksudnya segampang itu?
Bayangan mengerikan langsung melintas dalam kepalanya. Dirinya… di atas kasur asing. Tangan pria tak dikenal menyentuh tubuhnya. Pakaian tercabik, harga diri luruh, dan yang paling menyakitkan kehormatan yang direnggut demi lembaran uang. Selena menegang. Tangannya yang memegang gelas gemetar.
Selena Arindya
Selena Arindya
Jadi ini yang kamu maksud dengan jalan keluar?
Selena Arindya
Selena Arindya
Dengan menyerahkan tubuhku?
Wajah Sasha tetap tenang. Terlalu tenang. Tapi Selena hanya bisa menatap kosong, kepalanya dipenuhi suara bising yang tak bisa ia redam.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku… bakal kehilangan semuanya
Selena Arindya
Selena Arindya
Harga diriku… martabatku… bahkan sesuatu yang belum pernah aku bagi kepada siapa pun.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku gak akan perawan lagi…
Selena berdiri perlahan. Nafasnya tak beraturan, matanya mulai basah.
Selena Arindya
Selena Arindya
Maaf, Sha… Tapi kalau itu artinya aku harus kehilangan diriku sendiri, maka aku lebih baik tetap miskin.
Tanpa menunggu jawaban, Selena melangkah pergi, meninggalkan kafe dan semua kebisingan dunia glamor yang semu itu. Langit malam menyambutnya dengan dingin, tapi anehnya, ia merasa lebih hangat di luar sana, daripada di balik senyum manis penuh jebakan. Dan di hatinya, sebuah kalimat menggema:
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku bukan murahan… dan aku tidak akan jadi seperti itu hanya karena keadaan menekan.(dalam hatinya).
Langit sore mulai berwarna jingga, tapi tidak ada keindahan di mata Selena. Langkahnya lemah, tertatih di trotoar kota yang ramai tapi terasa hampa. Air matanya jatuh satu per satu, tak peduli orang-orang yang berlalu. Pikirannya kacau. Dadanya sesak.
Selena Arindya
Selena Arindya
Bagaimana bisa aku menyelamatkan Mama…
Selena Arindya
Selena Arindya
Uang sebesar itu… dari mana?
Sasha menyarankan jalan cepat, tapi terlalu gelap, terlalu kotor. Sementara waktu terus berlari, dan kondisi ibunya semakin kritis di rumah sakit. Operasi harus dilakukan minggu ini. Dan sekarang, satu-satunya harapan keluarganya… adalah seorang gadis 19 tahun yang bahkan belum tahu bagaimana cara menyelamatkan dirinya sendiri.
Selena Arindya
Selena Arindya
Kalau aku gak bayar… Mama bisa mati....
Tangannya mengepal. Tubuhnya gemetar. Dunia seperti menjepitnya dari segala arah. Ia lelah. Ia takut. Tapi tak ada waktu untuk lemah. Orang yang paling ia cintai… bisa pergi kapan saja. Ia berhenti di depan halte kosong. Duduk di bangku besi yang dingin. Menatap matahari sore yang perlahan tenggelam, seolah menyiratkan bahwa harapan ikut memudar.
Selena Arindya
Selena Arindya
Tolong… beri aku jalan
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku gak tahu harus bagaimana…
Dan di tengah segala kebingungan dan air mata itu… hanya ada satu tekad yang mulai tumbuh di hatinya: Ia tidak akan membiarkan ibunya mati. Ia akan melakukan apa pun. Bahkan jika itu berarti… kehilangan dirinya sendiri.
Selena Arindya
Selena Arindya
aku harus berani mengambil langkah..
Selena Arindya
Selena Arindya
aku harus bisa ketemu lagi sama om baik itu... gimanapun caranya...
Malam mulai menjatuhkan tirainya, dan di dalam kamar kos sederhana itu, Selena duduk membisu di tepi ranjang, matanya kosong menatap lantai, tapi pikirannya penuh dengan satu sosok Arvino.
Selena Arindya
Selena Arindya
Om itu… yang malam itu bantu aku..
Selena Arindya
Selena Arindya
Dia pasti sering ke tempat itu…
Selena menelan ludahnya, pelan tapi berat. Bukan karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia kembali ke klub itu. Tapi karena malam ini… ia pergi bukan hanya sebagai gadis biasa. Tapi sebagai seseorang yang harus menyelamatkan hidup ibunya.
Selena Arindya
Selena Arindya
Kalau aku gak bisa cari uangnya… Mama bisa pergi....
Selena Arindya
Selena Arindya
Tapi kalau aku bisa dekati dia… mungkin ini jalannya.
Ia tahu ini gila. Ia tahu pria itu jauh lebih tua, penuh misteri, dan mungkin sangat berbahaya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: Arvino punya sesuatu yang tidak dimiliki siapa pun di hidupnya saat ini kekuatan dan kemungkinan. Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu… Selena berdiri dengan tekad di mata.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku harus melakukannya...
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku harus temui dia lagi… malam ini...
Dengan nafas berat dan hati penuh keberanian palsu, Selena meraih tas kecilnya, berdiri, dan melangkah keluar. Sasaran sudah ditentukan. Langkah pertama menuju penyelamatan dimulai di tempat paling gelap.
Lampu neon berkedip liar. Aroma alkohol dan parfum mahal memenuhi udara. Malam itu, klub terasa lebih panas dari biasanya lebih bising, lebih kacau. Tapi tidak bagi Selena. Langkah kakinya mantap. Wajahnya dingin tapi tenang. Gaun hitam sederhana membalut tubuhnya bukan terlalu mencolok, tapi cukup untuk membuat orang menoleh.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku gak datang untuk bersenang-senang... (dalam hatinya)
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku datang untuk satu tujuan... (dalam hatinya)
Pandangan matanya menyapu ruangan, mencari sosok pria yang bahkan belum ia kenal nama lengkapnya. Arvino. Pria dewasa dengan tatapan tajam dan aura berbahaya—yang semalam menyelamatkannya tanpa alasan. Dan benar saja… Di sudut ruangan VIP, dia duduk. Sendiri. Dengan gelas di tangan, dan sorot mata yang tetap dingin seperti malam sebelumnya. Selena menarik napas. Tangannya gemetar sedikit, tapi tekadnya bulat. Ia berjalan perlahan ke arahnya. Detik demi detik seakan melambat. Dan saat Arvino mengangkat wajahnya… tatapan mereka bertemu. Diam. Sunyi di tengah keramaian. Seakan hanya mereka berdua di ruangan itu.
Selena Arindya
Selena Arindya
halo omm.. (dengan nada ceria yang sedikit genit)
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kau? kau datang lagi… (ujar Arvino pelan, nadanya datar, tapi matanya menelisik)
Selena tersenyum tipis, menyembunyikan gemuruh di dadanya.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku ingin mengucapkan terima kasih… (katanya)
Lalu duduk perlahan di hadapannya
Selena Arindya
Selena Arindya
dan mungkin aku perlu bicara bersamamu om...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
bicara soal apa? (dengan nada kebingungan)
Arvino menatapnya lama, tak menjawab. Tapi malam itu, dua orang dengan luka dan rahasia masing-masing duduk berhadapan di awal sebuah cerita yang belum mereka tahu akan mengubah hidup mereka sepenuhnya.
Selena Arindya
Selena Arindya
apa kamu perlu sugar baby, om?
Arvino menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Selena tanpa berkedip. Sorot matanya tajam seperti bisa membaca isi kepala gadis itu. Selena baru saja duduk, mencoba terlihat tenang… tapi detik berikutnya, kata-kata pria itu menghantamnya tanpa ampun.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Bukannya kemarin kamu bilang kamu gak mau jadi sugar baby, ya?
Suasana di sekitar mereka seolah membeku. Musik tetap berdentum keras, tapi dunia Selena seperti menjadi sunyi. Gadis itu langsung kaku. Matanya membulat, bibirnya terbuka tapi tak ada suara keluar.
Selena Arindya
Selena Arindya
Dia tahu. om ini tahu maksud kedatanganku malam ini (dalam hatinya)
Selena mencoba membuka suara, suaranya nyaris bergetar.
Selena Arindya
Selena Arindya
bu-bukan itu ma-maksudku...
Arvino mengangkat alis, menyeringai tipis penuh sindiran
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Lalu? Kamu datang ke tempat seperti ini… berdandan seperti itu… dan duduk di depan pria yang bahkan kamu gak kenal. Kalau bukan itu, kamu mau apa?
Selena menunduk. Pipinya memerah bukan karena malu, tapi karena rasa bersalah dan amarah pada dirinya sendiri. Bukan begini yang ia harapkan. Tapi Arvino benar. Penampilannya, tujuannya… semuanya menjeratnya dalam situasi yang tak bisa dibantah.
Ia menggenggam ujung gaunnya erat-erat.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku cuma… butuh bantuan...
Selena Arindya
Selena Arindya
makanya aku mencari kamu om..
Selena Arindya
Selena Arindya
soalnya aku gak tau harus kesiapa lagi selain om yang ku kenal kemarin malam...
Untuk pertama kalinya malam itu, suara Selena terdengar rapuh dan jujur. Dan Arvino… Untuk sesaat, diam. Tatapannya melembut, samar… Mungkin karena melihat pantulan luka yang sama di mata gadis muda itu.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
kamu gak perlu jadi sugar baby untukku....
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
cukup jujur saja apa yang kamu mau dariku..
Selena Arindya
Selena Arindya
aku... kesini.. cuma minta bantuan kamu om...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
bantuan berupa apa nona manis?
(selena menegang)
Selena Arindya
Selena Arindya
engga ada yang harus kamu bantu...
Selena Arindya
Selena Arindya
kamu cukup minta apapun dariku..
Selena Arindya
Selena Arindya
biar kita adill...
Selena Arindya
Selena Arindya
kamu dapat jatah dariku dan aku dapat bayaran darimu...
selena mencoba untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
jatah? aku gak butuh apapun darimu.. (dengan nada dingin)
Selena Arindya
Selena Arindya
om... gak boleh gitu...
Selena Arindya
Selena Arindya
aku rela ko...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
gak perlu merendahkan jati dirimu seperti itu selena.. aku gak butuh hal itu darimu.. (dengan nada datar)
Selena Arindya
Selena Arindya
om... please..
Selena Arindya
Selena Arindya
apa om mau aku cium? atau mau?
Selena menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Arvino barusan masih terngiang di kepalanya. Namun rasa takut kehilangan ibunya… jauh lebih besar daripada rasa malu. Ia mencondongkan tubuh sedikit, mencoba menatap mata pria itu lebih dalam. Matanya berkaca-kaca, antara ketakutan, putus asa, dan tekad.
Selena Arindya
Selena Arindya
Kalau Om gak mau bantu cuma-cuma… aku bisa bayar dengan cara lain..
Tangan kecilnya mulai bergerak ke arah dada Arvino. Tapi seketika...
Tangan Arvino dengan cepat menutup bibir Selena. Tatapannya berubah, bukan marah, tapi penuh luka dan amarah yang ditahan.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
berhenti.. (ucapnya pelan tapi tajam)
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kamu bahkan gak tahu artinya menyerahkan diri seperti itu....
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kamu bukan mainan. Kamu bukan barang dagangan. Dan aku… bukan lelaki yang akan membeli air mata gadis seperti kamu...
Selena membeku. Matanya membulat, air mata mulai menetes pelan di pipinya. Suara Arvino barusan seperti tamparan keras pada harga dirinya… tapi juga seperti tamparan yang menyadarkannya.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kau terlalu muda… terlalu polos… jangan rusak dirimu hanya karena dunia memojokkanmu...
Arvino melepaskan tangannya perlahan dari wajah Selena. Nafasnya berat.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kalau kau butuh bantuan… katakan sejujurnya. Tapi jangan pernah tawarkan tubuhmu seperti itu lagi....
Selena terisak. Dan untuk pertama kalinya malam itu, dia tak merasa rendah… Tapi justru merasa dihargai sebagai manusia.
Keheningan menyelimuti ruang VIP kecil itu. Suara dentuman musik dari luar club terdengar samar… Namun di antara keduanya, hanya ada detak jantung yang saling bersahutan. Selena menunduk. Bahu gadis itu gemetar, napasnya tercekat seolah kata-kata yang hendak keluar terlalu berat untuk diucapkan.
Selena Arindya
Selena Arindya
aku hanya butuh uang om...
Suara itu lirih. Retak. Mata Selena mulai basah lagi, tapi kali ini bukan karena rasa malu…
Selena Arindya
Selena Arindya
…untuk operasi Ibu aku. Itu saja, Om... aku butuh uang secepat mungkin agar ibu bisa terselamatkan om..
Arvino terdiam. Matanya menatap gadis di hadapannya bukan sebagai wanita yang mencoba menjual diri, tapi sebagai anak perempuan yang sedang putus asa… dan ketakutan kehilangan ibunya.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku gak punya siapa-siapa, (lanjut Selena pelan)
Selena Arindya
Selena Arindya
Papa ninggalin kami waktu aku kecil… dan sekarang Ibu satu-satunya harapan aku.
Selena Arindya
Selena Arindya
Kalau aku gak bisa bayar operasi itu minggu ini… dia bisa..
Suara Selena patah. Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Arvino perlahan duduk kembali, menatap ke luar jendela. Ada riak emosi di wajahnya… Luka lama di hatinya ikut terasa berdenyut. Dia tahu betul seperti apa rasanya… kehilangan orang yang paling dicintai.
Tanpa menoleh, Arvino bertanya pelan:
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
berapa biaya operasi nya?
Selena mendongak perlahan terkejut. Matanya mencari jawaban di wajah pria itu. Tapi Arvino tak memberinya harapan kosong. Hanya ketegasan, dan sedikit… kepedulian yang tak disangka.
Selena Arindya
Selena Arindya
sekitar 56 juta om..
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
56 juta? (dengan nada dingin tapi penuh rasa kepedulian)
Selena Arindya
Selena Arindya
iya om... (dengan nada ragu)
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
okee... sekarang kita kerumah sakit...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
aku akan lunasi semua biaya operasi nya..
Selena Arindya
Selena Arindya
seriusan om?
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
iyahh aku serius.. (dengan nada datar tapi sangat dalam)
Selena Arindya
Selena Arindya
om serius? (dengan nada tidak menyangka)
Arvino berdiri. Mengenakan jaketnya, lalu meraih kunci mobil yang ia letakkan di meja. Sorot matanya tak menunjukkan keraguan sedikit pun.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
ayo
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
sebelum aku berubah pikiran kalo dinanti-nanti
Selena tertegun. Langkahnya terasa berat, bukan karena tak ingin… tapi karena ia tak mengerti, kenapa pria ini begitu ingin menolongnya? Padahal dia bukan siapa-siapa. Mata Selena kembali memanas. Tapi kali ini bukan karena ketakutan…
Melainkan karena ia baru saja melihat sisi kemanusiaan yang tak pernah ia sangka, dari seorang pria dingin yang sebelumnya ia kira tak punya hati.
Dalam mobil, keduanya duduk dalam diam. Suasana hening namun penuh makna. Selena menggenggam ponselnya erat, sementara Arvino menatap lurus ke depan wajahnya dingin, tapi di matanya… terpancar sebuah keputusan
Mungkin… ini caranya untuk menebus masa lalu. Dan mungkin… ini awal dari kisah yang tak pernah mereka duga.
Rumah sakit itu tampak kusam di mata Selena. Tapi hari ini… langit tampak lebih terang. Karena harapan yang nyaris hilang… datang dalam wujud pria dingin yang tiba-tiba menjadi penyelamat. Selena menggandeng tangan Arvino, bukan karena berani, tapi karena panik. “Cepat, Om… ini di lantai dua… Ibu aku di UGD!” Langkah mereka cepat. Hingga akhirnya sampai di hadapan dokter yang berdiri di depan pintu ruangan. Dokter tampak bingung melihat pria dewasa berbaju mewah itu berdiri di samping gadis muda yang wajahnya sembab.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Dok… saya yang akan tanggung semua biaya operasinya...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Berapa pun itu, lakukan sekarang juga. Jangan tunggu lagi...
Sang dokter menatapnya sejenak. Lalu mengangguk cepat, memberikan isyarat pada perawat untuk mulai persiapan. Selena tak bisa berkata-kata. Ia menoleh ke Arvino… suaranya tercekat,
Selena Arindya
Selena Arindya
Kenapa Om… melakukan ini semua?
Arvino tak menjawab. Hanya menatap pintu ruang operasi yang perlahan tertutup. Lalu berkata lirih, seperti pada dirinya sendiri:
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Karena aku tahu seperti apa rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai… dan tak bisa berbuat apa-apa...
Selena mulai menangis lagi. Tapi tangisnya kali ini… tak sepekat semalam. Ada sedikit rasa lega. Dan dalam hati kecilnya, muncul rasa baru yang pelan-pelan tumbuh bukan cinta, tapi kepercayaan.
Di luar ruangan itu, Arvino duduk sendiri. Menatap jam tangannya… dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, waktunya terasa berarti lagi.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Apa yang sedang kulakukan.. (dalam hatinya)
Tapi anehnya, dia tidak menyesal
selena duduk di samping Arvino sambil melirik untuk menatap wajahnya dengan senyuman tulus dari wajah cantiknya
Selena Arindya
Selena Arindya
makasih ya om...
Selena Arindya
Selena Arindya
om.. udah bantuin aku yang kedua kalinya...
Selena Arindya
Selena Arindya
aku gak tau harus bilang apa dan lakuin apa biar bisa menembus semuanya...
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
gak perlu ada yang harus kamu tembus untukku... sekarang kamu berdoa agar ibumu pulih selena..
Pintu ruang operasi tertutup rapat. Selena terduduk di samping Arvino, wajahnya penuh kecemasan… Tapi detik demi detik, kesadaran perlahan menyusup ke dalam hatinya bahwa pria di sebelahnya tidak pernah menuntut apa pun, tidak menyentuhnya, tidak memanfaatkan kelemahannya…
Bahkan ketika dirinya sudah begitu putus asa menawarkan harga dirinya sendiri.
Air mata Selena kembali jatuh. Tapi kali ini bukan karena takut… melainkan karena tersentuh. Luka hidupnya yang selama ini digores oleh banyak pria… hari ini justru disembuhkan oleh seseorang yang paling ia kira akan menyakitinya.
Selena Arindya
Selena Arindya
omm..
Selena Arindya
Selena Arindya
om kenapa gak marah?
Selena Arindya
Selena Arindya
kenapa om malah nolong aku?
Arvino menoleh, tatapannya dengan tenang.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Karena kamu tidak pantas diperlakukan seperti barang. Dan karena ibumu tidak pantas mati… hanya karena keadaan...
Tubuhnya bergetar. Tangisnya tumpah semuanya: rasa syukur, malu, dan kelegaan yang begitu besar. Arvino terdiam. Ia tidak membalas pelukan itu. Tapi untuk sesaat, ia membiarkan gadis itu bersandar di dadanya… seperti anak kecil yang akhirnya menemukan tempat aman setelah berlari dalam hujan deras.
Dalam diam, hati Arvino pun ikut retak. Karena ia tahu… sesuatu yang tak seharusnya tumbuh, perlahan mulai menemukan tanahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Lorong rumah sakit mulai sepi… hanya suara detak jam dan langkah perawat sesekali terdengar. Selena masih duduk di bangku tunggu, tubuhnya gemetar karena kelelahan, matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi ia tetap menolak untuk bergerak dari tempatnya.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
selena... (Suara Arvino lembut namun tegas)
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kamu butuh istirahat. Mau ke rumahku atau pulang ke kosan, itu terserah. Tapi kamu harus tidur....
Selena menggeleng cepat, matanya mulai berkaca-kaca lagi.
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku nggak bisa, Om… aku nggak mau ninggalin Ibu. Bagaimana kalau ada apa-apa…
Arvino mendekat, jongkok di depannya agar sejajar. Ia menatap mata gadis itu dalam-dalam, memastikan kalimatnya bisa sampai ke hatinya.
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Dengar. Aku akan menyuruh satu perawat khusus untuk menjaga ibumu malam ini. Aku pastikan dia tidak akan sendiri, bahkan untuk satu detik pun....
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Kamu udah cukup kuat untuk bertahan sampai sejauh ini… tapi kamu juga harus cukup bijak untuk tahu kapan tubuhmu perlu istirahat...
Selena terdiam. Hatinya berperang. Antara kelelahan yang luar biasa dan kekhawatiran yang membunuh pelan-pelan. Tapi saat Arvino berdiri, mengambil ponselnya, dan menelepon bagian administrasi rumah sakit untuk memesan perawat pribadi, air mata Selena jatuh tanpa suara.
Ia percaya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia memilih untuk percaya.
Selena Arindya
Selena Arindya
Oke… tapi aku pulang ke kos aja, (ucap Selena akhirnya lirih)
Selena Arindya
Selena Arindya
Aku nggak nyaman kalau ngerepotin Om lebih jauh…
Arvino hanya mengangguk
Arvino Salvadore
Arvino Salvadore
Baik. Tapi aku antar. Titipkan ibumu padaku malam ini… aku janji, dia akan baik-baik saja.
Dan untuk pertama kalinya… Selena tersenyum kecil. Lelah, tapi penuh rasa terima kasih.
Terpopuler

Comments

indah 110

indah 110

Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?

2025-05-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!