2: Ashes of a Broken Vow
Hari ke-43 sejak Anastasia dimakamkan.
Langit masih kelabu, sama seperti hati pria yang belum mampu meninggalkan kamar tidurnya sendiri.
Di balik tirai jendela yang tertutup rapat, Arvino masih duduk di kursi yang sama.
Jas usangnya kusut, rambut acak-acakan, dan mata sembab menatap kosong ke arah satu foto berbingkai perak di tangannya,
Anastasia, tersenyum di hari pernikahan mereka.
Hari yang seharusnya jadi awal bahagia, bukan awal luka.
Tubuhnya hidup, tapi jiwanya mati perlahan.
Setiap detik, suara terakhir dari telepon itu terngiang di kepalanya:
“Dia… sudah terlalu cantik untuk dunia ini.”
Tawa jahat. Tembakan. Dan kemudian… sunyi.
Arvino memejamkan mata.
Penyesalan menikam seperti sembilu.
Dendam mulai tumbuh, diam-diam.
Ia ingat nama-nama. Wajah-wajah.
Jejak-jejak kelam masa lalunya yang mungkin menjadi alasan istrinya direnggut dari dunia.
Dan kini, satu suara berbisik dalam hatinya:
> “Kau bisa bersedih, atau kau bisa membalasnya.”
Tapi Arvino ragu…
Bisakah ia menyalakan api lama yang pernah ia padamkan demi cinta?
Dan apakah ia siap untuk kembali jadi monster yang dulu ia tinggalkan demi menghancurkan monster yang merenggut satu-satunya cahaya hidupnya?
Sore itu, untuk pertama kalinya dalam 43 hari…
Arvino berdiri.
Menatap cermin.
Dan dalam bayangannya, bukan hanya wajah seorang suami yang patah.
Tapi sosok bayangan lama seorang pemimpin dunia gelap mulai kembali muncul dari reruntuhan luka.
Di tengah rumah yang sudah lama ditelan kesunyian,
di mana angin pun enggan berdesir dan waktu terasa beku,
tiba-tiba terdengar ketukan.
Tok. Tok. Tok.
Pelan, namun tegas.
Cukup untuk menggetarkan udara yang beku dan membuat jantung Arvino berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ia mendongak.
Matanya masih sembab, pikirannya masih dipenuhi suara-suara dari masa lalu.
Tak ada yang pernah datang. Tak ada yang tahu rasanya tinggal di tempat ini selain kenangan dan bayang-bayang.
Lalu…
siapa yang berani mengetuk rumah duka?
Siapa yang cukup nekat untuk membangunkan luka yang belum sembuh?
Arvino berdiri pelan.
Langkahnya berat, seperti menantang waktu itu sendiri.
Ketukan itu kembali terdengar. Tok. Tok. Tok.
Lebih cepat. Lebih mendesak.
Bukan tamu biasa.
Bukan seseorang yang datang untuk sekadar bersimpati.
Dan saat tangannya menyentuh gagang pintu,
entah mengapa, hatinya terasa lebih gelap dari sebelumnya
seolah ia tengah membuka bukan sekadar pintu rumah…
tapi pintu menuju babak baru dalam hidupnya.
Leo Castanegara
yoooo, What's up brooo??
Leo memeluk sahabat lamanya Arvino dengan riang gembira
Leo Castanegara
woyy, lo kenapa bro? lo kaya tua bangke yang lagi terpuruk banget keliatan nya..
Arvino hanya bisa menghela kan nafasnya ketika mendengar cemoohan dari leo sahabatnya
Leo Castanegara
lo belum bisa move on dari istri lo yang mati itu?
Arvino Salvadore
Gue masih cinta sama dia.. gue gak bisa move on dari dia sampai kapanpun
Leo Castanegara
lo bisa gak sih sadar dikit... Cewe yang lo tangisin udah tenang di alam sana... jadi lo ga perlu merasa bersalah kaya gitu brooo...
Arvino Salvadore
Gue masih ngerasa bersalah
Arvino Salvadore
lo ga tau seberapa beratnya gue kehilangan anastasia...
Leo Castanegara
mending besok lo gue ajak ke party, gimana?
Leo Castanegara
Iya party...
Arvino Salvadore
aku lagi males
Leo Castanegara
pleaseee dong... mo sampai kapan lo ngumpet dibalik dinding mansion besar inii arvino....
Leo Castanegara
lo harus bisa move on
Leo Castanegara
pokonya lo harus tampil keren besok
Arvino Salvadore
gue ga mau
Leo Castanegara
lo harus mau...
Leo Castanegara
besok bakal banyak sugar baby brooo...
Arvino Salvadore
sugar baby?
Arvino Salvadore
ngapain gue nyari sugar baby
Leo Castanegara
harus dongg...
Leo Castanegara
biar lo terhibur setiap harinya
Leo Castanegara
dijamin lo bakalan demen liatnya
Arvino Salvadore
okee okee finee
Arvino Salvadore
gue bakalan ngikutin mau nya loo...
Leo Castanegara
nahh gitu dongg...
Malam pun tiba.
Mobil sport hitam mereka melaju membelah jalanan kota,
lampu-lampu neon menyambut seperti memanggil jiwa-jiwa yang terluka untuk berpura-pura tertawa.
Tempat itu ramai. Musik berdentum. Gelas beradu.
Namun di tengah gemerlap dan hiruk-pikuk pesta…
Arvino tetap sunyi.
Senyumnya dipaksakan. Tatapannya kosong.
Tapi di sana, di antara keramaian yang asing
takdir perlahan mendekat.
Malam itu, Arvino tidak tahu bahwa langkah kecilnya keluar dari rumah…
akan membawanya kembali masuk ke dalam lingkaran gelap yang lebih rumit dari sebelumnya.
Dan di pesta itu pula,
dia akan bertemu dengan seseorang…
yang mengubah arah hidupnya sekali lagi.
Unknown
ada laki laki tampan disini
Unknown
siapa namamu om...
Tiba-tiba ada tiga wanita yang menyapa dengan genit kearah arvino
Unknown
ommm... Om ko ganteng banget sihh...
Leo Castanegara
arvino... sikat aja... (dengan nada berbisik jahil)
Arvino Salvadore
emang gue bodo apa? gue ga mau... (berbisik tegas)
Unknown
om mau pilih siapa?
Arvino Salvadore
sorry girls, saya tidak tertarik
Tanpa banyak bicara, ia berdiri.
Langkahnya cepat, menjauh dari mereka yang kini mengernyit kecewa.
Ia mendorong pintu keluar klub.
Udara malam langsung menyergap wajahnya dingin, lembab, dan jauh lebih jujur daripada apa pun yang ada di dalam sana.
Ia menatap langit.
Bintang tak tampak, hanya lampu kota yang redup.
Namun di tengah udara yang lebih sunyi itu, Arvino akhirnya bisa bernapas.
Dan tanpa ia tahu…
di balik asap tipis dan aroma malam itu takdir sedang bersiap mengenalkannya pada seseorang… yang jauh lebih dari sekadar pengalih luka.
Udara malam masih menusuk pelan,
membelai wajah Arvino yang sedang mencoba tenang meski hatinya tak benar-benar damai.
Ia berdiri di sisi luar klub, dekat gang kecil yang remang.
Cahaya lampu neon hanya menyinari sebagian wajahnya—membentuk siluet seorang pria yang tampak gagah, namun penuh luka.
Tiba-tiba—
Arvino Salvadore
ARGHHHH....
Seseorang menabraknya.
Tubuh Arvino sedikit tersentak ke samping, tak sampai jatuh, namun cukup membuatnya terkejut.
Ia menoleh cepat.
Di depannya berdiri seorang gadis muda berambut panjang yang berantakan, napasnya memburu, dan wajahnya memancarkan ketakutan yang begitu jelas.
Matanya membesar, tubuhnya sedikit gemetar.
Seperti seseorang yang sedang melarikan diri… dari sesuatu.
Pakaian malamnya sederhana namun elegan, tapi ada sobekan kecil di bagian bawah rok.
Tangannya menggenggam tas erat-erat, seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras.
Mereka saling menatap.
Waktu terasa membeku.
Arvino mengernyit.
Ada sesuatu dalam sorot mata gadis itu terlihat ketakutan, luka, dan… sesuatu yang familiar.
Sebelum sempat bertanya, suara dari kejauhan terdengar:
“HEY! GADIS ITU KE ARAH SANA!”
Gadis itu menunduk, panik.
Arvino masih diam tapi detak jantungnya mulai naik.
Siapa dia?
Dan apa yang sedang terjadi malam ini?
Selena Arindya
ma-maaf om...
Arvino Salvadore
iyahh ga apa-apa..
seketika beberapa laki-laki besar sudah berada dihadapan wanita itu
Unknown
cepat bayar tagihannya...
Selena Arindya
saya gak punya uang buat bayar sebanyak itu pak... (dengan nada panik)
Unknown
terus ngapain beli 5 bir kalo gak bisa bayarnya, dasar anak pelacur...
Selena Arindya
hey pak, saya bukan pelacur.. saya juga kena tipu sama teman saya.. saya kira 5 bir itu udah dibayar sama dia..
Unknown
jangan banyak bacot...
Unknown
cepet bayar (dengan nada kesal sambil menarik-narik tangan wanita itu dengan paksaan)
Arvino terlihat tidak senang melihat ada seorang laki-laki yang berani menyakiti seorang perempuan sampai pada akhirnya arvino memegang tangan laki laki itu dengan penuh ketegasan
Arvino Salvadore
berapa tagihannya?
Arvino Salvadore
biar saya tf
akhirnya Arvino membayar seluruh tagihan tersebut dan laki-laki besar itu mulai melangkah mundur
Selena Arindya
om... makasih ya.. udah mau tolongin saya.. (dengan nada malu yang aga sedikit canggung)
Arvino Salvadore
that's okay, ga masalah.. yang penting sekarang kamu amann ya...
Selena Arindya
aku selena, om...
Selena Arindya
om tenang aja ya... aku pastiin bakal bayar yang om bantu tadi..
Arvino Salvadore
ga papa, saya ikhlas bayarnya tadi..
Arvino Salvadore
gak perlu overthinking...
Selena Arindya
ikhlas? serius om?
Arvino Salvadore
iyah, saya serius (menganggukkan kepalanya dengan senyuman tipis yang diberikan arvino kepada selena)
Arvino Salvadore
kayanya ini udah larut malam..
Arvino Salvadore
gak baik buat kamu kalo masih keluyuran di jam segini
Selena Arindya
makasih ya om.. kayanya aku naik taksi online aja...
Arvino Salvadore
Taksi online? Serius? Malem malem gini harus naik yang gitu?
Selena Arindya
iya serius om..
Selena Arindya
udah biasa ko...
Arvino Salvadore
bukan gak biasanya.. cuma saya khawatir saja... kamu kan perempuan
Arvino Salvadore
gimana kalo saya antar kamu pulang?
Selena Arindya
(selena begitu terkejut ketika mendengar hal itu dari orang yang baru dikenalnya) kalo om ga ngerasa direpotin sih boleh aja ya... (dengan nada canggung)
Arvino Salvadore
engga ko..
Suara langkah kaki mendekat.
Arvino menoleh lagi ke arah gadis itu—Selena.
Gadis muda yang baru saja menabraknya, dan tanpa sadar, menabrak pertahanannya juga.
Ia masih gemetar.
Namun kini berdiri lebih tenang setelah Arvino melindunginya dari dua pria yang mengejarnya tadi.
Arvino Salvadore
Kau aman sekarang, (ucap Arvino pelan, nadanya datar namun dalam).
Selena ragu.
Sorot matanya mencari kejujuran dalam wajah pria asing ini.
Namun entah mengapa, ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan ketika menatap mata Arvino.
Dingin, tapi bukan jahat. Tertutup, tapi bukan berbahaya.
Arvino membuka pintu mobil sport hitamnya—desain mewah, elegan, memantulkan cahaya malam.
Mesin mengaum pelan seperti binatang buas yang sedang bersabar.
Selena melangkah masuk.
Duduk di dalam mobil pria yang baru dikenalnya beberapa menit,
tapi entah kenapa… terasa tidak asing.
Mobil melaju membelah kota.
Di dalam kabin yang sunyi, hanya ada suara jalanan dan napas pelan mereka.
Tak banyak bicara hanya sesekali Arvino melirik lewat kaca, memastikan gadis itu baik-baik saja.
Namun di balik keheningan itu,
ada sesuatu yang perlahan tumbuh.
Bukan cinta instan…
tapi rasa penasaran yang menusuk.
Dan tanpa keduanya sadari,
malam itu bukan hanya membawa Selena pulang.
Tapi juga membuka gerbang takdir baru yang akan menjerat mereka dalam kisah yang tak biasa.
Arvino Salvadore
kamu di club itu ngapain? (mencoba mencairkan suasana)
Selena Arindya
ohhh... aku... akuu... baru firstime ke club sihhh om...
Arvino Salvadore
firstime? apa yang membuat mu kesana? (dengan nada penasaran yang mendalam)
Selena Arindya
aku... aku diajak sama temenku om..
Selena Arindya
cumaaa... aku ga expect aja kalo temen ku ini mengajakku buat jadi sugar baby..
Arvino Salvadore
SUGAR BABY? (sedikit terkejut)
Selena Arindya
iya omm... cuma ternyata disana banyak laki-laki yang gatal...
Selena Arindya
aku gak suka dan aku akan berjanji pada diriku sendiri untuk gak akan kesana lagi...
Arvino Salvadore
(sedikit terkekeh dengan pengakuan lucu dari selena)
Arvino Salvadore
okee... saya tau ko kamu bukan tipe cewe yang kaya sugar baby..
Selena Arindya
masa sih om?
Arvino Salvadore
Iyahh, aku udah tau kalo kamu bukan sugar baby melainkan cuma seorang gadis yang polos (dengan nada ejekan manis yang terlontar dari mulutnya).
(selena sedikit terkekeh ketika mendengar ejekan itu)
Selena Arindya
terus, kalo om sendiri?
Arvino Salvadore
aku... aku gak tau arah harus pulang dan pergi kemana... makanya aku pergi kesana.. (dengan nada penuh kesedihan yang terpendam)
Selena Arindya
om gak punya rumah?
Arvino Salvadore
eee... bukan gitu... (sedikit tertawa ketika mendengar kepolosan nya)
Selena Arindya
omm... om kesepian?
Arvino Salvadore
kenapa? engga juga..... (mencoba untuk menyembunyikan fakta)
#SAMPAI DIDEPAN KOSAN NYA
Mobil sport hitam itu berhenti perlahan di depan sebuah bangunan sederhana bertingkat dua.
Lampu lorong kos menyala redup, menambah kesan tenang di antara riuhnya malam yang perlahan memudar.
Selena menoleh ke arah Arvino yang masih menatap lurus ke depan.
Sesaat… mereka saling diam.
Tak ada kata perpisahan, hanya hening yang berat tapi tak membuat sesak.
Gadis itu perlahan membuka pintu mobil.
Selena Arindya
Terima kasih… sudah menyelamatkan aku, (ucapnya lirih, suaranya sedikit serak namun tulus)
Arvino menoleh pelan.
Sorot matanya tetap dingin, tapi ada kilatan kecil, seolah kata “sama-sama” tak sanggup keluar dari bibirnya,
tapi bisa terbaca di matanya.
Selena tersenyum tipis, kemudian turun.
Heels-nya menyentuh aspal. Ia berdiri sejenak,
melihat mobil mewah itu yang kini terasa seperti bagian dari dunia asing, jauh dari kehidupannya yang sederhana.
Ia melangkah menuju pintu pagar kos.
Tapi sebelum benar-benar masuk, Selena menoleh sekali lagi.
Arvino masih di sana.
Tak bergerak, hanya duduk tenang di balik kemudi…
seperti pria yang sedang menahan sesuatu dalam diam.
Dan malam pun kembali sunyi.
Namun bagi keduanya, malam ini bukan sekadar perjalanan pulang
tapi awal dari sesuatu yang belum mereka mengerti…
namun tak bisa mereka hindari.
Comments