Aku, Seo Min Hyuk. Lalu, dua anak kembar di depanku ini adalah Lee Sun Chan dan Lee Sun Hwan. Sementara, gadis berambut pendek yang duduk di antara mereka bernama Song Hui Yun. Mereka bertiga sahabatku sejak duduk di bangku sekolah dasar kecuali, gadis yang duduk di sampingku ini, dia, Kim Ji Yul. Junior yang baru kami kenal di SMA.
Dan sejak kami menginjakkan kaki ke SMA Nam Joon, sosok seorang gadis terus membayangiku. Gadis yang selalu tersenyum dengan kedua mata sayunya dan membentuk lesung pipi di pipi kanannya. Gadis itu bernama, Ttong (Kotoran). Ya, begitulah aku memanggilnya, dia yang selalu menjadi kotoran dalam hidupku. Kotoran yang tidak pernah hilang, sebab aku tidak sekalipun ingin berusaha membersihkannya.
“Haaa…rasanya sepi tidak ada Ji Yul dan Hwan,” keluh Hui Yun seraya menghempaskan diri ke sofa.
Sementara kembaran Hwan, Chan, mengambungkan minuman kaleng ke arah Min Hyuk yang langsung menangkapnya. Chan duduk dan membukakan salah satu tutup minuman kaleng yang ia bawa bersamaan dengan miliknya. Dia menyerahkan minuman yang sudah terbuka itu pada Hui Yun yang bergegas membetulkan posisi duduk dan menyambutnya.
“Apa mereka berkencan?” tanya Min Hyuk dengan wajah datar dan suara seraknya yang khas.
“Tidak tahu,” sahut Hui Yun sembari mengangkat kedua bahunya, “tapi, mungkin saja. Mereka kelihatan serasi,” tambahnya riang.
Sesaat, Chan melirik Min Hyuk yang tampak mengabaikannya.
“Yuna (Panggilan Kecil Hui Yun), dari dulu aku dan Hyuk juga tahu kalau kau menyukai Hwan,” sindir Chan kemudian.
Lagi, Hui Yun mengangkat kedua bahunya usai meneguk minuman.
“Dulunya aku pikir begitu. Tetapi, setelah melewati masa SMA dan menjalani masa-masa kuliah seperti ini. Sudah terlalu banyak laki-laki yang kutemui lebih dari Hwan. Aku akan merugi jika berputar di satu tempat yang sama dan pasti lagi-lagi yang kulihat hanya kalian,” jelas Hui Yun yang lalu tersenyum mengejek.
Min Hyuk tersenyum sinis lalu melemparkan bantal yang ia duduki tepat ke wajah Hui Yun dan beranjak pergi dengan santai.
“Ya! (Hei!)” teriak Hui Yun kesal.
Dia tetap melenggang ke kamar setelah melemparkan kaleng minumannya yang sudah kosong ke tempat sampah tanpa mempedulikan teriakan Hui Yun. Sedangkan, Chan yang hanya bisa menahan senyum geli pun berusaha menenangkan amarah Hui Yun.
“Anak itu selalu kasar. Pantas saja tidak ada wanita yang menginginkannya,” omel Hui Yun yang langsung meneguk habis minumannya.
Chan tetap tersenyum dan kembali menahan Hui Yun yang akan beranjak untuk menghampiri Min Hyuk yang telah cukup lama menutup pintu kamar.
“Aku rasa dia juga perlu waktu untuk mencintai gadis lain sesudah kejadian itu,” tegur Chan yang tampak begitu tenang dan membuat Hui Yun seketika melemah.
“Haaa…entah yang bodoh kita atau dia. Bahkan mulutku sudah hampir hancur karena terus-terusan menasihati hal yang sama padanya,” keluh Hui Yun.
Mendengar keluhannya, Chan pun menghela napas cukup keras seraya bersandar lemas di tempat duduknya.
“Bagaimana caranya menemukan gadis yang dia sukai sejak SD? Bahkan mengenal pun tidak. Aku rasa dia yang bodoh,” ucap Chan lemah.
Sementara, Chan dan Hui Yun mengeluhkan keadaannya, Min Hyuk terlihat berbaring nyaman di tempat tidur sembari mendengarkan perbincangan mereka dengan seksama. Dia memejamkan mata dan meletakkan lengan kanannya ke dahi. Sesaat, terdengar helaan napasnya cukup keras sebelum ia terlelap.
Sedetik kemudian, bayang anak-anak berseragam Sekolah Dasar Cheong Dam tampak jelas di pikirannya. Tiga laki-laki dan seorang gadis tomboy terlihat berlari ke mobil jemputan masing-masing. Satu anak laki-laki yang pendiam di sambut sangat baik dengan sebuah senyuman tulus penuh rasa sabar oleh seorang laki-laki berjas biru yang telah menunggunya.
Begitu pun dengan kedua anak kembar yang saat itu langsung tersenyum memperlihatkan sederet gigi mereka ke arah laki-laki berjaket hijau tua yang tersenyum riang dan membantu mereka masuk ke mobil. Sedangkan, gadis manis tomboy itu tersenyum tipis pada orangtuanya yang begitu bersemangat melihatnya.
Untuk taraf anak kelas tiga sekolah dasar sepertiku, harusnya kejadian ini bukanlah suatu hal yang perlu kuanggap serius. Namun, sosok gadis kecil berkucir kuda itu tampak manis, dia duduk tenang sambil memeluk erat Ibu yang memboncengnya dengan sepeda motor skuter setiap kali jam sekolah berakhir.
PIIP! PIIP! PIIP!
Min Hyuk terbangun dan segera beranjak dari ranjang karena suara alarm jam tangannya yang berbunyi. Dia meneguk segelas air di meja samping tempat tidur untuk menghilangkan kantuknya sebelum meraih kunci motor auto dan mantel biru beserta syalnya.
Bergegas dia keluar kamar dan tanpa menyapa kedua sahabatnya yang tengah asyik menonton sebuah acara televisi, dia pergi meninggalkan apartemen mereka. Sikap anehnya pun mengundang tanya pada Chan dan Hui Yun yang langsung berpandangan. Lama, sebelum akhirnya pandangan mereka teralih pada kalender di dinding.
“Ini bukan peringatan kematian Kakeknya. Dan lagi, kita di Paris. Kalaupun ada hal yang harus di rayakan, bukankah kita bisa menyiapkannya bersama di rumah?” tanya Chan dengan kening berkerut.
“Apa kau pikir dia memiliki teman selain kita berdua dengan sikapnya yang seperti itu,” sindir Hui Yun datar.
“Hahahaha, dasar gadis tengik,” umpat Chan usai tawanya yang tiba-tiba meledak dan tanpa sadar mendorong kepala Hui Yun.
Hanya beberapa detik hingga sebuah bantal melayang dan menghantam cukup keras wajah Chan.
“Diamlah, aku sedang menonton,” bisik Hui Yun datar.
Dan seketika tawa Chan mereda sesudah menyadari jika pelaku penyerangan adalah gadis di sisinya. Sementara itu, Min Hyuk sudah melaju kencang di jalan raya Kota Paris yang begitu megah. Dengan di tutupi mantel, juga syal di leher dan helm yang menutupi seluruh kepalanya, dia melaju menerjang dinginnya angin musim gugur. Sampai setengah jam kemudian…
SELAMAT DATANG DI KUIL MATAHARI
Papan besar yang tergantung di gerbang utama bangunan kuno itu menyambut kedatangan Min Hyuk. Dia berjalan melewati pintu gerbang berjarak sekitar 500 meter dari sebuah kuil yang begitu ramai di datangi beberapa turis dan wisatawan lokal tersebut.
Dia melepas sepatu sebelum memasuki kuil dan menuju tempat persembahyangan. Diam sesaat setelah mengatupkan kedua tangannya, Min Hyuk menghilang dari hingar bingar dunia hanya untuk berdoa.
Apa aku bisa bertemu lagi dengan gadis yang aku sukai?... Tidak bertemu sekarang, bukan berarti kau tidak bisa bertemu dengannya dalam doa. Pergilah berdoa setiap pukul 4.00 sore, ketika matahari akan meninggalkan bumi dan senja mengetuk untuk menyambut bulan. Kalau memang gadis itu takdirmu, dia pasti akan melakukan hal yang sama. Jika dia memang yang terbaik untukmu, maka setiap yang tercipta di atas langit dan bumi akan mempertemukan kalian lewat doa dan lakukan ini karena kau mencintai Tuhan. Sebab segala yang ada dalam hidupmu dan hidupnya adalah milik Tuhan…
Min Hyuk bersujud satu kali usai membuka kedua mata untuk mengakhiri doanya hari itu. Terdiam sejenak sembari memperhatikan sekelilingnya yang mulai tampak sepi dan lalu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 6.30 sore.
Lima belas menit kemudian, Min Hyuk telah kembali melaju dengan motor autonya. Tidak butuh waktu lama untuk tiba ke apartemen mereka dengan kecepatan yang akan membuat siapapun berteriak histeris jika di bonceng olehnya.
“Kau sudah pulang? Aku masak semur daging kimchi kesukaan kalian. Duduklah, kita makan bersama.”
Langkah Min Hyuk terhenti tatkala mendengar sapaan itu. Dia menoleh ke dapur dan bisa melihat jelas kedua sahabatnya dari ruang tengah yang hanya di batasi sebuah kotak kaca terang berukuran cukup besar berisi berbagai macam peralatan olahraga. Hening, sebelum akhirnya dia melangkah masuk ke kamar dan mengabaikan mereka.
“Apa dia ke kuil lagi?” bisik Chan yang duduk di salah satu kursi meja makan sambil memperhatikan Hui Yun yang sudah sibuk memotong kimchi-nya lagi.
“Kurasa begitu,” sahut Hui Yun sekenanya.
“Tetapi, hari ini bukan peringatan kematian siapapun,” ujar Chan dengan kening berkerut.
“Sejak tiba di Paris dua tahun lalu, dia selalu pergi ke kuil dan pulang pada jam seperti ini,” sahut Hui Yun ketus.
“Tapi, kenapa tadi kau ikut memandangi kalender?” tanya Chan heran.
“Gerak reflek karena kau melihat kalender, mungkin saja ada perayaan kematian keluarga yang aku lupakan. Yang mengingat dengan baik setiap perayaan penting itu, hanya Min Hyuk dan tiga saudaranya. Ingatan mereka sangat baik, bahkan Kakak perempuannya, Min Jee, sampai membuat catatan untuk tanggal-tanggal penting,” jelas Hui Yun.
“Bagaimana denganmu? Kalian, kan, memiliki hubungan darah yang begitu dekat,” kata Chan dengan segala kepolosannya.
Kegiatan Hui Yun langsung terhenti tatkala mendengar celotehan Chan. Dia melirik sinis sambil memegangi garpu yang menancap pada daging bumbu dan sebuah pisau di tangan kanannya.
“Kau ini calon dokter, harusnya kau bisa lihat garis keturunanku seperti apa. Min Hyuk dan para saudaranya menuruni sikap juga sifat Paman Seo yang cukup pendiam, cerdas, teratur dan lemah lembut. Jika dia meniru Bibi Hwang, maka dia akan berakhir sepertiku,” omel Hui Yun seraya mendengus kesal dan kembali memotongi dagingnya.
“Orangtuamu sangat ceria. Mereka memiliki sikap dan sifat yang sama. Paman, Bibi juga orang yang cerdas, lemah lembut, penyayang dan hanya sedikit tidak bisa diam. Tapi, kau ini…”
Segera Hui Yun meletakkan pisaunya dengan kasar hingga memutus ocehan Chan dan menatapnya kesal. Merasa terancam, Chan pun beranjak dari duduknya perlahan. Dan sedetik kemudian…
“Aku mau mandi,” ujar Chan yang seketika melesat ke kamarnya.
“Ya! Lee Sun Chan!” teriak Hui Yun yang begitu kesal.
Karena terburu-buru dan tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja Chan menabrak Min Hyuk yang akan melangkah ke dapur. Mereka pun sempat terdiam sebab sebuah serbet mendarat di wajah Min Hyuk namun, dia yang tenang tidak mempedulikan kejadian tersebut.
Dia membawa serbet itu lalu meletakkannya di meja makan setelah menarik salah satu kursi. Tidak ada sedikitpun kepedulian di tunjukkannya pada Hui Yun yang terdiam memotongi daging dan tampak gugup karena salah mengenai sasaran. Cukup lama mereka saling diam bersama Min Hyuk yang kini terfokus pada game di layar ponselnya. Sampai…
“Makan malamnya siap sebentar lagi. Kau ingin minum jus dulu sambil menunggu?” tanya Hui Yun berusaha memecah keheningan.
Namun, Min Hyuk menggeleng pelan dan mengabaikan Hui Yun yang sempat melirik sinis padanya. Bahkan ketika tiba waktu makan pun dia begitu tenang, hanya sesekali tersenyum tipis melihat Hui Yun dan Chan yang tidak bisa diam.
Bukan sebagai sahabat tetapi, mereka adalah keluargaku, termasuk Ji Yul yang sekarang hadir menambah kegembiraan kami dengan senyum dan tawanya. Walaupun sementara ini kami berpisah dengan Hwan yang memilih tetap melanjutkan studi di Korea dan Ji Yul yang masih harus menyelesaikan masa SMA-nya satu tahun lagi, mereka tetap tempat aku berpulang saat orang-orang tidak menginginkanku. Mereka keluarga keduaku dan berpisah sebentar bukan masalah, aku baik. Ttong, aku harap setelah ini kita bertemu lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments