Nadira mengikuti Rakha masuk ke dalam ruang pribadinya—ruangan dengan meja bertuliskan Nadira Elvarani, Koordinator Khusus CEO. Ia tidak berniat memulai percakapan, hanya menunggu apa yang sebenarnya ingin Rakha bicarakan.
Rakha melangkah menuju meja kerja Nadira, lalu menarik kursi tempat Nadira biasa bekerja dari belakang.
"Apa kamu lupa bagaimana usahamu sampai bisa duduk di sini?" tanya Rakha kepada Nadira yang berdiri agak jauh darinya.
"Rakha, ayolah," Nadira kelepasan menyebut nama Rakha tanpa embel-embel “Bapak” karena lelaki itu kembali menanyakan hal yang sama seperti tiga bulan lalu.
Keputusan untuk berhenti bekerja telah Nadira ambil sejak jauh hari—tiga bulan yang lalu, dan Rakha mengetahuinya. Ia seharusnya tidak menanyakan hal itu sekarang.
"Jangan terlalu dekat dengan karyawan baru itu," ucap Rakha tanpa terlalu memedulikan Nadira yang tampak lelah menghadapinya.
Ia tahu betapa keras dan tangguhnya Nadira selama bekerja di perusahaan keluarganya. Permintaannya kali ini—untuk tidak terlalu dekat dengan karyawan baru—seharusnya bukan sesuatu yang sulit bagi Nadira. Ia pikir Nadira akan dengan mudah mengiyakannya.
"Saya tidak suka milik saya terlalu dekat dengan laki-laki lain," tambahnya.
Nadira menghela napas dengan gusar. Ia bukan milik siapa pun—terlebih lagi bukan milik Rakha. Ia hanya seorang perempuan yang berencana menikah dan menjadi milik Galendra dalam satu bulan ke depan.
"Pak Rakha—"
"Panggil saya Rakha saat kita berdua. Saya tidak suka dipanggil dengan embel-embel 'Bapak'," potong Rakha, menyela dan mengoreksi.
Ia lebih suka saat Nadira memanggilnya hanya dengan namanya, tanpa tambahan formalitas apa pun.
"Saya rasa permintaan saya tadi tidak memberatkanmu, jadi lakukan sesuai yang saya katakan," ujar Rakha, berniat melangkah mendekati Nadira setelah mengatakan itu. Namun, tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu di meja kerja Nadira—sebungkus pil kontrasepsi.
Satu sudut bibirnya terangkat tipis. Ia tahu Nadira telah mengingat segalanya—apa yang terjadi di antara mereka. Tapi ia tidak mengerti mengapa Nadira membeli pil itu.
Nadira, yang menyadari arah pandangan Rakha, spontan melangkah cepat dan meraih pil itu, menyelipkannya ke dalam tas dengan gerakan tergesa. Ia memang membelinya pagi tadi, sebelum berangkat ke kantor. Hanya untuk berjaga-jaga. Ia tidak ingin ada kemungkinan apa pun—terutama jika itu menyangkut benih Rakha dalam tubuhnya.
"Kenapa kamu panik?" tanya Rakha seraya menahan tangan Nadira. Tatapannya menajam. "Kamu sadar, kan? Kamu tahu saya tidak akan suka kamu meminum itu?"
"Rakha..." ucap Nadira lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar, seolah takut jika percakapan mereka bocor ke luar ruangan—terutama ke telinga ayah Rakha.
Ia tahu, satu kesalahpahaman saja bisa meruntuhkan kepercayaan yang telah dibangunnya bertahun-tahun. Ia tidak ingin dianggap sebagai perempuan yang menggoda putra atasan. Meskipun belum tentu akan terjadi, namun ketakutan itu nyata—dan mengakar kuat dalam dirinya.
"Saya akan menikah... Saya membeli ini untuk menutup segala kemungkinan," ucapnya pelan, berharap Rakha menangkap maksud yang tidak mampu ia ungkapkan lebih gamblang.
Namun Rakha tidak peduli dengan penjelasan itu. Tanpa banyak bicara, ia merebut paksa pil kontrasepsi dari tas Nadira. Gerakannya cepat, nyaris tidak memberi kesempatan Nadira untuk menahan.
Lalu tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar ruangan, membawa pil itu bersamanya. Hanya dengan cara seperti itu, Nadira takkan bisa memintanya kembali.
Nadira menatap punggung Rakha nanar. Ia ingin mengejar, ingin mengambil kembali sesuatu yang bukan hak Rakha—tapi langkahnya tertahan ketika sosok Tuan Mahendra muncul dari koridor.
Ayah Rakha berdiri tegak di ambang lorong, dan keberadaannya membekukan tubuh Nadira. Ia tidak bisa bergerak ke mana pun.
"Sebenarnya, apa tujuan kamu melakukan semua ini, Rakha..." gumam Nadira dalam hati. Dari balik kaca ruangan, ia hanya bisa menyaksikan Rakha dan ayahnya berbincang di depan sana—tanpa bisa mendengar sepatah kata pun.
Tuan Mahendra menyadari ada yang tidak beres antara putranya dan tangan kanannya. Ia bisa melihat dengan jelas—kemarahan yang tersembunyi di wajah Rakha, dan keputusasaan yang tak mampu Nadira sembunyikan.
"Sedang apa kamu di sini, Rakha?" tanyanya tenang. Karena seharusnya Rakha tidak berada di depan ruangan Nadira, melainkan di ujung kiri koridor, di ruang kerjanya sendiri.
"Tidak ada. Hanya membahas pekerjaan dengan Nadira," jawab Rakha, berbohong tanpa ragu. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya baru saja mengambil paksa pil kontrasepsi dari tas Nadira—berusaha melindungi kemungkinan tumbuhnya benihnya sendiri, calon pewaris Mahendra Group.
Tuan Mahendra mengangguk singkat. Meski tidak sepenuhnya yakin, ia tidak menunjukkan keraguan. Sebagai ayah, ia tahu perasaan Rakha terhadap Nadira, tapi memilih tidak mencampuri sejauh ini.
"Kalau begitu, sebaiknya kamu kembali ke ruanganmu dan selesaikan pekerjaanmu," ucapnya sebelum berbalik dan masuk ke dalam ruangannya sendiri.
Rakha mengembuskan napas lega. Setidaknya, ayahnya tidak bertanya lebih jauh. Ia meremas pil kontrasepsi dalam genggaman, lalu sempat melirik sekilas ke ruangan Nadira sebelum melangkah pergi, menuruti instruksi ayahnya.
***
Jam istirahat, Rakha berniat mengajak Nadira makan siang bersama. Ia tidak peduli pada hal besar yang telah terjadi di antara mereka dan tetap menginginkan perempuan yang dianggapnya miliknya itu berada di sisinya. Namun ternyata, Nadira sudah tidak ada di ruangannya. Ia terlambat.
"Ke mana Nadira? Apa dia belum sarapan sampai terburu-buru pergi makan siang?" gumamnya sambil melirik arlojinya. Baru satu menit berlalu sejak jam istirahat dimulai, tetapi Nadira sudah tidak ada di tempatnya.
Rakha tidak banyak berpikir. Mungkin memang benar Nadira belum sempat sarapan dan terburu-buru pergi makan siang karena itu. Ia tahu betul kebiasaan buruk Nadira yang tidak pernah hilang sampai sekarang—terlalu memikirkan pekerjaan hingga sering kali lupa sarapan.
"Setelah ini pasti perutnya sakit," gumamnya lagi, lalu melangkah menuju lift untuk turun ke lantai bawah dan mencari Nadira di tempat biasa ia makan.
Namun, saat tiba di lantai bawah, Rakha justru mendapati Nadira masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang sangat dikenalnya—Galendra Wiranegara, calon suami Nadira. Ternyata, Nadira terburu-buru bukan karena belum makan, melainkan karena tidak ingin lelaki itu menunggu terlalu lama.
"Sial!" umpatnya pelan, menatap mobil yang membawa Nadira pergi.
"Rupanya kamu masih belum mengerti apa yang saya inginkan." Tangan Rakha terkepal kuat saat mengucapkan kalimat itu.
Ia mengira semua yang telah dilakukannya cukup untuk membuat Nadira memahami maksudnya. Namun, sepertinya Nadira belum cukup peka, dan kini ia harus melakukan sesuatu agar semuanya menjadi jelas bagi Nadira.
“Kalian tidak akan jadi menikah jika benih itu tumbuh di perutmu, bukan?” Rakha tersenyum miring menatap ke arah tempat terakhir Nadira berada, lalu berjalan keluar dari area kantor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments