Bab 3 — Kontrasepsi dan Konsekuensi

Nadira mengikuti Rakha masuk ke dalam ruang pribadinya—ruangan dengan meja bertuliskan Nadira Elvarani, Koordinator Khusus CEO. Ia tidak berniat memulai percakapan, hanya menunggu apa yang sebenarnya ingin Rakha bicarakan.

Rakha melangkah menuju meja kerja Nadira, lalu menarik kursi tempat Nadira biasa bekerja dari belakang.

"Apa kamu lupa bagaimana usahamu sampai bisa duduk di sini?" tanya Rakha kepada Nadira yang berdiri agak jauh darinya.

"Rakha, ayolah," Nadira kelepasan menyebut nama Rakha tanpa embel-embel “Bapak” karena lelaki itu kembali menanyakan hal yang sama seperti tiga bulan lalu.

Keputusan untuk berhenti bekerja telah Nadira ambil sejak jauh hari—tiga bulan yang lalu, dan Rakha mengetahuinya. Ia seharusnya tidak menanyakan hal itu sekarang.

"Jangan terlalu dekat dengan karyawan baru itu," ucap Rakha tanpa terlalu memedulikan Nadira yang tampak lelah menghadapinya.

Ia tahu betapa keras dan tangguhnya Nadira selama bekerja di perusahaan keluarganya. Permintaannya kali ini—untuk tidak terlalu dekat dengan karyawan baru—seharusnya bukan sesuatu yang sulit bagi Nadira. Ia pikir Nadira akan dengan mudah mengiyakannya.

"Saya tidak suka milik saya terlalu dekat dengan laki-laki lain," tambahnya.

Nadira menghela napas dengan gusar. Ia bukan milik siapa pun—terlebih lagi bukan milik Rakha. Ia hanya seorang perempuan yang berencana menikah dan menjadi milik Galendra dalam satu bulan ke depan.

"Pak Rakha—"

"Panggil saya Rakha saat kita berdua. Saya tidak suka dipanggil dengan embel-embel 'Bapak'," potong Rakha, menyela dan mengoreksi.

Ia lebih suka saat Nadira memanggilnya hanya dengan namanya, tanpa tambahan formalitas apa pun.

"Saya rasa permintaan saya tadi tidak memberatkanmu, jadi lakukan sesuai yang saya katakan," ujar Rakha, berniat melangkah mendekati Nadira setelah mengatakan itu. Namun, tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu di meja kerja Nadira—sebungkus pil kontrasepsi.

Satu sudut bibirnya terangkat tipis. Ia tahu Nadira telah mengingat segalanya—apa yang terjadi di antara mereka. Tapi ia tidak mengerti mengapa Nadira membeli pil itu.

Nadira, yang menyadari arah pandangan Rakha, spontan melangkah cepat dan meraih pil itu, menyelipkannya ke dalam tas dengan gerakan tergesa. Ia memang membelinya pagi tadi, sebelum berangkat ke kantor. Hanya untuk berjaga-jaga. Ia tidak ingin ada kemungkinan apa pun—terutama jika itu menyangkut benih Rakha dalam tubuhnya.

"Kenapa kamu panik?" tanya Rakha seraya menahan tangan Nadira. Tatapannya menajam. "Kamu sadar, kan? Kamu tahu saya tidak akan suka kamu meminum itu?"

"Rakha..." ucap Nadira lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar, seolah takut jika percakapan mereka bocor ke luar ruangan—terutama ke telinga ayah Rakha.

Ia tahu, satu kesalahpahaman saja bisa meruntuhkan kepercayaan yang telah dibangunnya bertahun-tahun. Ia tidak ingin dianggap sebagai perempuan yang menggoda putra atasan. Meskipun belum tentu akan terjadi, namun ketakutan itu nyata—dan mengakar kuat dalam dirinya.

"Saya akan menikah... Saya membeli ini untuk menutup segala kemungkinan," ucapnya pelan, berharap Rakha menangkap maksud yang tidak mampu ia ungkapkan lebih gamblang.

Namun Rakha tidak peduli dengan penjelasan itu. Tanpa banyak bicara, ia merebut paksa pil kontrasepsi dari tas Nadira. Gerakannya cepat, nyaris tidak memberi kesempatan Nadira untuk menahan.

Lalu tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar ruangan, membawa pil itu bersamanya. Hanya dengan cara seperti itu, Nadira takkan bisa memintanya kembali.

Nadira menatap punggung Rakha nanar. Ia ingin mengejar, ingin mengambil kembali sesuatu yang bukan hak Rakha—tapi langkahnya tertahan ketika sosok Tuan Mahendra muncul dari koridor.

Ayah Rakha berdiri tegak di ambang lorong, dan keberadaannya membekukan tubuh Nadira. Ia tidak bisa bergerak ke mana pun.

"Sebenarnya, apa tujuan kamu melakukan semua ini, Rakha..." gumam Nadira dalam hati. Dari balik kaca ruangan, ia hanya bisa menyaksikan Rakha dan ayahnya berbincang di depan sana—tanpa bisa mendengar sepatah kata pun.

Tuan Mahendra menyadari ada yang tidak beres antara putranya dan tangan kanannya. Ia bisa melihat dengan jelas—kemarahan yang tersembunyi di wajah Rakha, dan keputusasaan yang tak mampu Nadira sembunyikan.

"Sedang apa kamu di sini, Rakha?" tanyanya tenang. Karena seharusnya Rakha tidak berada di depan ruangan Nadira, melainkan di ujung kiri koridor, di ruang kerjanya sendiri.

"Tidak ada. Hanya membahas pekerjaan dengan Nadira," jawab Rakha, berbohong tanpa ragu. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya baru saja mengambil paksa pil kontrasepsi dari tas Nadira—berusaha melindungi kemungkinan tumbuhnya benihnya sendiri, calon pewaris Mahendra Group.

Tuan Mahendra mengangguk singkat. Meski tidak sepenuhnya yakin, ia tidak menunjukkan keraguan. Sebagai ayah, ia tahu perasaan Rakha terhadap Nadira, tapi memilih tidak mencampuri sejauh ini.

"Kalau begitu, sebaiknya kamu kembali ke ruanganmu dan selesaikan pekerjaanmu," ucapnya sebelum berbalik dan masuk ke dalam ruangannya sendiri.

Rakha mengembuskan napas lega. Setidaknya, ayahnya tidak bertanya lebih jauh. Ia meremas pil kontrasepsi dalam genggaman, lalu sempat melirik sekilas ke ruangan Nadira sebelum melangkah pergi, menuruti instruksi ayahnya.

***

Jam istirahat, Rakha berniat mengajak Nadira makan siang bersama. Ia tidak peduli pada hal besar yang telah terjadi di antara mereka dan tetap menginginkan perempuan yang dianggapnya miliknya itu berada di sisinya. Namun ternyata, Nadira sudah tidak ada di ruangannya. Ia terlambat.

"Ke mana Nadira? Apa dia belum sarapan sampai terburu-buru pergi makan siang?" gumamnya sambil melirik arlojinya. Baru satu menit berlalu sejak jam istirahat dimulai, tetapi Nadira sudah tidak ada di tempatnya.

Rakha tidak banyak berpikir. Mungkin memang benar Nadira belum sempat sarapan dan terburu-buru pergi makan siang karena itu. Ia tahu betul kebiasaan buruk Nadira yang tidak pernah hilang sampai sekarang—terlalu memikirkan pekerjaan hingga sering kali lupa sarapan.

"Setelah ini pasti perutnya sakit," gumamnya lagi, lalu melangkah menuju lift untuk turun ke lantai bawah dan mencari Nadira di tempat biasa ia makan.

Namun, saat tiba di lantai bawah, Rakha justru mendapati Nadira masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang sangat dikenalnya—Galendra Wiranegara, calon suami Nadira. Ternyata, Nadira terburu-buru bukan karena belum makan, melainkan karena tidak ingin lelaki itu menunggu terlalu lama.

"Sial!" umpatnya pelan, menatap mobil yang membawa Nadira pergi.

"Rupanya kamu masih belum mengerti apa yang saya inginkan." Tangan Rakha terkepal kuat saat mengucapkan kalimat itu.

Ia mengira semua yang telah dilakukannya cukup untuk membuat Nadira memahami maksudnya. Namun, sepertinya Nadira belum cukup peka, dan kini ia harus melakukan sesuatu agar semuanya menjadi jelas bagi Nadira.

“Kalian tidak akan jadi menikah jika benih itu tumbuh di perutmu, bukan?” Rakha tersenyum miring menatap ke arah tempat terakhir Nadira berada, lalu berjalan keluar dari area kantor.

Episodes
1 Bab 1 — Satu Malam yang Mengubah Segalanya
2 Bab 2 — Tanggung Jawab yang Tak Diinginkan
3 Bab 3 — Kontrasepsi dan Konsekuensi
4 Bab 4 — Bayang-Bayang di Waktu Makan Siang
5 Bab 5 — Dalam Pelukan yang Salah
6 Bab 6 — Korban yang Meminta Maaf
7 Bab 7 — Antara Doa dan Rencana
8 Bab 8 — Air Mata di Balik Janji
9 Bab 9 — Dalam Pelukan yang Salah
10 Bab 10 — Bukan Tentang Cinta Saja
11 Bab 11 — Antara Dua Tangan
12 Bab 12 — Jeda di Antara Rasa
13 Bab 13 — Cinta yang Tak Terucap
14 Bab 14 — Menyambung yang Retak
15 Bab 15 — Skandal di Ambang Pintu
16 Bab 16 — Keputusan yang Membakar Jembatan
17 Bab 17 — Tempat untuk Hancur dengan Tenang
18 Bab 18 — Aku Masih Di Sini
19 Bab 19 — Dalam Diam yang Paling Nyaring
20 Bab 20 — Ketika Dunia Tidak Adil untuk Perempuan
21 Bab 21 — Kecemburuan yang Manja
22 Bab 22 — Sebelum Semua Terlambat
23 Bab 23 — Di Antara Dua Tangan yang Terulur
24 Bab 24 — Ciuman yang Menentukan Arah Pulang
25 Bab 25 — Yang Sah dan Yang Salah
26 Bab 26 — Harga Diri yang Hilang, dan yang Takut Kehilangan
27 Bab 27 — Antara Tatap dan Peluk yang Menenangkan
28 Bab 28 — Di Antara Ranjang dan Rahasia
29 Bab 29 — Jejak yang Tertinggal
30 Bab 30 — Ruang untuk Bicara, Bukan Menahan
31 Bab 31 — Pilihanku, Untuk Kita
32 Bab 32 — Ketuk Pintu, Bukan Rahasia
33 Bab 33 — Ciuman yang Tertunda
34 Bab 34 — Dalam Pelukan yang Menenangkan
35 Bab 35 — Rahasia yang Dibagikan, Hangat yang Dijaga
36 Bab 36 — Jejak Cemburu di Antara Keramaian
37 Bab 37 — Suara Tangis di Apartemen Sunyi
38 Bab 38 — Bukan Tentang Galen, Tapi Tentang Kita
39 Bab 39 — Cinta yang Dipertahankan, Harapan yang Dipadamkan
40 Bab 40 — Yang Telah Memiliki dan Yang Kehilangan
41 Bab 41 — Cinta, Ranjang, dan Rasa Aman
42 Bab 42 — Perempuan yang Tak Mau Kalah
43 Bab 43 — Harga Sebuah Kebenaran
44 Bab 44 — Yang Terluka, Yang Menghilang, dan Yang Masih Menunggu
45 Bab 45 — Penebusan yang Berdarah
46 Bab 46 — Seratus Cambukan, Satu Pelukan
47 Bab 47 — Ketakutan yang Tak Terucap, Cinta yang Tak Terbantahkan
48 Bab 48 — Dalam Diam yang Telah Lama Mencinta
49 Bab 49 — Bukan Cinta yang Salah, Tapi Standar Mereka
50 Bab 50 — Bahagia yang Tidak Bisa Dijatuhkan
51 Bab 51 — Langkah Gila demi Cinta yang Tak Berbalas
52 Bab 52 — Di Ambang Harapan
53 Bab 53 — Di Antara Hidup dan Luka
54 Bab 54 — Kasih Sayang yang Terselip di Antara Luka
55 Bab 55 — Titik Balik Rasa Sakit
56 Bab 56 — Separuh Hidup yang Terluka
57 Bab 57 — Dalam Peluk dan Penyesalan
58 Bab 58 — Yang Sah dan yang Tertinggal
59 Bab 59 — Saat Hasrat Tak Sanggup Menyingkirkan Masa Lalu
60 Bab 60 — Suara yang Tak Seharusnya Didengar
61 Bab 61 — Dalam Diam yang Tak Lagi Sama
62 Bab 62 — Yang Masih Kupanggil ‘Anak Kita’
Episodes

Updated 62 Episodes

1
Bab 1 — Satu Malam yang Mengubah Segalanya
2
Bab 2 — Tanggung Jawab yang Tak Diinginkan
3
Bab 3 — Kontrasepsi dan Konsekuensi
4
Bab 4 — Bayang-Bayang di Waktu Makan Siang
5
Bab 5 — Dalam Pelukan yang Salah
6
Bab 6 — Korban yang Meminta Maaf
7
Bab 7 — Antara Doa dan Rencana
8
Bab 8 — Air Mata di Balik Janji
9
Bab 9 — Dalam Pelukan yang Salah
10
Bab 10 — Bukan Tentang Cinta Saja
11
Bab 11 — Antara Dua Tangan
12
Bab 12 — Jeda di Antara Rasa
13
Bab 13 — Cinta yang Tak Terucap
14
Bab 14 — Menyambung yang Retak
15
Bab 15 — Skandal di Ambang Pintu
16
Bab 16 — Keputusan yang Membakar Jembatan
17
Bab 17 — Tempat untuk Hancur dengan Tenang
18
Bab 18 — Aku Masih Di Sini
19
Bab 19 — Dalam Diam yang Paling Nyaring
20
Bab 20 — Ketika Dunia Tidak Adil untuk Perempuan
21
Bab 21 — Kecemburuan yang Manja
22
Bab 22 — Sebelum Semua Terlambat
23
Bab 23 — Di Antara Dua Tangan yang Terulur
24
Bab 24 — Ciuman yang Menentukan Arah Pulang
25
Bab 25 — Yang Sah dan Yang Salah
26
Bab 26 — Harga Diri yang Hilang, dan yang Takut Kehilangan
27
Bab 27 — Antara Tatap dan Peluk yang Menenangkan
28
Bab 28 — Di Antara Ranjang dan Rahasia
29
Bab 29 — Jejak yang Tertinggal
30
Bab 30 — Ruang untuk Bicara, Bukan Menahan
31
Bab 31 — Pilihanku, Untuk Kita
32
Bab 32 — Ketuk Pintu, Bukan Rahasia
33
Bab 33 — Ciuman yang Tertunda
34
Bab 34 — Dalam Pelukan yang Menenangkan
35
Bab 35 — Rahasia yang Dibagikan, Hangat yang Dijaga
36
Bab 36 — Jejak Cemburu di Antara Keramaian
37
Bab 37 — Suara Tangis di Apartemen Sunyi
38
Bab 38 — Bukan Tentang Galen, Tapi Tentang Kita
39
Bab 39 — Cinta yang Dipertahankan, Harapan yang Dipadamkan
40
Bab 40 — Yang Telah Memiliki dan Yang Kehilangan
41
Bab 41 — Cinta, Ranjang, dan Rasa Aman
42
Bab 42 — Perempuan yang Tak Mau Kalah
43
Bab 43 — Harga Sebuah Kebenaran
44
Bab 44 — Yang Terluka, Yang Menghilang, dan Yang Masih Menunggu
45
Bab 45 — Penebusan yang Berdarah
46
Bab 46 — Seratus Cambukan, Satu Pelukan
47
Bab 47 — Ketakutan yang Tak Terucap, Cinta yang Tak Terbantahkan
48
Bab 48 — Dalam Diam yang Telah Lama Mencinta
49
Bab 49 — Bukan Cinta yang Salah, Tapi Standar Mereka
50
Bab 50 — Bahagia yang Tidak Bisa Dijatuhkan
51
Bab 51 — Langkah Gila demi Cinta yang Tak Berbalas
52
Bab 52 — Di Ambang Harapan
53
Bab 53 — Di Antara Hidup dan Luka
54
Bab 54 — Kasih Sayang yang Terselip di Antara Luka
55
Bab 55 — Titik Balik Rasa Sakit
56
Bab 56 — Separuh Hidup yang Terluka
57
Bab 57 — Dalam Peluk dan Penyesalan
58
Bab 58 — Yang Sah dan yang Tertinggal
59
Bab 59 — Saat Hasrat Tak Sanggup Menyingkirkan Masa Lalu
60
Bab 60 — Suara yang Tak Seharusnya Didengar
61
Bab 61 — Dalam Diam yang Tak Lagi Sama
62
Bab 62 — Yang Masih Kupanggil ‘Anak Kita’

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!