Hari itu, kabut tebal menyelimuti distrik GEAR, membuat semua terlihat samar-samar. Bangkai kendaraan dan mesin tua tampak seperti raksasa tidur yang terlupakan oleh zaman. Di tengah reruntuhan yang sunyi, dua remaja berdiri dengan mata berbinar—Ruby dan Zack—di lokasi uji coba lama mereka, Zona Pembuangan D-3.
Namun, hari ini bukan uji coba biasa.
Armor yang dikenakan Ruby bukan lagi IRON-X model tempur kuno. Yang ia kenakan kini adalah versi baru—IRON-EDGE—armor yang terbentuk dari bahan graphene-nanotech, ramping, elegan, dan menyatu sempurna dengan tubuhnya. Bahkan tinggi dan bentuknya seolah disesuaikan secara personal.
“Hari ini kita akan lihat seberapa jauh teknologi masa-depan yang sekarang lo pake,” kata Zack sambil mengetik cepat di tablet-nya.
“Dan semoga gak meledak kayak eksperimen kita minggu lalu,” balas Ruby sambil menarik napas di balik helm ber-visor biru transparan.
Zack menyeringai. “Sistem stealth aktif?”
Ruby mengecek HUD-nya. “Aktif.”
Begitu ia menekan tombol di panel lengan, tubuh armor-nya perlahan menghilang—bukan hanya dari pandangan biasa, tapi juga dari radar dan sensor thermal. Cahaya sekitarnya dibiaskan sempurna.
Zack mencoba mendeteksi Ruby lewat tablet-nya.
“Nggak terdeteksi sama sekali. Lo literally ngilang. Bahkan Arkheon nggak bakal tahu lo di sini.”
Ruby melangkah maju, lalu mematikan stealth-nya. Armor kembali muncul perlahan seperti makhluk dari dimensi lain.
“Gokil. Gue berasa jadi ninja di film cyber,” katanya takjub.
“Sekarang coba senjata barunya. Cannon plasma di bahu kanan.”
Ruby mengaktifkan modul bahu kanan, dan sebuah meriam mini keluar, bermuatan plasma biru yang menyala terang. Ia mengarahkannya ke drone bekas yang mereka letakkan sebagai target.
FWOOOM!
Tembakan plasma melesat dan menghantam drone itu. Seketika, drone meleleh dalam ledakan listrik halus, seperti terbakar dari dalam.
“Efeknya… bukan cuma ledakan panas. Ini kayak ngebakar sistemnya duluan, baru fisiknya,” ujar Zack, kagum.
“Selanjutnya, medan elektromagnetik,” kata Ruby, bersiap.
Ia menekan tombol lain. Armor mulai memancarkan aura samar berwarna ungu dari sela-sela panel tubuhnya. Radar Zack langsung menampilkan peringatan.
Zona Interferensi: 10 Meter – Sinyal Mati
Zack menghidupkan kembali drone pengawas dan melemparkan satu robot kecil ke dalam radius efek Ruby.
Begitu masuk radius, robot itu mendadak berhenti total. Lampu-lampunya padam, motornya mati, dan sistem operasinya crash dalam sekejap.
“Woah! Dia bener-bener... nge-freeze semua mesin di radius 10 meter! Gila Ruby, ini bukan cuma armor tempur—ini kayak EMP berjalan!”
Ruby tersenyum puas. “Berarti kalau lawan gue pakai mesin, mereka otomatis jadi patung.”
Zack mengangguk. “Tapi hati-hati... efek ini bisa nyentuh sistem sipil juga. Drone medis, kamera keamanan, bahkan motor listrik lo.”
“Noted,” jawab Ruby.
Tiba-tiba, suara peringatan muncul di HUD Ruby dan tablet Zack.
Gelombang elektromagnetik tak dikenal terdeteksi. Arah: Timur. Kemungkinan: Scout Drone Arkheon.
Ruby langsung bersembunyi di balik besi tua, mengaktifkan stealth. Zack menjatuhkan tubuh ke tanah, diam.
Beberapa detik kemudian, drone kecil melintas pelan di udara. Tapi... tak satu pun dari sistemnya menanggapi armor Ruby.
“Dia beneran nggak lihat lo,” bisik Zack dengan suara rendah.
“Armor ini udah beda dunia, Zack,” balas Ruby pelan. “Sekarang, mereka nyari hantu. Dan kita punya waktu buat latihan sebelum mereka sadar.”
Drone itu menjauh, dan mereka berdua menghela napas lega.
Setelah beberapa menit, Ruby mematikan semua fitur tempur dan menurunkan helmnya.
Zack mendekat, menepuk bahunya. “Gue nggak nyangka, tapi... lo sekarang punya senjata paling canggih di Neo-Terra. Bahkan Arkheon mungkin nggak punya yang beginian.”
Ruby memandangi tangannya, lalu mengepalkan dengan pelan. Di balik armor ini, ia masih remaja dari pinggiran kota. Tapi di balik visor ini, matanya mulai melihat sesuatu yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup.
Ia melihat potensi untuk... mengubah arah dunia.
“Mulai sekarang,” katanya tenang, “kita bukan cuma pemulung dan hacker jalanan. Kita punya alat. Dan kita harus putusin: mau sembunyi... atau mulai bergerak.”
Zack menatap Ruby, dan tersenyum tipis.
“Apa nama kita sekarang? Duo pinggiran? Iron Bros?”
Ruby tertawa pelan. “Gue udah tahu. Lo boleh hacker, tapi gue... gue Ironboy.”
...----------------...
---
Zack menyapu layar tablet-nya dengan cepat, matanya membelalak saat melihat parameter baru yang muncul otomatis dari armor.
“Ruby, ini gila. Di daftar upgrade, ada modul kecepatan adaptif... Dan baru aktif setelah lo nyalain mode stealth dan elektromagnetik barusan.”
Ruby mengangkat alis. “Kecepatan adaptif?”
Zack mengetuk layar dan menampilkannya di udara lewat proyeksi hologram kecil.
> MODUL TERBUKA: Hyper Mobility System v1.7 – Kecepatan Maksimum: 1.2 Mach | Fleksibilitas Gerak: 98% Sinkronisasi Saraf
“Bro... lo bisa lari secepat suara.”
Ruby terdiam sejenak. Jantungnya berdebar.
“Jangan bilang ini kayak lari kayak kilat?”
“Lebih kayak... kayak lo nge-blink, dan tiba-tiba udah 200 meter dari titik awal,” jawab Zack, terkekeh. “Gue udah siapkan jalur tes. Lurus aja ke arah utara, melewati tumpukan kontainer. Kalau lo bisa sampai ujung sebelum timer habis... berarti sistemnya bener-bener jalan.”
Ruby memutar leher, lalu menekan tombol kecil di sarung tangan kanan. Armor berpendar lembut, mengeluarkan semacam gelombang panas kecil dari kaki dan punggungnya—seperti sistem propulsi mikro.
“Siap?”
Zack mengangkat tangan, menghitung mundur. “Tiga… dua… satu…”
“GO!”
ZAAAP!
Dalam satu kedipan mata, Ruby menghilang dari pandangan. Hanya tersisa jejak angin yang merobek debu dan sampah di jalur pelariannya. Zack menoleh cepat ke radar tablet—dan bahkan sistem GPS-nya kesulitan menangkap posisi Ruby yang terus meloncat, meluncur, dan berputar dengan kecepatan yang mustahil.
Ruby melesat di antara tumpukan besi tua, melompati puing-puing robot rongsokan, dan menapaki dinding bekas pabrik seolah-olah gravitasi tidak berlaku. Tiap gerakan diatur dengan presisi yang luar biasa—nyaris seperti tarian, hanya dalam versi blur yang nyaris tak kasat mata.
“INI GILAAA..!” teriak Zack sambil tertawa tak percaya.
Ruby berhenti tiba-tiba di ujung jalur tes, menyebabkan ledakan angin kecil yang membuat puing berserakan ke segala arah. Ia berdiri di sana, helm terbuka sebagian, napasnya tidak terengah sama sekali.
“Waktu tempuh: 4.9 detik untuk 1 kilometer. Lo nyaris setara kecepatan jet tempur,” kata Zack lewat interkom dengan nada kagum.
Ruby menatap kedua tangannya, lalu melihat ke sekeliling.
“Rasanya... kayak semua di sekitarku jalan lambat. Gue bisa ngelihat jalur lompatan, gerakan partikel udara, bahkan burung yang lewat… kayak slow-motion.”
Zack berjalan mendekat, matanya berbinar. “Lo bukan manusia biasa lagi, Ruby. Lo… lo Ironboy versi prototipe masa depan.”
Armor Ruby mulai mendingin, sistem stabilisasi aktif, dan energi internalnya kembali pada status idle.
“Masalahnya sekarang,” lanjut Zack sambil melipat tangan, “kita harus latih kontrol lo. Karena dengan kecepatan segitu... satu gerakan salah bisa bikin lo nabrak dinding baja dan—”
“—meledak bareng tembok,” sela Ruby sambil tertawa.
Zack menepuk pundaknya. “Tapi satu hal pasti… kalau Arkheon ngirim pasukan buat nyari lo, mereka bakal ngerasa nguber bayangan. Karena lo udah masuk ke level yang gak bisa ditebak.”
Ruby menatap langit Neo-Terra yang mulai diselimuti senja.
"Zack," katanya serius, "kalau armor ini bisa bantu kita kabur dari kemiskinan, dari ketidakadilan... mungkin ini bukan cuma hadiah, tapi misi."
Zack mengangguk pelan.
Dan di kejauhan, di balik awan merah senja, satelit pengintai Arkheon diam-diam menangkap anomali energi tak dikenal—tapi tak satu pun bisa mendeteksi bentuk, nama, atau identitasnya.
Bagi mereka, yang muncul hanyalah satu label:
> TARGET: UNKNOWN ENTITY – KODE: GHOST TRACE
Namun bagi Ruby, kini ia tahu...
Ia bukan lagi bayangan.
Ia Ironboy.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments