Sepanjang hari, Raya benar-benar tidak fokus.
Di depan layar komputer, ia berkali-kali mengetik dokumen lalu menghapusnya, bahkan sempat salah mengirim email penting ke divisi lain. Saat supervisor-nya, Pak Edwin, memeriksa, ia hanya mendesah panjang, tidak berani menegur, dan memilih untuk diam. Hanya karena Raya adalah adik ipar sang CEO.
Raya hanya bisa menunduk, wajahnya pucat.
Di meja sebelah, beberapa rekan kerjanya mulai berbisik-bisik, tak cukup pelan untuk tidak terdengar.
"Kenapa sih si Raya hari ini? Salah kirim dokumen lagi," gumam salah satu.
"Tapi lihat saja, bahkan Pak Edwin saja tidak berani menegurnya." Diiringi tawa cekikikan.
Raya menggigit bibir bawahnya, pura-pura tidak mendengar. Tapi ucapan-ucapan itu bagai duri yang menancap dalam-dalam di hatinya. Ia menegakkan bahu, memaksa dirinya untuk fokus kembali, tetapi matanya terus saja melirik ponsel yang ia letakkan di atas meja.
Tak ada kabar dari Arka.
Tak ada pesan, tak ada telepon.
Sesekali ia ingin mengetik sesuatu — sekadar bertanya apakah Arka sudah lebih baik — tapi jarinya selalu berhenti di tengah jalan, dipenuhi ketakutan akan penolakan.
Saat jam makan siang tiba, Raya memilih duduk sendirian di kantin, hanya mengaduk-aduk nasi di piring tanpa benar-benar makan.
Tiba-tiba, suara berat memecah lamunannya.
"Raya."
Ia mendongak, menemukan sosok Pak Edwin berdiri di hadapannya dengan tangan disilangkan.
Raya buru-buru berdiri, membungkuk sopan. "Maaf, Pak, tentang laporan tadi pagi, saya—"
Pak Edwin mengangkat tangan, menghentikan permintaan maafnya.
"Saya tahu kamu sedang tidak dalam kondisi terbaik. Tapi tetap saja, Raya, pekerjaan adalah pekerjaan," katanya tegas, tetapi tidak terdengar kasar.
Raya mengangguk kecil, menunduk dalam-dalam. "Saya mengerti, Pak. Maafkan saya."
Pak Edwin menarik napas. "Kalau ada masalah pribadi, kamu bisa ambil cuti satu atau dua hari. Tapi tolong... jangan biarkan semuanya berantakan seperti ini."
Raya mengangguk lagi, lebih cepat. "Terima kasih, Pak. Saya akan memperbaiki semuanya."
Pak Edwin menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan Raya sendirian lagi.
Ia duduk perlahan, meremas jemarinya di atas meja. Dadanya terasa sesak.
Hatinya dipenuhi kekhawatiran.
*
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya dengan susah payah, Raya memberanikan diri untuk menemui Pak Edwin, mengingat penawaran yang sempat disampaikan siang tadi.
Dengan tangan yang sedikit berkeringat, ia mengetuk pintu ruang kerja Pak Edwin.
"Masuk," terdengar suara berat dari dalam.
Raya menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Ia berdiri tegak di depan meja kerja Pak Edwin.
"Pak... saya ingin mengajukan cuti dua hari, sesuai tawaran Bapak tadi," katanya, berusaha terdengar tegas, meski hatinya berdebar.
Pak Edwin menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baik. Pastikan pekerjaanmu beres sebelum kamu pergi."
Raya segera membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih banyak, Pak."
Tanpa membuang waktu, Raya bergegas meninggalkan kantor. Ia bahkan tak sempat berganti pakaian, langsung meluncur menuju rumah sakit, berharap bisa bertemu Arka dan memastikan keadaannya.
Namun, sesampainya di sana, yang ia temukan hanyalah kamar rawat yang kosong. Ranjang telah dirapikan, dan tak ada tanda-tanda keberadaan Arka.
Seorang perawat muda yang lewat berhenti ketika melihat Raya berdiri kebingungan.
"Mencari Tuan Arka?" tanya perawat itu ramah.
Raya mengangguk cepat. "Iya... apa dia sudah dipindahkan?"
Perawat itu tersenyum sopan. "Beliau sudah memaksa pulang tadi sore. Kondisinya sudah stabil, tapi kami sarankan untuk tetap banyak istirahat."
Hati Raya mencelos. Tanpa membuang waktu lagi, ia bergegas menuju apartemen, langkah-langkahnya nyaris seperti berlari.
Sesampainya di sana, ia langsung menuju kamar Arka. Di depan pintu kayu berwarna gelap itu, Raya sempat ragu. Tangannya terangkat, lalu turun lagi, sebelum akhirnya ia menegakkan punggung dan mengetuk pelan.
"Masuk,"
Raya membuka pintu perlahan.
Ia mendapati Arka sedang duduk bersandar pada kepala tempat tidur, sebuah tumpukan berkas dan laptop terbuka di pangkuannya. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, namun mata tajamnya tak kehilangan sinarnya. Tetap serius, tetap tenggelam dalam pekerjaannya, seolah insiden yang hampir merenggut nyawanya hanyalah gangguan kecil.
Raya menutup pintu di belakangnya, lalu berdiri kikuk di tengah ruangan.
"A-aku minta maaf atas apa yang terjadi," ucapnya akhirnya, suara bergetar menahan rasa bersalah.
Arka tidak langsung menoleh. Ia tetap fokus pada berkas di tangannya, hanya suara beratnya yang terdengar.
"Tidak sepenuhnya salahmu," katanya datar. "Tapi lain kali, singkirkan semua makanan yang mengandung susu."
Nada bicaranya tegas, sedikit menekan, mengingatkan.
"Bukankah kita sudah sepakat sejak awal?" lanjutnya.
Raya menunduk dalam-dalam, rasa sesal memenuhi dadanya.
"Aku tahu... Aku tidak akan mengulanginya lagi," jawabnya lirih.
Kamar itu kembali sunyi. Hanya suara kipas laptop yang berputar pelan mengisi keheningan.
Ketika tangan Arka terulur untuk mengambil gelas minumnya yang tergeletak di atas nakas, Raya dengan cekatan langsung membantunya. Tindakan itu membuat Arka sontak menoleh, tatapannya langsung tertuju pada Raya.
"Aku hanya berniat membantumu," ujar Raya terburu-buru, seolah ingin menjelaskan dirinya.
Arka menatapnya dalam diam, matanya sedikit terpusat pada wajah Raya yang kini tampak canggung, berusaha menghindari kontak mata. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Arka sejenak. Hanya hening yang menggantung di antara mereka.
Dengan satu gerakan cepat, Arka meneguk air dari gelas tersebut, lalu berniat meletakkannya kembali ke nakas. Namun, belum sempat tangannya menjulur, Raya sudah dengan gesit mengambil alih gelas itu dari tangannya.
"Aku akan menambah air minumnya," ujar Raya, suaranya canggung, matanya menghindar ke arah lain.
Raya langsung bergegas keluar, menuangkan air ke dalam gelas hingga penuh, kemudian kembali mengantarnya ke kamar Arka. Suasana di sekitar apartemen terasa sunyi, kecuali suara langkah kaki Raya yang tergesa-gesa.
"Aku akan buatkan bubur, kau pasti lapar," lanjutnya dengan nada lembut, setelah meletakkan gelas berisi air mineral itu di atas nakas.
"Ti-dak..." Arka belum sempat melanjutkan kalimatnya, tapi Raya sudah menghilang dari tempat ia berdiri, seakan mengabaikan ketidaksetujuan Arka.
Arka menghela napas pelan. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Beberapa saat kemudian, Raya kembali dengan nampan berisi semangkuk bubur yang masih mengepul.
"Makanlah selagi panas," ucapnya dengan senyum kecil saat meletakkan nampan itu di atas nakas dekat Arka.
Arka menatap bubur itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke layar laptop. "Aku sedang ada pekerjaan, Raya. Sebaiknya kau saja yang makan,"
Raya terdiam sejenak, menatap Arka dengan tatapan yang sulit dipahami. Lalu, tanpa peringatan, dia mengambil mangkuk bubur tersebut dan duduk di tepi ranjang Arka.
"Aku bisa menyuapimu, dan kau bisa melanjutkan pekerjaanmu," ujarnya dengan suara yang tegas, namun penuh keraguan.
Mata Arka membulat kaget. Selama dua tahun pernikahan mereka, baru kali ini Raya bersikap seberani ini padanya.
Selama ini, hubungan mereka berjalan seperti dua orang asing yang terikat pernikahan, tanpa obrolan yang berarti, tanpa sapaan atau perhatian. Arka terdiam, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Raya menatapnya, menunggu reaksi Arka. Keberanian yang tak terduga muncul begitu saja, mungkin karena rasa bersalah yang menggelayuti hatinya.
To Be Continued >>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments