Suara alarm di ponsel berbunyi nyaring, menggema di kamar yang sunyi dan sedikit terlalu dingin untuk selera Raya. Ia mengerang pelan, menarik selimut hingga menutupi kepala, berharap bisa menunda kenyataan barang lima menit saja. Tapi ia tahu, tetap saja, tidak akan ada yang berubah.
Hari ini, seperti kemarin. Seperti besok. Seperti dua tahun terakhir yang sepi dan hambar.
Dengan malas, Raya menggapai ponsel di meja samping tempat tidur dan mematikan alarm. Matanya masih setengah terpejam saat ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela besar di sudut ruangan. Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menggambar pola-pola lembut di lantai kayu.
"Good morning to me..." gumamnya lirih, berusaha memotivasi diri sendiri.
Kakinya menyentuh lantai yang dingin, membuat tubuhnya bergidik. Dengan langkah malas, ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajah, lalu berdiri beberapa detik menatap bayangannya sendiri di cermin. Rambut cokelat panjangnya berantakan, matanya masih sayu, tapi senyum kecil tetap ia paksakan.
"Semangat, Raya. Ini cuma satu hari lagi... lalu satu lagi... lalu satu lagi... sampai kamu bebas," bisiknya pada dirinya sendiri.
Setelah bersiap, mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang hitam, Raya melangkah keluar dari kamarnya. Ia melewati lorong panjang dengan dinding berwarna netral dan dekorasi minimalis yang terlalu sunyi untuk rumah sebesar ini.
Turun ke dapur, ia menemukan pemandangan yang sudah biasa: Arka duduk di meja makan, dengan ekspresi datar, menyesap kopinya perlahan sambil menatap tablet di tangannya. Setelan kerja hitamnya sudah rapi, dasi abu-abunya sempurna tanpa cela. Bahkan di pagi hari pun, pria itu terlihat seperti potret profesionalisme yang membosankan.
Raya menarik napas dalam-dalam.
‘Oke, mulai akting.’
"Selamat pagi," ucap Raya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Arka hanya mengangguk sedikit tanpa mengalihkan pandangannya dari tablet. Tidak ada ‘pagi juga’, tidak ada senyum, tidak ada percakapan ringan. Seperti biasa.
Raya mengabaikan rasa sesak di dadanya dan menuju kulkas, mengambil sebotol susu untuk sarapan serealnya. Ia makan dengan cepat, karena tahu Arka akan segera berangkat, dan setelah itu rumah ini akan kembali sunyi seperti biasanya.
Begitu Arka selesai dengan kopinya, ia bangkit dari kursinya. Hanya suara gesekan kursi dengan lantai yang terdengar.
"Aku pergi," katanya singkat, akhirnya memecah keheningan.
Raya hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Hati-hati di jalan," balasnya, walaupun ia tahu, Arka tidak pernah benar-benar mendengarnya.
Pintu depan tertutup dengan suara klik yang khas, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara.
Raya menghela napas panjang, meletakkan sendok di mangkuk kosongnya.
"Dan... rumah ini kembali menjadi museum," katanya sambil menatap kosong ke arah pintu.
Ia menatap jam dinding. Pukul 07.20. Masih ada waktu untuk bersantai sebelum berangkat magang—ke kantor yang sama dengan tempat Arka menjadi CEO. Ironis. Setiap hari, mereka bekerja di bawah atap yang sama, namun tak ada satu orang pun yang tahu hubungan mereka.
Semua orang percaya, istri Arka adalah Amara. Bukan dirinya.
Dan anehnya, Raya merasa lega sekaligus sedih tentang itu.
Ia menatap ke luar jendela, menonton dunia kecil di luar sana perlahan-lahan berdenyut hidup. Orang-orang terburu-buru memulai hari mereka, bersemangat, penuh tujuan. Sedangkan dirinya...
Ia menjalani hari hanya karena itu bagian dari rutinitas yang tidak bisa ia tinggalkan.
Sambil bersandar di kursi, Raya membayangkan, andai saja dua tahun lalu ia tidak mengorbankan dirinya di altar. Andai saja ia berani menolak. Tapi semua itu sudah lewat. Ia terjebak dalam pernikahan rahasia yang tidak pernah ia pilih.
Raya tersenyum miris.
Lucu, bagaimana hidup bisa berubah hanya dalam satu hari. Dari seorang mahasiswi biasa, menjadi... istri CEO. Tapi tanpa cinta, tanpa kehidupan pernikahan yang sesungguhnya. Hanya status yang bahkan harus ia sembunyikan dari dunia.
Ia menutup matanya sebentar. Membiarkan perasaan hampa itu mengisi dadanya, sebelum akhirnya memaksakan diri bangkit.
‘Move, Raya. Hidup ini tidak akan menunggu orang malas.’
Mengambil tas ransel, ia memeriksa berkas-berkas magangnya, lalu mengunci pintu rumah dan bergegas keluar menuju halte bus. Meski ia tinggal bersama pria super kaya, Raya tetap mempertahankan kehidupannya yang sederhana. Tidak pernah mau menyetir mobil mewah, tidak pernah meminta kemudahan apapun.
Ia ingin menjaga sedikit kebebasan kecil yang masih tersisa.
Saat bus melaju membawa dirinya menuju pusat kota, Raya bersandar di jendela, menatap pemandangan yang bergulir cepat. Ia tidak sadar, bahwa pagi ini—yang tampak biasa saja—akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
*
Gedung megah milik Xander Corp menjulang tinggi di tengah kota, berkilauan diterpa matahari pagi.
Raya menarik napas panjang sebelum melangkah melewati pintu putar kaca, memasuki dunia yang asing namun perlahan mulai akrab baginya.
Sudah satu minggu ia bekerja di sini sebagai karyawan magang di divisi pemasaran.
Pekan pertamanya terasa seperti berjalan di atas tali — penuh kehati-hatian, takut tergelincir di antara para profesional yang tampak jauh lebih berpengalaman.
Langkah kakinya berhenti di depan lift.
Raya melirik arlojinya. Jam delapan kurang sepuluh menit. Tepat waktu, seperti biasa.
Setibanya di lantai 17, ia segera bergegas menuju ruang kerjanya, sebuah ruangan luas dengan sekat-sekat kaca, penuh dengan suara keyboard yang beradu cepat dan bisikan-bisikan kecil.
"Raya!"
Suara ceria menyapanya.
Raya menoleh dan menemukan Clara, senior yang membimbingnya selama masa magang ini. Wanita itu tersenyum ramah sambil melambaikan tangan.
"Selamat pagi, Kak Clara," sapa Raya sopan, menganggukkan kepala.
"Ayo, ikut aku. Ada rapat divisi pagi ini," kata Clara, menggamit lengannya ringan.
Raya mengangguk patuh, mengikuti Clara menuju ruang rapat kecil di ujung lorong.
Di sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain melirik ke arah mereka — atau lebih tepatnya, melirik ke arah Raya.
Raya sudah terbiasa dengan tatapan itu.
Sejak hari pertamanya, desas-desus tentang dirinya sudah beredar.
Bukan karena prestasi atau penampilannya.
Tapi karena satu fakta kecil yang tampaknya mengguncang seluruh lantai:
Raya adalah adik ipar dari CEO perusahaan, Arka Xander.
Dan parahnya, selama seminggu ini, ia belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan sang CEO di kantor.
Semuanya seolah menganggap Raya seperti makhluk aneh, mencurigai ada 'hubungan istimewa' yang membuatnya bisa magang di tempat elit seperti ini.
Begitu mereka duduk di ruang rapat, pembicaraan tak lama kemudian bergulir.
"Eh, Raya," bisik Clara sambil mencondongkan tubuh, suaranya dibuat setengah berbisik, setengah menggoda, "bener ya kamu itu... adik iparnya Pak Arka?"
Raya terkejut sesaat, sebelum mengangguk canggung. "I-iya, kak. Tapi kami nggak dekat..."
"Ohhh..." Clara mengedipkan mata penuh arti.
Beberapa rekan lain mulai mendekat, pura-pura sibuk sambil memasang telinga.
"Aku dengar, Pak Arka itu... orangnya super galak ya? Sampai-sampai, semua kepala divisi aja pada gemeteran kalau dipanggil ke lantai 30," celetuk seorang senior pria bernama Rio.
"Aku juga pernah dengar," sahut Nadia, staf pemasaran lain, menambahkan. "Katanya, ekspresi dia tuh nggak pernah berubah. Kayak... patung hidup."
Beberapa orang terkikik pelan.
Raya hanya bisa tersenyum tipis, tidak tahu harus merespons apa.
Dalam hati, ia mengakui — selama di rumah pun Arka memang bukan orang yang banyak berbicara, apalagi menunjukkan ekspresi.
To Be Continued >>>
"Apa kamu pernah lihat beliau marah, Raya?" tanya Clara lagi, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.
Raya menggeleng cepat. "Belum pernah. Kami jarang sekali bertemu."
"Tapi kan kamu adik iparnya," bisik Nadia, nada suaranya menggoda.
"Iya, tapi... kami masing-masing sibuk."
Raya mengelak halus, berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa hubungan mereka tak lebih dari orang asing.
Sebelum obrolan itu makin jauh, ketua divisi muncul dan memulai rapat, menyelamatkan Raya dari interogasi kecil yang terasa makin mengerucut.
Namun bahkan setelah rapat usai, bisik-bisik itu belum sepenuhnya menghilang.
Saat kembali ke mejanya, Raya menemukan beberapa pesan anonim di email kantor.
"Bisa kenalin ke CEO ganteng kita, nggak, Ray?"
"Kamu adik ipar, berarti tahu banyak rahasia Pak Arka dong? Spill dikit lah!"
Raya memejamkan mata sejenak, menghela napas.
Rasanya, statusnya sebagai adik ipar CEO malah menjadi beban, bukan keistimewaan.
Ia baru akan membalas email pekerjaannya ketika sebuah langkah berat terdengar mendekat.
Suara pintu sekat kaca terbuka.
Semua orang di ruangan itu otomatis berdiri.
Raya ikut berdiri, meski tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Dari sudut matanya, ia melihat seorang pria bertubuh tinggi menjulang, berbalut setelan abu-abu yang sempurna.
Wajahnya tegas, dingin, dengan tatapan mata gelap yang menusuk.
Arka.
CEO Xander Corp.
Untuk pertama kalinya sejak ia magang di perusahaan ini, Raya melihat Arka muncul langsung di ruang kerjanya.
Dan parahnya — tatapan mata Arka langsung menancap ke arahnya, seolah menandainya di antara puluhan karyawan lain.
Seisi ruangan hening.
Bahkan suara napas pun terasa berat.
"Raya," suara Arka terdengar pelan, dingin.
Hanya satu kata — tapi cukup membuat seluruh lantai 17 terasa membeku.
Semua pasang mata memandang ke arah mereka dengan rasa ingin tahu membara.
Raya menegakkan tubuh, jantungnya berdetak kencang.
Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan gemetar.
"I-iya?" suaranya terdengar kecil, nyaris tak terdengar.
Arka melangkah mendekat, napasnya stabil, matanya tak pernah lepas dari Raya.
"Lantai 30. Sekarang," perintahnya singkat.
Tanpa penjelasan.
Tanpa kompromi.
Suasana lift yang membawa Raya ke lantai 30 terasa lebih sunyi daripada liang kubur.
Jantungnya berdebar liar, memukul-mukul dadanya seperti hendak memberontak keluar.
Di sampingnya, seorang staf pria berseragam hitam yang mengoperasikan lift sesekali melirik ke arahnya dengan tatapan iba — seolah tahu bahwa siapa pun yang dipanggil langsung oleh Arka Xander tidak akan lolos tanpa luka.
Apa aku melakukan kesalahan?
Atau... apa ini tentang gosip-gosip di kantor?
Raya meneguk ludah, mencoba menenangkan pikirannya yang berloncatan liar.
Dentingan kecil terdengar saat lift berhenti.
Pintu terbuka ke lantai 30 yang sepi, luas, dan elegan — penuh dengan interior kayu gelap, lukisan-lukisan klasik, serta aroma kopi hitam yang samar.
Hanya ada satu pintu besar di ujung lorong.
Pintu kantor CEO.
Dengan langkah ragu, Raya berjalan menuju pintu itu.
Jari-jarinya yang dingin mengetuk perlahan.
"Masuk."
Suara berat itu terdengar dari dalam, membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.
Dengan napas tertahan, Raya mendorong pintu dan masuk.
Di balik meja kayu mahoni besar, Arka duduk — tubuhnya bersandar santai di kursi kulit hitam, tangan bersedekap di dada, ekspresi wajahnya sulit dibaca.
Tak ada orang lain di ruangan itu.
Hanya mereka berdua.
Seketika, suasana terasa menegang.
Raya berdiri kaku di hadapan meja itu, matanya menunduk, tak berani menatap Arka langsung.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan menyiksa sebelum akhirnya Arka membuka suara.
"Sudah seminggu kamu di sini," katanya dingin.
Raya mengangguk kecil. "I-iya, Pak..."
Arka menyipitkan matanya, mengamati gadis di depannya dengan pandangan tajam.
"Kamu tahu kenapa aku memanggilmu?"
Raya menggeleng, merasa tenggorokannya kering.
Arka mendesah pelan, lalu berdiri.
Gerakan kecil itu saja cukup membuat Raya refleks melangkah mundur.
Pria itu berjalan mengitari meja, berdiri tepat di hadapan Raya, hanya berjarak satu langkah.
Tinggi tubuhnya terasa menekan, auranya begitu kuat hingga membuat udara seakan menipis.
"Ada banyak omongan tentang kamu di kantor ini," katanya pelan namun penuh tekanan.
Raya membeku.
Tentu saja ia tahu.
Gosip tentang dirinya dan statusnya sebagai adik ipar CEO sudah seperti hantu yang menguntit ke mana pun ia pergi.
"Aku—aku tidak pernah bicara apa-apa soal hubungan keluarga kita," Raya buru-buru menjelaskan, suaranya bergetar.
Arka menatapnya dalam, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya.
Beberapa detik lagi berlalu dalam diam sebelum akhirnya Arka berbicara lagi.
"Aku harap," katanya singkat.
Raya mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan bingung.
Arka menghela napas perlahan, nada suaranya sedikit melunak.
Namun ekspresi wajahnya tetap datar.
"Kau bisa tetap menjaga rahasia pernikahan kita," Arka menatapnya lurus, penuh makna, "harus tetap tersembunyi. Tidak boleh ada satu pun yang tahu. Sekecil apa pun kesalahan, aku tidak akan beri toleransi."
Raya membeku di tempat, merasakan beratnya kata-kata itu menekan dadanya.
"Aku tidak main-main, Raya," tambah Arka, mendekatkan tubuhnya hingga jarak mereka hanya sejengkal. "Satu celah kecil... bisa menghancurkan semuanya."
Wajah Raya memucat. Ia menunduk cepat, rasa gugup menguasai dirinya.
"S-saya mengerti, Pak," jawabnya, nyaris berbisik.
Arka menghela napas pendek, lalu kembali ke mejanya. Gerakannya tenang, namun aura dinginnya masih terasa menggantung di udara.
"Mulai besok, kamu akan ikut dalam proyek pemasaran baru," katanya, nada suaranya kembali profesional. "Kamu akan bekerja di bawah Clara dan tim kreatif. Fokus pada pekerjaanmu."
"Baik, Pak," jawab Raya tegas, berusaha menguasai dirinya.
"Keluar," perintah Arka, tanpa menoleh lagi.
Raya segera membalikkan badan, melangkah cepat ke arah pintu. Saat hendak keluar, tanpa sadar ia menoleh sedikit — melihat sosok Arka yang tampak tenang di balik meja kerjanya, seolah percakapan tadi hanyalah formalitas biasa.
Begitu pintu lift terbuka di lantai 17, langkah Raya terasa berat. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kacau. Namun belum sempat ia menarik napas lega, sekelompok rekan kerjanya langsung mengerubunginya begitu ia muncul.
"Ra! Kamu dipanggil ke atas sama Pak Arka ya?" bisik Clara dengan mata membesar, seolah baru melihat keajaiban.
"Ngapain aja di ruang CEO?" Nadia menambahkan, nadanya penuh rasa ingin tahu.
Raya mengerjap, berusaha mengumpulkan kata-kata.
"T-tidak ada apa-apa. Hanya diberi arahan proyek baru," jawabnya sepelan mungkin, berharap jawabannya cukup untuk membubarkan perhatian mereka.
Namun harapannya pupus.
"Proyek baru? Wah, pasti penting banget, ya? Sampai CEO langsung turun tangan!" gumam Clara, setengah kagum, setengah curiga.
"Kamu diangkat jadi asisten pribadi beliau, ya?" Nadia menyikut pelan, tawanya menggoda.
Raya tersenyum kaku. "Bukan. Aku cuma ikut tim kreatif, di bawah Kak Clara kok."
Clara tertawa kecil. "Kalau gitu, rajin-rajinlah. Jangan sampai malu-maluin aku," katanya, nada suaranya ringan, tapi tersirat tekanan di dalamnya.
Beberapa orang yang mendengar percakapan itu saling berbisik satu sama lain, pandangan mereka tak lepas dari Raya. Seolah dalam sekejap, rumor baru lahir — rumor tentang bagaimana seorang 'adik ipar CEO' bisa mendapatkan perhatian langsung dari puncak pimpinan.
Raya pura-pura sibuk membuka laptop, memeriksa email, berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Tapi ia tahu, mata-mata itu masih menatap, membisikkan berbagai dugaan.
Seakan semua usahanya untuk bekerja keras dan membuktikan diri menjadi sia-sia karena satu panggilan itu.
Ia menghela napas dalam-dalam.
Aku harus bertahan. Aku harus kuat, gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Clara menepuk pundaknya.
"Besok pagi ada briefing proyek baru. Jam delapan, di ruang meeting B," katanya, sedikit lebih serius.
Raya mengangguk. "Siap, Kak."
Clara menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tenang aja. Aku tahu kamu bukan tipe yang suka cari muka. Kita fokus kerja, ya."
Raya menatap seniornya itu, sedikit lega mendengar nada jujur dari Clara. Setidaknya, ada satu orang yang masih mau menilainya dari kerja keras, bukan status keluarga.
Hari itu berlalu lambat.
Dan Arka?
Seperti biasa — ia menghilang lagi dari pandangan Raya, seperti angin lalu, seolah pertemuan mereka di ruang CEO tadi hanya ilusi singkat.
To Be Continued >>>
Setelah seharian bekerja, alih-alih pulang ke kediaman Arka seperti yang seharusnya, Raya justru memilih kembali ke rumah orang tuanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang harus ia pastikan langsung.
Saat membuka pintu rumah, aroma kayu manis dan kopi hangat menyambutnya — aroma yang selalu membuatnya merasa nyaman, tapi kali ini justru membuat hatinya semakin sesak.
Di ruang tamu, Sarah, ibunya, duduk dengan santai sambil membaca majalah.
Melihat kehadiran Raya, wanita itu hanya mengangkat alis. "Tumben pulang."
Raya langsung mendekat, tanpa basa-basi.
"Mama," katanya, menahan nada suaranya agar tidak terdengar terlalu bergetar. "Aku ingin tanya sesuatu."
Sarah menutup majalahnya, menatap anak gadisnya dengan ekspresi datar.
"Apa?"
"Apakah Mama yang meminta Arka menempatkanku di proyek baru?" sergah Raya, suaranya lebih nyaring dari yang ia maksudkan.
Sarah tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri, berjalan pelan ke arah jendela, menatap ke luar.
"Apa yang salah dengan itu, Raya?" balasnya, tenang namun penuh tekanan. "Sudah seharusnya kau mendapatkan sesuatu dari semua pengorbananmu."
Raya menggeleng cepat. "Tapi sudah cukup hanya dengan magang di sana, Ma! Dengan kemampuanku, bukankah sudah sangat bersyukur aku bisa diterima magang di perusahaan sebesar Xander Corp?"
Sarah menoleh, menatap putrinya dengan tatapan tajam yang belum pernah Raya lihat sebelumnya.
"Kenapa kau bodoh sekali, Raya," gumam Sarah, suara getirnya menggema di ruangan. "Kau pikir cukup dengan magang? Dengan kerja keras? Dunia tidak seadil itu, Raya. Kau harus memanfaatkan kesempatan ini sebelum Amara kembali."
Amara. Nama itu membuat dada Raya terasa sesak.
"Kau harus menjadi karyawan tetap di sana," lanjut Sarah, penuh ambisi. "Memiliki jabatan tinggi, menikmati kehidupan yang layak, hidup mewah seperti yang seharusnya kau dapatkan. Kau berhak mendapatkan itu semua, Raya!"
"Tapi bukan dengan cara ini!" bentak Raya, air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. "Bukan dengan cara mengemis pada mereka!"
Sarah mendekat, meraih bahu Raya dengan genggaman yang erat.
"Dengar, Raya," bisiknya tajam. "Kau sudah terikat. Tidak ada jalan mundur. Lakukan ini untuk masa depanmu. Untuk kita."
Raya menarik napas gemetar, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ibunya. "Aku menikah bukan untuk jadi alat, Ma. Aku—"
Kalimat Raya terputus ketika suara tapak kaki ringan terdengar, disusul Hendra yang melangkah masuk ke ruangan.
Raya buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan.
"Raya, kenapa tidak memberi kabar kalau mau pulang?" ujar Hendra, suaranya penuh kehangatan. "Kalau Papa tahu, Papa pasti sudah minta Mbak menyiapkan semua makanan kesukaanmu."
Ucapan itu membuat dada Raya terasa sesak.
Inilah yang membuat Amara begitu membencinya sejak dulu. Amara merasa kehilangan sosok ayahnya ketika Raya hadir dalam kehidupan mereka. Dan Raya sangat menyadari luka itu, betul-betul paham.
Karena itulah, selama bertahun-tahun, Raya memilih menjaga jarak. Ia menahan diri untuk tidak terlalu dekat dengan Hendra, bahkan ketika hatinya sendiri merindukan sosok seorang ayah. Ia menahan keinginannya untuk bercerita, untuk sekadar berbagi tawa atau keluh kesah. Semuanya demi menjaga perasaan Amara.
Dan kebiasaan itu tetap ia pertahankan sampai sekarang, meski Amara tidak ada di rumah.
Raya segera berdiri, tersenyum kecil seolah tidak terjadi apa-apa.
"Maaf, Pa. Tadi Raya hanya sebentar. Tidak sempat kasih kabar," katanya sopan, menjaga nada bicaranya tetap formal, seolah ada tembok yang tak kasat mata di antara mereka.
Hendra menatap putrinya itu dengan ekspresi yang sulit dibaca, ada sedikit kekecewaan di matanya. Namun ia hanya mengangguk, memilih untuk tidak memaksakan kehangatan yang sepertinya memang sengaja dijaga jaraknya oleh Raya.
"Kamu mau Papa antarkan pulang?" tawarnya.
Raya menggeleng cepat. "Tidak usah, Pa. Raya bisa sendiri."
Sarah yang sedari tadi diam, melirik ke arah Raya dengan tatapan tajam namun tersamar. Ia tahu, Raya sedang berusaha menghindar.
"Kalau begitu, makan malam dulu sebelum pergi," ujar Hendra dengan nada memaksa yang lembut.
Raya kembali tersenyum, namun hatinya terasa berat. Ia tidak ingin membuat ayah tirinya kecewa, tetapi ia juga tidak ingin melanggar batas yang sudah ia tetapkan sendiri.
"Maaf, Pa. Lain kali saja. Besok ada tugas yang harus diselesaikan," katanya pelan, kemudian membungkukkan sedikit badannya sebagai bentuk penghormatan.
Tanpa menunggu jawaban, Raya berpamitan dan melangkah keluar, meninggalkan aroma makan malam yang menggoda dari dapur, serta tatapan kecewa dari Hendra yang tak mampu ia lihat.
Di dalam taksi, saat ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, Raya menghela napas panjang.
Entah sampai kapan ia harus terus menjadi orang yang menahan dirinya sendiri.
*
Raya meminta sopir taksi berhenti di depan sebuah supermarket kecil, tak jauh dari apartemen.
Ia turun, membawa tas kecilnya, dan menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam. Lampu supermarket yang hangat menyambutnya, seolah menjadi pelarian sejenak dari segala beban yang memenuhi pikirannya malam ini.
Di antara lorong-lorong rak yang berjajar rapi, Raya memilih roti kesukaannya — roti gandum lembut dengan lapisan cokelat tipis di dalamnya. Ia memeluk bungkus roti itu seperti menemukan sedikit penghiburan.
Setidaknya aku butuh asupan untuk bertahan hidup, batinnya getir, mencoba menertawakan kepahitan yang dirasakannya.
Tak hanya roti, ia mengambil beberapa bahan makanan instan dan sebotol susu cokelat. Ia tahu dirinya mungkin akan terlalu lelah untuk memasak, dan ini cukup untuk membuatnya bertahan beberapa hari ke depan.
Setelah membayar di kasir, Raya keluar dari supermarket dengan langkah ringan, kantong belanjaan bergoyang di tangannya. Udara malam terasa dingin, membuatnya menggulung blazer lebih rapat ke tubuhnya.
Sesampainya di apartemen, suasana sunyi seperti biasa. Apartemen itu terasa terlalu luas dan hening, membuat setiap langkah Raya terdengar jelas.
Arka memang jarang pulang lebih awal. Biasanya, baru lewat tengah malam ia akan muncul, terkadang bahkan lebih pagi, dengan wajah letih dan aura lelah yang sulit disembunyikan.
Raya melemparkan blazernya ke sofa dan berjalan menuju meja makan. Ia membuka satu bungkus roti yang tadi dibelinya di supermarket. Duduk di kursi tinggi, ia menikmati gigitan pertama, rasa manis tipis dari cokelat yang tersembunyi di dalam roti membuat matanya sedikit berbinar.
Namun, rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali, matanya semakin berat. Setelah memakan setengah dari rotinya, Raya menyerah. Ia bangkit dari kursi, meninggalkan beberapa potong roti yang belum tersentuh begitu saja di atas meja.
Besok saja dibereskan, pikirnya, terlalu malas untuk kembali ke dapur.
Raya masuk ke kamar dan langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang, terlelap tanpa sempat berganti pakaian.
Beberapa jam kemudian, suara pintu apartemen yang terbuka pelan membelah kesunyian.
Arka masuk, membanting kunci ke atas meja dekat pintu. Dasi sudah longgar di lehernya, wajahnya kusut, dan matanya terlihat berat karena kelelahan.
Perutnya keroncongan. Ia melepas jas dan berjalan ke meja makan, berharap menemukan sesuatu untuk mengganjal perut.
Matanya menangkap beberapa potong roti yang dibiarkan begitu saja di atas meja.
Tanpa pikir panjang, Arka meraih salah satu roti tanpa topping — yang tampak sederhana dibandingkan yang lain — dan langsung menggigitnya besar-besar.
To Be Continued >>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!