Ch : Dua

"Apa kamu pernah lihat beliau marah, Raya?" tanya Clara lagi, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.

Raya menggeleng cepat. "Belum pernah. Kami jarang sekali bertemu."

"Tapi kan kamu adik iparnya," bisik Nadia, nada suaranya menggoda.

"Iya, tapi... kami masing-masing sibuk."

Raya mengelak halus, berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa hubungan mereka tak lebih dari orang asing.

Sebelum obrolan itu makin jauh, ketua divisi muncul dan memulai rapat, menyelamatkan Raya dari interogasi kecil yang terasa makin mengerucut.

Namun bahkan setelah rapat usai, bisik-bisik itu belum sepenuhnya menghilang.

Saat kembali ke mejanya, Raya menemukan beberapa pesan anonim di email kantor.

"Bisa kenalin ke CEO ganteng kita, nggak, Ray?"

"Kamu adik ipar, berarti tahu banyak rahasia Pak Arka dong? Spill dikit lah!"

Raya memejamkan mata sejenak, menghela napas.

Rasanya, statusnya sebagai adik ipar CEO malah menjadi beban, bukan keistimewaan.

Ia baru akan membalas email pekerjaannya ketika sebuah langkah berat terdengar mendekat.

Suara pintu sekat kaca terbuka.

Semua orang di ruangan itu otomatis berdiri.

Raya ikut berdiri, meski tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Dari sudut matanya, ia melihat seorang pria bertubuh tinggi menjulang, berbalut setelan abu-abu yang sempurna.

Wajahnya tegas, dingin, dengan tatapan mata gelap yang menusuk.

Arka.

CEO Xander Corp.

Untuk pertama kalinya sejak ia magang di perusahaan ini, Raya melihat Arka muncul langsung di ruang kerjanya.

Dan parahnya — tatapan mata Arka langsung menancap ke arahnya, seolah menandainya di antara puluhan karyawan lain.

Seisi ruangan hening.

Bahkan suara napas pun terasa berat.

"Raya," suara Arka terdengar pelan, dingin.

Hanya satu kata — tapi cukup membuat seluruh lantai 17 terasa membeku.

Semua pasang mata memandang ke arah mereka dengan rasa ingin tahu membara.

Raya menegakkan tubuh, jantungnya berdetak kencang.

Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan gemetar.

"I-iya?" suaranya terdengar kecil, nyaris tak terdengar.

Arka melangkah mendekat, napasnya stabil, matanya tak pernah lepas dari Raya.

"Lantai 30. Sekarang," perintahnya singkat.

Tanpa penjelasan.

Tanpa kompromi.

Suasana lift yang membawa Raya ke lantai 30 terasa lebih sunyi daripada liang kubur.

Jantungnya berdebar liar, memukul-mukul dadanya seperti hendak memberontak keluar.

Di sampingnya, seorang staf pria berseragam hitam yang mengoperasikan lift sesekali melirik ke arahnya dengan tatapan iba — seolah tahu bahwa siapa pun yang dipanggil langsung oleh Arka Xander tidak akan lolos tanpa luka.

Apa aku melakukan kesalahan?

Atau... apa ini tentang gosip-gosip di kantor?

Raya meneguk ludah, mencoba menenangkan pikirannya yang berloncatan liar.

Dentingan kecil terdengar saat lift berhenti.

Pintu terbuka ke lantai 30 yang sepi, luas, dan elegan — penuh dengan interior kayu gelap, lukisan-lukisan klasik, serta aroma kopi hitam yang samar.

Hanya ada satu pintu besar di ujung lorong.

Pintu kantor CEO.

Dengan langkah ragu, Raya berjalan menuju pintu itu.

Jari-jarinya yang dingin mengetuk perlahan.

"Masuk."

Suara berat itu terdengar dari dalam, membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.

Dengan napas tertahan, Raya mendorong pintu dan masuk.

Di balik meja kayu mahoni besar, Arka duduk — tubuhnya bersandar santai di kursi kulit hitam, tangan bersedekap di dada, ekspresi wajahnya sulit dibaca.

Tak ada orang lain di ruangan itu.

Hanya mereka berdua.

Seketika, suasana terasa menegang.

Raya berdiri kaku di hadapan meja itu, matanya menunduk, tak berani menatap Arka langsung.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan menyiksa sebelum akhirnya Arka membuka suara.

"Sudah seminggu kamu di sini," katanya dingin.

Raya mengangguk kecil. "I-iya, Pak..."

Arka menyipitkan matanya, mengamati gadis di depannya dengan pandangan tajam.

"Kamu tahu kenapa aku memanggilmu?"

Raya menggeleng, merasa tenggorokannya kering.

Arka mendesah pelan, lalu berdiri.

Gerakan kecil itu saja cukup membuat Raya refleks melangkah mundur.

Pria itu berjalan mengitari meja, berdiri tepat di hadapan Raya, hanya berjarak satu langkah.

Tinggi tubuhnya terasa menekan, auranya begitu kuat hingga membuat udara seakan menipis.

"Ada banyak omongan tentang kamu di kantor ini," katanya pelan namun penuh tekanan.

Raya membeku.

Tentu saja ia tahu.

Gosip tentang dirinya dan statusnya sebagai adik ipar CEO sudah seperti hantu yang menguntit ke mana pun ia pergi.

"Aku—aku tidak pernah bicara apa-apa soal hubungan keluarga kita," Raya buru-buru menjelaskan, suaranya bergetar.

Arka menatapnya dalam, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya.

Beberapa detik lagi berlalu dalam diam sebelum akhirnya Arka berbicara lagi.

"Aku harap," katanya singkat.

Raya mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan bingung.

Arka menghela napas perlahan, nada suaranya sedikit melunak.

Namun ekspresi wajahnya tetap datar.

"Kau bisa tetap menjaga rahasia pernikahan kita," Arka menatapnya lurus, penuh makna, "harus tetap tersembunyi. Tidak boleh ada satu pun yang tahu. Sekecil apa pun kesalahan, aku tidak akan beri toleransi."

Raya membeku di tempat, merasakan beratnya kata-kata itu menekan dadanya.

"Aku tidak main-main, Raya," tambah Arka, mendekatkan tubuhnya hingga jarak mereka hanya sejengkal. "Satu celah kecil... bisa menghancurkan semuanya."

Wajah Raya memucat. Ia menunduk cepat, rasa gugup menguasai dirinya.

"S-saya mengerti, Pak," jawabnya, nyaris berbisik.

Arka menghela napas pendek, lalu kembali ke mejanya. Gerakannya tenang, namun aura dinginnya masih terasa menggantung di udara.

"Mulai besok, kamu akan ikut dalam proyek pemasaran baru," katanya, nada suaranya kembali profesional. "Kamu akan bekerja di bawah Clara dan tim kreatif. Fokus pada pekerjaanmu."

"Baik, Pak," jawab Raya tegas, berusaha menguasai dirinya.

"Keluar," perintah Arka, tanpa menoleh lagi.

Raya segera membalikkan badan, melangkah cepat ke arah pintu. Saat hendak keluar, tanpa sadar ia menoleh sedikit — melihat sosok Arka yang tampak tenang di balik meja kerjanya, seolah percakapan tadi hanyalah formalitas biasa.

Begitu pintu lift terbuka di lantai 17, langkah Raya terasa berat. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kacau. Namun belum sempat ia menarik napas lega, sekelompok rekan kerjanya langsung mengerubunginya begitu ia muncul.

"Ra! Kamu dipanggil ke atas sama Pak Arka ya?" bisik Clara dengan mata membesar, seolah baru melihat keajaiban.

"Ngapain aja di ruang CEO?" Nadia menambahkan, nadanya penuh rasa ingin tahu.

Raya mengerjap, berusaha mengumpulkan kata-kata.

"T-tidak ada apa-apa. Hanya diberi arahan proyek baru," jawabnya sepelan mungkin, berharap jawabannya cukup untuk membubarkan perhatian mereka.

Namun harapannya pupus.

"Proyek baru? Wah, pasti penting banget, ya? Sampai CEO langsung turun tangan!" gumam Clara, setengah kagum, setengah curiga.

"Kamu diangkat jadi asisten pribadi beliau, ya?" Nadia menyikut pelan, tawanya menggoda.

Raya tersenyum kaku. "Bukan. Aku cuma ikut tim kreatif, di bawah Kak Clara kok."

Clara tertawa kecil. "Kalau gitu, rajin-rajinlah. Jangan sampai malu-maluin aku," katanya, nada suaranya ringan, tapi tersirat tekanan di dalamnya.

Beberapa orang yang mendengar percakapan itu saling berbisik satu sama lain, pandangan mereka tak lepas dari Raya. Seolah dalam sekejap, rumor baru lahir — rumor tentang bagaimana seorang 'adik ipar CEO' bisa mendapatkan perhatian langsung dari puncak pimpinan.

Raya pura-pura sibuk membuka laptop, memeriksa email, berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Tapi ia tahu, mata-mata itu masih menatap, membisikkan berbagai dugaan.

Seakan semua usahanya untuk bekerja keras dan membuktikan diri menjadi sia-sia karena satu panggilan itu.

Ia menghela napas dalam-dalam.

Aku harus bertahan. Aku harus kuat, gumamnya dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Clara menepuk pundaknya.

"Besok pagi ada briefing proyek baru. Jam delapan, di ruang meeting B," katanya, sedikit lebih serius.

Raya mengangguk. "Siap, Kak."

Clara menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tenang aja. Aku tahu kamu bukan tipe yang suka cari muka. Kita fokus kerja, ya."

Raya menatap seniornya itu, sedikit lega mendengar nada jujur dari Clara. Setidaknya, ada satu orang yang masih mau menilainya dari kerja keras, bukan status keluarga.

Hari itu berlalu lambat.

Dan Arka?

Seperti biasa — ia menghilang lagi dari pandangan Raya, seperti angin lalu, seolah pertemuan mereka di ruang CEO tadi hanya ilusi singkat.

To Be Continued >>>

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!