Sambil mengunyah, ia berjalan ke dapur, mengambil segelas air. Arka menghabiskan sisa roti itu sambil memijat pelipisnya.
Namun, tak butuh waktu lama sampai ia merasakan ada yang aneh.
Tenggorokannya mulai terasa kering, lidahnya mati rasa, dan napasnya mendadak tersengal. Ia menyentuh dadanya, berusaha bernapas lebih dalam, tetapi udara terasa berat dan menyakitkan.
Arka terhuyung, kehilangan keseimbangan, dan terjatuh keras ke lantai. Suara benturan tubuhnya mengisi keheningan malam, membuat gelas air yang ia pegang pecah berkeping-keping di lantai.
Di kamar, Raya tersentak bangun.
Ia mengerjap bingung sebelum akhirnya mendengar suara berat, seperti seseorang terengah-engah. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar.
Matanya membelalak saat menemukan Arka tergelatak di lantai dapur, wajahnya memerah, satu tangan mencengkeram lehernya seakan berusaha menghirup udara, satu tangan lainnya meraih sembarang arah.
"Arka!" jerit Raya, panik.
Ia bergegas menghampiri, berlutut di samping Arka.
"Arka, bangun! Kenapa? Apa yang terjadi?"
Napas Arka semakin berat, wajahnya tampak berkeringat, bahkan mulai tampak pucat di sekitar bibirnya. Raya dengan cepat mengingat sesuatu — Arka punya alergi berat terhadap susu!
Pikiran Raya berpacu cepat. Ia menoleh ke meja makan dan melihat bungkus roti — satu di antaranya bertuliskan "milk filling" kecil di pojok bawah kemasan.
Panik menjalari seluruh tubuhnya.
Tanpa pikir panjang, Raya bangkit, mencari tas kerja Arka yang biasa diletakkan di dekat pintu. Ia membongkar tas itu dengan tangan gemetar, berharap menemukan suntikan adrenalin darurat yang biasanya dibawa penderita alergi berat.
Beruntung, ia menemukannya — sebuah auto-injector kecil berwarna biru.
Dengan secepat yang ia bisa, Raya kembali ke sisi Arka.
"Maaf, Arka... aku harus lakukan ini," gumamnya.
Tangannya bergetar saat ia membuka tutup pelindung dan, dengan dorongan nekat, menancapkan alat itu ke paha Arka melalui celananya.
Terdengar bunyi klik kecil, lalu jarum otomatis menyuntikkan dosis adrenalin ke tubuh Arka.
Beberapa detik yang terasa seperti seabad berlalu.
Arka mengerang pelan, matanya berusaha terbuka. Napasnya yang semula berat dan tersengal mulai terdengar sedikit lebih baik, meskipun tubuhnya masih lemas.
Raya menahan napas, tetap berlutut di sampingnya.
"Arka... kamu dengar aku? Arka..." bisiknya, nyaris menangis.
Akhirnya, Arka membuka matanya, tampak linglung. Ia menatap Raya dengan pandangan kabur sebelum akhirnya bergumam lemah, "Raya...?"
"Astaga," isak Raya, setengah lega, setengah marah. "Kamu hampir mati cuma karena makan roti!"
Arka mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi Raya dengan cepat menahan bahunya.
"Jangan dulu. Aku... aku harus bawa kamu ke rumah sakit."
Arka menggeleng pelan. "Aku... akan baik-baik saja... sebentar lagi..." katanya serak, mencoba meyakinkan, meski suaranya sendiri tidak terdengar meyakinkan.
Raya tetap bersikeras. Ia mengambil ponsel dan memanggil ambulans, sementara tangan satunya masih menggenggam erat tangan Arka, tanpa sadar.
Sirene ambulans meraung memecah keheningan dini hari.
Raya duduk di bangku ambulans, menahan tangan Arka yang terpasang infus. Wajah pria itu masih pucat, meskipun napasnya mulai stabil.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Raya berusaha menahan air matanya. Kepanikan, rasa bersalah, dan takut bercampur menjadi satu, membuat perutnya terasa mual.
Setibanya di rumah sakit, tim medis segera membawa Arka masuk ke ruang IGD. Raya berlari mengikuti di belakang, tapi ia harus berhenti di ambang pintu ketika seorang perawat mencegahnya masuk lebih jauh.
"Tenang, Nona. Kami akan merawatnya."
Raya berdiri di koridor, menggigit bibirnya, tak tahu harus melakukan apa.
Di tengah kebingungannya, ia teringat sesuatu.
Keluarga Arka.
Dengan tangan gemetar, Raya merogoh ponselnya, mencari kontak "Mama Arka". Jari-jarinya sempat ragu sebelum akhirnya menekan tombol call.
Satu nada sambung.
Dua.
Akhirnya terdengar suara dari seberang.
"Halo?" Suara seorang wanita terdengar kaget, sedikit serak karena baru bangun.
"M-Mama... ini Raya..." suara Raya bergetar. "Arka... dia... dia mengalami reaksi alergi. Kami di rumah sakit sekarang."
Ada jeda panjang di seberang, lalu suara Grace, Mamanya Arka meninggi.
"Apa? Kenapa bisa?!" bentaknya. "Kamu di rumah sakit mana?"
Raya buru-buru memberitahu nama rumah sakit sebelum panggilan diputus tanpa pamit.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, seorang wanita berpenampilan elegan dengan mantel panjang berwarna krem berlari masuk ke ruang tunggu. Mata tajamnya langsung menemukan Raya.
"Raya!" serunya keras.
Raya berdiri gugup, menunduk sedikit.
Tanpa banyak basa-basi, Grace langsung menghampirinya.
"Bagaimana mungkin kau bisa seceroboh ini?!" amuknya, suaranya menggema di koridor. Beberapa orang menoleh penasaran.
"Aku... aku tidak tahu, Ma. Aku—"
"Tidak tahu?" potongnya dengan tatapan penuh amarah. "Sudah jelas Arka alergi susu sejak kecil! Apapun yang masuk ke apartemen kalian seharusnya kau periksa!"
Raya menggigit bibir, rasa bersalah menguasainya. "Aku hanya membeli roti untuk diriku sendiri... aku tak berniat..."
Grace mendengus tajam.
"Dan kau meninggalkannya begitu saja di meja? Kau pikir apartemen itu taman bermain?! Apa yang akan kau lakukan kalau Arka tidak tertolong, hah?!" Nadanya menusuk, membuat Raya merasa semakin kecil.
Seketika, perawat keluar dari ruang IGD.
"Keluarga pasien, silakan masuk. Kondisinya sudah lebih stabil," kata perawat itu.
Tanpa menunggu, Grace langsung melangkah masuk, melewati Raya seolah gadis itu tidak ada.
Raya berdiri membeku, menahan perih di dadanya. Ia tahu dirinya salah. Ia juga tahu... semua ini tidak akan mudah diperbaiki.
Dengan langkah berat, Raya berjalan pelan ke depan pintu, mengintip ke dalam.
Di sana, Arka berbaring dengan wajah lebih tenang, sementara Grace duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangan anaknya dengan erat.
Pemandangan itu menusuk hati Raya lebih dalam.
Seolah-olah... ia benar-benar orang luar yang tidak punya tempat di dunia Arka.
Ia menarik napas panjang, berbalik, dan duduk kembali di kursi tunggu. Tangannya mengusap wajahnya yang terasa panas, berusaha menahan air mata yang mengancam jatuh.
Di dalam hatinya, Raya hanya bisa berjanji.
"Aku akan lebih hati-hati."
Beberapa menit berlalu.
Raya tetap duduk di kursi tunggu yang keras, membenamkan wajahnya di telapak tangan.
Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, tapi semua terdengar jauh, seperti dunia sedang bergerak tanpa melibatkannya.
Pintu IGD kembali terbuka.
Perawat muda itu melangkah keluar, menghampiri Raya. "Nona Raya?"
Raya cepat-cepat bangkit berdiri, menghapus air matanya secara kasar.
"Iya... saya," sahutnya dengan suara parau.
"Dokter ingin bicara dengan Anda. Ini tentang kondisi Tuan Arka."
Jantung Raya berdegup keras. Ia mengangguk cepat dan mengikuti perawat itu masuk ke dalam ruang konsultasi kecil.
Di sana, seorang pria paruh baya berjas putih — dokter jaga malam itu — berdiri menyambutnya dengan anggukan ringan.
"Silakan duduk," katanya.
Raya menuruti, duduk di tepi kursi seolah-olah ia bisa terlempar kapan saja.
"Saya ingin menyampaikan kabar baik lebih dulu. Berkat respons cepat Anda menggunakan auto-injector, kondisi Tuan Arka berhasil distabilkan sebelum sempat memburuk lebih parah. Itu sangat membantu."
Raya menahan napas, perasaannya campur aduk. Ada secuil kelegaan... tapi rasa bersalah tetap mendominasi.
"Namun..." lanjut dokter itu, membuat hati Raya kembali mencelos, "kami tetap harus mengawasi kondisi Arka selama beberapa jam ke depan. Reaksi alergi parah bisa menyebabkan anafilaksis berulang. Kami akan memberinya pengawasan intensif malam ini."
Raya mengangguk cepat, air mata hampir jatuh lagi.
"Aku mengerti, Dok... aku—aku akan tetap di sini."
Dokter itu tersenyum ramah. "Baik. Silakan istirahat sebentar. Kami akan memberitahu jika ada perkembangan."
Keluar dari ruangan itu, Raya kembali ke bangku tunggu. Ia bahkan belum sempat duduk ketika pintu ruang rawat Arka terbuka sedikit. Grace melongok keluar.
Tatapan dingin wanita itu menusuk langsung ke dada Raya.
"Kalau kau tetap di sini, jangan harap aku membiarkanmu mendekati Arka," katanya, suaranya rendah namun penuh ancaman.
Raya menelan ludah. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," gumamnya.
"Kalau kau benar-benar peduli, kau tidak akan melakukan keteledoran bodoh ini," balas Grace, lalu membanting pintu perlahan.
Raya berdiri terpaku.
Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar tidak berhak berada di dekat Arka.
Tangannya mengepal kuat-kuat, kuku-kukunya hampir menusuk telapak.
Ia menunduk, berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan menebus ini... apapun caranya."
*
Waktu bergulir perlahan.
Langit di luar jendela rumah sakit mulai memucat, menandakan fajar segera datang.
Raya, yang tetap terjaga sepanjang malam, duduk di salah satu kursi paling pojok. Sesekali ia memejamkan mata, tapi bayangan kejadian malam itu terus mengusik pikirannya.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang perawatan, berbicara dengan Grace.
Dari kejauhan, Raya mengamati, melihat Grace mengangguk-angguk sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arahnya.
Wanita itu berjalan mendekat.
"Arka akan dipindahkan ke ruang rawat pagi ini. Tapi dokter menyarankan dia tidak banyak bertemu orang untuk sementara waktu," katanya ketus. "Jadi kau pulanglah, Raya."
Raya membuka mulut, ingin membantah, ingin menjelaskan... tapi kata-katanya tertelan oleh beban rasa bersalah.
Akhirnya, ia hanya mengangguk.
"Baik, Ma..." lirihnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Raya melangkah keluar dari rumah sakit, menahan air mata yang kembali menggenang di matanya.
Langit pagi yang cerah terasa ironis sekali — seolah alam tidak peduli dengan kehancuran kecil yang terjadi di dalam hatinya.
To Be Continued >>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments