Pernikahan Perawan Tua

Pernikahan Perawan Tua

Perawan Tua

"Pantesan jadi perawan tua, kaku banget, sih!"

Aku punya telinga yang berfungsi dengan baik. Komentar itu bisa kudengar jelas. Entah mereka yang terlalu bodoh atau memang sengaja mengatakan kalimat kasar itu di dekat meja kerjaku. Saat aku berbalik ke arah lima orang yang bergerombol di dekat pintu masuk divisi HRD, mereka terang-terangan memasang wajah sengit untukku.

Satu-satunya pria yang ada di kelompok itu pun bersikap sama. Bukannya memberi tahu empat sahabat wanitanya tentang sikap buruk mereka yang keterlaluan, dia justru menjadi pendukung atau malah provokator utama.

Aku tahu banget Niko. Nggak cuma divisi QC (Quality Control) saja yang kenal dia, aku yakin seluruh perusahaan pun tahu gimana sifat menyebalkannya. Dia punya bibir tipis yang enteng banget menyebarkan gosip tentang siapa pun sesuka hatinya.

Aku nggak pernah berurusan dengan Niko atau teman-teman wanitanya. Aku cuma baru saja marah ke salah satu karyawan produksi yang meminta cuti. Walau kepala bagian produksi memberikan persetujuan, aku berhak menolak pengajuan cuti ini.

Aku nggak sembarangan menolak karena karyawan tersebut sudah nggak punya lagi jatah cuti tahun ini, padahal sekarang masih bulan Februari. Kinerjanya buruk banget karena terlalu sering cuti sejak tahun lalu. Aku cuma memberikan pilihan padanya untuk mengajukan pengunduran diri atau nggak minta cuti lagi. Tapi, bagi Niko dan yang lain, sikapku sudah keterlaluan dan nggak manusiawi.

"Jelas-jelas alasan cutinya mau ngerawat ibunya yang sekarat, masih aja ditolak. Cewek kalau kelamaan nggak nikah, jadinya gitu tuh! Hatinya kaku gara-gara nggak pernah ngerasain cinta." Jelas ini suara Niko karena cuma dia satu-satunya pria dalam gerombolan itu.

Aku membuang napas panjang, lalu memejamkan mata. Tentu saja aku sakit hati dengan komentar pedas itu. Walau nggak menyebutkan nama, aku yakin mereka menyindirku. Di antara puluhan orang di ruangan ini, cuma aku sendiri wanita yang belum menikah. Elita yang usianya delapan tahun di bawahku saja sudah menikah. Cuma aku, orang yang pasti mereka panggil dengan sebutan perawan tua.

"Abaikan aja, Ta!" pinta Mbak Chiki sambil menepuk pundakku. "Sebagai HRD, kita harus siap jadi musuh banyak orang. Pasti ada aja kekurangan kita yang jadi santapan nikmat buat orang-orang kayak mereka. Lo nggak lupa, kan, bulan kemarin Elita kena juga? Sekarang udah satu bulan, tapi Elita belum hamil pun nggak ada mereka minta maaf udah bikin gosip murahan."

Aku tersenyum lemah pada Mbak Chiki. Nggak mungkin aku lupa tentang gosip yang sempat membuat heboh satu pabrik itu. Bisa-bisanya ada cowok bermulut lemas yang menyebarkan info kalau Elita nikah karena sudah hamil duluan. Alasannya sepele karena Elita nggak pernah terlihat dekat pria. Tapi, Mbak Chiki nggak bisa memberikan hukuman pada Niko. Kami nggak punya bukti jelas yang menunjukkan kesalahannya.

Niko tetap melakukan hobinya. Sekarang, aku yang menjadi korbannya. Sepertinya, saran Mbak Chiki jadi cara paling tepat untuk melawan Niko saat ini. Aku cuma harus pura-pura nggak mendengar ocehan menyebalkan Niko, seperti yang selalu kulakukan.

Sayangnya, pikiranku sedang nggak baik-baik saja. Kedua kata itu menyusup masuk telinga, lalu bergaung berulang-ulang di dalam kepalaku.

Aku memang masih perawan. Usiaku juga sudah 35 tahun. Jadi, aku nggak bisa disebut muda lagi. Dengan kata lain, aku sudah tua. Iya, aku perawan tua.

Lalu, apa masalahnya?

Nggak ada!

Harusnya, nggak ada masalah dengan statusku sebagai wanita yang belum menikah di usia ini. Harusnya, aku bisa bangga karena tetap menjaga harga diriku. Aku nggak pernah merendahkan diri dengan tidur bersama sembarangan pria. Aku juga punya karir bagus walau pabrik tekstil ini bukan yang paling baik di Indonesia. Paling nggak, sebagai wakil presiden HRD, aku bisa membanggakan gaji bulananku.

Dengan gajiku, aku bisa memenuhi kebutuhan orang tua dan menyekolahkan kedua adikku. Aku juga bisa membiayai pengobatan Ayah. Aku sanggup mewujudkan apa pun keinginan keluargaku.

Nggak ada yang perlu membuatku malu lagi. Hidupku baik-baik saja walau menurut orang lain belum sempurna.

"Oh, iya, Ta." Mbak Chiki mengetuk meja kerjaku. "Yang tiga karyawan baru itu masuknya kapan? Besok?"

"Lima, Mbak." Aku mengoreksi dengan suara setenang mungkin. "Mereka mulai besok masuknya." Aku maklum kalau Mbak Chiki lupa karena pekerjaannya sedang banyak banget sekarang.

"Oh, iya itulah." Mbak Chiki manggut-manggut. "Lo atur semuanya, ya. Kasih pelatihan yang sesuai jabatan. Lo udah bikin janji sama tim trainer juga, kan?"

Aku mengangguk. "Edo udah pastiin trainer ready semua." Kuacungkan jempolku.

Mbak Chiki membuang napas panjang. Matanya melebar dan kedua alisnya berkerut. "Pusing gue! Ada aja konflik di sana-sini. Bisa nggak, sih, orang-orang kerja dengan tenang?"

Aku menyodorkan permen mint ke Mbak Chiki. "Kita nggak mungkin tenang selama masih mengurus ribuan pekerja pabrik ini, Mbak. Kecuali, Pak Handoyo sengaja nutup pabrik atau Hantex resmi bangkrut. Mbak Chiki pasti nggak mau, kan?"

Mbak Chiki menggeleng sambil menutup mata. Mungkin, dia membayangkan kemungkinan terburuk dari alasan yang kusebut. Tentu saja aku pun nggak mau itu terjadi. Walau ada saja hari-hari menyebalkan dan orang yang memuakkan, aku tetap akan bertahan di Hantex.

Aku butuh pekerjaan ini karena cuma aku tulang punggung keluargaku. Nggak terbayang kalau aku sampai kehilangan pekerjaan. Ayah pasti akan semakin menderita karena penyakitnya bertambah parah, apalagi aku nggak mampu membelikan obat. Kedua adikku putus sekolah dan nggak jelas masa depannya. Ibu pun pasti stres parah karena semua jadi berantakan.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih kacau. Kata-kata pedas Niko dan kawanannya terus terngiang. Tapi, bukan mereka yang berhasil membuatku resah. Ucapan mereka cuma mematik api yang sempat redup. Api itu lebih dulu Ayah nyalakan, lalu sekeras mungkin aku abaikan. Sekarang, semua ingatan menyesakkan itu bermunculan kembali.

"Ayah sudah sakit-sakitan, Mbak. Mbak Prita mau sampai kapan nggak nikah dan jadi perawan tua gini? Jangan bikin Ayah sedih, Mbak! Ayah pengin lihat Mbak nikah dan bahagia." Wajah sendu Ayah terlihat berkali-kali lipat lebih menyedihkan karena tubuhnya yang semakin lemah.

Itu sudah berbulan-bulan lalu. Tapi, aku nggak akan pernah lupa gimana hancurnya perasaanku mendengar permohonan Ayah.

Sejak dulu, Ayah jadi orang yang paling kuat di mataku. Ayah seperti pahlawan super yang pasti bisa mewujudkan apa pun impianku. Tapi, setelah aku lulus kuliah, Ayah kehilangan kekuatan supernya ... atau aku mendapatkan warisan kekuatan super tersebut.

Entahlah! Aku nggak tahu harus bersyukur lewat jalur mana lagi karena rasanya capek banget.

Aku berdiri di luar pagar rumahku. Ada mobil yang nggak asing, parkir di luar pagar. Aku tahu siapa pemilik sedan merah ini, tapi nggak berminat beramah-tamah padanya. Aku cuma ingin masuk rumah, lalu istirahat.

Suara Mama dan tamunya bisa kudengar dari teras. Pintu depan terbuka lebar sehingga aku nggak perlu repot membukanya. Sebisa mungkin, aku masuk tanpa mengeluarkan suara.

Aku benar-benar lelah. Energiku nggak bersisa untuk sekadar melakukan basa-basi dengan orang yang rutin berkunjung ke rumah ini.

"Eh, Mbak udah pulang." Ibu yang pertama menyadari kedatanganku. "Sini makan dulu, Mbak! Tante Maya bawa tongseng kambing."

Tentu saja aku nggak mungkin masuk kamar tanpa ada yang tahu. Rumahku nggak besar. Nggak ada banyak tempat untuk menyelinap, apalagi kamarku tepat berada di samping ruang makan. Kehadiranku sukses menjadi pusat perhatian.

Di ruang makan rumahku yang sempit, sudah ada empat orang sedang menikmati makan malam. Mama dan Cia duduk menghadapku. Adik bungsuku itu sedang mengunyah potongan daging yang terlihat besar di mulut kecilnya. Kedua kakinya pasti berayun karena tubuhnya bergerak teratur. Dia nggak berkomentar apa pun dan tetap asyik dengan makanannya sendiri.

Meja makan penuh dengan tongseng dan sate kambing. Makanan itu cukup menggoda, apalagi aku memang belum makan malam. Tapi, aku sama sekali nggak berminat untuk bergabung dengan keseruan di meja makan ini.

"Prita baru pulang jam segini? Jam berapa ini?" tanya Tante Maya setelah melirik jam dinding. "Jam sembilan lebih?" Kerutan samar muncul di dahinya. Rasa penasarannya nampak jelas, mungkin sedikit bercampur dengan kekhawatiran.

Tante Maya terlihat ceria dan memang seperti itu biasanya. Rambut pendeknya sudah berhias uban, tapi dia nggak pernah mencoba menutupinya. Aku nggak tahu apa yang selalu membuat Tante Maya terlihat hangat dan bersemangat. Tapi, malam ini, aura Tante Maya justru membuatku merasa semakin lelah.

Aku tersenyum sambil mendekat. "Iya, Tan. Ada yang harus disiapin buat training besok." Walau enggan, aku nggak bisa mengabaikan keramahan Tante Maya.

"Ih! Kamu ini perempuan rajin banget. Nanti, yang jadi suami kamu pasti bangga," puji Tante Maya yang semakin membuatku kesal.

Nggak semua yang kulakukan harus disangkutkan dengan makhluk bernama suami. Hidupku nggak cuma berfokus pada pernikahan. Aku punya banyak tanggung jawab yang masih harus kutuntaskan. Semua sindiran ini terasa semakin memuakkan.

Mataku terpaku pada pria yang sejak tadi diam. Dia duduk membelakangiku dan sama sekali nggak menoleh padaku. Punggungnya agak membungkuk. Pandangannya tertuju pada benda dalam genggamannya. Aku nggak tahu apa yang sedang dia lakukan, tapi pasti nggak jauh dari game di ponselnya.

Yang mengejutkan, tanpa malu dia menerima suapan Tante Maya. Dia benar-benar disuapi nasi dan tongseng kambing. Usianya bukan balita lagi, bahkan sudah lulus kuliah beberapa tahun lalu. Tapi, bisa-bisanya mamanya masih menyuapi dia makan.

Konyol!

Hidupku sudah terlalu berat. Aku nggak mau kalau masih harus mengurus suami yang katanya nggak akan pernah dewasa, seperti pria ini. Sepertinya, keputusanku untuk nggak segera menikah tepat. Aku nggak yakin bisa menemukan pria yang benar-benar dewasa dan mampu memahami posisiku saat ini.

Apa aku nggak usah menikah saja selamanya?

Terpopuler

Comments

Rian Moontero

Rian Moontero

mampiiiir/Determined/

2025-08-01

0

lihat semua
Episodes
1 Perawan Tua
2 Anak Berandalan
3 Beban Anak Pertama
4 Pria Menyebalkan
5 Tuntutan Kejam
6 Gangguan
7 Ajakan Kencan
8 Isi Hati Ibu
9 Masalah Tanpa Henti
10 Ledakan Tertahan
11 Kolam Keruh
12 Makan Malam
13 Lelucon Menyakitkan
14 Dunia yang Hancur
15 Semua Tanggung Jawabku
16 Yang Lebih Menyakitkan dari Hinaan
17 Di Ambang Kehilangan
18 Kekuatan di Antara Lelah
19 Maaf yang Tersangkut
20 Pernyataan yang Mengguncang
21 Harapan dalam Kebohongan
22 Pengakuan yang Kembali Memanas
23 Saat Percaya Terlalu Sulit
24 Cinta di Hati yang Terluka
25 Terlalu Manis untuk Ditolak
26 Yang Tumbuh Subur di antara Ragu dan Harap
27 Semua Orang Yakin, Kecuali Aku
28 Cemburu yang Tak Seharusnya
29 Tak Layak Dicintai Seindah Ini
30 Luka di Hari Paling Bahagia
31 Di Antara Laut, Cinta, dan Ragu
32 Pintu Baru yang Terbuka
33 Kado yang Membuat Cemburu
34 Satu Buku, Seribu Tanya
35 Ragu yang Menyelinap
36 Sambutan yang Mengiris
37 Pintu yang Salah
38 Istri yang Tak Layak Dibanggakan
39 Figuran dalam Hidup Suami
40 Ikhlas yang Menyayat
41 Menahan Dunia yang Runtuh
42 Saat Marah Mengalahkan Doa
43 Yang Tersisa dari Kehilangan
44 Percaya pada Ketidakmungkinan
45 Beratnya Sebuah Pamit
46 Rahasia di Balik Senyuman
47 Membela Nama yang Tersisa
48 Amarah yang Tumbuh di Rumah
49 Balas Dendam yang Menghibur
50 Keluarga Perusuh
51 Api dari Bisikan Tetangga
52 Fakta Melawan Fitnah
53 Seribu Bukti Cinta
54 Bayangan di Sampingnya
55 Cinta yang Terlalu Tenang
56 Nama Itu Lagi
57 Tentang yang Belum Datang
58 Rahasia yang Terlambat Diucapkan
59 Halaman Pertama Perasaan Tersembunyi
60 Jarak yang Tak Terlihat
61 Pengakuan yang Tak Seharusnya
Episodes

Updated 61 Episodes

1
Perawan Tua
2
Anak Berandalan
3
Beban Anak Pertama
4
Pria Menyebalkan
5
Tuntutan Kejam
6
Gangguan
7
Ajakan Kencan
8
Isi Hati Ibu
9
Masalah Tanpa Henti
10
Ledakan Tertahan
11
Kolam Keruh
12
Makan Malam
13
Lelucon Menyakitkan
14
Dunia yang Hancur
15
Semua Tanggung Jawabku
16
Yang Lebih Menyakitkan dari Hinaan
17
Di Ambang Kehilangan
18
Kekuatan di Antara Lelah
19
Maaf yang Tersangkut
20
Pernyataan yang Mengguncang
21
Harapan dalam Kebohongan
22
Pengakuan yang Kembali Memanas
23
Saat Percaya Terlalu Sulit
24
Cinta di Hati yang Terluka
25
Terlalu Manis untuk Ditolak
26
Yang Tumbuh Subur di antara Ragu dan Harap
27
Semua Orang Yakin, Kecuali Aku
28
Cemburu yang Tak Seharusnya
29
Tak Layak Dicintai Seindah Ini
30
Luka di Hari Paling Bahagia
31
Di Antara Laut, Cinta, dan Ragu
32
Pintu Baru yang Terbuka
33
Kado yang Membuat Cemburu
34
Satu Buku, Seribu Tanya
35
Ragu yang Menyelinap
36
Sambutan yang Mengiris
37
Pintu yang Salah
38
Istri yang Tak Layak Dibanggakan
39
Figuran dalam Hidup Suami
40
Ikhlas yang Menyayat
41
Menahan Dunia yang Runtuh
42
Saat Marah Mengalahkan Doa
43
Yang Tersisa dari Kehilangan
44
Percaya pada Ketidakmungkinan
45
Beratnya Sebuah Pamit
46
Rahasia di Balik Senyuman
47
Membela Nama yang Tersisa
48
Amarah yang Tumbuh di Rumah
49
Balas Dendam yang Menghibur
50
Keluarga Perusuh
51
Api dari Bisikan Tetangga
52
Fakta Melawan Fitnah
53
Seribu Bukti Cinta
54
Bayangan di Sampingnya
55
Cinta yang Terlalu Tenang
56
Nama Itu Lagi
57
Tentang yang Belum Datang
58
Rahasia yang Terlambat Diucapkan
59
Halaman Pertama Perasaan Tersembunyi
60
Jarak yang Tak Terlihat
61
Pengakuan yang Tak Seharusnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!