"Gimana karyawan-karyawan barunya, Ta?" Mbak Chiki menghampiriku setelah selesai rapat dengan para direksi. Sepertinya, rapat kali ini melelahkan bagi Mbak Chiki. Langkahnya cenderung lemah saat memasuki ruang HRD. Kepercayaan diri di wajahnya yang tadi pagi terlihat pun surut.
Aku memandang Mbak Chiki dengan tatapan yang sama letihnya. "Mbak nggak salah terima karyawan?" tanyaku sambil menggelung rambut asal.
Mbak Chiki berdiri di samping mejaku. "Ada masalah apa, Ta?" Atasan langsungku itu panik. "Kalau cuma masalah kecil, biarin aja. Besok, kita minta trainer buat kasih perhatian lebih ke karyawan baru itu biar nggak bikin masalah lebih besar lagi."
Aku menggeleng dan masih memasang tatapan yang nggak punya harapan lagi. "Bukan perkara teknis, sih," sahutku.
Kerutan di dahi Mbak Chiki semakin dalam. "Bukan perkara teknis?" Mbak Chiki mengulang kalimatku dengan nada tanya. "Terus, apa?"
"Raditya Wirawan." Aku menyebutkan nama yang seharian ini berhasil membuat perasaanku semakin berantakan.
"Dia ... manajer QC baru itu, kan?" Telunjuk Mbak Chiki terarah ke wajahku.
Aku mengangguk.
"Kenapa dia?" tanya Mbak Chiki lagi, terdengar semakin penasaran. "Semua hasil tes dia bagus. Direksi juga nggak komplain dengan pengajuannya sebagai pengganti Pak Mike yang kena skandal perselingkuhan. Prestasinya di perusahaan sebelumnya juga oke. Dia lulusan kampus keren dan sekarang sedang lanjutin S2 juga. Kayaknya, nggak ada yang salah dengan Pak Raditya."
"Dia genit, Mbak." Aku nggak tahan mendengar Mbak Chiki terlalu berlebihan memuji seorang Raditya Wirawan.
Mbak Chiki membungkuk ke arahku. "Genit gimana?" tanya Mbak Chiki, seolah nggak percaya dengan pernyataanku.
"Di hari pertama, dia berani bilang kalau gue ini cantik. Sinting nggak, tuh?" Rasa marahku kembali muncul saat mengingat kejadian tadi pagi. Aku masih ingat banget gimana ekspresi menyebalkan pria itu.
Mbak Chiki menyimak dalam diam, lalu detik berikutnya tertawa kencang. Suaranya memenuhi ruang HRD sampai seluruh karyawan terganggu. Tapi, mereka nggak berani menegur karena Mbak Chiki penguasa departemen HRD. Sebagai wakilnya, aku juga cuma bisa memasang wajah kesal padanya.
"Lo konyol!" ejek Mbak Chiki setelah puas tertawa.
"Apanya yang lucu, sih?" Aku mulai tersinggung dengan sikap Mbak Chiki. Tapi, aku sudah mengenal Mbak Chiki sejak pertama kali menjadi bagian Hantex. Dari dulu, dia senior yang selalu membantuku untuk terus berkembang. Mbak Chiki juga nggak pernah mengejekku tanpa memberikan solusi apa pun. Jadi, aku memilih menunggu penjelasan Mbak Chiki.
Mbak Chiki duduk di mejaku. Berkas yang dia bawa sejak tadi, dia letakkan di depanku. Tapi, dia nggak sedang ingin berdiskusi tentang pekerjaan atau hasil rapat sore ini. Dia juga memilih mengabaikan masalah kantor yang jelas membuatnya pusing hari ini.
"Lo udah berapa lama nggak dapet pujian, sih, Ta?" Bukannya menjelaskan, Mbak Chiki justru melempar pertanyaan. "Dia nggak genit, Ta. Dia cuma muji doang. Nggak ada salahnya orang muji lo cantik karena memang lo cantik, Prita."
Aku diam memikirkan kata-kata Mbak Chiki. Rasanya aneh banget sampai Mbak Chiki membela Raditya. "Wajar gimana, sih? Kami baru beberapa menit ketemu, Mbak. Kami nggak pernah kenal sebelumnya juga. Terus, ngapain dia enteng banget muji gue, selain emang genit?"
Mbak Chiki tertawa kecil. "Lo terlalu overthinking." Dia mengibaskan tangan sambil menggeleng, seolah memintaku menyingkirkan pikiran berlebihan ini. "Terus, gimana training dia? Aman, kan? Nggak ada masalah?"
Aku membuang napas kasar, lalu menggeleng. "Nggak ada," jawabku lirih. Aku kesal karena nggak menemukan sisi buruk Raditya yang lain.
Setelah jam makan siang tadi, aku menghampiri Raditya di ruangannya. Dia sudah sibuk dengan berbagai urusan, bahkan berkas di hadapannya pun menggunung. Aku tahu, departemen QC memang menantikan kehadirannya. Setelah kasus manajer QC sebelumnya, ada banyak kekacauan di departemen itu karena kekurangan orang yang sanggup menangani masalah-masalah di sana. Sepertinya, Raditya harus bekerja keras di awal bergabungnya menjadi karyawan Hantex.
"Training hari ini berapa jam, Bu?" tanya Raditya saat kami berjalan menuju ruang training.
"Saya nggak tahu pasti, Pak. Tapi, training ini jadi yang terakhir untuk hari ini." Aku menjawab tanpa memandangnya sama sekali. Langkahku tegas dan lebar karena nggak nyaman berlama-lama bersama Raditya.
Ada jeda panjang sebelum Raditya bersuara lagi. "Kalau gitu, saya boleh minta dipercepat training hari ini?" tanyanya. "Saya punya banyak berkas yang harus selesai. Semua masalah ini terlalu lama dibiarkan."
Aku menghentikan langkah, lalu menatapnya. Pria ini aneh. Dia menunjukkan kepedulian yang besar untuk pabrik ini di hari pertama bekerja.
"Nggak masalah. Nanti, Pak Raditya bisa komunikasikan dengan trainer." Aku kembali melangkah.
Sampai sekarang, aku nggak mendapatkan laporan aneh apa pun tentang Raditya Wirawan. Sepertinya, dia sudah sibuk dengan semua kewajiban barunya.
Mbak Chiki berdiri. Ada kepuasaan di wajahnya. "Oke, bagus," komentarnya. "Kalau memang dia genit, nanti kita kasih hukuman. Lo tahu sendiri kalau Hantex menentang keras pelecehan di lingkungan kerja."
Aku terpaksa menurut. Memang aku nggak punya alasan lagi untuk memberikan hukuman apa pun pada Raditya.
"Oh, iya." Mbak Chiki teringat sesuatu sebelum melangkah lebih jauh ke ruangannya yang ada di bagian timur departemen HRD. Tubuhnya membungkuk ke arahku. "Dia juga masih single, kan? Siapa tahu, pujian tadi memang tulus dan kalian berjodoh."
"Mbak!" Suaraku melengking. Kali ini, aku yang mengusik fokus dan ketenangan rekan kerjaku. Aku nggak percaya Mbak Chiki memikirkan hal mengerikan ini.
Nggak mungkin aku berjodoh dengan pria genit itu! Aku nggak mau, nggak akan pernah mau.
Mbak Chiki berlalu tanpa peduli dengan mataku yang sudah melotot. Aku ingin memakinya, tapi paham bahwa sikapku pasti akan menjadi pusat perhatian.
Chikita Handoyo bukan cuma atasan dan rekan kerjaku. Kami bersahabat. Aku salah satu orang yang menjadi saksi gimana dia berjuang sampai mendapatkan jabatan setinggi ini. Aku juga yang menjadi buku hariannya saat bermasalah dengan cinta. Sampai menikah dan punya anak dua, dia masih belum berubah.
Sebagai manusia yang nggak punya banyak teman, aku juga menjadikan Mbak Chiki sahabat terbaikku. Usia kami selisih empat tahun, dia lebih tua. Jadi, dia punya banyak nasihat yang aku butuhkan walau kadang nggak masuk akal bagiku. Dia juga yang paling paham alasanku belum menikah sampai detik ini. Jadi, nggak seharusnya Mbak Chiki menjodohkanku dengan pria yang sama sekali nggak kukenal itu.
Konyolnya, Mbak Chiki justru mengirimi Curriculum Vitae milik Raditya Wirawan dalam email resmi perusahaan. Di badan email, dia menjelaskan lagi semua kelebihan Raditya. Yang paling menyebalkan, Mbak Chiki terang-terangan menuliskan bahwa pria itu punya potensi bagus untuk menjadi suamiku.
Gila!
Hidupku sudah gila. Sekarang, aku sadar punya sahabat yang gila.
Tubuhku lelah banget saat akhirnya bisa pulang. Mataku juga super berat. Rasanya, aku menyetir dengan pikiran kosong. Untung saja, aku bisa selamat sampai di rumah.
Suara batuk beruntun terdengar dari kamar Ayah saat aku baru memasuki rumah. Buru-buru, aku menghampiri kamar yang terbuka itu. Di dalam kamar, Ibu sedang sibuk membersihkan darah di baju Ayah.
"Ayah," teriakku yang panik melihat kondisi Ayah.
Tubuh kurusnya terus bergerak. Batuknya sama sekali nggak terdengar akan berhenti. Aku mengambil es batu di kulkas, lalu meletakkannya di dada Ayah.
"Kita ke dokter, ya?" pintaku. Sakit sekali dadaku melihat Ayah kesakitan.
Ayah menggenggam tanganku. Kepalanya menggeleng lemah, lalu kembali batuk.
"Nggak usah napas dalam-dalam, Yah." Aku membalas genggaman tangan Ayah. Dalam genggamanku, tangan Ayah terasa kecil dan rapuh. Tangan yang dulu kuat itu, kini tinggal tulang dan kulit saja. Aku menyadari bahwa Ayah nggak pernah semakin membaik sejak sepuluh tahun lalu.
"Di rumah aja. Ayah mau sama Mbak," tolak Ayah.
Harusnya, aku membantah. Ayah perlu ke rumah sakit secepatnya. Tapi, dadaku ngilu banget. Aku nggak sanggup menolak permintaan Ayah.
"Ibu bersihin baju Ayah dulu, ya. Ini harus direndem biar nggak berbekas." Ibu membawa semua baju dan benda kotor ke belakang.
"Nggak usah dibersihin kalau nggak bisa, Bu. Nanti Mbak beliin yang baru. Ibu istirahat aja." Aku meminta Ibu beristirahat karena pasti capek banget mengurus Ayah yang sakit.
"Iya. Tolong jagain Ayah, ya. Ibu nemenin Cia makan." Ibu melewatiku, tapi berhenti. "Mbak mau makan apa? Ibu cuma sempet masak ikan goreng sama sambel. Mau dimasakin apa?"
"Nggak usah, Bu. Samain kayak Cia aja." Tentu saja aku nggak tega minta makanan lain walau ikan goreng jenis apa pun bukan favoritku.
"Oke." Nggak lama, Ibu memanggil Cia dan Tama untuk makan malam. Tumben, Tama juga sudah ada di rumah.
Tangan Ayah bergerak lemah dalam genggamanku. "Nggak usah repot-repot, Mbak. Baju Ayah udah banyak. Mbak beli baju buat diri sendiri aja."
Aku memandang mata Ayah yang kehilangan semangat sejak lama. "Nggak apa, Yah. Mbak mau beliin apa pun yang Ayah mau. Mbak punya duit banyak, kok." Aku tersenyum walau dadaku terasa semakin ngilu, seperti ada cakar tajam yang menembus sampai dalam.
Ayah batuk lagi. Untung, batuknya nggak separah tadi. Durasinya juga sebentar saja.
Aku merapikan es batu yang kubalut dalam kantung. Dinginnya tembus sampai dada Ayah seperti membeku. Tapi, aku memutuskan meletakkan es itu untuk beberapa saat lagi agar pendarahan di dalam tubuh Ayah membaik.
"Mbak," panggil Ayah dengan suara serak yang lemah banget.
Aku mendekat. "Ayah mau apa?" tanyaku sambil terus memaksakan senyum.
"Mbak harus bahagia." Ayah nggak sanggup berbicara panjang. Ada jeda lama agar Ayah bisa melanjutkan ucapannya. "Mbak nggak boleh terlalu banyak berkorban buat Ayah." Kalimat Ayah putus-putus. Nada suaranya juga naik turun, bahkan lebih banyak turunnya sampai nyaris nggak terdengar.
Dengan sabar, aku mendengarkan semua perkataan Ayah. Dulu, Ayah suka mendengarku bercerita. Ayah selalu jadi pendengar yang sabar setiap aku mengeluh. Sekarang, aku juga harus menjadi pendengar yang baik untuk Ayah.
"Ayah mau lihat Mbak bahagia." Ayah kembali mengambil jeda panjang. "Ayah mau lihat Mbak Prita menikah."
Aku nggak suka mendengarkan cerita Ayah yang ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments