Beban Anak Pertama

Aku bersiap dengan buru-buru, bahkan mandi pun ala kadarnya. Paling nggak, wajahku lebih segar dan tubuhku wangi. Waktu terasa seperti pelari profesional yang sedang berlomba dengan kewajiban-kewajiban yang harus kutuntaskan dalam waktu singkat. Pagi hari ini terlalu banyak hal yang perlu kuselesaikan, tapi aku tahu mana yang lebih dulu harus aku utamakan.

Aku harus ke kantor polisi sekarang. Seluruh berkas yang aku perlukan sudah tertata rapi, bahkan selalu rapi. Aku hapal di luar kepala apa saja yang harus kusiapkan.

"Ke mana, Mbak? Ini masih jam lima. Lemburnya, kok, pagi banget?" Ibu yang berniat masak memandangku bingung. Di tangannya ada telur ayam. "Kok, pakai kaus? Apa ada acara ulang tahun? Kayaknya ulang tahun pabrik itu bulan Agustus, kan?"

Aku terpaksa menunda kepergiaan sesaat. Otakku berpikir cepat mencari alasan agar nggak membuat Ibu khawatir.

"Nggak, Bu." Aku nggak yakin, tapi sepertinya inilah alasan terbaik yang bisa kusampaikan pada Ibu. "Ada janji sama temen dulu sebentar, mau ambil berkas."

Ibu memandangku heran. "Temen kantor? Kenapa nggak di kantor aja ketemunya?" tanya Ibu sambil mulai memecahkan telur.

Telur itu pasti untuk Cia. Adik bungsuku itu suka banget sarapan telur orak-arik yang ditambah kecap manis. Kalau nggak buru-buru, dia bisa menghabiskan dua porsi sekaligus dalam waktu singkat.

Aku memang nggak jago berbohong. Tapi, sekarang aku harus memikirkan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang lama. Semoga dosaku nggak terlalu besar karena alasanku berbohong pun demi kebaikan Ibu.

"Temennya harus keluar kota dan berkasnya dibutuhin banget buat hari ini." Rasanya gugup banget menyampaikan kebohongan seperti ini.

Aku nggak paham kenapa ada orang yang sampai bisa menjadikan berbohong sebagai kebutuhan. Gengsi? Harga diri? Menjaga nama baik? Memang hidupnya bisa tenang setelah membuat banyak kebohongan berkali-kali?

Ibu mulai mengambil pisau untuk memotong daun bawang. Sebelum menunduk, aku bisa melihat wajah sedih Ibu. "Tadinya, Ibu mau minta tolong Mbak buat nyari Tama. Dia nggak pulang semalaman. Tapi, Mbak lagi sibuk banget. Nanti, Ibu cari Tama sendiri aja."

Aku memejamkan mata saat mendengar suara lesu Ibu. Selalu seperti ini. Kuambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan untuk menenangkan diri.

"Iya, Bu. Nanti sekalian aku cari Tama." Suaraku bergetar karena menahan kesal, tapi nggak bisa kutunjukkan.

Apa lagi yang bisa kulakukan selain mengiyakan permintaan Ibu?

Setelah berpamitan, aku memacu mobil menuju kantor polisi. Kepalaku pusing dan penuh sesak. Kurang tidur menambah cepat kekesalanku melejit. Begitu sampai tujuan, aku nggak bisa menahan marah.

Mataku melotot mencari Tama di antara puluhan remaja yang memenuhi halaman Polrestabes. Mereka semua berpenampilan serupa, bertelanjang dada dan berantakan. Rambut dan wajah mereka kusut, bahkan beberapa nampak lelah. Aku yakin nggak ada yang tidur semalaman ini.

Begitu melihat Tama sedang menunduk di bagian tengah gerombolan, aku menghampiri polisi yang terlihat paling santai. "Pak, saya mau menjemput adik saya."

"Siapa adiknya?" sahut polisi berperut besar itu. Ada rokok di yang hampir habis di tangan kanannya. Aroma asap rokok tercium jelas dan berhasil membuatku sesak.

Aku mundur satu langkah untuk menjaga jarak darinya. "Tama, Gautama." Aku menunjuk ke arah Tama yang sekarang sedang memandangku. Pandangan kami bertemu. Aku merasakan penyesalan di matanya. Tapi, penyesalan itu justru membuatku semakin muak.

"Selesaikan administrasi dulu, Mbak." Polisi itu menunjuk ke ruangan yang sudah penuh orang. Inilah proses paling menyebalkan.

Aku masih harus mengantre untuk menunggu giliran. Berkali-kali kudengar bentakan. Ada banyak bapak-bapak yang marah, bahkan sampai menghajar anak-anaknya. Tapi, nggak ada satu pun polisi yang melerai atau menengahi adegan kekerasan ini.

Kalau bisa, aku pun ingin memukul kepala Tama. Siapa tahu setelah kupukul, dia bisa berpikir dengan benar dan nggak membuat masalah lagi. Sayang, otakku berpikir lebih jernih. Kekerasan nggak akan menyelesaikan apa pun.

Aku harus mengikuti semua prosedur membosankan sebelum bisa membawa Tama pulang. Ini bukan yang pertama kali aku lakukan. Aku cukup hapal semua urutannya, mulai dari menunggu giliran, menyerahkan data-data diri sebagai pembuktian bahwa aku berhak membawa Tama pulang, sampai harus mendengar omelan para polisi yang nyaris sama walau orangnya berbeda, dan membayar biaya jaminan serta administrasi.

"Mbak," kata Tama lemah saat aku menghampirinya. Dia terus menundukkan kepala dan nggak berani memandangku sama sekali. Tubuh letihnya sudah berbalut seragam sekolah yang pasti bau karena nggak mandi sejak kemarin.

"Pulang!" perintahku tanpa merasa perlu menanyakan kondisinya.

Badan kurusnya yang tadi terbuka itu nggak menunjukkan luka sama sekali. Aku cukup bersyukur, tapi rasa kesalku masih mendominasi. Aku nggak mau mempermalukan diri di depan banyak orang, seperti yang para bapak-bapak itu lakukan.

"Maaf, Mbak," kata Tama sesaat setelah mobilku keluar dari Polrestabes.

Aku diam. Rasanya terlalu malas merespons apa pun yang Tama ucapkan. Kepala dan hatiku sudah panas, seolah ada api unggun yang menyala terlalu besar. Di dekat api unggun ada banyak benda mudah terbakar, yang semakin memperbesar kobarannya.

"Mbak Prita marah?" tanya Tama tanpa dosa atau justru sedang menyindir aku.

Aku jadi semakin yakin bahwa otaknya ada kerusakan parah. Nggak mungkin aku nggak marah kalau adikku selalu kreatif dalam membuat ulah. Aku nggak pernah tahu jalan pikiran Tama. Yang jelas, semua yang dia lakukan selalu berhasil membuat bebanku semakin bertambah berat.

Aku mencengkeram erat kemudi. Pandanganku tertuju lurus ke jalanan yang mulai padat. Matahari sudah muncul. Cahaya dan panasnya seperti sedang mengejekku yang semakin mendidih.

Sepanjang perjalanan pulang selanjutnya, Tama ikut diam. Dia memilih memejamkan mata, seolah paham bahwa aku nggak akan menjawab apa pun pertanyaannya.

Deru kendaraan beriringan dengan klakson yang saling bersahutan, menjadi musik pengiring perjalanan singkat ini. Aku pun malas menyalakan musik dan memilih hanyut dalam kekalutan pikiranku sendiri.

Sejujurnya, aku lelah. Aku nggak mampu menjalani hari-hari dengan beban terlalu berat ini. Tugasku sebagai anak pertama yang harus menggantikan peran ayah berhasil membuatku berkali-kali ingin menyerah. Tapi, aku nggak bisa menyerah. Aku nggak boleh berhenti, bahkan mengeluh pun bukan hakku.

Aku memarkirkan mobil di depan pagar. Ini sudah jam delapan dan aku masih harus bersiap untuk bekerja. Waktuku singkat banget. Tapi, aku nggak tenang kalau belum menyelesaikan kewajibanku.

"Tama," panggilku saat melihat adik laki-lakiku itu berlalu masuk kamar. Aku harus memberikan nasihat dan peringatan pada Tama. Dia harus paham kesalahannya dan nggak perlu mengulang lagi, lagi, dan lagi.

Ibu yang sedang membantu ayah makan memandangku. Tanpa mengatakan apa pun, aku paham apa yang Ibu harapkan. Sayang, kali ini aku nggak bisa mewujudkan keinginan Ibu. Aku yang harus mengambil alih peran orang tua karena mereka sudah terlalu memanjakan Tama. Hasilnya, Tama menjadi nggak terkontrol dan kenakalannya nggak pernah berhenti.

"Kamu nggak capek bikin masalah terus?" bentakku. Kapalaku berdenyut, tapi aku berniat tetap lanjut. "Balapan gitu dapet apa kamu? Apa yang kamu banggain dari kenakalan kamu ini, ha?"

Tama menunduk dalam. Sikap lemahnya semakin memperbesar api amarahku. Aku yakin penyesalannya cuma sesaat. Sebentar lagi, dia akan kembali membuat ulah yang sama. Itu yang selalu dia lakukan dan selama ini nggak pernah ada perubahan sama sekali.

"Bisa, kan, sekali aja kamu nggak nambah beban Mbak? Jadi anak baik sekali aja!" Suaraku merendah. Dadaku ngilu, entah karena apa. Harapanku tinggi, tapi aku nggak yakin bisa terwujud.

Tama mengangkat kepalanya. Di matanya terpancar pedih yang dalam. "Mbak pikir yang aku lakuin ini cuma kenakalan?"

"Apa lagi?" Nada suaraku melengking kembali. Bisa-bisanya Tama menganggapku keliru.

Dia yang salah! Dia yang selalu bikin ulah. Dia yang berkali-kali harus aku jemput di kantor polisi dengan alasan yang sama. Dia yang nggak pernah mau tahu sudah seberat apa tanggung jawab yang harus aku tanggung.

"Udah berapa kali Mbak jemput kamu di kantor polisi? Harus berapa kali lagi?" Rasanya aku sudah gila kalau harus berurusan dengan Tama semakin lama.

Tama menarik rambutnya. Matanya berkaca-kaca. Dia menggeleng, seolah berusaha menyingkirkan pikiran jelek dalam kepala. "Aku masih bisa bodo amat sama orang-orang yang nggak percaya aku, ngatain aku nakal, sampai maki-maki pakai bahasa paling kasar pun. Aku nggak peduli, Mbak! Kalau Ibu yang bilang gitu juga, aku nggak peduli." Tama memberi jeda sejenak dengan mengambil napas dalam. "Tapi, kalau Mbak Prita ikutan nggak percaya sama aku, habis sudah! Aku harus gimana lagi?"

Harusnya, aku bertambah marah. Dia sudah berbuat salah dan nggak minta maaf. Dia nggak menyadari kesalahannya sama sekali. Tapi, mendengar keputusasaan Tama kali ini justru membuatku sedih. Ada rasa bersalah yang perlahan membuat dadaku sakit.

"Tama," panggilku dengan nada tinggi saat Tama beranjak masuk kamar.

"Mbak." Ibu menghampiriku dengan cepat. "Udah, ya!" pintanya dengan lembut sambil menahan tanganku.

Gerakanku terhenti. Aku nggak jadi menyusul Tama. Kekesalanku beralih sasaran.

"Ibu mau sampai kapan manjain dia terus? Mau sampai kapan mewajarkan kenakalan Tama terus?" tanyaku dengan nada tinggi.

Aku tahu nggak boleh membentak Ibu. Aku paham inj salah satu dosa besar. Tapi, aku nggak bisa menahan diri lagi.

Mataku tertuju pada Ayah yang terlihat lemah. Nggak ada bentakan atau permohonan apa pun padaku dari Ayah. Ayah cuma memandangku dalam diam, seolah sedang menonton film paling membosankan. Tapi, sikap pasrah Ayah justru menyentil sisi paling sensitifku. Diamnya Ayah membuatku bertambah muak.

Aku nggak mampu. Tapi, aku harus menanggung semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Aku nggak sanggup. Tapi, seluruh masalah ini harus aku yang menyelesaikan. Aku butuh bantuan. Tapi, memangnya siapa yang bersedia membantuku?

Nggak ada!

Aku tetap harus berjuang sendirian. Aku harus mengorbankan segalanya demi keluarga ini.

Terpopuler

Comments

La Harida

La Harida

umur adeknya jauh jauh bangat
17 tahun loh.

2025-08-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!