NovelToon NovelToon

Pernikahan Perawan Tua

Perawan Tua

"Pantesan jadi perawan tua, kaku banget, sih!"

Aku punya telinga yang berfungsi dengan baik. Komentar itu bisa kudengar jelas. Entah mereka yang terlalu bodoh atau memang sengaja mengatakan kalimat kasar itu di dekat meja kerjaku. Saat aku berbalik ke arah lima orang yang bergerombol di dekat pintu masuk divisi HRD, mereka terang-terangan memasang wajah sengit untukku.

Satu-satunya pria yang ada di kelompok itu pun bersikap sama. Bukannya memberi tahu empat sahabat wanitanya tentang sikap buruk mereka yang keterlaluan, dia justru menjadi pendukung atau malah provokator utama.

Aku tahu banget Niko. Nggak cuma divisi QC (Quality Control) saja yang kenal dia, aku yakin seluruh perusahaan pun tahu gimana sifat menyebalkannya. Dia punya bibir tipis yang enteng banget menyebarkan gosip tentang siapa pun sesuka hatinya.

Aku nggak pernah berurusan dengan Niko atau teman-teman wanitanya. Aku cuma baru saja marah ke salah satu karyawan produksi yang meminta cuti. Walau kepala bagian produksi memberikan persetujuan, aku berhak menolak pengajuan cuti ini.

Aku nggak sembarangan menolak karena karyawan tersebut sudah nggak punya lagi jatah cuti tahun ini, padahal sekarang masih bulan Februari. Kinerjanya buruk banget karena terlalu sering cuti sejak tahun lalu. Aku cuma memberikan pilihan padanya untuk mengajukan pengunduran diri atau nggak minta cuti lagi. Tapi, bagi Niko dan yang lain, sikapku sudah keterlaluan dan nggak manusiawi.

"Jelas-jelas alasan cutinya mau ngerawat ibunya yang sekarat, masih aja ditolak. Cewek kalau kelamaan nggak nikah, jadinya gitu tuh! Hatinya kaku gara-gara nggak pernah ngerasain cinta." Jelas ini suara Niko karena cuma dia satu-satunya pria dalam gerombolan itu.

Aku membuang napas panjang, lalu memejamkan mata. Tentu saja aku sakit hati dengan komentar pedas itu. Walau nggak menyebutkan nama, aku yakin mereka menyindirku. Di antara puluhan orang di ruangan ini, cuma aku sendiri wanita yang belum menikah. Elita yang usianya delapan tahun di bawahku saja sudah menikah. Cuma aku, orang yang pasti mereka panggil dengan sebutan perawan tua.

"Abaikan aja, Ta!" pinta Mbak Chiki sambil menepuk pundakku. "Sebagai HRD, kita harus siap jadi musuh banyak orang. Pasti ada aja kekurangan kita yang jadi santapan nikmat buat orang-orang kayak mereka. Lo nggak lupa, kan, bulan kemarin Elita kena juga? Sekarang udah satu bulan, tapi Elita belum hamil pun nggak ada mereka minta maaf udah bikin gosip murahan."

Aku tersenyum lemah pada Mbak Chiki. Nggak mungkin aku lupa tentang gosip yang sempat membuat heboh satu pabrik itu. Bisa-bisanya ada cowok bermulut lemas yang menyebarkan info kalau Elita nikah karena sudah hamil duluan. Alasannya sepele karena Elita nggak pernah terlihat dekat pria. Tapi, Mbak Chiki nggak bisa memberikan hukuman pada Niko. Kami nggak punya bukti jelas yang menunjukkan kesalahannya.

Niko tetap melakukan hobinya. Sekarang, aku yang menjadi korbannya. Sepertinya, saran Mbak Chiki jadi cara paling tepat untuk melawan Niko saat ini. Aku cuma harus pura-pura nggak mendengar ocehan menyebalkan Niko, seperti yang selalu kulakukan.

Sayangnya, pikiranku sedang nggak baik-baik saja. Kedua kata itu menyusup masuk telinga, lalu bergaung berulang-ulang di dalam kepalaku.

Aku memang masih perawan. Usiaku juga sudah 35 tahun. Jadi, aku nggak bisa disebut muda lagi. Dengan kata lain, aku sudah tua. Iya, aku perawan tua.

Lalu, apa masalahnya?

Nggak ada!

Harusnya, nggak ada masalah dengan statusku sebagai wanita yang belum menikah di usia ini. Harusnya, aku bisa bangga karena tetap menjaga harga diriku. Aku nggak pernah merendahkan diri dengan tidur bersama sembarangan pria. Aku juga punya karir bagus walau pabrik tekstil ini bukan yang paling baik di Indonesia. Paling nggak, sebagai wakil presiden HRD, aku bisa membanggakan gaji bulananku.

Dengan gajiku, aku bisa memenuhi kebutuhan orang tua dan menyekolahkan kedua adikku. Aku juga bisa membiayai pengobatan Ayah. Aku sanggup mewujudkan apa pun keinginan keluargaku.

Nggak ada yang perlu membuatku malu lagi. Hidupku baik-baik saja walau menurut orang lain belum sempurna.

"Oh, iya, Ta." Mbak Chiki mengetuk meja kerjaku. "Yang tiga karyawan baru itu masuknya kapan? Besok?"

"Lima, Mbak." Aku mengoreksi dengan suara setenang mungkin. "Mereka mulai besok masuknya." Aku maklum kalau Mbak Chiki lupa karena pekerjaannya sedang banyak banget sekarang.

"Oh, iya itulah." Mbak Chiki manggut-manggut. "Lo atur semuanya, ya. Kasih pelatihan yang sesuai jabatan. Lo udah bikin janji sama tim trainer juga, kan?"

Aku mengangguk. "Edo udah pastiin trainer ready semua." Kuacungkan jempolku.

Mbak Chiki membuang napas panjang. Matanya melebar dan kedua alisnya berkerut. "Pusing gue! Ada aja konflik di sana-sini. Bisa nggak, sih, orang-orang kerja dengan tenang?"

Aku menyodorkan permen mint ke Mbak Chiki. "Kita nggak mungkin tenang selama masih mengurus ribuan pekerja pabrik ini, Mbak. Kecuali, Pak Handoyo sengaja nutup pabrik atau Hantex resmi bangkrut. Mbak Chiki pasti nggak mau, kan?"

Mbak Chiki menggeleng sambil menutup mata. Mungkin, dia membayangkan kemungkinan terburuk dari alasan yang kusebut. Tentu saja aku pun nggak mau itu terjadi. Walau ada saja hari-hari menyebalkan dan orang yang memuakkan, aku tetap akan bertahan di Hantex.

Aku butuh pekerjaan ini karena cuma aku tulang punggung keluargaku. Nggak terbayang kalau aku sampai kehilangan pekerjaan. Ayah pasti akan semakin menderita karena penyakitnya bertambah parah, apalagi aku nggak mampu membelikan obat. Kedua adikku putus sekolah dan nggak jelas masa depannya. Ibu pun pasti stres parah karena semua jadi berantakan.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih kacau. Kata-kata pedas Niko dan kawanannya terus terngiang. Tapi, bukan mereka yang berhasil membuatku resah. Ucapan mereka cuma mematik api yang sempat redup. Api itu lebih dulu Ayah nyalakan, lalu sekeras mungkin aku abaikan. Sekarang, semua ingatan menyesakkan itu bermunculan kembali.

"Ayah sudah sakit-sakitan, Mbak. Mbak Prita mau sampai kapan nggak nikah dan jadi perawan tua gini? Jangan bikin Ayah sedih, Mbak! Ayah pengin lihat Mbak nikah dan bahagia." Wajah sendu Ayah terlihat berkali-kali lipat lebih menyedihkan karena tubuhnya yang semakin lemah.

Itu sudah berbulan-bulan lalu. Tapi, aku nggak akan pernah lupa gimana hancurnya perasaanku mendengar permohonan Ayah.

Sejak dulu, Ayah jadi orang yang paling kuat di mataku. Ayah seperti pahlawan super yang pasti bisa mewujudkan apa pun impianku. Tapi, setelah aku lulus kuliah, Ayah kehilangan kekuatan supernya ... atau aku mendapatkan warisan kekuatan super tersebut.

Entahlah! Aku nggak tahu harus bersyukur lewat jalur mana lagi karena rasanya capek banget.

Aku berdiri di luar pagar rumahku. Ada mobil yang nggak asing, parkir di luar pagar. Aku tahu siapa pemilik sedan merah ini, tapi nggak berminat beramah-tamah padanya. Aku cuma ingin masuk rumah, lalu istirahat.

Suara Mama dan tamunya bisa kudengar dari teras. Pintu depan terbuka lebar sehingga aku nggak perlu repot membukanya. Sebisa mungkin, aku masuk tanpa mengeluarkan suara.

Aku benar-benar lelah. Energiku nggak bersisa untuk sekadar melakukan basa-basi dengan orang yang rutin berkunjung ke rumah ini.

"Eh, Mbak udah pulang." Ibu yang pertama menyadari kedatanganku. "Sini makan dulu, Mbak! Tante Maya bawa tongseng kambing."

Tentu saja aku nggak mungkin masuk kamar tanpa ada yang tahu. Rumahku nggak besar. Nggak ada banyak tempat untuk menyelinap, apalagi kamarku tepat berada di samping ruang makan. Kehadiranku sukses menjadi pusat perhatian.

Di ruang makan rumahku yang sempit, sudah ada empat orang sedang menikmati makan malam. Mama dan Cia duduk menghadapku. Adik bungsuku itu sedang mengunyah potongan daging yang terlihat besar di mulut kecilnya. Kedua kakinya pasti berayun karena tubuhnya bergerak teratur. Dia nggak berkomentar apa pun dan tetap asyik dengan makanannya sendiri.

Meja makan penuh dengan tongseng dan sate kambing. Makanan itu cukup menggoda, apalagi aku memang belum makan malam. Tapi, aku sama sekali nggak berminat untuk bergabung dengan keseruan di meja makan ini.

"Prita baru pulang jam segini? Jam berapa ini?" tanya Tante Maya setelah melirik jam dinding. "Jam sembilan lebih?" Kerutan samar muncul di dahinya. Rasa penasarannya nampak jelas, mungkin sedikit bercampur dengan kekhawatiran.

Tante Maya terlihat ceria dan memang seperti itu biasanya. Rambut pendeknya sudah berhias uban, tapi dia nggak pernah mencoba menutupinya. Aku nggak tahu apa yang selalu membuat Tante Maya terlihat hangat dan bersemangat. Tapi, malam ini, aura Tante Maya justru membuatku merasa semakin lelah.

Aku tersenyum sambil mendekat. "Iya, Tan. Ada yang harus disiapin buat training besok." Walau enggan, aku nggak bisa mengabaikan keramahan Tante Maya.

"Ih! Kamu ini perempuan rajin banget. Nanti, yang jadi suami kamu pasti bangga," puji Tante Maya yang semakin membuatku kesal.

Nggak semua yang kulakukan harus disangkutkan dengan makhluk bernama suami. Hidupku nggak cuma berfokus pada pernikahan. Aku punya banyak tanggung jawab yang masih harus kutuntaskan. Semua sindiran ini terasa semakin memuakkan.

Mataku terpaku pada pria yang sejak tadi diam. Dia duduk membelakangiku dan sama sekali nggak menoleh padaku. Punggungnya agak membungkuk. Pandangannya tertuju pada benda dalam genggamannya. Aku nggak tahu apa yang sedang dia lakukan, tapi pasti nggak jauh dari game di ponselnya.

Yang mengejutkan, tanpa malu dia menerima suapan Tante Maya. Dia benar-benar disuapi nasi dan tongseng kambing. Usianya bukan balita lagi, bahkan sudah lulus kuliah beberapa tahun lalu. Tapi, bisa-bisanya mamanya masih menyuapi dia makan.

Konyol!

Hidupku sudah terlalu berat. Aku nggak mau kalau masih harus mengurus suami yang katanya nggak akan pernah dewasa, seperti pria ini. Sepertinya, keputusanku untuk nggak segera menikah tepat. Aku nggak yakin bisa menemukan pria yang benar-benar dewasa dan mampu memahami posisiku saat ini.

Apa aku nggak usah menikah saja selamanya?

Anak Berandalan

"Sini makan dulu! Prita pasti capek pulang kerja. Tante bawain sedikit makanan. Ini tadi Leo yang minta tongseng. Kayaknya kalau kami makan berdua doang nggak seru. Makanya, Tante bawa ke sini aja sekalian lihat kondisi Ayah kamu." Tante Maya lagi-lagi menyodorkan sesendok penuh nasi bercampur potongan daging dan kuah ke mulut pria itu.

Aku nggak tahu sebenarnya pemandangan ini salah atau nggak. Di meja itu, ada dua ibu yang sama-sama punya anak, tapi beda cara memperlakukan anak masing-masing. Cia yang usianya baru sembilan tahun jauh lebih mandiri dari Leo. Dia bisa makan sendiri tanpa kesulitan sama sekali. Lalu, siapa yang sebenarnya bocah di sini?

Aku mengenal Leo sudah lama. Sejak Papa masih sehat, sejak hidup kami masih baik-baik saja, dan sejak suami Tante Maya masih hidup, keluargaku sudah akrab dengan keluarga Leo. Kehadiran mereka malam ini juga bukan sesuatu yang spesial.

Ada saja alasan Tante Maya mampir. Makan bersama jadi alasan yang paling sering mereka gunakan. Tapi, malam ini, aku sama sekali nggak berminat duduk dan makan bersama mereka. Sikap Leo terlalu menggelikan bagiku.

Dari dulu, Leo memang anak manja yang selalu mendapatkan apa pun keinginannya. Sebagai anak tunggal, orang tuanya yang kaya raya itu punya kemampuan mewujudkan seluruh harapannya. Tapi, aku nggak menyangka di usia yang nggak muda lagi, Tante Maya masih harus menyuapi Leo makan.

"Nggak usah, Tan," tolakku berusaha sesopan mungkin. "Aku masih kenyang." Aku nggak mungkin bersikap kasar pada orang yang selalu baik pada keluargaku itu.

Jawabanku berhasil membuat Leo mengalihkan fokusnya dari ponsel. Tatapan penasaran itu tertuju padaku. Mata tajamnya seolah sedang memastikan kejujuranku.

"Tadi atasanku traktir makan malem, kok. Jadi, aku masih kenyang." Aku merasa harus menjelaskan lebih detail walau nggak sepenuhnya jawaban ini benar.

Mbak Chiki memang mengajak tim HRD yang lembur hari ini makan malam. Tapi, aku menolak. Perasaanku benar-benar berantakan gara-gara Niko. Aku nggak mau menghabiskan lebih banyak waktu lagi di kantor. Jadi, aku satu-satunya orang yang pulang dan menolak ajakan Mbak Chiki.

Tatapan Leo melunak. Sepertinya, dia percaya dengan penjelasanku. Entah kenapa, aku pun merasa lega.

"Tama mana, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Di meja cuma ada Ibu dan Cia yang menemani tamu kami. Ayah pasti tidur di kamar karena ini sudah terlalu malam baginya. Nggak bagus juga bagi Ayah kalau tidur terlalu malam. Tapi, adik laki-lakiku nggak terlihat ikut makan malam bersama. Aku curiga dia belum pulang.

Ibu menggeleng dengan wajah sendu. "Belum pulang," jawabnya pelan.

"Pasti, Mas Tama nongkrong lagi!" tebak Cia dengan mulut penuh. Pipi bulatnya sampai mengembang. Wajahnya jadi mirip boneka panda di kamarnya.

Aku menggigit bibir dalamku untuk meredam kesal. Tama nggak pernah kapok cari perkara. Bisa-bisanya dia membuat Ibu nggak tenang setiap hari.

Apa masalah yang selalu dia buat selama ini masih kurang menyiksa Ibu?

"Ibu makan aja. Nanti, aku coba telepon Tama," kataku mencoba menenangkan Ibu. "Paling dia ke bengkel. Kalau di bengkel, Tama, kan, suka lupa waktu."

"Anak cowok biasa, Na!" Tante Maya menyodorkan sendok pada Leo lagi. "Leo dulu seumuran Tama juga sering nongkrong sampai malem." Tante Maya mempersiapkan suapan selanjutnya. Baru kusadari bahwa sejak tadi Tante Maya cuma menyuapi Leo makan, tapi sama sekali nggak mencicipi makanannya.

Aku melirik Leo yang sudah fokus pada ponselnya lagi. Aku nggak yakin pria yang masih disuapi maminya begini doyan nongkrong. Tapi, mungkin saja dia memang doyan nongkrong kalau Tante Maya juga ikut.

"Suapan terakhir." Tante Maya memberikan satu sendok terakhir pada Leo sambil memintanya membuka mulut lebar-lebar.

Aku menggeleng. Bayangan konyol saat Tante Maya ikut menemani dan melayani Leo di hadapan teman-temannya terlalu menggelikan. Aku nggak tahu ini benar atau nggak. Tapi, dengan pemandangan di hadapanku, aku yakin itu bisa saja terjadi.

"Aku ke kamar dulu," pamitku. Nggak ada yang harus kulakukan lagi di sini. Aku juga masih harus membersihkan diri dan mencari tahu keberadaan Tama.

Semoga saja Tama nggak membuat ulah lagi!

Kamarku kecil. Nggak banyak barang di dalam sini. Cuma kasur sempit dan lemari kayu yang menonjol di kamarku. Meja rias dan meja kerja menjadi satu. Seluruh peralatan rias dan tumpukan berkas yang pernah kubawa pulang menumpuk di meja yang sama. Aku sudah berusaha merapikannya, tapi tetap saja semua itu terlihat berantakan.

Aku menggantung tas di kapstok, bersebelahan dengan dua tasku yang lain dan jaket yang kemarin aku pakai. Aroma teh keraton semakin menyebar saat aku menyalakan kipas angin. Aku maju beberapa langkah sampai ke lemari, lalu mengambil sembarangan pakaian rumah di tumpukan paling atas. Setelah membersihkan wajah, aku kembali keluar kamar untuk menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.

Ruang makan masih berisik. Tante Maya mendominasi obrolan, selalu seperti itu. Mungkin, Tante Maya terlalu nyaman berada di sini sampai selalu merasa ini juga rumahnya sendiri.

"Sabar aja, Na! Kita ini wanita hebat! Kalau nggak hebat, mana ada kita dapat ujian sesusah ini, kan?" Samar-samar, aku mendengar Tante Maya sedang menenangkan Ibu. Tapi, aku sama sekali nggak berminat menguping lebih banyak karena sudah sering mendengar kata-kata yang sama.

Ibu dan Tante Maya sudah bersahabat sejak masih sekolah. Aku nggak tahu gimana cara mereka mempertahankan persahabatan itu sampai bisa awet banget. Tapi, aku akui kalau keberadaan Tante Maya membantu banget saat keluargaku mengalami kesusahan. Bisa dibilang, keluarga Tante Maya jadi satu-satunya orang yang nggak pernah menjauh dan justru membantu kami, padahal seluruh keluarga dari Ayah dan Ibu saja nggak pernah peduli.

Kehadiran Tante Maya selalu menjadi penyemangat untuk Ibu. Tapi, malam ini, aku nggak suka Tante Maya dan Leo ada di rumahku.

Selesai mandi, aku mengeringkan rambut basahku dengan handuk sambil duduk di pinggir ranjang. Lalu, aku ingat masih ada yang harus kukerjakan. Dengan handuk basah yang menempel di kepala, aku meraih tas yang menggantung. Ponselku masih ada di dalam sana dengan beberapa pemberitahuan pesan masuk belum kubaca.

Untuk saat ini, aku mengabaikan semua pesan masuk itu. Nggak ada satu pun pesan dari Tama. Aku menekan nama Tama, lalu menelepon.

Nada dering terdengar. Aku berjalan ke ranjang lagi sambil menunggu Tama menjawab panggilan. Tapi, sampai nada sambung berhenti, Tama sama sekali nggak menjawab. Kuulangi panggilan sampai tiga kali lagi. Hasilnya masih sama.

Apa yang sedang Tama lakukan malam-malam begini?

Perasaanku jadi nggak tenang. Pikiran jelek tentang Tama bermunculan. Harusnya, dia nggak mengulang kenakalan yang sama. Tapi, sekarang nggak ada alasan lain yang lebih masuk akal dari ini. Tama kembali membuat ulah.

Aku mencoba menelepon Tama lagi. Nada dering terdengar seperti dengung lebah yang membuat cemas. Aku berjalan mondar-mandir di kamarku yang sempit.

"Ya, Mbak." Suara Tama akhirnya terdengar.

Nggak cuma suara Tama, aku juga mendengar keriuhan lain. Deru motor dan sorakan menjadi musik pengiring dalam pembicaraan kami. Tentu saja, emosiku sudah naik sekarang.

"Di mana?" tanyaku tegas.

"Di bengkel."

Aku agak kesulitan mendengar suara Tama. Mesin motor dan teriakan gembira orang-orang di sekitar Tama lebih mendominasi. Nggak mungkin dia cuma di bengkel. Suara ini lebih mirip arena balap liar dan sebentar lagi ada pertandingan yang dimulai.

Bocah ini lagi-lagi balapan liar?

"Pulang sekarang!" Sebisa mungkin, aku meredam emosiku. Tapi, aku gagal mengatur nada suaraku sampai keluar tinggi banget.

"Iya, Mbak," jawab Tama tanpa mencoba bernegosiasi seperti biasanya. Tama pasti tahu bahwa kakak satu-satunya ini sedang dalam kondisi nggak mau mendengar alasan apa pun. Dia wajib paham apa yang seharusnya dilakukan sekarang.

Aku menutup telepon. Kekesalanku bisa semakin nggak terkontrol kalau terus mendengar berisiknya tempat Tama berada saat ini.

Sekarang, aku cuma perlu menunggu kedatangan Tama. Kalau memang berada di bengkel, dia cuma butuh waktu 15 menit untuk sampai rumah. Aku berharap banget dia bisa datang tepat waktu. Aku sudah terlalu lelah untuk mengomel dan menghadapi kenakalannya yang sering nggak masuk akal.

Sayangnya, setelah setengah jam berlalu, Tama nggak juga muncul. Ini sudah hampir jam sebelas malam. Besok, dia juga masih harus sekolah. Apa masih wajar anak sekolah pulang jam segini?

Aku pernah muda. Tapi, saat sekolah dulu, aku nggak pernah pulang lebih dari jam sembilan malam. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah, di dalam kamar bersama seluruh buku dan ketenangan.

Aku mencoba menelepon Tama lagi. Tapi, berkali-kali aku melakukan panggilan, hasilnya sia-sia. Pesan-pesanku yang sudah bernada emosi pun nggak berbalas, bahkan nggak dia baca sama sekali.

Ke mana bocah itu? Kenakalan apa lagi yang dia buat sekarang?

Niatku untuk segera tidur pun lenyap. Tubuhku lelah banget. Tapi, mataku menolak untuk tidur. Aku terus mencoba menelepon Tama sampai tengah malam dan tetap mendapatkan hasil yang sama. Berandalan kecil itu kembali membuat masalah.

Entah jam berapa aku nggak sengaja tertidur. Terakhir melihat jam, aku masih menunggu kepulangan Tama di jam tiga pagi. Tapi, saat masjid di dekat rumah mengumandangkan azan, mataku terbuka.

Kepalaku pusing dan badanku pegal. Tanganku segera meraih ponsel yang ternyata terjatuh ke lantai. Tama belum memberikan respons apa pun.

Aku keluar kamar, lalu berjalan cepat menuju kamar di sebelah kiriku. Sengaja, aku nggak mengetuk pintu. Kamar Tama nggak pernah terkunci. Sekarang, aku menemukan kamar ini gelap dan kosong. Pemiliknya belum pulang.

Tama benar-benar keterlaluan!

Aku kembali masuk kamar. Tanganku gemetar karena marahku sudah nggak terbendung. Wajah Tama yang dengan gaya super tengil yang muncul di layar ponselku jadi ribuan kali lebih menyebalkan di mataku. Aku mengacak-acak rambut yang sudah berantakan dan sesekali menjambak untuk meredakan denyut di kepala.

Kali ini, panggilanku dijawab dengan cepat. "Di mana? Bisa nggak sekali aja nggak usah bikin masalah?" Amarahku meledak. "Mbak cuma minta kamu pulang. Apa susahnya?"

"Maaf. Ini keluarga dari Gautama?" sahut suara bariton. Ketegasannya lumayan membuatku takut.

Aku mengernyit. "Iya. Mana Tama?" tanyaku masih dengan nada tinggi. Aku nggak boleh terdengar ketakutan.

"Kami dari kepolisian. Gautama sedang berada di kantor polisi sekarang."

Beban Anak Pertama

Aku bersiap dengan buru-buru, bahkan mandi pun ala kadarnya. Paling nggak, wajahku lebih segar dan tubuhku wangi. Waktu terasa seperti pelari profesional yang sedang berlomba dengan kewajiban-kewajiban yang harus kutuntaskan dalam waktu singkat. Pagi hari ini terlalu banyak hal yang perlu kuselesaikan, tapi aku tahu mana yang lebih dulu harus aku utamakan.

Aku harus ke kantor polisi sekarang. Seluruh berkas yang aku perlukan sudah tertata rapi, bahkan selalu rapi. Aku hapal di luar kepala apa saja yang harus kusiapkan.

"Ke mana, Mbak? Ini masih jam lima. Lemburnya, kok, pagi banget?" Ibu yang berniat masak memandangku bingung. Di tangannya ada telur ayam. "Kok, pakai kaus? Apa ada acara ulang tahun? Kayaknya ulang tahun pabrik itu bulan Agustus, kan?"

Aku terpaksa menunda kepergiaan sesaat. Otakku berpikir cepat mencari alasan agar nggak membuat Ibu khawatir.

"Nggak, Bu." Aku nggak yakin, tapi sepertinya inilah alasan terbaik yang bisa kusampaikan pada Ibu. "Ada janji sama temen dulu sebentar, mau ambil berkas."

Ibu memandangku heran. "Temen kantor? Kenapa nggak di kantor aja ketemunya?" tanya Ibu sambil mulai memecahkan telur.

Telur itu pasti untuk Cia. Adik bungsuku itu suka banget sarapan telur orak-arik yang ditambah kecap manis. Kalau nggak buru-buru, dia bisa menghabiskan dua porsi sekaligus dalam waktu singkat.

Aku memang nggak jago berbohong. Tapi, sekarang aku harus memikirkan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang lama. Semoga dosaku nggak terlalu besar karena alasanku berbohong pun demi kebaikan Ibu.

"Temennya harus keluar kota dan berkasnya dibutuhin banget buat hari ini." Rasanya gugup banget menyampaikan kebohongan seperti ini.

Aku nggak paham kenapa ada orang yang sampai bisa menjadikan berbohong sebagai kebutuhan. Gengsi? Harga diri? Menjaga nama baik? Memang hidupnya bisa tenang setelah membuat banyak kebohongan berkali-kali?

Ibu mulai mengambil pisau untuk memotong daun bawang. Sebelum menunduk, aku bisa melihat wajah sedih Ibu. "Tadinya, Ibu mau minta tolong Mbak buat nyari Tama. Dia nggak pulang semalaman. Tapi, Mbak lagi sibuk banget. Nanti, Ibu cari Tama sendiri aja."

Aku memejamkan mata saat mendengar suara lesu Ibu. Selalu seperti ini. Kuambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan untuk menenangkan diri.

"Iya, Bu. Nanti sekalian aku cari Tama." Suaraku bergetar karena menahan kesal, tapi nggak bisa kutunjukkan.

Apa lagi yang bisa kulakukan selain mengiyakan permintaan Ibu?

Setelah berpamitan, aku memacu mobil menuju kantor polisi. Kepalaku pusing dan penuh sesak. Kurang tidur menambah cepat kekesalanku melejit. Begitu sampai tujuan, aku nggak bisa menahan marah.

Mataku melotot mencari Tama di antara puluhan remaja yang memenuhi halaman Polrestabes. Mereka semua berpenampilan serupa, bertelanjang dada dan berantakan. Rambut dan wajah mereka kusut, bahkan beberapa nampak lelah. Aku yakin nggak ada yang tidur semalaman ini.

Begitu melihat Tama sedang menunduk di bagian tengah gerombolan, aku menghampiri polisi yang terlihat paling santai. "Pak, saya mau menjemput adik saya."

"Siapa adiknya?" sahut polisi berperut besar itu. Ada rokok di yang hampir habis di tangan kanannya. Aroma asap rokok tercium jelas dan berhasil membuatku sesak.

Aku mundur satu langkah untuk menjaga jarak darinya. "Tama, Gautama." Aku menunjuk ke arah Tama yang sekarang sedang memandangku. Pandangan kami bertemu. Aku merasakan penyesalan di matanya. Tapi, penyesalan itu justru membuatku semakin muak.

"Selesaikan administrasi dulu, Mbak." Polisi itu menunjuk ke ruangan yang sudah penuh orang. Inilah proses paling menyebalkan.

Aku masih harus mengantre untuk menunggu giliran. Berkali-kali kudengar bentakan. Ada banyak bapak-bapak yang marah, bahkan sampai menghajar anak-anaknya. Tapi, nggak ada satu pun polisi yang melerai atau menengahi adegan kekerasan ini.

Kalau bisa, aku pun ingin memukul kepala Tama. Siapa tahu setelah kupukul, dia bisa berpikir dengan benar dan nggak membuat masalah lagi. Sayang, otakku berpikir lebih jernih. Kekerasan nggak akan menyelesaikan apa pun.

Aku harus mengikuti semua prosedur membosankan sebelum bisa membawa Tama pulang. Ini bukan yang pertama kali aku lakukan. Aku cukup hapal semua urutannya, mulai dari menunggu giliran, menyerahkan data-data diri sebagai pembuktian bahwa aku berhak membawa Tama pulang, sampai harus mendengar omelan para polisi yang nyaris sama walau orangnya berbeda, dan membayar biaya jaminan serta administrasi.

"Mbak," kata Tama lemah saat aku menghampirinya. Dia terus menundukkan kepala dan nggak berani memandangku sama sekali. Tubuh letihnya sudah berbalut seragam sekolah yang pasti bau karena nggak mandi sejak kemarin.

"Pulang!" perintahku tanpa merasa perlu menanyakan kondisinya.

Badan kurusnya yang tadi terbuka itu nggak menunjukkan luka sama sekali. Aku cukup bersyukur, tapi rasa kesalku masih mendominasi. Aku nggak mau mempermalukan diri di depan banyak orang, seperti yang para bapak-bapak itu lakukan.

"Maaf, Mbak," kata Tama sesaat setelah mobilku keluar dari Polrestabes.

Aku diam. Rasanya terlalu malas merespons apa pun yang Tama ucapkan. Kepala dan hatiku sudah panas, seolah ada api unggun yang menyala terlalu besar. Di dekat api unggun ada banyak benda mudah terbakar, yang semakin memperbesar kobarannya.

"Mbak Prita marah?" tanya Tama tanpa dosa atau justru sedang menyindir aku.

Aku jadi semakin yakin bahwa otaknya ada kerusakan parah. Nggak mungkin aku nggak marah kalau adikku selalu kreatif dalam membuat ulah. Aku nggak pernah tahu jalan pikiran Tama. Yang jelas, semua yang dia lakukan selalu berhasil membuat bebanku semakin bertambah berat.

Aku mencengkeram erat kemudi. Pandanganku tertuju lurus ke jalanan yang mulai padat. Matahari sudah muncul. Cahaya dan panasnya seperti sedang mengejekku yang semakin mendidih.

Sepanjang perjalanan pulang selanjutnya, Tama ikut diam. Dia memilih memejamkan mata, seolah paham bahwa aku nggak akan menjawab apa pun pertanyaannya.

Deru kendaraan beriringan dengan klakson yang saling bersahutan, menjadi musik pengiring perjalanan singkat ini. Aku pun malas menyalakan musik dan memilih hanyut dalam kekalutan pikiranku sendiri.

Sejujurnya, aku lelah. Aku nggak mampu menjalani hari-hari dengan beban terlalu berat ini. Tugasku sebagai anak pertama yang harus menggantikan peran ayah berhasil membuatku berkali-kali ingin menyerah. Tapi, aku nggak bisa menyerah. Aku nggak boleh berhenti, bahkan mengeluh pun bukan hakku.

Aku memarkirkan mobil di depan pagar. Ini sudah jam delapan dan aku masih harus bersiap untuk bekerja. Waktuku singkat banget. Tapi, aku nggak tenang kalau belum menyelesaikan kewajibanku.

"Tama," panggilku saat melihat adik laki-lakiku itu berlalu masuk kamar. Aku harus memberikan nasihat dan peringatan pada Tama. Dia harus paham kesalahannya dan nggak perlu mengulang lagi, lagi, dan lagi.

Ibu yang sedang membantu ayah makan memandangku. Tanpa mengatakan apa pun, aku paham apa yang Ibu harapkan. Sayang, kali ini aku nggak bisa mewujudkan keinginan Ibu. Aku yang harus mengambil alih peran orang tua karena mereka sudah terlalu memanjakan Tama. Hasilnya, Tama menjadi nggak terkontrol dan kenakalannya nggak pernah berhenti.

"Kamu nggak capek bikin masalah terus?" bentakku. Kapalaku berdenyut, tapi aku berniat tetap lanjut. "Balapan gitu dapet apa kamu? Apa yang kamu banggain dari kenakalan kamu ini, ha?"

Tama menunduk dalam. Sikap lemahnya semakin memperbesar api amarahku. Aku yakin penyesalannya cuma sesaat. Sebentar lagi, dia akan kembali membuat ulah yang sama. Itu yang selalu dia lakukan dan selama ini nggak pernah ada perubahan sama sekali.

"Bisa, kan, sekali aja kamu nggak nambah beban Mbak? Jadi anak baik sekali aja!" Suaraku merendah. Dadaku ngilu, entah karena apa. Harapanku tinggi, tapi aku nggak yakin bisa terwujud.

Tama mengangkat kepalanya. Di matanya terpancar pedih yang dalam. "Mbak pikir yang aku lakuin ini cuma kenakalan?"

"Apa lagi?" Nada suaraku melengking kembali. Bisa-bisanya Tama menganggapku keliru.

Dia yang salah! Dia yang selalu bikin ulah. Dia yang berkali-kali harus aku jemput di kantor polisi dengan alasan yang sama. Dia yang nggak pernah mau tahu sudah seberat apa tanggung jawab yang harus aku tanggung.

"Udah berapa kali Mbak jemput kamu di kantor polisi? Harus berapa kali lagi?" Rasanya aku sudah gila kalau harus berurusan dengan Tama semakin lama.

Tama menarik rambutnya. Matanya berkaca-kaca. Dia menggeleng, seolah berusaha menyingkirkan pikiran jelek dalam kepala. "Aku masih bisa bodo amat sama orang-orang yang nggak percaya aku, ngatain aku nakal, sampai maki-maki pakai bahasa paling kasar pun. Aku nggak peduli, Mbak! Kalau Ibu yang bilang gitu juga, aku nggak peduli." Tama memberi jeda sejenak dengan mengambil napas dalam. "Tapi, kalau Mbak Prita ikutan nggak percaya sama aku, habis sudah! Aku harus gimana lagi?"

Harusnya, aku bertambah marah. Dia sudah berbuat salah dan nggak minta maaf. Dia nggak menyadari kesalahannya sama sekali. Tapi, mendengar keputusasaan Tama kali ini justru membuatku sedih. Ada rasa bersalah yang perlahan membuat dadaku sakit.

"Tama," panggilku dengan nada tinggi saat Tama beranjak masuk kamar.

"Mbak." Ibu menghampiriku dengan cepat. "Udah, ya!" pintanya dengan lembut sambil menahan tanganku.

Gerakanku terhenti. Aku nggak jadi menyusul Tama. Kekesalanku beralih sasaran.

"Ibu mau sampai kapan manjain dia terus? Mau sampai kapan mewajarkan kenakalan Tama terus?" tanyaku dengan nada tinggi.

Aku tahu nggak boleh membentak Ibu. Aku paham inj salah satu dosa besar. Tapi, aku nggak bisa menahan diri lagi.

Mataku tertuju pada Ayah yang terlihat lemah. Nggak ada bentakan atau permohonan apa pun padaku dari Ayah. Ayah cuma memandangku dalam diam, seolah sedang menonton film paling membosankan. Tapi, sikap pasrah Ayah justru menyentil sisi paling sensitifku. Diamnya Ayah membuatku bertambah muak.

Aku nggak mampu. Tapi, aku harus menanggung semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Aku nggak sanggup. Tapi, seluruh masalah ini harus aku yang menyelesaikan. Aku butuh bantuan. Tapi, memangnya siapa yang bersedia membantuku?

Nggak ada!

Aku tetap harus berjuang sendirian. Aku harus mengorbankan segalanya demi keluarga ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!