"Sini makan dulu! Prita pasti capek pulang kerja. Tante bawain sedikit makanan. Ini tadi Leo yang minta tongseng. Kayaknya kalau kami makan berdua doang nggak seru. Makanya, Tante bawa ke sini aja sekalian lihat kondisi Ayah kamu." Tante Maya lagi-lagi menyodorkan sesendok penuh nasi bercampur potongan daging dan kuah ke mulut pria itu.
Aku nggak tahu sebenarnya pemandangan ini salah atau nggak. Di meja itu, ada dua ibu yang sama-sama punya anak, tapi beda cara memperlakukan anak masing-masing. Cia yang usianya baru sembilan tahun jauh lebih mandiri dari Leo. Dia bisa makan sendiri tanpa kesulitan sama sekali. Lalu, siapa yang sebenarnya bocah di sini?
Aku mengenal Leo sudah lama. Sejak Papa masih sehat, sejak hidup kami masih baik-baik saja, dan sejak suami Tante Maya masih hidup, keluargaku sudah akrab dengan keluarga Leo. Kehadiran mereka malam ini juga bukan sesuatu yang spesial.
Ada saja alasan Tante Maya mampir. Makan bersama jadi alasan yang paling sering mereka gunakan. Tapi, malam ini, aku sama sekali nggak berminat duduk dan makan bersama mereka. Sikap Leo terlalu menggelikan bagiku.
Dari dulu, Leo memang anak manja yang selalu mendapatkan apa pun keinginannya. Sebagai anak tunggal, orang tuanya yang kaya raya itu punya kemampuan mewujudkan seluruh harapannya. Tapi, aku nggak menyangka di usia yang nggak muda lagi, Tante Maya masih harus menyuapi Leo makan.
"Nggak usah, Tan," tolakku berusaha sesopan mungkin. "Aku masih kenyang." Aku nggak mungkin bersikap kasar pada orang yang selalu baik pada keluargaku itu.
Jawabanku berhasil membuat Leo mengalihkan fokusnya dari ponsel. Tatapan penasaran itu tertuju padaku. Mata tajamnya seolah sedang memastikan kejujuranku.
"Tadi atasanku traktir makan malem, kok. Jadi, aku masih kenyang." Aku merasa harus menjelaskan lebih detail walau nggak sepenuhnya jawaban ini benar.
Mbak Chiki memang mengajak tim HRD yang lembur hari ini makan malam. Tapi, aku menolak. Perasaanku benar-benar berantakan gara-gara Niko. Aku nggak mau menghabiskan lebih banyak waktu lagi di kantor. Jadi, aku satu-satunya orang yang pulang dan menolak ajakan Mbak Chiki.
Tatapan Leo melunak. Sepertinya, dia percaya dengan penjelasanku. Entah kenapa, aku pun merasa lega.
"Tama mana, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Di meja cuma ada Ibu dan Cia yang menemani tamu kami. Ayah pasti tidur di kamar karena ini sudah terlalu malam baginya. Nggak bagus juga bagi Ayah kalau tidur terlalu malam. Tapi, adik laki-lakiku nggak terlihat ikut makan malam bersama. Aku curiga dia belum pulang.
Ibu menggeleng dengan wajah sendu. "Belum pulang," jawabnya pelan.
"Pasti, Mas Tama nongkrong lagi!" tebak Cia dengan mulut penuh. Pipi bulatnya sampai mengembang. Wajahnya jadi mirip boneka panda di kamarnya.
Aku menggigit bibir dalamku untuk meredam kesal. Tama nggak pernah kapok cari perkara. Bisa-bisanya dia membuat Ibu nggak tenang setiap hari.
Apa masalah yang selalu dia buat selama ini masih kurang menyiksa Ibu?
"Ibu makan aja. Nanti, aku coba telepon Tama," kataku mencoba menenangkan Ibu. "Paling dia ke bengkel. Kalau di bengkel, Tama, kan, suka lupa waktu."
"Anak cowok biasa, Na!" Tante Maya menyodorkan sendok pada Leo lagi. "Leo dulu seumuran Tama juga sering nongkrong sampai malem." Tante Maya mempersiapkan suapan selanjutnya. Baru kusadari bahwa sejak tadi Tante Maya cuma menyuapi Leo makan, tapi sama sekali nggak mencicipi makanannya.
Aku melirik Leo yang sudah fokus pada ponselnya lagi. Aku nggak yakin pria yang masih disuapi maminya begini doyan nongkrong. Tapi, mungkin saja dia memang doyan nongkrong kalau Tante Maya juga ikut.
"Suapan terakhir." Tante Maya memberikan satu sendok terakhir pada Leo sambil memintanya membuka mulut lebar-lebar.
Aku menggeleng. Bayangan konyol saat Tante Maya ikut menemani dan melayani Leo di hadapan teman-temannya terlalu menggelikan. Aku nggak tahu ini benar atau nggak. Tapi, dengan pemandangan di hadapanku, aku yakin itu bisa saja terjadi.
"Aku ke kamar dulu," pamitku. Nggak ada yang harus kulakukan lagi di sini. Aku juga masih harus membersihkan diri dan mencari tahu keberadaan Tama.
Semoga saja Tama nggak membuat ulah lagi!
Kamarku kecil. Nggak banyak barang di dalam sini. Cuma kasur sempit dan lemari kayu yang menonjol di kamarku. Meja rias dan meja kerja menjadi satu. Seluruh peralatan rias dan tumpukan berkas yang pernah kubawa pulang menumpuk di meja yang sama. Aku sudah berusaha merapikannya, tapi tetap saja semua itu terlihat berantakan.
Aku menggantung tas di kapstok, bersebelahan dengan dua tasku yang lain dan jaket yang kemarin aku pakai. Aroma teh keraton semakin menyebar saat aku menyalakan kipas angin. Aku maju beberapa langkah sampai ke lemari, lalu mengambil sembarangan pakaian rumah di tumpukan paling atas. Setelah membersihkan wajah, aku kembali keluar kamar untuk menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.
Ruang makan masih berisik. Tante Maya mendominasi obrolan, selalu seperti itu. Mungkin, Tante Maya terlalu nyaman berada di sini sampai selalu merasa ini juga rumahnya sendiri.
"Sabar aja, Na! Kita ini wanita hebat! Kalau nggak hebat, mana ada kita dapat ujian sesusah ini, kan?" Samar-samar, aku mendengar Tante Maya sedang menenangkan Ibu. Tapi, aku sama sekali nggak berminat menguping lebih banyak karena sudah sering mendengar kata-kata yang sama.
Ibu dan Tante Maya sudah bersahabat sejak masih sekolah. Aku nggak tahu gimana cara mereka mempertahankan persahabatan itu sampai bisa awet banget. Tapi, aku akui kalau keberadaan Tante Maya membantu banget saat keluargaku mengalami kesusahan. Bisa dibilang, keluarga Tante Maya jadi satu-satunya orang yang nggak pernah menjauh dan justru membantu kami, padahal seluruh keluarga dari Ayah dan Ibu saja nggak pernah peduli.
Kehadiran Tante Maya selalu menjadi penyemangat untuk Ibu. Tapi, malam ini, aku nggak suka Tante Maya dan Leo ada di rumahku.
Selesai mandi, aku mengeringkan rambut basahku dengan handuk sambil duduk di pinggir ranjang. Lalu, aku ingat masih ada yang harus kukerjakan. Dengan handuk basah yang menempel di kepala, aku meraih tas yang menggantung. Ponselku masih ada di dalam sana dengan beberapa pemberitahuan pesan masuk belum kubaca.
Untuk saat ini, aku mengabaikan semua pesan masuk itu. Nggak ada satu pun pesan dari Tama. Aku menekan nama Tama, lalu menelepon.
Nada dering terdengar. Aku berjalan ke ranjang lagi sambil menunggu Tama menjawab panggilan. Tapi, sampai nada sambung berhenti, Tama sama sekali nggak menjawab. Kuulangi panggilan sampai tiga kali lagi. Hasilnya masih sama.
Apa yang sedang Tama lakukan malam-malam begini?
Perasaanku jadi nggak tenang. Pikiran jelek tentang Tama bermunculan. Harusnya, dia nggak mengulang kenakalan yang sama. Tapi, sekarang nggak ada alasan lain yang lebih masuk akal dari ini. Tama kembali membuat ulah.
Aku mencoba menelepon Tama lagi. Nada dering terdengar seperti dengung lebah yang membuat cemas. Aku berjalan mondar-mandir di kamarku yang sempit.
"Ya, Mbak." Suara Tama akhirnya terdengar.
Nggak cuma suara Tama, aku juga mendengar keriuhan lain. Deru motor dan sorakan menjadi musik pengiring dalam pembicaraan kami. Tentu saja, emosiku sudah naik sekarang.
"Di mana?" tanyaku tegas.
"Di bengkel."
Aku agak kesulitan mendengar suara Tama. Mesin motor dan teriakan gembira orang-orang di sekitar Tama lebih mendominasi. Nggak mungkin dia cuma di bengkel. Suara ini lebih mirip arena balap liar dan sebentar lagi ada pertandingan yang dimulai.
Bocah ini lagi-lagi balapan liar?
"Pulang sekarang!" Sebisa mungkin, aku meredam emosiku. Tapi, aku gagal mengatur nada suaraku sampai keluar tinggi banget.
"Iya, Mbak," jawab Tama tanpa mencoba bernegosiasi seperti biasanya. Tama pasti tahu bahwa kakak satu-satunya ini sedang dalam kondisi nggak mau mendengar alasan apa pun. Dia wajib paham apa yang seharusnya dilakukan sekarang.
Aku menutup telepon. Kekesalanku bisa semakin nggak terkontrol kalau terus mendengar berisiknya tempat Tama berada saat ini.
Sekarang, aku cuma perlu menunggu kedatangan Tama. Kalau memang berada di bengkel, dia cuma butuh waktu 15 menit untuk sampai rumah. Aku berharap banget dia bisa datang tepat waktu. Aku sudah terlalu lelah untuk mengomel dan menghadapi kenakalannya yang sering nggak masuk akal.
Sayangnya, setelah setengah jam berlalu, Tama nggak juga muncul. Ini sudah hampir jam sebelas malam. Besok, dia juga masih harus sekolah. Apa masih wajar anak sekolah pulang jam segini?
Aku pernah muda. Tapi, saat sekolah dulu, aku nggak pernah pulang lebih dari jam sembilan malam. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah, di dalam kamar bersama seluruh buku dan ketenangan.
Aku mencoba menelepon Tama lagi. Tapi, berkali-kali aku melakukan panggilan, hasilnya sia-sia. Pesan-pesanku yang sudah bernada emosi pun nggak berbalas, bahkan nggak dia baca sama sekali.
Ke mana bocah itu? Kenakalan apa lagi yang dia buat sekarang?
Niatku untuk segera tidur pun lenyap. Tubuhku lelah banget. Tapi, mataku menolak untuk tidur. Aku terus mencoba menelepon Tama sampai tengah malam dan tetap mendapatkan hasil yang sama. Berandalan kecil itu kembali membuat masalah.
Entah jam berapa aku nggak sengaja tertidur. Terakhir melihat jam, aku masih menunggu kepulangan Tama di jam tiga pagi. Tapi, saat masjid di dekat rumah mengumandangkan azan, mataku terbuka.
Kepalaku pusing dan badanku pegal. Tanganku segera meraih ponsel yang ternyata terjatuh ke lantai. Tama belum memberikan respons apa pun.
Aku keluar kamar, lalu berjalan cepat menuju kamar di sebelah kiriku. Sengaja, aku nggak mengetuk pintu. Kamar Tama nggak pernah terkunci. Sekarang, aku menemukan kamar ini gelap dan kosong. Pemiliknya belum pulang.
Tama benar-benar keterlaluan!
Aku kembali masuk kamar. Tanganku gemetar karena marahku sudah nggak terbendung. Wajah Tama yang dengan gaya super tengil yang muncul di layar ponselku jadi ribuan kali lebih menyebalkan di mataku. Aku mengacak-acak rambut yang sudah berantakan dan sesekali menjambak untuk meredakan denyut di kepala.
Kali ini, panggilanku dijawab dengan cepat. "Di mana? Bisa nggak sekali aja nggak usah bikin masalah?" Amarahku meledak. "Mbak cuma minta kamu pulang. Apa susahnya?"
"Maaf. Ini keluarga dari Gautama?" sahut suara bariton. Ketegasannya lumayan membuatku takut.
Aku mengernyit. "Iya. Mana Tama?" tanyaku masih dengan nada tinggi. Aku nggak boleh terdengar ketakutan.
"Kami dari kepolisian. Gautama sedang berada di kantor polisi sekarang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments