Santi menatap wajah kecil yang tertidur di pelukannya. Nafas mungil Nabil naik turun dengan damai, seolah dunia begitu tenang. Padahal dulu, kehadirannya ditolak bahkan sebelum ia sempat menangis pertama kali.
Ingatannya melayang ke masa itu—masa ketika Santi, dengan tangan gemetar, menunjukkan dua garis merah di test pack murahan pada suaminya.
“Bang, aku hamil...” ucapnya, nyaris berbisik, tapi penuh harap.
Ada binar di matanya. Ada impian sederhana yang selama ini ia peluk diam-diam—menjadi ibu, membesarkan anak bersama orang yang dicintai.
Namun, Bayu menatapnya dengan mata penuh tuduhan. Bibirnya tidak tertarik membentuk senyum. Sebaliknya, alisnya mengernyit tajam.
“Kamu hamil?” tanyanya, bukan dalam nada bahagia, melainkan curiga. Dingin. Menyakitkan.
Santi mengangguk pelan. Harapannya mulai menciut.
“Kamu enggak pakai otak, ya? Kita hidup masih begini—numpang di rumah orang tua gue, kerja gue juga belum jelas. Malah kamu hamil?! Gugurkan! Aku enggak mau anak sekarang!”
Tak ada sujud syukur. Tak ada pelukan hangat atau air mata bahagia seperti di kisah-kisah keluarga lain.
Santi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau abang enggak mau punya anak, kenapa abang sentuh aku? Kenapa tidur sama aku?”
Bayu menggebrak meja. “Berisik kamu! Dasar perempuan bodoh! Aku bilang gugurkan!”
“Aku enggak bisa... itu dosa, Bang.”
“Kalau kamu nyusahin aku atau keluarga gue, siap-siap angkat kaki! Ingat, kamu cuma numpang di rumah ini!”
Hari itu, langit seakan ikut menjadi kelabu. Bagi banyak perempuan, kehamilan adalah momen istimewa, tapi bagi Santi, itu adalah awal dari siksaan yang tiada henti.
Tak ada pijatan lembut saat tubuhnya lelah. Tak ada segelas susu hangat sebelum tidur. Ia tetap menjadi pembantu bagi keluarga yang tidak menganggapnya sebagai menantu, hanya karena ia perempuan miskin tanpa warisan.
Setiap pagi, Santi bangun paling awal. Mencuci, menyapu, memasak. Tak ada jeda, tak ada kata “istirahat”. Kandungannya bukan alasan untuk berhenti.
Bahkan saat kandungan masuk tujuh bulan, ia tetap jongkok di lantai, menyikat kamar mandi berlumut.
“Nih, cuci bajuku bersih-bersih!” teriak Nunik, adik Bayu, melemparkan baju ke wajah Santi.
“Bisa enggak cuci sendiri? Aku ini hamil, Nik…” bisik Santi, suara nyaris lenyap tertelan tangis.
“Itu masalah kamu! Siapa suruh kamu hamil? Miskin, enggak punya kerjaan, malah hamil! Malu-maluin keluarga aja!”
Santi menarik napas panjang. “Astagfirullah…”
“Jangan sok suci! Sore nanti bajuku harus rapi di lemari!”
Tak ada yang peduli. Tak ada yang bertanya, “Kamu sudah makan?” atau “Periksa kandungan di mana?”
USG? Mustahil. Vitamin kehamilan? Jangankan itu, nasi pun sering hanya sisa kemarin.
Jika bukan karena Allah yang menjaga, mungkin bayi dalam kandungannya takkan bertahan.
Ia pernah berpikir melawan. Tapi siapa yang akan membelanya? Ayah-ibunya sudah tiada, hilang oleh wabah yang melanda kampung dua tahun lalu. Ia benar-benar sendiri.
Santi hanya bisa bertahan. Diam-diam menangis di kamar mandi yang pengap. Menatap langit-langit kamar yang penuh jaring laba-laba, bertanya dalam hati: “Ya Allah, apakah Engkau melihatku?”
Anita, istri Pak Budi yang tinggal di seberang, kadang menyelipkan sepotong tempe dan sekepal nasi dalam plastik kecil. “Ini buat kamu, Santi. Jangan sampai anakmu kelaparan.”
Tanpa Anita, mungkin ia sudah tumbang.
Sementara di rumah itu, hanya Bayu yang dianggap pahlawan. Ia bekerja sebagai makelar, keluar pagi, pulang malam, membawa uang yang langsung habis untuk memenuhi tuntutan ibunya, Sinta, dan adik-adiknya yang tak pernah bekerja.
Sinta tak pernah lelah menanamkan bahwa Bayu harus membahagiakan keluarga. Tapi apakah keluarga juga pernah membahagiakan Bayu?
Tidak. Mereka hanya menuntut. Dan mereka semua membenci Santi karena kehadirannya dianggap beban.
Malam itu, langit tampak kelabu meski tak ada hujan. Di dalam rumah sempit yang jarang mengenal kelembutan, Santi menggigit bibirnya pelan. Kandungannya sudah delapan bulan lebih. Perutnya mengeras, punggungnya seperti diremas-remas, dan setiap langkahnya terasa seperti menginjak pecahan kaca. Tapi tak ada satu pun yang bertanya apakah ia butuh bantuan.
Bayu tertawa lepas menatap layar ponsel, mengobrol dengan teman-temannya. Video call, candaan, tawa-tawa yang seharusnya menjadi milik Santi di hari-hari penuh perjuangan ini. Sementara di sudut dapur, ibu mertuanya—Bu Sinta—menyodorkan dua kilogram kentang mentah. “Buat hajatan tetangga. Kupas semua, malam ini juga,” katanya, tanpa menatap wajah menantunya.
Santi hanya mengangguk. Ia sudah terlalu sering berharap dan kecewa. Nina dan Nunik sibuk mencoba baju baru. Sesekali terdengar tawa mereka dari kamar, membicarakan riasan dan baju pesta. Tidak satu pun peduli bahwa Santi membungkuk menahan nyeri.
“Kamu enggak usah lebay. Perempuan hamil tuh biasa aja,” ujar Nina sinis. “Kalau sakit, ya tahan. Jangan manja!”
Santi tak menjawab. Ia memilih diam. Kadang, diam adalah satu-satunya bentuk perlawanan paling aman di rumah ini. Diam, untuk tetap waras. Diam, agar janin di perutnya tak ikut merasa sakit.
Namun malam itu berbeda.
Kontraksi pertama datang seperti gelombang kecil yang tiba-tiba menggulung. Lalu datang lagi, lebih kuat. Santi mencoba mengatur napas. Ia telah membaca buku tua dari perpustakaan desa—satu-satunya sumber ilmu yang ia miliki tentang persalinan.
“Bang...” lirihnya, memanggil Bayu. “Aku... perutku sakit. Kayaknya kontraksi...”
Bayu mendengus, tidak menoleh. “Halah, kamu itu bikin panik aja. Nanti aja, tunggu pagi. Mana ada bidan buka malam-malam.”
“Bang... tolong... aku takut...” Air mata Santi jatuh, perlahan dan nyaris tanpa suara. Bukan karena sakit. Tapi karena merasa sendiri.
Suara langkah kaki terdengar dari luar. Anita, tetangga yang tinggal di rumah seberang, berdiri di ambang pintu.
“Bayu, kamu gila? Istrimu tuh mau melahirkan!” katanya, panik.
“Bukan urusan kamu. Jangan ikut campur!” hardik Bayu.
Anita pergi. Hati Santi semakin mencelos. Tapi beberapa menit kemudian, pintu terbuka kembali. Anita datang membawa harapan—dan pertolongan.
Di belakangnya, berdiri Pak Budi dan adiknya, Santoso, serta seorang perempuan tua berkebaya lusuh: Mak Laras, dukun beranak kampung yang terkenal sabar dan tulus.
“Ayo, bawa dia ke kamar. Cepat!” ujar Anita tegas.
Santoso dan Pak Budi mengangkat tubuh Santi yang nyaris ambruk. Bayu hanya duduk, menonton semua seperti menonton film yang tak menarik. Ia bahkan tampak terganggu. Dalam hatinya, ia berharap Santi dan bayinya menghilang saja, agar hidupnya tak semakin terbebani.
Mak Laras duduk di sisi tempat tidur, menatap Santi dengan kasih sayang yang hanya bisa diberikan oleh perempuan yang pernah merasakan getirnya menjadi ibu.
“Neng, tarik napas ya. Pasrah ka Gusti Allah. Bacaan surah An-Nas, Al-Ikhlas... Neng kuat, pasti kuat.”
Dan di tengah malam yang sepi, dengan tubuh berkeringat dan napas terengah, Santi melahirkan. Bayi mungil itu menangis keras—jeritan pertamanya menyentuh langit-langit rumah penuh caci.
Anita segera mengambil kain bersih dan baju bayi bekas milik anaknya dulu. Pak Budi merebus air untuk memandikan si kecil. Sementara keluarga Bayu tetap di kamar masing-masing, pura-pura tak tahu, pura-pura tuli.
“Anak ieu mah bakal jadi cahaya keur hirup Neng. Bere ngaran Nabil, nya. Artina, pinter,” ucap Mak Laras sambil mengelus kepala bayi.
Air mata Santi tumpah, kali ini bukan karena kesakitan, tapi karena sebuah nama yang seperti doa panjang.
“Bere ngaran Nabil…” bisiknya, tersedu.
Mak Laras lalu membawa bayi itu ke ruang tengah. “Mana salakina? Coba pegang anakmu. Laki-laki harus bangga kalau punya anak.”
Bayu berdiri malas, menatap si kecil dengan wajah masam. “Anak saya? Ini? Kepala gede, mata gede, badan kecil. Ini mah anak Buto Ijo. Jangan-jangan... dia hasil selingkuh.”
Ruangan hening sesaat. Lalu—
BUGHHH!
Santoso melayangkan pukulan tepat ke pipi Bayu.
“Dasar laki-laki enggak tahu diri!” teriaknya. “Kami yang bantu dari tadi. Kami yang panik. Kami yang sibuk nyiapin ini-itu. Kamu? Cuma bisa nonton dan menghina! Itu istrimu! Itu anakmu! Sekalipun kamu benci, jangan begitu!”
Bayu terhuyung, tapi diam. Mungkin karena malu, atau mungkin karena belum pernah dipukul orang yang benar-benar marah dengan alasan benar.
Santi mendekap bayinya erat. Tubuhnya masih lemas. Tapi hatinya terasa lebih kuat dari sebelumnya.
Karena malam itu, di antara hinaan dan luka, ia menemukan satu alasan untuk terus hidup: Nabil, cahaya kecil yang diturunkan Tuhan ke pelukannya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
hih geram banget ma bayu.. kalau gua mah dah gua racun satu kluarga 🙄🙄
2025-04-20
1
Wanita Aries
Sama kyk kluarga arman ya ceritanya
2025-04-21
0