Pagi belum sepenuhnya menyingsing ketika suara itu menggema membelah rumah.
“Santiiiiii!”
Lengkingan Sinta, ibu mertua Santi, nyaring dan tajam, menelusup ke dinding kamar, menghantam ruang dapur yang kosong.
Bayu, sang suami, keluar dari kamar dengan langkah berat, rambut acak-acakan dan mata yang masih belekan. Wajahnya masam, tak puas karena tidurnya terganggu.
“Ada apa sih, Bu?”gumamnya sambil mengucek mata.
“Kemana istri gak tahu diri kamu itu, Yu?”bentak Sinta dengan tangan bertolak pinggang.
Bayu hanya menghela napas. “Dia masih di rumah sakit, Bu. Nemenin Nabil. Katanya gak mau pulang dulu.”
Sinta mengangkat alis tinggi-tinggi. “Kurang ajar! Istri durhaka! Kamu ini gimana sih, Bayu? Masa gak bisa nyeret istrimu sendiri pulang? Gak sadar, ya? Kalau dia gak ada, siapa yang nyiapin sarapan? Mau kamu semua mati kelaparan?”
Bayu mengangkat bahu, malas menanggapi. "Ya aku gak bisa masak, Bu. Masa aku yang bikin? Gak bisa."
Sinta menggeram. Aroma pagi yang biasanya diisi harumnya nasi dan tumisan pagi kini digantikan keheningan dan rasa lapar yang menjalar.
Dengan emosi meledak, ia menuju kamar anak perempuannya.
Brak! Brak! Brak!
“NAANIII!!”
“Apa sih, Bu? Baru juga jam tujuh,”sahut suara malas dari dalam.
“Sekarang kamu yang masak! Cepat!”
“Hah? Kok aku? Kan biasanya si Santi yang masak. Masa jadi aku?”
“Santi di rumah sakit! Nemenin anaknya! Sekarang kamu bantu dong! Masa cuma bisa tidur mulu!”
Dari dalam kamar, terdengar dengusan. “Ya udah deh. Tapi suruh juga Nunik, jangan aku doang.”
Sinta tak menunggu lagi. Kakinya menghentak ke kamar Nunik.
Brak! Brak! Brak!
“NUNIIIK! Bangun! MASAK!”
“Astaga, Bu, pagi-pagi udah marah-marah...”
“Kakakmu Santi gak pulang! Kalian sekarang gantian masak! Jangan cuma bisa makan!”
Nunik mengerutkan kening. “Dia itu istri orang, lho. Harusnya tahu diri. Masa lupa sama tugas rumah?”
“Diam! Cepat ke dapur!”bentak Sinta.
Tak lama, Pak Adi keluar dari kamar dengan sarung kusut dan kaos oblong. Ia menguap lebar.
“Bu, kopi aku mana?”
Sinta menjawab tanpa menoleh. “Bikin sendiri, Pak!”
Pak Adi menatap bingung. “Hah? Mana si Santi?”
Sinta menggerutu pelan. “Dia mati!”
Kalimat itu meluncur seperti petir. Tapi bukan karena dramatisasinya yang membuat semua terdiam. Melainkan karena bosan. Bosan mendengar Sinta menyumpahi menantunya setiap hari.
Di dapur, Nani dan Nunik berdiri bingung. Keduanya sama-sama memegang spatula seperti senjata yang tak tahu cara digunakan.
“Kamu tahu cara masak nasi?”tanya Nunik lirih.
“Enggak. Kan biasanya udah mateng,”jawab Nani.
Mereka tuang beras ke rice cooker tanpa dicuci. Air kebanyakan. Asal pencet tombol, berharap mukjizat terjadi.
Sementara itu, Nani menumis bawang. Tapi apinya terlalu besar, bawang belum dikupas bersih, dan asap mulai mengepul.
“Duh! Gosong!”jerit Nani.
“Turunin apinya! Tambah minyak! Tambah air!”panik Nunik.
Saat air dituang ke wajan panas—cessshhh!—asap makin menggila. Dapur seketika seperti diliputi kabut. Mata pedih. Udara bau gosong.
“Bu! Kipas anginnya mana sih!”
“Pake sapu! Sapuin asapnya keluar!”
Lalu mereka mencoba goreng tempe. Minyak terlalu panas. Tempe masuk—cprrssshhh!—Nani menjerit saat tangannya terkena cipratan.
“AWWW! Panas!”
Tempe terjatuh. Minyak tumpah. Nunik panik, telurnya terlepas, pecah di lantai.
Sinta yang mendengar kekacauan di dapur datang dengan wajah membara. Tapi sebelum sempat bicara, mulutnya mendahului pikiran.
“Duh! Gak ada Santi, semuanya jadi kacau!”
Ucapan itu menggantung di udara. Pak Adi, Bayu, Nani, Nunik—semuanya diam.
Sinta mengerjap. Seolah sadar ia baru saja mengakui hal yang selama ini ia tolak mati-matian.
Bahwa Santi, menantu yang selalu ia rendahkan, ternyata adalah satu-satunya penyangga rumah ini.
Seseorang yang kehadirannya tak pernah dipuji. Tapi begitu ia pergi, semuanya runtuh.
Setelah satu jam penuh kekacauan, dapur bagai kapal pecah.
Nasi terlalu lembek. Telur gosong. Tempe hangus. Tumis kangkung menghitam seperti arang.
Lantai lengket. Minyak tumpah. Pisau, sendok, spatula, semuanya berantakan. Asap masih belum hilang sepenuhnya.
Sinta berdiri mematung. “Astaghfirullah... Ini dapur atau habis kebakaran?”
Ia menggeleng perlahan, matanya menyapu seluruh ruangan. Pagi itu menjadi saksi keheningan yang menampar harga diri satu keluarga.
Pagi itu, akhirnya semua sadar.
Tanpa Santi, rumah ini cuma bangunan kosong tanpa jiwa.
Tanpa cinta, tanpa kerja keras yang diam-diam menopang semua rutinitas.
Dan yang paling menyakitkan dari semua itu—mereka baru menyadarinya, setelah Santi memilih pergi.
“Udah, Bu... kalau Santi nggak pulang juga… besok kita catering aja, ya,” gumam Nani sambil menyeka keringat di dahinya. Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat Sinta yang baru masuk ke dapur mendengus kesal.
Tatapan mata Sinta menyapu dapur yang porak-poranda. Gumpalan amarah menggelegak di dadanya.
“Kalian semua tidak berguna! Dapur ini jadi hancur begini!” hardiknya, nadanya tinggi.
Nunik, yang sejak tadi sibuk membersihkan telapak tangannya dari bekas minyak, mendongak dengan wajah murung. “Ibu jangan marah-marah terus. Ibu aja yang masak. Aku nggak bisa masak. Nih, kuku aku jadi rusak semua,” ucapnya sambil menunjukkan kuku-kukunya yang sebelumnya selalu dirawat di salon langganan.
“Bayuuuuuu!” teriak Sinta.
Bayu muncul dari ruang tengah, wajahnya kesal. Tadi hampir saja ia memenangkan taruhan di aplikasi judi online langganannya, namun suara ibunya menginterupsi konsentrasinya. “Ada apa sih, Bu?”
Sinta menoleh tajam, nadanya tegas, suaranya gemetar oleh emosi yang nyaris meledak. “Ibu nggak mau tahu. Kamu harus bawa Santi pulang sekarang juga. Hidup kita berantakan kalau dia nggak ada. Baru urusan masak aja udah begini, belum lagi nyuci baju, bersihin rumah. Lama-lama ibu bisa gila. Kakak dan adikmu itu? Cuma bisa main HP dari pagi sampe malam. Untung si Nani belum punya anak. Kalau punya, ibu nggak yakin bisa ngurus atau nggak.”
Bayu hanya diam. Tapi diamnya bukan tanpa gejolak. Kata-kata ibunya bagai tamparan halus ke wajahnya sendiri. Selama ini, Santi selalu dianggap remeh. Tak berpendidikan, tak bersuara. Tapi justru ketika ia tak ada, rumah ini porak poranda. Baru sekarang ia sadar: perempuan sederhana itu adalah penopang rumah tangga ini. Sunyi tanpa kehadirannya. Hampa tanpa tangannya.
Namun, keheningan itu segera pecah oleh suara lantang Nunik.
“Bu, jangan banding-bandingin aku sama Santi. Aku ini wanita berpendidikan. Santi? Dia bahkan nggak tamat SMA!”
Sinta memalingkan wajahnya, menatap tajam anak gadisnya. “Pendidikanmu tinggi, ya? Tapi sekarang kamu bisa apa? Nasi lembek kayak bubur, telur gosong. Pendidikan kayak apa yang nggak bisa bikin sarapan?”
“Bu!” suara Nunik meninggi. “Aku sekolah bukan buat jadi tukang masak! Aku ini calon wanita karier. Aku punya mimpi, bukan spatula!”
Sinta mengangkat alis. “Lalu, siapa yang harus masak di rumah ini?”
Nunik menyilangkan tangan. “Ya ibu lah! Ibu kan nggak sekolah...”
PLAAK!
Sebuah tamparan keras menghentikan kalimat yang baru separuh terucap. Ruang tamu mendadak senyap. Bahkan kipas angin seakan menahan embusannya.
“Kurang ajar!” Suara Sinta gemetar. “Mentang-mentang ibu nggak sekolah, kamu suruh ibu masak? Kamu pikir siapa yang melahirkan kamu, ha? Belajar hormat sama orang tua dulu!”
Nunik tak membalas. Matanya berkaca-kaca, tapi gengsi menahannya untuk menangis. Ia membalikkan badan, berlari ke kamarnya, lalu membanting pintu sekuat tenaga.
Di dalam kamarnya yang wangi parfum dan kosmetik mahal, Nunik terduduk. Matanya menatap kosong ke cermin. Pipinya panas, bukan karena tamparan, tapi karena egonya terluka.
Tapi bukankah benar, batinnya menjerit. Bukankah perempuan yang tak sekolah memang cocoknya di dapur? Bukankah itu yang selalu diajarkan lingkungan? Dari iklan-iklan, sinetron, dan budaya yang membanggakan perempuan cantik bergaun kerja, bukan perempuan yang bau bawang dan keringat?
Hatinya sesak. Bukan karena rasa bersalah, tapi karena harga dirinya merasa terinjak. Dan semua ini—semuanya—ia lemparkan kesalahan kepada satu nama: Santi.
"Dasar perempuan kampung!" gumam Nunik dalam hati, getir. "Tunggu saja. Kau pikir kau bisa lari? Aku akan ajarkan kau caranya tunduk!"
Sementara itu, di ruang tamu, Sinta terduduk lunglai di sofa. Tubuhnya yang renta menggigil, bukan oleh dingin, tapi oleh amarah dan lelah yang menyatu. Tangan tuanya bergetar memegang kepala. Ia merasa kalah oleh rumah yang dulu ia bangun dengan susah payah. Dulu, rumah ini penuh tawa dan aroma masakan. Kini... yang tersisa hanya suara bentakan dan perut-perut lapar.
Ia tak suka menampar anaknya. Tapi perasaan tak berdaya kadang membuatnya lupa cara mencintai dengan tenang. Anak-anaknya tumbuh, tapi tak satu pun belajar menjadi dewasa. Sinta ingin menjadi ratu di rumah ini, tapi semua malah menjadikannya budak.
"Kekacauan ini karena Santi tidak ada," desisnya lirih. “Menantu kurang ajar itu harus diberi pelajaran.”
Ia melirik ke arah Bayu yang berdiri kaku. “Bayu...” panggilnya.
“Iya, Bu?” jawab Bayu, pelan.
“Ibu nggak peduli. Sekarang juga kamu ke rumah sakit. Bawa Santi pulang. Kasih dia pelajaran. Biar dia tahu tempatnya. Kamu suaminya, kamu harus tegas. Jangan sampai dia pikir bisa seenaknya pergi dari rumah ini.”
Bayu mengepalkan tangan. Amarah di dadanya bergolak. Kepalanya panas teringat omongan orang-orang di rumah sakit yang mempermalukannya kemarin. Mereka membela Santi, seolah-olah istrinya itu perempuan mulia. Padahal, pikir Bayu, semua ini terjadi karena Santi tak tahu diri. Harusnya dia tahu diri! Harusnya tetap tunduk!
Dan pagi ini, dapur berantakan. Tidak ada sarapan. Tidak ada kopi. Tidak ada yang mencuci baju. Dan semuanya, menurut Bayu, adalah salah Santi. Salah karena lebih memilih anak haram itu daripada suami sendiri.
Langkah Bayu mantap menuju pintu.
Ia tak peduli lagi.
Ia hanya ingin mengembalikan kekuasaan di tangannya. Ia ingin Santi kembali, bukan sebagai istri, tapi sebagai budak. Ia ingin Nabil lenyap. Bocah itu adalah racun. Sejak datang, Santi berubah. Tidak lagi menunduk, tidak lagi takut. Anak itu... harus disingkirkan.
"Awas kamu, Santi. Akan kupaksa kamu pulang. Dan anak sialan itu… akan kubuang."
Bayu mengatupkan rahangnya. Ia tak ingin menang. Ia ingin menang telak.
Dan tanpa menoleh, ia melangkah pergi, membawa dendam yang membara. Menuju rumah sakit. Menuju perempuan yang pernah ia cintai—dan kini hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan wibawa yang rapuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Wanita Aries
Menguras emosi karyamu thor
2025-04-21
0