Janji Santi

Penderitaan Santi belum juga berakhir. Hari demi hari ia jalani seperti bertaruh nyawa. Di rumah itu, di antara dinding-dinding yang mestinya jadi pelindung, justru ia menemukan luka paling dalam.

Ia membesarkan Nabil seorang diri. Seakan kehadiran suami dan keluarga mertua hanyalah bayang-bayang yang menyerap cahaya tanpa pernah memantulkannya kembali.

Bagi mereka, Nabil bukan anak. Bukan cucu. Bukan darah daging. Tapi aib. Dosa. Malapetaka.

"BRAKKK!!"

Suara meja makan digebrak membuat sendok-sendok berloncatan dari piring. Bayu berdiri dengan wajah merah padam, urat di lehernya menegang, matanya seperti bara api yang menyala dalam amarah.

"SANTIIII!"

Teriakannya mengguncang jantung Santi. Dari dapur yang sempit dan pengap, ia tergopoh datang. Tangannya masih berbau bawang, napasnya pendek-pendek karena belum sempat makan seharian.

"Mana makanan?! Kenapa nggak ada nasi di meja?! Kamu kira gue makan angin?!"

Santi menunduk, gemetar.

"B-berasnya habis, Bang... Aku belum sempat beli..."

Bayu membanting sendok.

"Gila! Uang lima puluh ribu sehari nggak cukup?! Kamu ngapain aja, hah?! Boros banget jadi istri!"

Santi menelan ludah. Ia tahu ini akan datang. Ucapan yang sama, tuduhan yang terus diulang.

"Tadi uangnya dipakai Nani beli kuota, Bang..."

Nani keluar dari kamar, menyambung dengan nada tajam,

"Kamu jangan nuduh ya! Udah jelas itu duit kamu pakai buat anak buto ijo itu! Kenapa malah bawa-bawa aku?!"

"Kamu itu sejak punya anak sialan itu jadi boros! Duit habis terus, lauk makin sedikit! Nggak becus ngatur!" kata Bayu.

Santi menarik napas panjang, menahan air mata.

"Bang... sekarang harga-harga naik. Kita makan bertujuh. Uang segitu... nggak cukup..."

Bayu tertawa, pahit dan sinis.

"Bukan soal harga! Tapi kamu kasih makan anak itu! Itu akar semua masalah!"

Santi mendongak. Luka di hatinya menganga, perih.

"Dia anakmu, Bang. Anak kita..."

Tapi suaranya tertelan oleh pekikan Bayu,

"Dia BUKAN anakku! Dia anak setan! Aku nggak sudi punya anak kayak tuyul! Anak buto ijo!"

Kata-kata itu menghantam lebih kejam dari tamparan. Tapi Santi hanya diam. Ia sudah kehabisan air mata.

Bayu mencabut selembar uang dari saku celananya. Lusuh. Kusut. Dua puluh ribu.

"Nih! Beli beras! Sekarang!"

Dilempar ke arah Santi. Seperti melempar tulang ke anjing.

Santi memungut uang itu perlahan. Hujan masih deras di luar.

"Bang, nunggu hujannya reda ya..."

"Kalau kamu nggak pergi sekarang, aku lempar anakmu ke jalan! Sekarang juga, Santi!"

Tubuh Santi gemetar. Tapi ia tahu, ia harus pergi. Untuk Nabil.

Dengan langkah tertatih, ia melangkah di bawah hujan. Air mengalir membasahi wajah dan pakaian tipisnya. Tapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan hanya satu hal: Nabil. Anaknya. Nafas hidupnya.

Sampai di warung, ia membeli sekilo beras. Sisanya ia gunakan membeli sepotong roti murah—roti kesukaan Nabil. Biarlah ia lapar. Asalkan Nabil tersenyum hari ini.

Saat pulang, tubuhnya kuyup. Pundaknya menanggung lebih dari sekadar air hujan.

Namun langkahnya terhenti di ambang pintu.

Nabil tergeletak di lantai. Menangis.

Tak seorang pun menoleh. Tak satu pun peduli.

Santi berlari, memeluk anaknya. Tubuh kecil itu dingin. Matanya basah.

"Bang... kenapa Nabil nggak dibangunin?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Bayu mendengus, selonjor sambil memainkan ponsel.

"Awalnya aku pikir kamu bertahan karena sayang anak. Tapi lihat anak itu... menyentuhnya saja aku jijik. Harapanku hancur. Anak ini nggak pantas hidup!"

Santi menunduk. Ia ingin marah, ingin berteriak. Tapi hanya diam yang sanggup ia beri. Diam yang merangkum semua luka.

Dalam hatinya, hanya satu janji ia ikat erat: Nabil takkan pernah sendirian. Selama Santi hidup, ia akan jadi perisai. Akan jadi cahaya. Akan jadi ibu.

Karena ia tahu—Tuhan tak pernah tidur. Dan tak satu pun air mata ibu akan jatuh sia-sia.

Santi menggendong Nabil yang masih terisak. Tubuh mungil itu menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa takut yang belum sempat reda. Dengan langkah pelan, ia membawanya ke kamar sempit mereka yang hanya dibatasi tirai lusuh. Di sana, ia dudukkan anaknya di atas kasur tipis, yang busanya sudah menipis, nyaris menyatu dengan lantai.

Dari kantong plastik yang ia peluk sejak pulang dari warung, Santi mengeluarkan sepotong roti murah. Roti itu lembek, sedikit penyok, tapi bagi Nabil, itu adalah surga kecil yang selalu ia tunggu.

“Nih, Nak… makan ya…” ucap Santi lirih.

Wajah Nabil cerah seketika. Ia menggigit roti itu dengan senyum mungil yang tulus, seolah sedang menikmati kue ulang tahun termewah di dunia. Santi tak kuasa menahan tangis. Ia peluk anaknya erat-erat, mencium ubun-ubunnya dengan penuh kasih.

“Nak… sabar ya. Suatu saat, Bapak kamu pasti berubah…” bisiknya. Meski ia tahu, harapan itu semakin hari semakin tak bersuara.

Biar dunia menganggap Nabil sebagai beban. Biar orang-orang mencibir, menyebutnya kutukan atau anak setan. Di mata Santi, Nabil adalah anugerah. Nafas hidupnya. Alasan untuk terus bertahan.

Tiba-tiba…

“SANTIIIIIII!”

Teriakan Bayu memecah keheningan seperti petir di siang bolong.

Santi terpaksa melepas pelukannya dan bergegas keluar. Hatinya belum pulih dari luka yang barusan, tapi rumah ini tak pernah memberi ruang untuk pulih. Setiap detik adalah ujian sabar yang tak berkesudahan.

“Apa lagi yang kamu tunggu?! Cepat masak! Atau kamu mau seluruh rumah kelaparan?!”

“Maaf, Bang… iya, aku masak sekarang…”

Ia melangkah ke dapur, mulai menanak nasi dari beras yang baru ia beli, menumis kangkung layu yang ditemukan di ujung kulkas, dan menggoreng ikan asin yang sudah mulai berbau. Tangannya sibuk, tapi perutnya tetap kosong. Ia sudah biasa begitu. Rasa lapar tak lagi asing. Bahkan rasa sakit pun sudah akrab dan tinggal di sana, tak mau pergi.

Ketika semua makanan tersaji, satu per satu penghuni rumah keluar. Mereka makan dengan lahap tanpa satu pun mengajaknya duduk. Santi hanya memandangi dari sudut dapur, berharap ada sisa. Kalau pun ada, itu pun bukan untuknya—melainkan untuk Nabil.

“Aku malu banget sama tetangga,” keluh Sinta sambil mengunyah.

“Kenapa, Bu?” tanya Nani, adik iparnya.

“Tadi Nabil merangkak keluar. Tetangga ngata-ngatain kita pelihara anak setan.”

“Iya. Malu-maluin banget. Buang aja dia ke panti,” timpal Adi, suami Sinta, datar, dingin seperti batu.

“Halah, kalau Nabil nggak ada, Santi juga nggak bakal nurut masak buat kita,” ujar Bayu terkekeh. Tawa mereka pecah seperti badai, menghantam hati seorang ibu yang berdiri di balik dinding dapur, menahan tangis.

“Kenapa sih kamu masih sama perempuan kampungan itu?” Nani menatap Bayu sinis. “Cari aja yang lebih cantik, lebih selevel.”

“Nanti aja. Nunggu uang cukup dulu,” jawab Bayu santai, seolah istrinya barang bekas yang tinggal dibuang.

Santi mendengar semuanya. Kata demi kata. Ia menggigit bibirnya. Apakah sakit? Lebih dari sekadar sakit. Tapi demi Nabil, ia tetap diam. Ia bisa hidup tanpa cinta Bayu. Tapi tidak bisa hidup tanpa anak yang dicintainya sepenuh jiwa.

Usai makan, mereka meninggalkan meja begitu saja. Santi yang membereskan semua. Ia cuci piring dengan tangan kasar, kaki pegal, dan hati koyak. Di meja hanya tersisa satu centong nasi dan sepotong tempe gosong.

Ah, itu pun sudah lebih dari cukup.

Tiba-tiba…

“SANTIIII!”

Santi buru-buru menghampiri Bayu.

“Iya, Bang?”

“Mana sisa uangnya?!”

Santi menyodorkan empat ribu rupiah.

“BRAKKK!”

Meja digebrak. Dada Santi bergetar.

“Kenapa cuma segini? Harusnya enam ribu!”

“Dua ribu aku pakai buat beli roti untuk Nabil, Bang. Dia suka banget roti itu…”

Wajah Bayu menggelap.

“Anjing lo, Santi! Uang gua nggak halal buat anak itu! Gua nggak ridho! Dosa lo!”

Sinta dan Adi keluar dari kamar.

“Apa sih, ribut-ribut?”

“Perempuan ini beli roti buat anaknya tanpa izin!” teriak Bayu.

“Perempuan kampung! Mana ngerti adab!” Sinta ikut menghina.

“Ngapain sih kamu ngurus anak cacat itu? Umur empat tahun belum bisa jalan, ileran kayak bayi. Jijik!” sahut Adi dengan suara penuh kebencian.

Bayu masuk ke kamar dan menarik Nabil dengan kasar.

“Mulai malam ini, kalian tidur di dapur! Biar tahu rasa!”

Santi memeluk Nabil. Tubuh mungil itu menangis lagi, memanggil “Mamah… Mamah…” lirih, seperti burung kecil yang kehilangan sarang.

Di ambang pintu kamar, Nani berkata santai, “Kalau uang udah cukup, Bay, kamu tinggal cari yang baru aja. Yang lebih cocok sama kamu.”

Malam itu, Santi tidur di lantai dapur bersama Nabil. Udara lembab menusuk tulang, tapi pelukan hangat ibu pada anaknya tetap menjadi selimut paling kokoh. Dunia boleh membenci, tapi tidak akan bisa merenggut cinta itu.

---

Kini, di sebuah ruang rawat yang dingin dan sunyi, Santi duduk memandangi Nabil yang terbaring lemah. Jarum infus menusuk tangan mungil itu, seperti jarum yang menusuk langsung ke jantungnya.

Ia genggam tangan Nabil. Hening. Tapi doanya melantun kencang dalam hati.

Anakku… maafkan Mamah…

Air mata jatuh pelan. Bisu. Tanpa suara.

Ia tahu, hari-hari ke depan tidak akan mudah. Tapi kali ini, ia tak ingin diam saja. Ia tak akan lagi menunggu keajaiban dari hati orang-orang yang tak punya nurani. Ia harus bangkit. Harus.

“Aku akan membesarkanmu sendiri, Nak…” gumamnya penuh tekad.

“Tak akan kubiarkan siapa pun menyakiti kita lagi.”

Ia menatap wajah Nabil yang pucat. Meski lemah, senyum kecil tetap menghiasi wajah itu. Dan di sanalah Santi tahu—bahwa kekuatan sejati tak pernah butuh pengakuan. Ia tumbuh dari luka, dari air mata, dari doa yang tak pernah henti.

“Kita hanya punya satu sama lain, Nak…”

Ia usap rambut anaknya lembut.

“Mamah mencintaimu. Selalu. Maaf ya… Mamah belum bisa kasih hidup yang indah. Tapi Mamah janji, kita akan keluar dari neraka ini. Kita akan bahagia. Suatu hari nanti.”

Dan malam itu, di antara bunyi mesin infus dan detak harapan, Santi membuat satu janji pada Tuhan—bahwa ia akan berjuang, hingga titik darah terakhir.

selamat membaca tinggalkan like dan coment biat autor gajihan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!